NovelToon NovelToon

Kenangan Tiara

Keluarga Terhormat

Tampil dengan busana yang rapi, cantik, elegan, atau bahkan mahal merupakan hal yang lumrah orang lakukan apabila ingin berpergian, bahkan adapula yang melakukannya di rumah.

Membersihkan diri, memakai busana yang mahal, dan berdandan cantik adalah hal yang pasti dan akan selalu dilakukan Tiara, putri Ardi, salah satu konglomerat terkaya dan terkenal di kotanya.

Bukan pula hal yang dirahasiakan lagi bahwa Tiara dan keluarganya merupakan keluarga terhormat, keturunan panglima kerajaan.

"Yakin, kamu, Ti?" tanya Mbok Asih, kepala pelayan rumah.

"Yakin,bu. Aku mau melamar kerja disini karena hal itu. Aku berkhayal akan digaji berkali kali lipat."

"Wush! Ngawur, kita cuma pembantu rumah tangga, gaji kita cuma 6 juta," balas Mbok Asih yang saat itu sedang memeriksa stok bahan bumbu dapur.

"Gak ada yang kurang, kan,Ti."

"Lah, aku mana tau wong Mbok yang meriksa." Ati --pembantu rumah tangga-- menjawab dengan wajahnya yang kebingungan, seraya disambut dengan gelak tawa Mbok Asih.

***

Tiara duduk lemas di ranjangnya, tubuhnya terasa sangat lemas, kepalanya pusing, dan pundaknya terasa berat seperti memikul benda berat.

Tok... Tok

Pandangan Tiara langsung tertuju ke arah pintu kamar. Pintu berwarna cokelat yang ditempelinya sebuah kertas bertuliskan Tiara The Best Girl itu terus diketuk seseorang dari arah luar.

Tiara yang mendengar itu, memutuskan beranjak dari ranjangnya walaupun rasanya sangat berat. Bahkan saat ia mencoba menghampiri dan membuka pintu, ia tidak bisa menahan badannya yang menyebabkan ia terjatuh. "Ouh."

"Maaf, Non, makan malam sudah siap. Tuan, Nyonya, dan Den Banyu sudah menunggu di meja makan, " ujar seseorang dari balik pintu.

Seseorang itu juga terus mengetuk pintu kamar Tiara.

"Ini, saya Ati, Non. Tolong dibuka."

"Iya, tunggu." Tiara mulai berdiri kembali dan memegang gagang pintu lalu membukanya.

"Saya turun sebentar lagi. Bilang ke Papa makan duluan aja," Tiara menjawab itu dengan senyum tipis di bibirnya, lalu lekas menutup kembali pintu kamarnya.

Mbak Ati yang mendengar perintah dari Tiara mengangguk dan turun ke ruang makan. Benar, disana sudah ada Papa, Mama, dan Adik Tiara --Banyu--. Mereka sedang duduk santai sambil sesekali bersenda gurau dan berbagi cerita.

"Loh, Ati, anakku mana?" Tanya Ardi --Papa Tiara--.

"Iya, pak. Baru mau saya sampaikan, Non Tiara bilang akan menyusul turun, jadi makan malam bisa dimulai."

"Waduh, gak bisa. Kita tunggu Tiara," jawab Ardi tegas.

Rupanya tuanku sangat sayang anaknya, sampai makan malampun tetap ditunggu, Mbak Ati hanya menganggukkan kepalanya, lalu kembali melanjutkan tugasnya yaitu membersihkan dapur.

Di dapur, terdapat beberapa pelayan lain yang juga sibuk membereskan piring, gelas, atau yang hanya duduk duduk santai.

"Seumur-umur belum pernah aku ngerasain spaghetti." Salah satu pelayan, Ima, yang hanya duduk diam mulai berbicara.

"Kita kerja di keluarga terhormat, keluarga kaya, dan terkenal. Mustahil makan ikan asin, " timpal pelayan lain yang sedang mengelap gelas gelas.

Pelayan yang mendengarnya pun tertawa kecil mendengar perkataan Cici, pelayan yang dikatakan cukup senior disana. "Kecuali terpaksa ya bu." Cici hanya tersenyum.

Ati yang baru datang langsung bergabung dengan yang lainnya. Sesekali ia juga tersenyum ke arah mereka, namun tidak tertawa. Karena ia tahu, bahwa semua anggota kelurga sedang ada di ruang makan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur.

"Aku iri sebenarnya, andaikan aku Non Tiara, paras cantik, tubuh ramping dan seksi, bicaranya ayu, mukanya itu loh adeem tenan. Bisa memiliki apapun yang dimau dengan mudah, gak terbayang aku," Ima melontarkan isi hatinya. Semua yang mendengar langsung tertawa kecil sambil menganggukkan kepala.

