Lima tahun setelah bercerai dari Kenzi, Alin benar-benar kesulitan dalam urusan keuangan.
Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu harus bekerja dari pagi sampai malam. Pagi bekerja menjadi penjaga toko, dan malamnya terpaksa menjadi pelayan di kafe. Dia baru bisa pulang setelah kafe tutup.
Hal yang paling membuat Alin sedih adalah waktunya bersama Naufal-anak laki-lakinya, berkurang banyak. Naufal terpaksa dititipkan pada sang ibu.
"Capek, kan, Lin. Aku udah bilang, aku mau jadi bahu buat kamu. Aku cinta sama kamu," ucap Rafa sembari memeluk tubuh kurus wanita bermata cokelat itu.
"Aku janda anak satu, Fa. Kamu bisa mencintai aku, tapi orang tuamu belum tentu setuju."
Alin menutup mata ketika Rafa mulai menciumi wajahnya dengan penuh hasrat.
"Lepaskan, Fa. Aku mau kerja lagi." Alin mendorong pria itu lantas keluar dari ruangan itu. Ya, Rafa adalah pemilik kafe tempat Alin bekerja.
Alin segera kembali ke tempat para pengunjung untuk mencatat pesanan. Pakaian yang dipakai Alin malam ini cukup terbuka. Menampakkan beberapa lekukan tubuhnya yang mulus sempurna.
Tinggal di kota besar itu tak mudah. Kebutuhan hidup mahal. Belum lagi, Alin membiayai ibu dan anaknya seorang diri. Itu sebabnya dia rela menampakkan tubuhnya yang seksi demi mendapatkan tip dari pelanggan kafe yang mesum.
Zaman sekarang, yang masuk kafe bukan cuma anak muda. Om-om yang sedang puber kedua juga banyak meluangkan waktu mereka untuk sekadar ngopi sambil mendengarkan lagu di kafe.
Dari ruangan bos, Rafa memusatkan perhatiannya pada tubuh Alin. Wanita yang dia temui beberapa bulan yang lalu. Wanita yang sebenarnya malu-malu dan hatinya tertutup. Dia hanya terlihat murahan dari luarnya saja.
Itu sebabnya hati Rafa terpikat. Meskipun usia mereka terpaut cukup jauh. Alin lebih tua tujuh tahun darinya.
"Aw, maaf … maaf saya nggak sengaja!" ucap Alin sembari membersihkan pecahan kaca di lantai. Tubuhnya terdorong salah satu pengunjung kafe lalu menabrak bahu keras seorang pria.
Pria itu memperlihatkan senyum yang mengerikan. Senyum yang penuh dendam.
"Wanita bodoh, tidak bisa bekerja," ucapnya sinis.
Alin tertegun mendengar suara itu. Seluruh badannya kaku, kepalanya sulit untuk digerakkan. Dia tak mau mengangkat kepala dan melihat sosok yang barusan berbicara.
"Pelayan nggak punya sopan santun! Minta maaf!" seru seorang perempuan yang sejak tadi berdiri di samping pria misterius itu.
"Ada apa, ya? Alin, cepat bereskan dan minta maaf!" tegur salah satu pelayan senior di sana.
Suasana pun semakin menegang. Alin sama sekali belum siap jika harus bertemu pria itu. Iya, dia masih begitu hafal dengan suara pria sialan itu.
"Setelah bercerai dariku, ternyata makin buruk dan murah!"
Perkataan itu, jika Alin dengar dari pria lain, rasanya tak akan sesakit ini. Namun, karena yang mengatakan adalah Kenzi, dadanya panas seolah terbakar api.
Namun, dia tak ingin terus-menerus merasakan sakit sendirian. Dia berusaha mengulas senyum manis, menghilangkan jejak ketakutan pada wajahnya. Kemudian, dia mengangkat wajahnya langsung berhadapan dengan Kenzi.
Sudut mata Kenzi berkedut karena terkejut. Wanita ini … Wanita ini, kenapa semakin ….
Kenzi segera mengenyahkan pikiran konyolnya lalu menatap tajam sosok Alin.
"Lebih baik kamu menemani para pria hidung belang di hotel bintang lima, daripada bekerja jadi pelayan yang tidak berapa gajinya."
Hati Alin sakit, tapi wajahnya tersenyum.
Semua orang di kafe melihat kejadian itu dan mendengar ucapan Kenzi. Pria itu benar-benar ingin mempermalukan Alin hingga ke dasar jurang.
