NovelToon NovelToon

Contract With Devil

Episode 1

Cedric membuka kedua matanya, menyadari bahwa Gabriella lagi-lagi menyelinap masuk ke dalam selimutnya, masih tertidur lelap. Ia tersenyum, membelai lembut rambut panjang bergelombang Gabriella yang kecokelatan itu. Padahal sudah dua tahun berlalu sejak mereka memutuskan tinggal di apartemen ini. Ia sengaja mencari apartemen yang kamar tidurnya bersebelahan agar Gabriella tidak takut tidur sendiri, tapi wanita ini masih saja mencari cara untuk bisa tidur bersamanya. Alasannya selalu sama: Wanita ini takut gelap dan hantu. Ah, andai saja wanita itu tahu kalau dalam tubuhnya mengalir setengah darah iblis.

Ia tertawa pelan memikirkan gagasan itu, lalu beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini Gabriella ada kelas pagi, jadi setidaknya ia harus menyiapkan sarapan untuk wanita yang tingginya tidak pernah tumbuh lebih dari 160 sentimeter sejak lulus SMA itu agar wanita itu bisa sarapan. Berusaha sebisa mungkin agar tidak membangunkan Gabriella, ia keluar dari kamarnya menuju ruang dapur yang menyatu dengan ruang makan, berada tepat di depan kamarnya. Ia harus bergegas, karena kalau ia terlambat sedikit saja, Gabriella pasti bisa menemukan berbagai alasan untuk melewatkan sarapannya, dan ia tidak suka itu. Tangannya membuka lemari atas, mengambil bahan-bahan makanan untuk membuat panekuk seraya bersenandung dengan gumaman pelan, lalu menyalakan kompor listrik dan memanaskan teflonnya setelah selesai membuat adonan panekuknya.

Ya, hari ini pun ia harus bisa membuat berat badan Gabriella naik satu kilogram lagi. Wanita itu

terlalu kurus, dan terlalu sering melewatkan waktu makannya, membuatnya khawatir. Panekuk tinggi kalori buatannya pasti akan membantunya mencapai keinginannya. Ia tersenyum puas, membayangkan wanita itu akan memakan dengan mulut yang penuh panekuk buatannya sambil terus mengeluh karena porsi yang terlalu banyak—alasan yang selalu dikatakan oleh Gabriella yang tidak pernah ia gubris. Sambil mengamati adonan panekuknya yang meletup-letup di atas teflonnya, ia menghela napas lega.

Bagus. Kehidupan Gabriella hari ini juga akan normal. Tidak ada gangguan, tidak ada serangan dari musuh. Semua aman terkendali. Ramalan Theo—kakek Gabriella yang menitipkan penjagaan Gabriella padanya untuk sementara waktu belum terjadi, dan ia sama sekali tidak mengharapkan ramalan itu akan menjadi kenyataan walaupun tahu ramalan kakek Gabriella itu selalu akurat. Setiap harinya ia lalui dengan terus berusaha meyakinkan diri bahwa ramalan itu tidak akan pernah terjadi.

Ia tidak ingin wanita itu mati, sesuai yang dideskripsikan Theo padanya sepuluh tahun yang lalu. Tidak—ia sama sekali tidak menginginkannya, begitu juga dengan Theo. Gabriella memang bukan siapa-siapa untuknya, hanya seorang wanita yang kemarin baru saja melewati ulang tahunnya yang ke-20, wanita yang kekanakan, bawel, dan polos, cucu dari orang yang sudah menyelamatkannya dari kematian beberapa ratus tahun yang lalu. Tidak ada yang spesial dari Gabriella, tapi ia tetap memutuskan untuk berada di samping wanita itu sampai kapan pun.

Panekuk pertamanya sudah matang. Ia mengambil piring berdiameter 18 sentimeter, meletakkan panekuknya di atas piring itu, lalu menambahkan whipped cream di atasnya. Ia kembali menuangkan adonan keduanya di atas teflon, terus mengulanginya hingga adonan terakhir habis.

***

Panekuk buatannya sudah jadi.

