NovelToon NovelToon

Jantung Hati

Si Kecil yang Cantik

Di sebuah kota terpencil, terdapat panti asuhan kecil yang terlihat tak terawat dengan bangunan tuanya yang sudah mulai reyot. Panti asuhan yang dihuni oleh anak-anak yatim piatu yang malang dari berbagai usia.

"Putri, kemarilah!" teriak seorang wanita yang berprofesi sebagai ibu pengasuh panti asuhan itu, memanggil salah satu anak asuhnya yang tengah asyik bermain bersama teman-teman senasibnya di halaman belakang panti asuhan.

Seorang anak perempuan berumur sekitar 5 tahun dengan penampilan yang tidak terawat nan kotor pun berlari menghampirinya, "Ibu, memanggil saya?" tanya anak itu sesampainya ia di hadapan ibu pengasuhnya.

Anak itu mengedarkan pandangannya. Ia menatap dua orang dewasa asing yang berdiri di samping ibu pengasuhnya itu dengan wajah bingungnya yang tampak menggemaskan.

Lantas, ia pun tersenyum manis menyapa keduanya. Senyuman yang walau tertutup oleh debu dan kotoran di wajah mungilnya, tapi siapa pun tahu kalau senyuman itu sungguh menawan hati siapa pun yang melihatnya. "Ah, cantiknya!" pikir kedua orang itu bersamaan saat melihat senyuman anak itu.

Wanita cantik yang berdiri di samping ibu pengasuh itu pun berlari memeluk bocah itu, "Terima kasih, Tuhan. Akhirnya, kami menemukanmu," ucapnya beserta isak tangisnya yang terdengar tulus, sedangkan anak itu hanya terdiam menikmati pelukan yang tidak pernah ia dapatkan.

Bagi anak itu, pelukan itu sungguh terasa hangat dan begitu nyaman. Hingga tanpa sadar, air mata anak itu mulai menetes membasahi pipinya, lalu tangisnya pun pecah.

Entah apa yang membuat anak itu menangis, bahkan hingga sesenggukan. Terlebih, saat wanita asing itu semakin mempererat pelukannya manakala mendengar suara tangis sang anak yatim piatu itu. Mungkin, rasa rindunya akan kasih orang tua yang tidak pernah sempat ia rasakan yang membuatnya pilu.

"Putri, perkenalkan, ini adalah Tuan Fajrin Adithama dan istrinya, Nyonya Jovita Adhitama. Mereka datang ingin mengadopsimu," jelas ibu pengasuh seraya memperkenalkan kedua orang tersebut.

Ada senyum kebahagiaan di wajah ibu pengasuh karena ada keluarga yang berbaik hati ingin membantu membesarkan anak itu, tapi juga tidak bisa disembunyikan gurat kesedihan di wajahnya karena anak yang menyenangkan itu akan pergi meninggalkan mereka.

"Bagaimana? Apa Putri mau?" tanya ibu pengasuh lagi dengan nada yang begitu lembut seperti biasanya. Anak yang bernama Putri itu menghentikan tangisnya dan menyeka air matanya dengan kedua tangannya yang kotor.

Jovita Adhitama, wanita itu pun akhirnya, melepaskan pelukannya. Di sela-sela isak tangisnya, Putri menengadahkan kepalanya menatap pria yang berdiri di hadapannya, "Apa Anda akan menjadi ayahku?" tanya Putri dengan polosnya.

Pria tampan bertubuh tinggi itu pun berlutut mensejajarkan posisinya dengan Putri. "Kami adalah sahabat karib almarhum kedua orangtuamu. Kami sudah lama mencari keberadaan kalian dan kami sungguh terpukul saat mengetahui kematian mereka,"

katanya.

Tuan Fajrin memeluk tubuh mungil itu, "Maafkan, kami datang terlambat dan sebagai permintaan maaf, kami ingin merawatmu. Putri, maukah kau ikut dengan kami? Mulai hari ini, aku akan menjadi ayahmu dan istriku akan menjadi bundamu," lanjutnya seraya menunjuk istrinya yang tersenyum tulus dengan kepala mengangguk di hadapan Putri.

Putri, anak perempuan cantik nan mungil itu pun menatap pasangan Adhitama itu dan tanpa pikir panjang, ia pun turut mengangguk. Senyuman yang cantik kembali mengembang di wajah polosnya.

Betapa bahagianya gadis kecil itu mendapatkan orang tua baru karena sejak ia berumur 4 bulan, ia sudah kehilangan kedua orang tuanya. Kecelakaan mobil yang terjadi 5 tahun lalu berhasil merenggut kedua orang tuanya secara bersamaan.