"Cepat minta maaf!" ucap wanita di samping Kenzi.
"Saya minta maaf karena lalai, lain kali nggak akan Saya ulangi lagi," ucap Alin. Setelah itu dia pergi meninggalkan Kenzi yang tersenyum meremehkan.
***
Alin meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena Lela bekerja seharian.
Pukul 23.30, Alin baru selesai mandi, dia pun segera berbaring di kasur menemani Naufal.
"Nak, maaf ya malam ini Mami pulang malam lagi. Mami janji, kalah uang Mami udah terkumpul, Mami akan berhenti jadi pegawai dan buka usaha sendiri."
Alin memeluk tubuh bocah tampan itu. Tanpa Alin sadari, Naufal ternyata belum tidur.
Naufal merasa sedih karena ibunya selalu bekerja setiap hari. Dia ingat kata-kata temannya di sekolah. Kalau mau ibunya berhenti bekerja, maka dia harus mencarikan ibunya seorang suami.
"Mami, aku akan carikan suami untuk Mami," ucap Naufal polos. Anak berusia empat tahun itu mengecup pipi Alin yang sudah tertidur pulas.
Keesokan paginya, Alin terbangun dengan badan yang lesu. Perutnya terasa keram. Dia melihat tanggal di kalender ternyata sudah waktunya dia datang bulan.
Wajah Alin tampak pucat meski sudah memakai make up.
"Mami mau berangkat? Mami sedang sakit, kenapa nggak libur saja?" tanya Naufal. Anak kecil itu memberikan air putih hangat untuk ibunya.
"Anak Mami pinter sekali, makasih," ucap Alin lalu mengecup dahi anak itu.
"Mami, kenapa nggak menikah saja? Cari suami baru, biar Mami nggak capek kerja," ujar Naufal.
"Astaga, anak kecil zaman sekarang kok pinter-pinter ya ngomongnya!"
Di sisi lain, Santi tertawa melihat tingkah anak dan cucunya. "Jangan samakan pola pikir anak kamu dengan kamu dulu. Sudah beda zaman, Lin."
Benar juga kata Santi. Alin merasa kurang perhatian pada anaknya sehingga tidak tau perkembangan anaknya seperti apa selama ini. Dia terlalu sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup.
"Nanti Mami cari suami deh, kamu tenang aja!" ucap Alin pada akhirnya. Dia tiba-tiba teringat sosok Kenzi semalam. Pria itu pergi ke kafe dengan wanita cantik dan kaya. Selama ini, dia juga menyembunyikan Naufal dari pria itu.
Dia jadi berpikir, sebaiknya dia memikirkan tawaran Rafa. Agar tidak ada yang bisa mengambil Naufal dari sisinya.
"Mami sudah selesai sarapan. Mami berangkat dulu, ya!" Alin memeluk ibu dan anaknya lalu berangkat menuju swalayan tempat dia bekerja.
Alin berjalan dari rumah menuju halte bus, kakinya sedikit tergesa agar tidak ketinggalan. Namun, takdir sedang tidak memihak padanya. Seseorang datang hendak mencopet tas kecil Alin. Dia berusaha mempertahankan tasnya dari tangan si pencopet itu.
"Copet! Hei!" Alin berteriak sekencang mungkin agar ada yang melihat ke arahnya dan menolongnya.
Bruk!
Seseorang menendang punggung pencopet hingga terjatuh ke tanah, pencopet itu segera bangkit dan lari terbirit-birit. Tas yang hendak dicuri pun terselamatkan dan langsung dipeluk oleh Alin dengan erat.
"Kau!" teriak pria yang menolong Alin.
"Kamu!" Alin benar-benar terkejut melihat sosok Kenzi yang hanya menggunakan kaus tanpa lengan dan celana olahraga. Tubuhnya dipenuhi keringat. Sontak pipi Alin memanas entah kenapa.
"Ternyata kau. Sial," ucap Kenzi lalu pergi meninggalkan Alin yang kini mengepalkan tangannya.
"Sial!"
Ya, Kenzi merasa selalu sial jika berdekatan dengan Alin.
"Cari tahu di mana wanita itu bekerja!" perintah Kenzi pada Axel asistennya.
Axel memicingkan matanya. "Untuk apa? Bukankah Bos sudah tidak peduli padanya?"