Ia menyeka keringat di dahinya, terlihat puas dengan hasilnya. Tangannya meraih ponsel yang ada di sampingnya, memotret hasil kreasinya itu beberapa kali, mengeditnya, dan setelah puas dengan hasilnya, ia mempostingnya ke Instagram. Ia memukul pancinya, membuat suara sekeras mungkin agar Gabriella terbangun. Biasanya, ini selalu berhasil. Tidak butuh lama untuk melihat Gabriella yang keluar dari kamarnya dengan langkah terseok-seok karena mengantuk. Matanya setengah terpejam saat berjalan, sehingga berkali-kali nyaris tersandung. Sambil menguap lebar, Gabriella berjalan menuju ruang makan.

“Sarapannya udah jadi. Dihabiskan, jangan sampai nggak habis.”

“Kamu udah makan?”

“Udah.” Lagi-lagi ia berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan pada Gabriella kalau tubuhnya tidak bisa mencerna makanan manusia.

Gabriella mengangguk malas, menarik kursinya dan duduk, lalu matanya membelalak lebar begitu melihat panekuk yang ia buat. Wanita itu menelan ludah, melotot beberapa kali, menunjuk 10 piring berdiameter 18 cm.

“Aku makan dua piring aja, ya?”

Ia memasang senyum penuh arti untuk Gabriella. Sepertinya rasa kantuk wanita ini sudah lenyap.

“Kamu kira aku b**i apa, makan sebanyak ini? Ogah, ah! Pokoknya dua piring aja, titik!” Wanita itu

menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memalingkan wajahnya ke arah lain, protes dengan jumlah porsi makanan yang menurut Gabriella terlalu banyak. Ia sama sekali tidak terpancing dengan rengekan Gabriella. Wanita itu menghentakkan kedua kakinya, terus menggeleng.

“Gabriella Sayang. Gak ada tawar-menawar. Udah capek-capek buatin spesial loh, buat kamu.”

Seperti biasanya, wanita yang ada di depannya saat ini menutup telinganya dengan kedua tangannya, berpura-pura tidak mendengar sama sekali. Sikap wanita ini malah membuatnya semakin sebal. Ia tidak tahan lagi. Tangannya langsung menarik tangan wanita itu agar wanita itu mau mendengarnya.

“Dengerin orang ngomong, ****!”

“Bawel! Kan udah kubilang juga aku itu sibuk banget, jadi gak mungkin sempet makan semua ini! Kamu mau bikin aku muntah di kelas nanti gara-gara makanan yang kamu buat ini? Ini sih porsi buat sepuluh orang! Gila ya!”

“Oh, bagus! Berani kamu ngelawan aku sekarang? Kamu yang minta, ya. Kalau gitu, nanti malam tidur aja di lantai. Kalo laper, jilat aja lantainya. Aku gak bakal bikinin tiramisu lagi hari ini!”

Sikap Gabriella berubah begitu mendengar kata ‘tiramisu’. Segera wanita ini merubah posisi duduknya. Kini terlihat Gabriella yang memandangnya dengan pose imutnya, andalannya saat berusaha merajuk.

“Cedric baik banget!”

Ia memutar bola matanya, mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha tidak memandangi Gabriella. Wanita ini selalu menggunakan jurus andalannya setiap kali ia kesal, sama sepertinya yang menggunakan kelemahan wanita ini akan makanan manis agar wanita ini mau mengikuti keinginannya. Hari ini ia tidak akan tertipu. Hmph!

“Ya udah, makan sampai habis. Masih ada waktu setengah jam lagi buat sarapan.”

“Tapi—”

“Tiramisu, Gabbie Sayang. Ingat tiramisunya.”

Gabriella akhirnya menyerah, menggembungkan kedua pipinya, lalu memakan panekuknya. Ia berbalik,

menuju dapur untuk memasukkan semua peralatan masaknya tadi ke dalam mesin pencuci piring, lalu melepas apron putih. Saat ia kembali ke ruang makan untuk melihat Gabriella, ternyata wanita itu sudah memakan hampir setengah dari porsi yang ia buat. Ia lega, lalu berjalan melewati Gabriella, menuju kamarnya.