Memisahkannya dari kehangatan kasih sayang orang tua yang seharusnya ia nikmati di usianya yang terlalu kecil. Mengharuskannya untuk tinggal di panti asuhan ini karena tidak satu pun sanak keluarga yang ia miliki. Lima tahun ia habiskan dalam kerinduan kasih sayang orang tua, walau hanya sekedar sebuah pelukan, ia sangat mendambakannya.

Setiap malam, ia habiskan dengan memandang langit dari balik jendela kamarnya, dengan binar mata yang penuh harap menemukan wajah kedua orangtuanya yang terlukis di kelamnya langit malam, bahkan hingga matanya tertutup beralih ke alam mimpi, ia masih berharap menemukan sosok kedua orangtuanya di sana, meskipun hanya sebatas siluet hitam yang tak jelas, ia tetap saja mengharapkannya.

Setidaknya, itu cukup untuk mengobati kerinduannya karena bagaimanapun, tidak ada ingatan yang tersimpan dalam benak bocah mungil itu, bahkan untuk sekedar ingat, bagaimana rupa kedua orangtuanya, ia sungguh tidak dapat mengingatnya.

Begitu pula setiap paginya, Putri selalu berdoa, juga sebelum tidurnya, agar saat matanya terbuka, orangtuanya akan datang bersama datangnya mentari pagi, menjemputnya pulang ke rumah.

Seperti itulah, harapan Putri setiap harinya. Tanpa henti, mulut mungil itu selalu melafalkan doa agar ia bisa bertemu dengan kedua orangtuanya dan kini, ada orang yang memintanya untuk memanggil mereka ayah dan bunda. Sungguh, ini hal yang membahagiakan untuknya. Kenapa ia harus menolaknya?

***

Setelah melakukan segala prosedur adopsi yang sudah diserahkan kepada asisten pribadinya, pasangan Adhitama itu pun membawa pergi bocah mungil itu bersama mereka, meninggalkan tempat yang sudah jadi rumahnya selama ini.

Sebelum pergi, Putri memeluk satu persatu teman-temannya yang sudah seperti saudara untuknya, juga ibu pengasuh tua yang sudah seperti neneknya itu. Derai air mata pun tidak bisa dielakkan. Semuanya menangis melepaskan kepergian bocah pintar dan penurut yang selalu membawa keceriaan di panti asuhan itu.

Sesampainya di Jakarta, kota tempat mereka tinggal, pasangan Adhitama itu membawanya ke mall terbesar di kota itu untuk berbelanja semua keperluannya. Tempat yang selama ini hanya bisa Putri lihat dari layar televisi usang yang hampir rusak di panti.

Tak henti-hentinya, sepasang mata indah itu melebar penuh binar, ditambah mulut mungilnya yang terus ternganga takjub. Dengan langkah riang, bahkan hampir terkesan menari-nari kecil, Putri mengelilingi mall dengan bahagianya.

Selama ini, tidak ada satu pun orang yang pernah mengajaknya berbelanja, walau hanya di sebuah warung kecil dekat panti asuhannya, bahkan hanya untuk sekedar membeli sebuah permen yang ia inginkan.

Panti asuhan itu hanya panti asuhan kecil yang terletak di pinggiran kota kecil. Panti asuhan yang tidak memiliki sokongan dana yang besar dan hanya mengharap belas kasihan para warga sekitar untuk membantu mereka.

Hal itu membuat anak-anak asuhannya hanya bisa menelan air liur mereka sendiri setiap kali ada yang mereka inginkan untuk dimakan, bahkan tidak jarang, bocah itu dan para penghuni panti lainnya harus menahan lapar berhari-hari jika kehabisan bahan makanan. Malang sungguh nasibnya, tapi sekarang, seolah dunia berbalik tersenyum padanya.

Pasangan Adhitama itu meminta Putri untuk memilih apapun yang ia inginkan di mall itu untuk ia beli dan mereka akan membayarnya untuknya. "Bolehkah?" tanya Putri ragu seraya memainkan dua jari telunjuk yang ia pertemukan ujungnya.

Butuh waktu lama untuk pasangan Adhitama itu meyakinkannya bahwa itu tidak dilarang dan ia tidak akan mendapatkan hukuman hanya karena melakukannya.

Putri pun akhirnya memberanikan dirinya memilih sebuah baju dress dengan model sederhana, yang baginya itu pun sudah sungguh luar biasa karena selama ini, ia hanya memakai pakaian yang diberikan para warga sekitar, bahkan banyak di antaranya yang sudah tidak layak pakai.

Namun bagaimanapun, Putri selalu mensyukuri pemberian yang ia terima. Sekali pun pakaian itu sudah usang atau berlubang di mana-mana, ia akan tetap tersenyum bahagia menerimanya karena tidak ada orang tua yang bisa ia mintai untuk membelikannya baju, walau selembar.

"Kenapa hanya satu?" tanya Jovita heran menatap baju yang berada di tangan Putri. "Pilihlah lagi! Apapun yang kau mau, bunda tidak akan marah," lanjut Jovita tersenyum lembut seraya membelai lembut pipi chubby Putri.