Kenzi tersenyum sinis. Tangannya mencengkram foto yang dia dapatkan lima tahun lalu. Foto Alin tengah berpelukan dengan sosok pria yang selalu menjadi saingannya sejak kecil.
"Kau tidak diizinkan bertanya. Lakukan saja perintahku!"
"Ba-baik!" Axel segera pergi dari ruangan itu.
Sementara Kenzi menatap foto yang ada di tangannya dengan tatapan tajam. Dadanya bergemuruh. Kemarahan muncul lagi dalam hatinya.
"Berani-beraninya wanita ini mengkhianatiku."
Tak lama kemudian, seorang gadis cantik mengetuk pintu ruangan Kenzi. Sosok yang sangat anggun dan manis di mata semua pria. Namun, bagi Kenzi gadis ini hanya sekedar adik kecil yang selalu meminta perhatiannya. Dia segera masuk ke dalam ruangan setelah Kenzi menyahut dari dalam.
"Ada apa, Laura?"
"Kenzi, kau tahu kan Nenek beberapa hari lagi ulang tahun. Aku mohon, antarkan aku cari hadiah untuk dia. Please!"
Wajah Laura yang mungil itu terlihat sangat kasian. Membuat Kenzi tidak tega untuk menolaknya.
"Baiklah. Makan siang sambil cari hadiah. Sekarang aku masih bekerja!"
Tanpa aba-aba, Laura berlari ke arah Kenzi lalu mencium pipi pria itu. Kenzi belum sempat menghindar, dia tertegun sejenak dan justru malah teringat pada sosok Alin semalam.
"Ken. Aku jadi tambah sayang sama kamu!" ucap Laura manja.
"Sudahlah, jangan ganggu aku. Aku masih bekerja!"
"Baiklah, baiklah!" Laura keluar dari ruangan itu dengan wajah yang berseri-seri. Dia sangat senang ketika melihat reaksi Kenzi setelah dicium olehnya.
"Lima tahun, Zi. Aku sudah menantikan hatimu selama lima tahun," gumam Laura.
Gadis itu beranjak menuju ruang kerjanya. Ya, dia sangat beruntung bisa bekerja di perusahaan AK Production milik Kenzi sebagai salah satu staf penting. Lebih beruntung lagi, dia adalan anak sahabat orang tua Kenzi.
Sosok Kenzi begitu dingin. Banyak wanita yang mengagumi dirinya, tapi hingga sekarang dia belum memiliki kekasih lagi. Alin … wanita itulah satu-satunya wanita yang pernah menempati hati Kenzi.
Banyak pula yang menyebar rumor bahwa Kenzi homo, itulah sebabnya dia hanya menikah sebentar lalu bercerai. Bahkan, orang-orang belum sempat mengetahui siapa mantan istri Kenzi saat itu. Sebab, dulu Kenzi belum seterkenal sekarang.
Sekarang Kenzi memiliki banyak usaha. Usaha di bidang kuliner, perhotelan bahkan agensi artis.
Kenzi telah berjanji pada Laura akan mengantarkan gadis itu mencari hadiah, sehingga dia bekerja lebih cepat dari biasanya agar bisa berlama-lama di mall. Kenzi sangat hafal dengan sifat perempuan, mereka – para perempuan tidak akan puas berada di pusat perbelanjaan selama satu jam.
"Zi, ayo!" seru Laura ketika Kenzi keluar dari ruangan. Rupanya gadis itu sudah menunggu di meja asisten sambil mengobrol dengan Alex.
"Bos, ini data yang anda perlukan," ucap Alex sambil menyerahkan data yang diinginkan oleh Kenzi tadi pagi.
"Kerja bagus," puji Kenzi. Dia pun segera membuka data-data itu kemudian tersenyum sinis.
"Ayo, Kenzi!" Laura segera menggandeng tangan Kenzi mengajaknya menuruni lift.
"Kita belanja di SBA Mall saja," ucap Kenzi tiba-tiba.
"Hah? Itu kan bukan mall mewah, Zi. Memangnya kita bisa dapat apa di sana? Aku mau cari hadiah untuk Nenek, loh," ujar Laura.
"Di sana ada barang berharga," jawab Kenzi dengan suara yang rendah. Ya, di sana adalah tempat Alin bekerja.
***
"Mari … Silakan masuk. Silakan! Silakan, Kak, silakan, Tuan!"