Bagus, Gabbie sudah jatuh dalam jebakannya, gumamnya dalam hati. Ia tersenyum licik. Tentu saja, ia sengaja membuat panekuk dengan porsi sebanyak itu, ditambah dengan sedikit ramuan sihirnya yang ia masukkan ke dalam makanan itu. Ia melirik sekilas ke arah Gabriella, yang kini tengah menikmatinya, puas karena berhasil membuat Gabriella ketagihan.

***

Laki-laki ini gila.

Gabriella menelan ludah, melihat sepuluh piring berisi panekuk lengkap dengan whipped cream di setiap lapisnya dan sirup maple yang menyelimuti panekuk yang terlihat sangat lembut, tertata apik di atas meja makan. Rasa kantuknya langsung hilang, berganti dengan perasaan ingin muntah. Ia yakin kalau ia tidak mungkin sanggup memakan semua ini. Namun dengan santainya laki-laki ini memberi isyarat dengan mata cokelatnya yang seperti magnet itu, memintanya agar menghabiskan panekuk yang dibuat laki-laki ini seolah semua piring yang ada di hadapannya itu hanya cemilan kecil seukuran telapak tangan yang bisa ia habiskan dalam sekejap. Lain ceritanya kalau Cedric juga ikut makan bersamanya, tapi laki-laki in mengatakan kalau ia sudah sarapan—kebohongan yang selalu dikatakan Cedric setiap kali bertanya apakah laki-laki ini sudah makan atau belum.

Ia tahu kalau laki-laki ini pasti tidak akan memberikannya kesempatan untuk menawar, tapi ia harus melakukannya. Ini demi keselamatan perutnya.

“Aku makan dua piring aja, ya?”

Cedric memberikannya senyuman penuh arti—tanda kalau dia tidak boleh menolak untuk menyisakan panekuknya.

“Kamu kira aku b**i apa, makan sebanyak ini? Ogah, ah! Pokoknya dua piring aja, titik!” Ia bersedekap, memalingkan wajahnya ke arah lain, sekali lagi mencari kesempatan untuk menawar agar laki-laki ini memperbolehkannya untuk memakan hanya dua piring. Karena serius, mengingat tugas yang belum dikumpul minggu ini saja sudah menghilangkan selera makannya. Tidak ada waktu untuk makan sebanyak ini. Ia melirik Cedric yang masih kukuh dengan pendiriannya. Kesal karena tidak bisa membuat Cedric luluh, ia menghentakkan kedua kakinya, terus menggeleng, menolak.

“Gabbie sayang. Gak ada tawar-menawar. Udah capek-capek buatin spesial loh, buat kamu.”

Menakutkan!

Ia segera memejamkan kedua matanya seraya menutup kedua telinganya, berpura-pura tidak mendengar

kata-kata Cedric tadi. Laki-laki ini langsung menarik tangannya menjauh dari telinganya.

“Dengerin orang ngomong, ****!”

Kamu tuh yang harusnya dengerin, umpatnya dalam hati. Cedric bukan tipe orang yang mudah luluh. Sangat keras kepala, sadis—apalagi kalau menyangkut soal makanan, dan bawelnya mengalahkan ibu-ibu. Memang sih, dilihat dari luar, penampilan Cedric ini sangat keren. Bayangkan saja, mana ada orang yang memiliki mata cokelat yang melihatnya saja seperti magnet yang seakan-akan mampu menghisapnya. Rambut pendeknya yang berwarna hitam di sisi kanan dan putih di sisi kirinya. Bibirnya yang tipis dan terlihat begitu menggoda, dan kulitnya yang pucat itu membuat laki-laki ini terlihat seperti Edward Cullen dalam serial film Twilight yang dulu pernah ia tonton sewaktu SD. Karena itu ia berusaha mati-matian mencari cara agar bisa mendekati laki-laki ini. Bukan mendekati dalam arti harfiah karena secara teknis ia sudah tinggal berdua dengan Cedric sejak dua tahun lalu di apartemen ini, meninggalkan rumah kakeknya yang terlalu jauh dari kampusnya. Bukan itu. Ia ingin laki-laki ini menyadari perasaan yang sudah ia pendam sejak awal pertemuan mereka di rumah sakit sepuluh tahun yang lalu, saat ia masih sering jatuh sakit karena penyakit jantungnya yang kini sudah sembuh.