"Dapat pasangan pasti mudah," ujarnya sambil tersenyum.

Mendengar perkataan Ima, Cici, pembantu senior disitu langsung berhenti mengelap gelas dan berbalik menatapnya.

"Gak semudah itu, sudah 10 lelaki yang enggan menikah dengan Non Tiara."

Perkataan Cici itu sontak membuat pelayan lain kebingungan sambil bertanya tanya. Apa masalahnya? Paras yang cantik, sudah. Tubuh yang indah, sudah. Cara bicaranya juga santun.

Pelayan-pelayan yang masih bingung dan bertanya-tanya langsung sadar dan buyar lamunan mereka setelah mendengar jeritan dari ruang makan.

"Kecoak!!! Siapa yang masak makanan kayak gini?!" Teriak Yuna, istri Ardi.

Semua pelayan langsung berkumpul di meja makan. Mereka melihat piring-piring di meja makan sudah berantakan. Bahkan ada pecahan gelas di lantai. Makanan juga sudah berhamburan gak karuan.

Ardi, Yuna, Banyu, dan Tiara yang sudah ada di meja makan terlihat histeris dan kaget. Terlebih Ardi, ia juga terlihat sangat marah dengan kejadian itu.

"Bersihkan, cepat! Lalu, berkumpul di ruang utama!" Perintah Ardi dengan tegas. Dengan sigapnya, seluruh pelayan langsung membersihkan meja makan yang berantakan tersebut.

***

Keadaan ruang utama menjadi hening. Seluruh pelayan berbaris tepat di hadapan keluarga besar Pradipta, yaitu keluarga Tiara. Di ujung barisan kanan terdapat Mbok Asih selaku kepala pelayan. Ia hanya nunduk dan terlihat kecewa kepada pelayan lain yang dibawah kendalinya.

Mbok Asih merasa kesal karena mereka tidak melakukan pekerjaan dengan baik dan teliti. Dan juga merasa bersalah karena pada saat persiapan makan malam ia tidak turun tangan langsung memperhatikan makanannya.

"Bagaimana bisa sampai ada kecoak di dalam gulungan spaghetti saya?" Tanya Yuna dengan suara yang santai. Walaupun memang terasa Yuna memang kesal, marah, dan kecewa, tapi ia masih berusaha untuk tenang dan tidak terbawa emosi karena kejadian sebelumnya.

"Siapa yang memasak dan menyajikan di piring?" Semua pelayan diam, sampai suatu saat Ati mulai berani bicara.

"Ima yang memasak, Teh Rini yang menyajikan di piring. Saya juga membantu, beberapa yang lain membersihkan meja makan." Penjelasan Ati membuat Yuna mengangguk. Lalu, tatapannya beralih ke Ima dan Rini. Mereka masih diam termangu, di dalam hatinya sangat merasa ketakutan. Mereka tidak berani memandang Nyonya-nya walaupun sekedar mengintip.

"Ma-maaf, seingat saya tidak ada kecoak." Rini memulai pembicaraan.

Ima masih terus diam, namun ia sudah mulai berani melihat ke arah Yuna setelah Rini berbicara.

"Saya yakin seratus persen, tidak ada dan tidak akan pernah ada niat aneh aneh seperti tadi."

Banyu menghela napas. Lalu kepalanya mengarah ke atas dan ia menyadarkan tubuhnya ke sofa. "Lalu, Mbak Ima, bagaimana?"

Ima melirik ke Banyu, "Tidak ada kecoak. Saya tidak masak kecoak."

"Baiklah, sekarang kembali ke kamar kalian. Istirahat. Kalian pasti capek," perintah Yuna yang berdiri namun tanpa senyuman manisnya. Sudah bukan rahasia lagi di rumah ini, kalau senyum Yuna adalah senyuman yang manis. Senyuman itu juga ternyata tertular pada anaknya, Tiara. "Saya ingin bicara dengan Mbok Asih."

Para pelayan menaati perintahnya dan pamit. Mbok Asih masih berdiri dan berjalan pelan menghampiri Yuna.

"Ini terjadi lagi. Saya dan yang lain rasa ada yang tidak suka." Yuna berbisik kepada Mbok Asih dan Mbok Asih juga setuju, lalu mengangguk.

Tiara ikut berdiri, ia menghampiri mamahnya. "Mah, aku mau ke kamar, aku ingin tidur." Hal itu disetujui mamahnya, lalu anggota lainnya juga bubar pergi ke ruangan masing-masing.

***

Matahari baru menampakkan wujudnya. Semakin lama cahayanya semakin terang dan menyilaukan mata. Tiara melihat ke jendela, dengan tubuhnya yang berbaring. Ia malas melakukan apapun.