Alin menggunakan kemeja putih dipadukan dengan rok hitam selutut, tampak elegan dengan qb mama 309
Senyum manis terukir di wajahnya yang rupawan. Dia berjaga di toko sepatu dengan merk yang cukup terkenal.
Senyum ramah yang dipancarkan wajah Alin seketika menghilang ketika matanya melihat ke arah pria itu. Pria tampan yang penuh pesona namun tampak menyebalkan di mata Alin.
Sementara di sampingnya, ada seorang gadis cantik yang sangat manja. Menggandeng lengan dan begelendotan mesra.
Melihatnya, Alin merasa sangat mual.
"Silakan, Tuan, Nyonya," ucap Alin kemudian tersenyum. Dia berusaha bersikap profesional ketika bekerja.
Laura awalnya heran mengapa Kenzi mengajaknya ke sini. Sekarang dia tahu, ternyata ada wanita ini di mall ini. Dada Laura seketika menjadi panas karena cemburu.
"Aku mau cari sepatu wanita yang paling bagus untuk usia depalan puluh tahun. Tolong carikan," ucap Laura ramah. Dia harus terlihat baik di depan Kenzi, ya, hanya di depan Kenzi.
"Baik," jawab Alin lalu bergegas ke arah rak sepatu yang tampak sederhana tetapi elegan.
"Yang ini sangat nyaman dipakai untuk lansia. Bahannya ringan, orang yang mengunakan ini tidak akan muah terpeleset karena terdapat bahan khusus di bagian bawahnya …." Alin terus mempromosikan sepatu itu dengan lancar.
Kenzi yang melihatnya hanya terdiam meremehkan.
"Gimana, Zi? Cocok?"
"Hm, ambil saja." Kenzi menjawab pelan. Kemudian, tiba-tiba rencana jahat hadir di benak pria itu.
"Sekarang carikan aku sepatu yang kokoh, dan bagus." Matanya menatap tajam pada Alin.
Wanita bermata sipit itu hanya bisa menghela napas, lalu mengantarkan Kenzi ke arah rak yang berisikan sepatu laki-laki. Kembali, dia mempromosikan merk sepatunya. Sayang, Kenzi seolah tidak tertarik sama sekali.
"Kalau semua pelayan toko di sini seperti kamu, dijamin toko ini akan segera bangkrut," ucap Kenzi sinis.
Laura mengepalkan tangannya. "Kenapa, Zi? Kenapa kamu masih melihat ke arah wanita ini? Aku tahu, kamu ke sini untuk melihatnya, bukan?" sesal Laura di dalam hati.
Alin hanya bisa meminta maaf dan memanggil teman pelayan yang lain untuk menggantikannya.
"Silakan Tuan diantar teman saya yang lebih profesional dan baik. Permisi," ucap Alin lalu pergi begitu saja dari hadapan Kenzi.
Alin berjalan dengan cepat menuju toilet. Matanya mulai memanas, entah apa yang membuat dia merasa ingin menangis.
"Sudahlah, sudah. Untuk apa sakit hati. Dia sudah lama hilang dari hatimu, Alin!" Alin menyemangati dirinya sendiri. Ketika kaki Alin hendak melangkah, tiba-tiba seseorang mencekalnya.
Brak!
Alin terjatuh hingga menabrak meja yang ada di sana. Dahinya terluka dan mengeluarkan sedikit darah.
"Wanita ular! Kenapa? Kenapa kau masih berani muncul di hadapan Kenzi? Bukankah sudah kubilang lima tahun yang lalu. Kenzi tidak akan pernah bisa bahagia jika hidup denganmu."
Wanita yang mencekal Alin tidak lain adalah Laura. Wanita yang sangat terobsesi pada Kenzi.
Alin meringis kesakitan. Namun, dia tak mau terlihat lemah di hadapan wanita ini.
"Aku sudah menjauh darinya selama lima tahun. Aku yakin dia juga sudah melupakanku. Lalu, kenapa kamu masih takut? Takut dia kembali ke sisiku? Kamu gadis yang cantik, Laura. Kenapa? Kamu belum berhasil mendapatkan hatinya?"
Jawaban Alin benar-benar menyentil hati Laura. Benar, apa yang Alin katakan memang benar. Dia belum bisa masuk ke dalam hati Kenzi sampai saat ini.
Alin tersenyum, senyuman yang membuat Laura merasa sangat muak.