Sesederhana itu keinginannya. Tapi semua upaya yang ia lakukan tidak pernah berhasil. Di mata laki-laki ini, apa pun yang ia lakukan tidak pernah menarik. Mungkin karena, di mata Cedric, ia terlihat seperti anak-anak, berbeda dari laki-laki ini yang sudah pasti memiliki banyak pengalaman berhubungan dengan banyak orang. Kakek selalu mengatakan padanya setiap kali ia mengeluhkan sikap keras kepala Cedric, kalau laki-laki ini adalah tipe yang kaku. Bahkan kakek pun tidak bisa berkutik dengan sikap keras kepala Cedric.

Kata orang, umur 20 adalah umur seseorang sudah beranjak dewasa. Apa berarti ia bisa menggunakan haknya untuk menentang permintaan Cedric hari ini? Kenapa tidak? Lagipula, ia hidup di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, bukan negara komunis yang menghendaki rakyatnya untuk menurut pada apa pun keinginan pemimpin negara. Harusnya tidak masalah, bukan? Ia memasang wajah masam, siap untuk meledakkan amarahnya.

“Bawel! Kan udah kubilang juga aku itu sibuk banget, jadi gak mungkin sempet makan semua ini! Kamu mau bikin aku muntah di kelas nanti gara-gara makanan yang kamu buat ini? Ini sih porsi buat sepuluh orang! Gila ya!”

Ya, seperti ini. Ia yakin Cedric pasti akan mengalah, dan dia menang. Harus begitu.

“Oh, bagus! Berani kamu ngelawan aku sekarang? Kamu yang minta, ya. Kalau gitu, nanti malam tidur aja di lantai. Kalo laper, jilat aja lantainya. Aku gak bakal bikinin tiramisu lagi hari ini!”

Tadi Cedric bilang apa? Tiramisu? Menggiurkan sih, tapi kalau dia menerima tiramisu itu, berarti dia kalah dong? Nggak, ia harus tegas. Semuanya demi keadilan. Keadilan yang harus ia dapatkan. Kebebasan untuk berpendapat dan menolak. Ia harus bisa. Harus. Ia tidak boleh kalah dari tiramisu Cedric yang menggiurkan itu. Yang terasa lembut begitu menyentuh lidahnya. Ia menggeleng cepat, berusaha menahan diri agar tidak jatuh dalam perangkap Cedric. Iya, ini pasti perangkap Cedric, supaya ia tidak protes lagi, jadi laki-laki itu akan terus membuatkan makanan sebanyak ini sampai kapan pun. Membayangkan gagasan itu saja sudah mengerikan.

Tapi, tiramisu Cedric itu memang enak sih. Apa sebaiknya ia menyerah saja?

Bayangan tiramisu buatan Cedric berputar di kepalanya. Tiramisu yang ada di dalam pikirannya itu seakan memanggilnya dengan lembut dengan sosoknya yang begitu menggoda. Ah, sial. Tiramisu sialan. Terkutuklah semua makanan enak buatan Cedric.

Ini demi tiramisu. Ya, demi tiramisu. Bukan karena Cedric. Terpaksa, ia membuang harga dirinya, berdehem, dan memasang pose super imut andalannya—menopang wajahnya dengan kedua tangannya yang menyandar di atas meja seraya memasang puppy eyes—agar laki-laki itu tidak marah lagi padanya. Ah, bukan. Demi tiramisunya.

“Cedric baik banget!”

“Ya udah, makan sampai habis. Masih ada waktu setengah jam lagi buat sarapan.”

“Tapi—”

“Tiramisu, Gabbie Sayang. Ingat tiramisunya.”

Ia menyerah, menggembungkan kedua pipinya. Sudah tidak ada pilihan lain selain menghabiskan semua makanan ini rupanya. Agak enggan, ia menyuapkan sesendok panekuk itu ke dalam mulutnya.

Astaga, ini enak banget!

Seakan seperti ada sihir yang diberikan laki-laki ini ke dalam makanannya, ia memakan piring pertamanya dengan lahap hingga habis tidak bersisa, lalu mengambil piring selanjutnya. Rasanya aneh. Jelas-jelas tadi ia yakin kalau selera makannya hilang, dan ia tidak ingin makan banyak. Kenapa memakan masakan buatan Cedric selalu membuatnya ingin memakan lagi dan lagi?