"Tidak, Bunda. Ini saja cukup," sahutnya seraya memeluk baju yang ia pilih itu dengan erat, layaknya sebuah harta karun yang baru ia temukan di tempat antah berantah yang asing untuknya.

"Baiklah. Sini, berikan baju itu pada Bunda, biar Bunda membayarnya!" pinta Jovita seraya mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Jovita memberi isyarat pada Fajrin untuk membawa Putri menjauh karena sepertinya, Putri akan bersikeras untuk tidak menurutinya membeli baju lagi.

Fajrin yang mengerti isyarat sang istri pun tersenyum melihatnya, lalu ia pun mengajak Putri untuk mengikutinya. Mereka berdua pun meninggalkan Jovita seorang diri di outlet itu.

"Tolong carikan baju dengan ukuran seperti ini!" perintah Jovita pada salah satu pelayan toko itu seraya menyerahkan baju yang tadi dipilih Putri. "Kalau bisa dengan model yang sederhana seperti ini," lanjut Jovita.

Tak berselang lama, pelayan itu pun datang dengan berbagai pilihan. Kemudian, Jovita pun menikmati memilih baju anak perempuan beserta segala aksesoris pendukungnya yang belum pernah ia lakukan.

"Aah, semuanya cantik! Aku jadi bingung memilihnya. Bagaimana ini?" gumam Jovita di sela-sela aktivitasnya. "Ya sudah, tolong dibungkus saja semuanya dan antar ke alamat saya!" titahnya seraya mulai mencatat alamatnya di kertas memo, lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari tasnya.

Sementara itu di sisi lain, Fajrin bersama Putri berkeliling di sebuah toko mainan. Lagi-lagi, Putri tampak kebingungan saat Fajrin menyuruhnya mengambil mainan yang ia suka.

Bukan karena tidak ada yang Putri sukai, tapi ia sendiri tidak tahu cara menggunakan mainan-mainan yang baru pertama kali ia lihat itu. Seumur-umur, mainan yang pernah ia miliki hanyalah boneka barbie bekas yang satu kakinya hilang entah ke mana atau bola yang biasa ia mainkan dengan teman-temannya di panti asuhan.

Setelah beberapa saat berputar-putar bersama Fajrin, langkah Putri akhirnya berhenti tepat di depan deretan boneka barbie yang tersusun rapi di dalam kotaknya. Matanya membulat sempurna dengan mulut yang terbuka lebar, seperti baru saja melihat surga di hadapannya.

Fajrin yang melihat ekspresi putri barunya itu pun menepuk dahinya lalu tertawa renyah. Lantas, ia melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Tak selang berapa lama, ia datang dengan sebuah troli kosong.

Kemudian tanpa bertanya lagi, Fajrin mulai mengambil satu persatu kotak berisikan boneka favorit anak perempuan itu sampai troli itu terisi penuh. Ia juga memanggil salah satu pelayan toko itu, memintanya membawakan rumah-rumahan barbie dengan ukuran besar beserta dengan segala perabotannya.

Apapun yang berbau barbie di toko itu berhasil dimasukannya ke dalam keranjang belanjaannya. Tak sampai di situ, selama menunggu kasir menghitung jumlah belanjaannya, ia tampak menghubungi seseorang lewat ponselnya.

"Halo, Sebastian! Aku perlu bantuanmu," ucap Fajrin kepada lawan bicaranya yang baru saja ia hubungi itu. "Halo, Jin! Katakan saja! Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" sahut salah satu temannya itu.

"Tolong, bantu aku membuatkan kamar untuk putriku dengan tema barbie. Untuk desain dan furniturnya, aku serahkan padamu. Aku percaya dengan pilihanmu," jawab Fajrin.

"Apa? Putri? Sejak kapan kau punya putri? Apa Jovita hamil lagi? Sudah berapa bulan? Atau sudah lahir? Jadi, aku harus membuat kamar bayi? Kenapa aku tidak tahu kabar gembira ini?" tanya Sebastian hampir tanpa jeda membuat Fajrin tersenyum mendengarnya.

"Bukan. Dia putri almarhum Keanu, sahabat kita," jawab Fajrin. "Kau sudah menemukannya?" tanya Sebastian tidak percaya di seberang sana yang terdengar turut gembira.

"Iya, akhirnya aku menemukannya dan aku sudah mengadopsinya. Mulai sekarang, dia akan jadi putriku. Mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan sebagai balas budi kami pada mereka karena bagaimana pun, aku tidak akan sesukses ini, tanpa mereka," jawab Fajrin.

"Sayang, aku tidak sempat berbagi kebahagiaan ini dengan mereka," ucap Fajrin lirih di akhir kalimatnya. Sebutir air mata hampir menetes di ujung matanya saat kenangannya bersama almarhum sahabatnya itu kembali terlintas di kepalanya.