"Kenapa dia berubah jadi lebih cantik dan menarik? Sial!" batin Laura. Sebagai wanita, dia merasa sangat iri melihat tubuh dan paras Alin yang begitu mempesona.
"Aku kembali ke kota ini untuk memastikan bahwa dia bukan orang yang aku cintai lagi. Jadi …."
Alin memandang Laura dengan tatapan tajamnya lalu melanjutkan ucapannya. "Kau tenang saja, aku tidak akan pernah merebut dia darimu."
Usai mengatakan demikian, Alin meninggalkan tempat itu menuju toilet.
Sementara itu, mereka tidak menyadari bahwa sosok Kenzi telah datang. Pria itu mendengar perkataan Alin yang terakhir.
Kenzi mengeraskan rahangnya, tangannya mengepal. Dia tersenyum sinis. "Jadi, dia kembali ke sini untuk memastikan hal itu, sungguh wanita penghianat yang konyol."
***
"Mami, jangan kerja, Mami! Aku mohon," pinta Naufal ketika melihat ibunya sudah selesai berdandan.
"Sayang maafkan Mami, ya, Nak. Mami janji, setelah uang Mami cukup untuk usaha, Mami nggak akan kerja sampai malam lagi."
Tidak biasanya Naufal merengek seperti ini. Ini benar-benar membuat Alin kewalahan.
"Sayang. Kamu kenapa? Biasanya kamu juga nggak nangis Mami tinggal."
"Nau cuma takut aja, hati Nau ngerasa nggak enak." Anak itu memeluk tubuh Alin sangat erat. Seolah tak mau melepaskan malam ini.
"Maafkan Mami, sayang. Mami harus tetap pergi," ucap Alin penuh sesal.
Sebenarnya Alin tak tega melihat wajah kecil Naufal yang terlihat menyedihkan itu. Namun, dia harus giat mencari uang dan menabung sebanyak mungkin.
Setelah uangnya terkumpul, dia akan membuka usaha sendiri. Di kota besar, sulit untuk membangun usaha jika tidak memiliki modal dan uang cadangan. Itu sebabnya dia bekerja keras.
Ini semua demi Naufa. Dia ingin Naufal sekolah tinggi, kuliah di luar negeri.
Alin mencium kedua pipi chuby milik Naufa. Dia sudah memesan taksi langganan untuk menuju kafe.
Jika pagi hari dia bekerja dengan bus, maka malamnya dia memilih taksi agar terhindar dari orang jahat di luar sana. Alin sudah berlangganan taksi ini sejak dia kembali. Tepatnya sejak tiga bulan yang lalu.
Sesampainya di kafe, Alin segera mengganti baju dengan seragam kafe. Penampilan Alin selalu memukau, banyak mata laki-laki yang tertuju padanya.
"Alin, kemari!" panggil salah satu pelanggan yang selalu memberikan uang tip untuk wanita itu.
"Ya, Tuan Samuel."
Alin sengaja menggoyangkan pinggulnya ketika sudah mendekati meja pria itu. Sebenarnya pria itu lebih cocok dipanggil Om atau Ayah oleh Alin karena usianya sudah cukup tua.
"Duduk sini, nanti aku kasih tip lebih."
Pria itu menepuk pahanya yang besar. Menyuruh Alin duduk di atas pahanya. Alin hanya menampilkan senyum malu-malu. Sebenarnya dia pura-pura, sebenarnya dia sangat jijik dan ingin segera pergi dari hadapan pria tua ini.
Tapi, demi tip yang besar dia rela duduk di sana. Perbuatan Alin ini tak luput dari pandangan Rafa yang baru sampai di kafe.
"Ck!" Hanya Rafa yang tahu bahwa Alin sedang berpura-pura. Dia benar-benar tulus pada Alin, tetapi Alin belum berani membuka hati lagi.
"Minum ini, Alin sayang." Samuel memberikan segelas minuman yang dia pesan tadi.
Alin sebenarnya enggan meminum minuman itu karena takut dijebak oleh pria ini. Dia bukan gadis polos lagi, dia tahu pasti Samuel sudah mencampuri minuman itu dengan sesuatu.
"Pelayan seperti aku? Minum minuman Tuan, ah, Tuan sangat baik. Tapi, aku tidak bisa Tuan. Lain kali saja, ok?" Alin berusaha merayu dan dia berhasil. Dia terlepas dari pria mesum itu.