Ia baru teringat kalau belum mengunggah foto sarapannya hari ini ke Instagram—ritual harian yang selalu ia lakukan setiap kali Cedric memasak untuknya. Ia berlari ke kamarnya, mengambil ponselnya, dan kembali ke meja makan. Ia memotret panekuk yang belum ia habiskan berkali-kali hingga ia puas dengan hasilnya, dan melanjutkan kembali sarapannya.

***

Episode 2

Cedric memarkirkan mobilnya di depan gedung kampus Gabriella, dan wanita itu segera membuka pintu mobilnya, meraih tasnya, dan kepala wanita itu nyaris membentur langit-langit mobil karenanya. Ia mendecakkan lidah seraya menggeleng pelan. Wanita itu masih saja ceroboh.

“Aku berangkat dulu.”

“Hati-hati. Nanti kalau udah selesai bilang, ya?”

Wanita itu mendengus kesal, lalu menutup pintu mobilnya seraya memeletkan lidah. “Iya, Ma.”

“Mama dengkulmu!”

Gabriella tertawa puas begitu melihat reaksinya, lalu berjalan memasuki gedung kampusnya dengan senang. Setelah yakin kalau wanita itu sudah masuk ke dalam, ia memutar balik mobilnya, meninggalkan gedung kampus yang mulai dipenuhi oleh mahasiswa.

Baru saja mobilnya keluar dari areal kampus Gabriella, ia mendengar suara dering ponselnya yang ia tempelkan di dekat kemudi mobilnya. Diliriknya sekilas layar ponselnya untuk mengetahui siapa orang yang meneleponnya pagi-pagi begini, dan segera tangannya menekan tombol hijau begitu melihat nama Markus—kakak laki-lakinya, di layar ponselnya.

“Halo, ada apa? Aku masih di jalan.”

“Cedric, bisa nggak kamu ke sini secepatnya? Ada hal yang harus kubicarakan. Penting.”

Suara Markus terdengar aneh, membuatnya khawatir. Tapi di sisi lain, pekerjaannya hari ini tidak bisa menunggu. Ada seorang pria tua kaya bernama Derrick yang harus membayar kontraknya hari ini. Jika lewat sedetik saja, nyawa pria yang saat ini berada di rumah sakit dan menunggu kematiannya itu akan diambil oleh makhluk bawahan Tuhan—atau apa yang disebut dengan malaikat kematian, yang itu berarti ia tidak akan menerima pembayarannya.

“Bisa gak ditunda dulu? Aku masih harus menagih pembayaran hari ini.”

Terdengar suara Markus yang menggumam keberatan, mempertimbangkan permintaan Cedric, lalu menghela napas panjang. “Oke, kukasih waktu dua jam. Setelah itu cepat ke sini. Paham?”

“Ya. Aku ngerti.”

Dan sambungan telepon terputus.

Layar ponselnya mati. Ia memusatkan perhatiannya ke jalan raya. Suara Markus yang terdengar khawatir itu sedikit mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya hari ini. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan Gabriella? Apakah ada hal buruk yang akan terjadi pada wanita itu?

Nggak, nggak boleh. Memikirkan gagasan itu saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Gabriella pasti akan baik-baik saja.

Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi pada wanita itu, Cedric. Tidak akan, selama ada dia di sisi wanita itu, semua akan baik-baik saja.

Ia terus menggumamkan kata-kata yang sebenarnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri, berusaha mengenyahkan gagasan buruk tentang Gabriella. Tangannya menggeser tuas transmisi mobilnya, menaikkan laju kecepatan mobilnya. Pikirannya hanya terfokus pada dua hal.

Secepatnya menyelesaikan pekerjaannya, dan mengunjungi kantor kakaknya.

...****************...