"Syukurlah, kalau begitu. Aku turut gembira mendengarnya. Aku jadi penasaran ingin menemuinya. Dia pasti secantik ibunya dan sepintar ayahnya," sahut Sebastian antusias.

"Kau benar, dia mirip seperti orangtuanya, tapi bisakah kau menyelesaikannya secepatnya? Kau bisa memakai kamar di sebelah kamar pangeran tampanku itu," kata Fajrinlagi. "Baiklah, akan aku usahakan," jawab Sebastian dan panggilan itu pun mereka akhiri.

Abang Tampanku

Mobil keluarga Adhitama memasuki halaman sebuah rumah besar dengan desain mewahnya. Putri mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil, menatap sekeliling rumah yang seperti istana baginya itu.

Arsitektur rumah yang berdiri di atas tanah seluas ribuan itu terlihat ekstravaganza dengan desain minimalisnya yang futuristik dan memiliki nilai estetika tinggi. Rumah yang sangat megah dan unik, sedangkan interior dalamnya yang terkesan sangat modern tak kalah mewahnya dengan lantai marmer hitamnya dan dinding granit putihnya.

"Apa ini rumah ayah dan bunda?" tanya Putri yang masih takjub. Sejak dari dalam mobil, Putri tidak berhenti berdecak kagum melihat rumah besar yang baru pertama kali ia lihat seumur hidupnya.

"Bukan. Ini rumah Om Agust, sahabat ayah. Kita akan menjemput abangmu di sini," jawab Fajrin yang berjalan di belakang Jovita yang menuntun Putri untuk memasuki rumah itu.

"Abang!" ucap Putri yang tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. "Jadi, aku punya abang?" tanya Putri lagi dengan ekspresinya yang menggemaskan, seolah-olah ia tidak mempercayainya.

"Iya, abang!" jawab Fajrin yang berjalan di belakang mereka dengan penuh penekanan karena gemas pada Putri. "Apa aku boleh memanggilnya, abang?" Putri kembali bertanya dengan suara pelan dan ragu-ragu.

Putri melakukannya lagi, memainkan kedua jari telunjuknya dengan mempertemukan kedua ujung jari telunjuknya itu. Hal yang selalu dilakukan Putri saat ia takut melakukan kesalahan dan hal itu membuat wajahnya semakin tambah menggemaskan.

"Tentu saja, boleh. Dia akan menjadi abangmu," sahut Jovita seraya membelai lembut pucuk kepala Putri. Putri bertepuk tangan gembira mendengarnya.

"Put, kau harus tahu, abangmu itu sangat tampan seperti ayah. Apa kau tahu kenapa?" kata Fajrin pada Putri yang menggelengkan kepalanya, "karena ayah adalah pria paling tampan di dunia. Jadi, dia juga akan menjadi abang paling tampan dan yang paling hebat untukmu!" ucap Fajrin penuh percaya diri.

"Benarkah? Apa abang akan menyukaiku?" tanya Putri polos. "Tentu saja, siapa yang berani tidak menyukai tuan putri ayah yang cantik ini!" ucap Fajrin seraya mencubit gemas pipi Putri.

"Apa nanti, aku juga boleh memeluk abang?" tanya Putri dengan antusias. "Hmmm..." Fajrin sengaja menahan ucapannya, seperti tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan itu, membuat putri pun semakin menatap penuh harap padanya.

"Tentu, boleh," jawab Fajrin dengan tawanya karena semakin gemas melihat ekspresi Putri. Putri pun tersenyum mendengarnya. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan abang tampannya itu.

Setelah dipersilahkan masuk, Putri memiringkan kepalanya dan memfokuskan pandangannya ke arah belakang sahabat ayahnya yang dipanggil Om Agust itu, sang pemilik rumah.

Putri menemukan sosok seorang anak laki-laki seumuran dengannya yang berdiri di balik tubuh Agust. Sepasang mata indah Putri pun mulai mengamati bocah laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Tampan!" seru Putri dalam hati. Dengan gaya khas anak kecil, Putri pun langsung berlari dan memeluk bocah laki-laki itu. "Abang!" panggil Putri ceria.

Bocah laki-laki itu pun langsung mematung karena terkejut. Pipi putih chubby-nya seketika memerah, "Papah!" ucapnya seraya menarik tangan Agus yang berdiri di depannya. Ketiga orang dewasa itu pun tertawa melihat tingkah dua bocah itu.

"Apa tuan muda Dexter kita malu dipeluk seorang gadis?" ledek Agust Dexter pada putra semata wayangnya, Kei Alexis Dexter, yang berarti pejuang cerdas yang diberkati.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka sedari tadi dari lantai dua. Sepasang mata itu tampak tidak suka saat pertama kali matanya menangkap sosok bocah mungil itu yang bergelayut manja di gendongan ayahnya dan sesekali berbicara manja pada bundanya.