Alin mendapatkan tip yang cukup besar dari Samuel karena mau duduk di pahanya. Dia pun kembali ke dalam ruang pelayanan dan meminum jusnya sendiri.
Sudah pukul sebelas malam, badan Alin terasa sangat lelah. Kafe juga sudah sepi, dia pun segera bersiap pulang.
"Bareng aku?" tawar Rafa ketika melihat Alin sudah menghapus make-upnya. Dia sudah menunggu di depan mobilnya.
Alin menggeleng. "Aku sudah diantar taksi. Makasih, Rafa." Alin mencium pipi pria itu, ya, ciuman singkat yang mampu membuat Rafa mabuk kepayang. Namun, bagi Alin itu hanyalah ciuman pertemanan saja.
Rafa pun melajukan mobilnya, meninggalkan Alin di depan kafe. Andai saja Rafa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, maka Rafa tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah meninggalkan Alin sendirian.
Alin menunggu taksi sambil sesekali bersenandung. Namun, tiba-tiba tubuhnya merasakan sensasi yang aneh.
"Ssh, panas sekali!"
Alin memicingkan matanya, dia mengingat-ingat kejadian hari ini di kafe.
"Nggak, aku nggak minum minuman Samuel. Tapi kenapa badanku," lirih Alin. Sementara taksi yang dia pesan juga tak kunjung datang.
Sebuah mobil BMW tiba-tiba berada di depan Alin. Kaca mobil tersebut terbuka dan menampilkan wajah Samuel yang sangat menjijikkan di mata Alin.
"Pulang bersamaku, Sayang?"
Sial, batin Alin. Pasti ada yang tidak beres.
Samuel keluar dari mobilnya lalu memegang tangan Alin yang gemetar. Tangan yang begitu halus dan putih. Membuat Samuel membayangkan yang tidak-tidak.
"Tuan, saya sudah dijemput taksi. Jadi Tuan tidak perlu repot-repot," ucap Alin dengan suara yang rendah.
Alin berusaha menetralkan suara dan gejolak di dalam dirinya. Samuel yang melihat itu sangat senang. "Obatnya sudah bekerja," batin Samuel puas.
"Ah, lepaskan!" Teriak Alin. Dia benar-benar benci dengan kondisi seperti ini. Dia menyesal karena tidak mendengar perkataan Naufal-putranya.
"Ayo, Sayang! Kenapa? Kamu takut? Tenang saja, aku pastikan kamu akan ketagihan!" ujar Samuel dengan senyum manis.
Air mata Alin sudah tak bisa dibendung. Selama ini dia memang bersikap murahan dan tidak sok suci agar laki-laki menganggapnya tidak menarik. Namun, ternyata pemikiran Alin salah.
Pada kenyataannya, Alin masih Alin yang dulu. Dia benar-benar menjaga dirinya dari hal-hal kotor itu. Dia tak mungkin memberi makan anak dan ibunya dari hasil melacurkan diri.
Samuel sudah tidak sabar, dia pun segera menyeret Alin ke dalam mobil. Dengan susah payah, Alin memukul lengan pria itu. Namun, nihil. Tenaga Alin tak seberapa.
"Ayolah, jangan pura-pura begitu sayang!"
Alin merasa tubuhnya menggigil ketika Samuel mengelus punggungnya. Alin sampai menggigit bibir agar tidak mendesah.
"Tuan saya mohon, lepaskan saya!" Alin memohon dengan suara yang sudah serak.
Brak!
Bugh!
Alin terlempar ke tanah ketika seseorang tiba-tiba datang melayangkan tinjunya ke wajah Samuel.
"Sial!" seru Samuel. Gigi depannya patah karena mendapatkan serangan mendadak.
"Siapa kau?" Samuel mencoba memukul orang itu tapi tidak kena. Justru dialah yang habis dipukuli oleh pria itu.
Pria itu seperti orang kesurupan. Seandainya Alex tidak datang melerai, pasti Samuel mati di tangannya.
"Bos, sudah, Bos. Lebih baik sekarang selamatkan Nona Alin!" ucap Alex membuat Kenzi tersadar.
Dia melihat ke arah wanita yang kini tengah duduk di tanah sambil menundukkan kepalanya di sela-sela dua betisnya.
Pemandangan yang sangat menyedihkan. Namun, Kenzi tidak merasa kasihan sama sekali.
"Lepas!" teriak Alin ketika Kenzi hendak membangunkan tubuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!