Menyusuri lorong koridor rumah sakit, ia menggenggam botol kecil yang berisi pembayaran kontrak Derric—nyawa pria tua itu sendiri, lalu memasukkannya ke dalam saku jasnya seraya bersiul pelan untuk merayakan kemenangannya. Ia nyaris telat, karena saat ia selesai menerima pembayaran dari pria yang jeritan kesakitan diikuti

dengan permohonan pria itu agar diberi kesempatan kedua untuk hidup (yang tentunya tidak ia gubris) sangat menyakitkan telinganya, ia melihat malaikat kematian yang bertugas mengumpulkan nyawa manusia, berjalan mendekati ruangannya. Untungnya, ia bisa menghindar sebelum malaikat kematian itu menyadari keberadaannya.

Saat ia menyusuri lorong koridor ini, ia teringat akan pertemuan pertamanya dengan Gabriella, di rumah sakit ini. Di sini, di lorong  yang sama gelapnya dengan sewaktu pertama kali ia mengunjungi tempat ini, dengan Gabriella kecil yang terlihat jauh lebih pucat dan sendu dibandingkan Gabriella yang sekarang ia kenal.

“Paman, temani aku tidur.”

Ia tertawa pelan, teringat akan Gabriella yang sampai sekarang pun masih tidak berani tidur sendiri. Waktu itu Gabriella kecil tidak percaya kalau dia adalah teman kakeknya, tapi setiap malam selalu memintanya untuk menemaninya tidur, atau kalau Gabriella ingin, membacakan dongeng sebelum tidur untuk menghilangkan rasa takutnya.

Oh, ia sampai lupa. Setelah ini ia harus mengunjungi Theo. Kakek wanita itu mungkin tahu sesuatu. Ada baiknya jika ia berjaga-jaga. Ia melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya, menarik napas lega. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum mengunjungi Markus.

...****************...

Episode 3

Cedric memarkirkan mobilnya tepat di sebuah rumah berarsitektur khas Bali yang terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah tetangga-tetangga yang dominan minimalis, keluar dari mobilnya. Ia menarik napas dalam dalam sebelum masuk ke rumah Theo—tempat ia dan Gabriella dulu tinggal sebelum pindah ke apartemennya sekarang. Jarinya yang lentik dengan kukunya yang berwarna hitam itu menekan bel rumah di depan gerbang rumah itu berkali-kali dengan tempo cepat karena pemilik rumahnya belum juga muncul, hingga terdengar suara orang mengumpat dari dalam sana.

“Kamu rupanya. Masuk.”

Wajah pria tua itu yang awalnya kecut, mendadak cerah begitu melihatnya. Ia mengangguk, memberi salam pada temannya—demi kesopanan—lalu masuk ke dalam.

“Gimana kabar cucuku? Kukira bakal dateng sama Gabbie tadi.”

“Ada yang lebih penting lagi dari itu, kurasa.” Cedric mendongak ke atas, memandangi langit-langit ruang tamu yang terlihat jelas ukiran Bali di atas sana. Setiap kali ia mengunjungi rumah ini, ia selalu merasa seperti melakukan perjalanan waktu ke masa lalu. Ia membalikkan badan, menolak dengan halus tawaran Theo untuk duduk. Waktunya tidak banyak.

“Firasatku nggak enak soal Gabbie.”

“Ada apa memang? Apa jangan-jangan, mereka sudah mulai mengincar cucuku?”

Cedric menggeleng, agak ragu untuk mengatakannya. Apa sebaiknya ia mengatakan saja pembicaraannya dengan Markus di telepon tadi? Mungkin saja Theo tahu sesuatu soal itu, yang bisa membantunya lebih siap menghadapi musuh yang entah kapan akan datang. Ah, kayaknya nanti saja. Ia belum tahu apa yang dimaksud Markus di telepon tadi.

“Aku nggak tahu. Ini hanya untuk berjaga-jaga. Padahal katamu mereka sudah janji tidak akan mengusik cucumu, bukan? Kenapa sekarang malah bergerak lagi?”

Theo menggumam, memejamkan kedua matanya, mencoba mengingat sesuatu, lalu menyerah. “Kupikir setelah waktu itu aku negosiasi, semuanya sudah selesai dengan aku yang mengambil alih hak asuh atas cucuku.”

“Entahlah. Aku takut kalau ramalanmu itu benar-benar akan terjadi, Theo.” Ia melirik arlojinya. Waktunya tinggal seperempat jam lagi, dan ia harus cepat. Markus sangat benci dengan keterlambatan.