Lalu, sekarang memeluk teman bermainnya tanpa malu, "Apa-apaan dia? Memangnya, siapa dia!" pikirnya seraya menatap tajam Putra di bawah sana.

Fajrin yang menyadari keberadaan putranya itu, melambaikan tangan seraya memanggilnya, "Hei, Vincent Adhitama! Apa kau tidak mau pulang, Boss?" teriak Fajrin.

Anak laki-laki yang dipanggil pun menuruni tangga satu persatu, berjalan menghampiri kedua orang tuanya dengan wajah datarnya, tapi sepasang matanya tidak beralih dari sosok Putri, menatapnya lekat dengan tatapan tidak sukanya.

"V, kemarilah! Bunda ingin memperkenalkan Putri padamu. Dia adalah adikmu dan mulai sekarang kau akan menjadi abangnya dan Putri, ini Vincent, abangmu," jelas Jovita kepada anak-anaknya itu.

Putri tersenyum dan berniat memeluk Vincent, tapi sebelum itu terjadi, "Apa! Adik? Aku tidak pernah punya adik. Kenapa aku harus memanggilnya adik? Dia bukan adikku!" jawab Vincent dengan ketus.

"Sayang, kenapa kau berkata seperti itu? Bunda tidak suka mendengarnya," balas Jovita dengan lembut, tapi Vincent tetap menatap Putri dengan kesal, "baiklah, kita akan bicarakan ini lagi di rumah dan bunda tidak ingin mendengar putra kesayangan bunda bicara seperti itu lagi, oke!" lanjut Jovita.

Vincent yang kesal pun berlalu begitu saja masuk ke dalam mobil keluarga Adhitama dan Putri yang mendengarnya pun melepaskan pelukannya dari Kei.

Kei yang menyadari teman barunya sedang bersedih dan hampir menangis, tiba-tiba memeluk Putri seraya menepuk-nepuk pelan punggung Putri. "Tidak apa-apa. Jangan menangis! Kau anak yang kuat," ucapnya menirukan cara papahnya setiap kali menenangkan tangisnya.

"Kalau V tidak mau jadi abangmu, aku juga bisa jadi abangmu," kata Kei dengan begitu imut, khas anak kecil berumur 5 tahun, berusaha menghibur Putri dengan sungguh menggemaskan.

Putri menatap Kei dengan tak kalah imutnya. "Benarkah? Apa aku juga boleh memanggilmu abang?" tanyanya penuh harap. "Baiklah, kau bisa memanggilku, abang Kei," jawab Kei dengan gaya malu-malunya. Pipi putihnya kembali merona.

"Namaku, Putri dan aku akan memanggilmu Kak Kei," balas Putri juga dengan tersenyum ceria. Senyuman yang begitu cantik dan berkesan di mata Kei. "Apa aku juga boleh bermain dengan Kak Kei nanti?" lanjut Putri.

"Kau boleh datang kapan saja. Selain V, juga ada Sasa. Kita bisa bermain bersama," jawab Kei antusias. Dua bocah itu saling tertawa kecil, sedangkan para orang tua itu terdiam menyaksikan interaksi menggemaskan kedua bocah itu.

"Hei, Gust! Sepertinya, putramu mewarisi bakat playboy-mu! Lihatlah, bagaimana dia merayu putriku! Sepertinya, aku akan menjadi besanmu kelak!" ledek Fajrin seraya menyikut pelan sahabatnya itu.

Agust sendiri hanya terkekeh menanggapinya, "Keanu, sepertinya, putri kecilmu sudah berhasil mencuri hati pangeran kecilku," ucap batin Agust dibalik senyum manisnya.

"Sayang, apa kita pulang sekarang? Sepertinya, kau harus membujuk anak manjamu itu," ucap Jovita menyela percakapan keduanya.

"Kau benar, Sayang. Sepertinya, malam ini akan menjadi malam yang panjang untukku membujuk bocah nakal itu," ucap Fajrin seraya menghela nafas panjang saat matanya melihat Vincent yang menatap tajam ke arahnya dari dalam mobil.

"Ayo, Putri, kita pulang! Pamit dan beri salam pada Om Agust dan Kei!" kata Jovita pada Putri. Setelahnya, Jovita pun menuntun Putri untuk kembali ke mobil. Putri melambaikan tangannya pada Kei, "Dadah, Kak Kei!" seru Putri.

Kei pun membalas lambaiannya itu. "Pah, apa Putri akan sering bermain ke sini?" tanya Kei pada Agust yang berdiri di sampingnya. Agust menoleh pada Kei, "Apa kau menyukainya?" tanyanya.

Kei pun mengangguk malu, membuat sang ayah tersenyum melihatnya, "Baiklah, papah akan memintanya untuk menjadi teman bermainmu. V dan Putri bisa bermain bersamamu di sini," ucapnya seraya menggendong putra kecilnya itu, "tapi ingat, kau tidak boleh bermain sampai kelelahan! Janji?" ucapnya pelan seraya mengelus-ngelus pucuk kepala Kei dengan lembut.

Kei mengalungkan tangannya ke leher ayahnya itu, "Baiklah. Aku janji," ucapnya pelan seraya merebahkan kepalanya di bahu Agust. "Sekarang, istirahatlah," kata Agust seraya membawa Kei kembali ke kamarnya.

***

Sementara itu di perjalanan, hanya ada keheningan yang tercipta di dalam mobil keluarga Adhitama. Sesekali, Fajrin dan Jovita melirik Vincent yang duduk di belakang dari kaca spion tengah.

Bocah itu tampak memanyunkan bibirnya sepanjang perjalanan. Wajahnya masam dengan mata yang berair. Setiap kali mata mereka bertemu di kaca spion, Vincent akan memalingkan wajahnya dengan merajuk.

Terlebih lagi sekarang, Vincent menyaksikan Putri yang sedang tertidur nyenyak di pangkuan bundanya. Bukankah seharusnya dialah yang berada di pangkuan itu, tapi sekarang dia malah duduk sendirian di kursi penumpang! Rasanya, ingin sekali ia melempar bocah itu ke luar dari mobil ayahnya ini dan meninggalkannya sendirian di tengah jalanan sepi ini.

Cemburu? Ya, bocah tampan itu merasakan cemburu pada Putri. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja muncul seseorang dalam hidupnya dan langsung berhasil merebut perhatian kedua orangtuanya yang biasanya hanya tertuju pada dirinya seorang.

"Dan adik? Bagaimana bisa dia menjadi adikku, bahkan aku tidak pernah memintanya pada ayah dan bunda? Aku tidak pernah minta dibuatkan adik! Kenapa sekarang aku punya adik?" pikir Vincent.

"Dan kenapa adik itu sebesar ini? Dia bahkan sudah bisa berbicara dan berjalan. Bukankah teman-temanku yang mendapatkan adik akan memiliki adik yang kecil seperti boneka? Kenapa adikku berbeda? Kenapa perut bunda tidak pernah membesar padahal adiknya sebesar dia?" Vincent mengerutkan keningnya memikirkan segala pertanyaan yang bermunculan di kepalanya itu.

"Aku tidak menyukainya! Dia pasti akan mengambil ayah dan bunda. Tidak! Aku tidak akan membiarkannya. Ayah dan bunda hanya milikku!" Vincent hampir saja menangis memikirkannya, tapi sekuat tenaga ia berusaha menahannya. "Akan sangat memalukan untuk anak laki-laki berumur 7 tahun sepertiku menangis di depan ayah!" pikirnya.

Akhirnya, Vincent pun memutuskan untuk merubah posisinya menjadi rebahan di kursi belakang. Lama, Vincent menatap langit-langit mobil lalu memalingkan wajah tampannya menghadap sandaran kursi, menyembunyikan wajah cengengnya yang hampir menangis itu, sampai ia ikut terlelap di sana.

Teman Masa Kecil

Setelah melewati proses panjang penolakan, akhirnya, Vincent sudah mulai bisa menerima kehadiran adik besarnya itu. Ya, walaupun tetap saja baginya, adik besarnya itu sangat menyebalkan.

Adik manjanya itu selalu menempel dengannya, mengikuti ke mana pun ia pergi. Makan di meja yang sama dan di waktu yang sama. Selalu ikut bermain ke rumah Kei.

Pergi ke sekolah yang sama, walaupun tidak satu kelas karena Vincent 2 tingkat di atasnya, bahkan Putri tidak segan-segan akan memaksa tidur di kamar abang kesayangannya itu.

Dan yang paling menyebalkan adalah Putri sangat suka memeluk abangnya itu, bahkan tidak jarang, pelukan itu berakhir dengan dorongan Vincent hingga Putri terjatuh.

Lain halnya dengan Kei yang sangat senang jika Putri memeluknya, bahkan kedua bocah itu semakin dekat. Mereka selalu bermain bersama, apalagi mereka satu ruangan kelas di play group, hampir setiap hari mereka bertemu, kecuali hari libur tentunya.

Ah, jangan lupakan Sasa! Sasa adalah sepupu Kei yang juga sering bermain bersama mereka, tapi sayang Sasa bersekolah di sekolah yang berbeda. Jadi, mereka hanya bertemu saat janji bermain bersama.

Dan itulah, alasan Vincent sering bermain ke rumah Kei, agar ia bisa bertemu Sasa, cinta monyet masa kecilnya. Itu pula, yang membuat Putri dan Kei semakin dekat karena saat ada Sasa, Vincent akan bersikap cuek pada adiknya itu. Sangat cuek!