“Aku harus pergi. Sebaiknya kutanya detailnya sama Markus.” Ia merapikan kembali jasnya yang terlihat sedikit berantakan. “Kalau nanti terjadi apa-apa denganku, hanya kamu harapan terakhir Gabbie.”

“Harusnya kan aku yang ngomong gitu, Cedric! Jelas-jelas aku yang minta tolong sama kamu sepuluh tahun yang lalu buat ngejagain cucu kecilku, malah kamu yang—”

Cedric menatap tajam pria tua itu, membuat pria tua itu akhirnya berhenti mengomel.

“Kamu serius Cedric?”

“Emang pernah aku bercanda soal begini?”

“Nggak, sih. Kamu itu masih aja galak, Cedric.”

Ia memutar bola matanya, memandang kesal Theo. Astaga, apa ini gara-gara pria tua itu terlalu lama berada di dunia manusia, sehingga otaknya jadi lamban mencerna situasi?

“Sampai nanti.” Kakinya melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Theo yang terlihat memikirkan informasi yang baru saja ia sampaikan pada pria tua itu. Sekarang, ia harus bergegas menuju kantor Markus.

***

Dengan menggunakan kemampuan teleportasinya, ia berhasil tiba di kantor Markus yang berada di dimensi iblis, dalam hitungan detik. Ia memarkirkan mobilnya di parkiran yang ada di halaman depan gedung ini. Sekali lagi, ia merapikan pakaiannya, lalu memasuki gedung yang ada di hadapannya ini.

Interior di dalam gedung tempat kantor Markus masih tidak berubah—dominasi warna hitam dan merah yang begitu mencekam, sama seperti aura Markus yang suram dan terlihat menakutkan untuk yang baru pertama kali bertemu dengan kakak laki-lakinya itu. Ia bersiul, menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, sambil sesekali membenarkan kerah lehernya. Ia tidak pernah nyaman memakai baju formal, dan tidak akan pernah, tapi Markus selalu menuntutnya untuk mengenakan pakaian formal agar terlihat lebih keren. Konyol memang, tapi itu kakaknya. Kata ‘eksentrik’ adalah kata yang pas untuk menggambarkan kepribadian Markus yang sebenarnya. Langkahnya bergema di koridor, begitu sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang di sepanjang koridor— rata-rata adalah karyawan Markus yang dulunya adalah arwah dari orang-orang yang meninggal tidak wajar dan penuh dendam lalu direkrut oleh Markus—menyapanya dengan wajah pucat mereka yang selalu datar, bergerak seperti robot, ‘standar industri’ kebanggaan Markus. Entah bagaimana Markus berhasil mengubah arwah-arwah penasaran yang pastinya sulit untuk dikontrol karena perasaan dendamnya yang kuat menjadi seperti sekarang, lengkap dengan tubuh manusia mereka yang seharusnya sudah tidak ada.

Begitu ia berdiri di depan kantor Markus, ia mengetuk pintu ruangan itu.

“Masuk.”

Markus menyapanya dengan wajahnya yang terlihat jauh lebih capek dibandingkan terakhir kali ia menemui pria itu. Kantung matanya tebal, dan berkali-kali menguap lebar, tapi memaksakan diri untuk tersenyum dan menyapanya dengan ramah, memintanya untuk duduk. Dikeluarkannya pembayaran nyawa Derrick hari ini, menyerahkannya pada Markus yang langsung memanggil sekretarisnya untuk meletakkannya di tempat lain.

“Jadi, ada informasi apa?”

“Seperti biasa, to the point banget.” Markus berjalan menuju kursi tamu, merebahkan tubuhnya di sana. “Aku nggak yakin kamu suka ini. Bukan berita bagus, kurasa.”

“Bagus atau nggaknya, biar aku yang nentuin.”

“Oke.” Markus memejamkan matanya berkali-kali, berusaha keras untuk tidak kehilangan konsentrasi. Ah, sebentar lagi kakaknya itu pasti akan ambruk kalau begini terus, gumamnya dalam hati. Tapi ia sama sekali tidak berniat untuk membantu kakaknya. Bukan urusannya. Lagipula untuk apa? Toh juga kakaknya pasti bisa mengurus dirinya sendiri.