Vincent hanya akan fokus pada Sasa, sedangkan Sasa sendiri lebih memilih bermain bersama Putri serta Kei dan malah sering mengacuhkan Vincent.

***

Hari ini adalah hari minggu. Seperti biasa, mereka akan bermain ke rumah Kei, tapi sepertinya, tidak untuk hari ini. Ponsel Agust berdering. Tertulis "Jovita" di layar ponselnya, lantas ia pun mengangkatnya, "Halo!" sapanya.

"Halo, Gust! Putri ingin bicara," sahut Jovita. "Ya, tentu saja. Berikan padanya," jawab Agust. "Ini, Put!" Jovita pun menyerahkan ponselnya pada Putri.

"Halo, Put!" sapa Agust. "Halo, Om! Apa Kak Kei ada di sana?" tanya Putri dengan suara riangnya. "Oh, iya, ada. Kei! Putri ingin bicara denganmu," panggil Agust seraya menyerahkan ponselnya pada putranya itu.

"Halo, Put! Aku sedang bermain di taman bersama papah. Aku punya dandelion. Bunganya halus, lembut dan punya benih yang bisa terbang," cerita Kei dengan sangat antusias.

"Oh, ya! Bisakah aku minta satu, Kak Kei?" pinta Putri dengan nada yang manja. "Baiklah. Aku akan bawakan satu untukmu," jawab Kei dengan yakin.

"Yeeeey!" sorak Putri senang. "Lalu, kau bisa meniupnya," sekali lagi Kei sangat antusias berbicara dengan Putri. "Waaah! Hahaha... " begitu pula, Putri yang sudah membayangkan bagaimana serunya mereka bermain nanti.

"Dah, Putri! Sampai jumpa di rumahmu," seru Kei. "Dah, Kak Kei!" balas Putri seraya mengakhiri panggilannya.

"Lihat, Kei! Sepertinya, dandelion-nya tinggal satu. Ini yang terakhir," ucap Agust menunjuk sekuntum bunga dandelion yang ada di taman itu.

"Uh! Yang ini untuk Putri," ucap Kei seraya memetik bunga dandelion itu. "Pelan-pelan! Jangan meniupnya sekarang!" ucap Agust sebelum ia berjalan menuju mobilnya. Kei pun sangat berhati-hati membawa sekuntum dandelion yang akan ia persembahkan untuk Putri itu.

Kei menjaganya dengan kedua tangan kecilnya, "Papah, ini berangin!" keluh Kei yang berhenti berjalan. Kemudian, ia membawa dandelion itu ke dalam dekapannya dan melindunginya dari hembusan angin dengan tubuh mungilnya.

"Jangan angin! Jangan kau tiup dandelion-nya Putri! Uuh! Mobil papah masih jauh," gerutu Kei kembali melanjutkan langkahnya dengan pelan.

"Lihat, Pah! Aku bahkan tidak meniupnya," ucap Kei dengan memanyunkan bibirnya. Agust yang mendengarnya, menghentikan langkahnya, berbalik dan tersenyum melihat putranya, "Kau bisa melakukannya, Nak," ucapnya lalu kembali berjalan.

"Uh! Uh! Oh, tidak!" Kei semakin panik saat satu persatu bunga dandelion di tangannya mulai beterbangan. "Masih banyak yang tersisa untuk Putri. Ayolah! Kita akan memberikannya," ucap Agust menyemangati Kei yang berusaha dengan gigih.

***

Sesampainya di kediaman Adhitama, Kei perlahan turun dari mobil ayahnya. Tangannya mulai merasa lelah karena terus-menerus melindungi bunga itu, "Hampir sampai!" ucap Kei berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Putri yang melihat Kei datang melambaikan tangan dari balkon kamarnya, "Kak Kei!" teriak Putri. "Putri, aku membawakan dandelion-mu," teriak Kei, tanpa menunjukan bunga di tangannya itu. Ia masih melindungi bunga itu dari hembusan angin.

"Waah, tunjukan padaku!" pinta Putri antusias. "Tidak. Kau harus turun dan meniupnya sendiri!" jawab Kei. "Baik, aku datang," sahut Putri dan Putri pun berlari ke luar dari kamarnya.

Kei dan Agust pun berjalan ke pintu masuk rumah itu. "Selamat pagi! Lihat, ada siapa di sini!" sapa Jovita yang membukakan pintu. "Pagi, Tante Jo!" balas Kei ceria.

"Oh! Apa yang kau bawa, sayang?" tanya Jovita yang memperhatikan tangan mungil Kei yang seperti tengah menyembunyikan sesuatu di baliknya.

"Aku punya sebuah... " ucap Kei yang akan menunjukan dandelion itu, tapi ucapannya terpotong saat Putri tiba-tiba datang menghampirinya dengan berlari. "Put!" ucap Kei terkejut. "Kak Kei!" Putri langsung memeluknya membuat bunga dandelion itu berterbangan ke udara.

"Lihat! Hah!" Kei semakin terkejut saat menyadari bunga dandelion di tangannya telah habis, "oh, tidak!" ucapnya menengadahkan kepalanya ke atas memandangi bunga dandelion yang terbang semakin tinggi.

"Lihat! Lihat!" ucap Putri yang senang melihat bunga dandelion itu berterbangan di atas kepalanya seraya bertepuk tangan. "Dandelion-mu, Put... sekarang semua bunganya sudah hilang," ucap Kei terlihat sedih.

"Sayang sekali," ucap Jovita. "Aku membawanya berjalan... dari taman... dan aku membawanya sampai kesini," ucap Kei sambil memperagakan bagaimana cara ia membawa bunga dandelion itu tadi dengan wajah sedihnya.

"Dan kau berhasil melakukannya, Nak," ucap Agust seraya menepuk pelan punggung anaknya. "Tapi, aku ingin menunjukannya lebih dulu, baru Putri meniupnya," kata Kei memanyunkan bibirnya dengan tertunduk.

"Ooooh... " ucap Putri merasa bersalah. "Kei sayang, tante tahu kamu kecewa, tapi Putri memelukmu karena sangat senang bertemu denganmu," hibur Jovita. "Aku tahu..." sahut Kei.

"Bagaimana kalau kita masuk dulu? Kalian bisa bermain di dalam. Jangan lupa panggil Vincent! Tante akan membuatkan makanan yang enak untuk kalian," bujuk Jovita.

Mendengarnya, senyuman gigi kelinci itu mengembang. "Pah, papah pergilah! Aku di sini saja bersama Putri dan V," kata Kei sambil mendorong Agust pelan.

"Uh, yeeeay! Kita bermain!" pekik Putri girang seraya mengangkat kedua tangannya dengan heboh. "Ayo, kita bermain!" ucap Kei meniru Putri.

"Baiklah, Tante Jo akan menjaga kalian," ucap Agust. "Iya, tentu saja," jawab Jovita. "Dan ingat, ironman jangan sampai kelelahan, oke!" pesan Agust pada putranya seraya mengacungkan jari telunjuknya dan menggoyangkannya.

"Siap, kapten!" sahut Kei dengan wajah imutnya. "Kalau begitu, papah tidak akan lama. Dah," ucap Agust seraya mengelus pucuk kepala Kei dengan lembut. "Dah, Papah!" balas Kei yang memeluk kaki Agust dengan erat.

***

Saat bermain, tidak sengaja jari Kei terjepit mainan, "Aaw!" ringisnya kesakitan sambil memegangi jari telunjuknya. Putri dan Vincent pun berlari menghampiri Kei. Begitu pula, Jovita.

"Kau kenapa, Kei?" tanya Taehyung khawatir. "Oh, sayang!" ucap Jovita seraya berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan posisi Kei. "Aaw, sakit!" ringis Kei sekali lagi.

"Kasihan, Kak Kei!" kata Putri iba seraya membelai rambut Kei. "Tidak apa-apa. Bukankah ironman anak yang kuat? Kemarilah! Tante akan memberikan pelukan untukmu," ucap Jovita berusaha menghibur Kei dengan memeluk bocah yang hampir menangis itu.

"Aku ingin pelukan papah..." suara Kei terdengar bergetar karena menahan tangis. "Oh, sayang! Tante tahu kamu menginginkannya. Kamu bisa mendapatkannya setelah papahmu pulang, oke!" ucap Jovita lembut.

Begitulah Kei yang begitu dekat dengan papahnya karena selama ini hanya Agust lah satu-satunya yang ia miliki. Ibunya meninggal saat melahirkannya dan semenjak kematian istri tercintanya, Agust tak pernah berniat untuk menikah lagi, bahkan hanya untuk sekedar mencarikan ibu sambung baru untuk Kei.

Agust membesarkan dan merawat putranya dengan tangannya sendiri, walaupun dibantu oleh para ahli di bidangnya. Putranya berbeda! Itulah yang selalu ditekankan Agust pada dirinya dan juga pada orang-orang yang membantunya merawat putra kesayangannya itu.

Putranya harus diperlakukan spesial, tidak hanya di rumah, bahkan di sekolah, Kei selalu mendapat perlakuan istimewa. Bukan karena Kei adalah putra tunggal orang terkaya di negeri ini, tapi karena satu hal yang tidak diketahui orang banyak.

Satu rahasia yang hanya diketahui oleh Agust Dexter, sang ayah dan beberapa orang yang berkepentingan saja, bahkan Kei sendiri pun belum mengetahuinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!