“Ada pergerakan musuh yang mengarah pada Gabriella Paradox. Aku sudah mengirim intelku untuk mencari informasi, dan baru kudapat hari ini.” Mata Markus memandangnya lekat-lekat, terlihat begitu takut dengan informasi yang ia dapatkan. Firasatnya benar, ini memang berhubungan dengan Gabriella.

“Lalu?”

“Mereka mengincar Gabriella. Ada kekuatan terpendam pada wanita itu yang aku sendiri belum tahu. Mungkin kamu tahu sesuatu?”

Ia menggeleng. “Kalau tahu, pasti sudah kukatakan sejak awal.”

“Benar juga.” Markus menggumam. Alisnya berkerut, memikirkan sesuatu. “Mereka kuat, berbeda dengan yang biasa kita hadapi. Kekuatannya itu terlihat sangat tidak normal. Mereka bukan manusia, juga bukan iblis. Hybrid, kalau bisa kukatakan. Dan satu lagi yang mesti kuberitahu padamu, Cedric. Mereka punya tanda seperti tato di belakang lehernya. Dugaanku sekarang, itu kelemahannya. Jadi, kalau kamu bertemu dengannya, usahakan untuk langsung menyerang titik itu.”

“Yakin sekali kamu soal deduksimu itu?”

“Intelku berhasil meringkus satu dari mereka. Begitu aku menggores tato yang ada di belakang lehernya, tahananku langsung menjerit kesakitan, dan mati setelah kubiarkan dia merasakan rasa sakit itu selama empat jam. Puas sekali rasanya. Jeritannya itu, bagaimana mengatakannya, ya? Terdengar sangat indah di telingaku. Andai aja

bisa kubawa pulang, pasti bakal jadi peliharaan favoritku. Kamu setuju kan, Cedric?”

“Aku nggak komen. Nggak minat sama begituan, makasih.”

“Ckck, itu seni Cedric, seni—”

“Dibilang nggak minat tuh nggak minat, ****! Dengerin dong kata orang!” Ia sudah tidak bisa lagi menahan jengkel. Wajah Markus yang pucat tadi terlihat begitu bersemangat saat mengatakan temuannya itu, yang segera ia bekap mulut kakaknya itu agar tidak mengoceh lagi. Kenapa ia harus mendengar hal aneh seperti ini? Kenapa juga Markus itu ditakdirkan sebagai kakaknya? Dengar deskripsi Markus soal tahanannya tadi, ia yakin itu pasti ke arah yang kotor.

“Sekali lagi kamu ngomong hal yang jurus ke sana, aku berhenti dari pekerjaanku. Paham?”

Markus mengangguk. Ia menjauhkan tangannya dari mulut Markus, yang membalasnya sambil merengut.

“Jangan galak-galak, Cedric. Nanti ditinggal sama Gabriella kesayanganmu loh.”

“Gak bakal. Hubunganku sama Gabbie bukan ke arah sana.”

“Tuh, kan. Dengar nama cewek itu disebut aja kamu udah sewot. Yakin kamu gak naruh perasaan sama

Gabriella? Gak masalah kok, kalau ada. Aku nggak pernah ngelarang kamu untuk jalin hubungan sama kontraktor.”

“Aku yang nggak tertarik.”

“Tapi aku nggak pernah lihat kamu punya pacar. Apa mau kucariin? Cewek, cowok, atau yang gender non-conforming? Aku punya banyak kenalan—”

Markus seketika berhenti saat mendapati Cedric sudah mendelik padanya, memberikannya tatapan-ingin-membunuh. Laki-laki itu angkat tangan, mengangguk paham.

“Itu saja informasinya?”

“Untuk sementara hanya itu yang bisa kuberitahu padamu. Aku takutnya, hari ini mereka akan bergerak. Pokoknya hati-hati. Tingkatkan pengawasanmu, terutama di malam hari. Mereka lebih kuat saat malam tiba.”

Ia hanya menggumam sekenanya, beranjak dari kursinya, meninggalkan kantor Markus.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!