Rencananya ia hanya akan diam di rumah dan tidak berencana keluar rumah. Ia akan istirahat seharian di dalam rumah. Ia juga harus mengembalikkan imunitas tubuhnya yang kurang. Mengembalikkan kondisi tubuhnya agar kembali sehat bugar.

Keadaan di rumahnya memang cukup hening. Hanya terdengar suara-suara dari orang yang menyapu, tukang kebun, suara di dapur, dan suara Yuna, Mamahnya. Mamahnya memang tidak terlalu sering ke luar rumah, biasanya ia akan mengontrol rumah atau mengerjakan pekerjaan dari rumah. Kebetulan mamahnya juga memegang satu perusahaan yang merupakan warisan Kakek Tiara.

"Dek, pergi kemana? Bukannya sekolahmu libur." Mamahnya yang baru keluar dari kantor tempat ia biasa bekerja bertanya saat melihat anak bungsunya terburu-buru.

"Ada acara ekskul. Kurang ajar si Dendi, bohong dia." Terlihat dengan jelas raut wajah Banyu yang kesal. "Laras baru kasih info tadi." Banyu mengepal-ngepalkan tangannya.

Yuna langsung memegang tangan Banyu, "Sudah jangan marah. Gak pernah papah dan mamah ajarkan kamu berkata kasar."

Banyu langsung tersenyum dan bergegas keluar dari pintu utama.

Ati yang melihat dari balik dinding juga tersenyum. "Masyaallah, beruntung sekali aku punya majikan yang attitude nya baik dan sopan. Benar-benar keluarga terhormat. Pantas mereka dihargai dan terkenal." Selepas itu ia langsung pergi ke halaman belakang rumah.

***

"Pak Aji! Sini bentar!" Terlihat Ati yang tadi baru keluar mengayunkan tangannya memanggil Aji, kepala keamanan rumah, yang sedang ngopi dengan tukang kebun rumah.

"Iya, Ati? Kenapa?"

"Kemarin Mbok Asih bilang tolong diperketat keamanan rumah. Takutnya ada orang enggak suka masuk," jelas Ati sambil sesekali menepuk pundak Pak Aji.

"Ouh, siap! Keluarga ini memang terkenal dan banyak dikagumi, sampai kayaknya gak kehitung orang yang iri sama mereka." Pak Aji menjelaskan pada Ati dengan nada semangat dan rasa kagum.

"Oh, begitukah?" Ati yang mendengar penjelasan Pak Aji tadi ikut antusias mendengarnya.

"Iya, sebenarnya saya pernah kecapekan seleksi pelayan atau pekerja disini supaya semuanya aman. Takutnya malah pekerjanya yang iri, bukan orang luar." Pak Aji menjeda kalimatnya. " Inget, bisa jadi orang yang terdeketlah yang jahat!"

"Hati-hati aja saya mah, bukan nuduh. Saya balik ya Mbak Ati," pamit Pak Aji dibalas dengan anggukan kepala Ati.

***

"Ayolah, Ra. Ikut datang kamu ke acara penting perusahaan. Aku dengar ada sambutan dari papahmu salah satu konglomerat terkenal, berwibawa, dan kaya tentunya!"

Salah satu teman kuliahnya dan sekarang menjadi bawahan di perusahaan yang mulai dibawah kendali Tiara mengajak.

Ami, namanya menjadi salah satu pegawai kantor yang memiliki kepribadian baik dan selalu bekerja secara memuaskan. Bahagia Tiara memiliki teman seperti Ami, begitu pula perusahaannya yang bangga mempunyai karyawan sehebat dia.

"Aku usahakan. Badanku lemas sejak 3 hari lalu. Bikin malas berpergian. Hari ini aja kupaksakan." Tiara membalas ajakan Ami dengan menepuk bagian pundak atau bahu, pinggang, dan memegang kepala yang sakit.

"Sakit kamu tambah parah, Ra. Bagaimana bisa para dokter kebingungan!"

Ami berseru sambil menggebrak meja di hadapannya. Satu dua karyawan yang ada di kantin menghadap melihatnya. Untungnya, keadaan kantin kantor tidak ramai.

Tiara mengangkat bahunya, bukan karena dia malas membahas penyakitnya, tetapi karena memang dia tidak tau.

"Jadi, datang?" Ami kembali bertanya.

"Sudah kubilang, kuusahakan datang."

***

Tiara keluar dari kamarnya. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke acara penting perusahaan. Acara ini hanya sesekali dilaksanakan dan Tiara tertarik mendatanginya. Ia juga paksakan badannya untuk bergerak lebih lama, karena menurutnya kalau dibiarkan malah hanya membuat ia malas.

Gaun yang dipakainya tertata sangat rapi. Mbak Ati, yang biasa datang ke kamarnya, membantunya merapikan dan memastikan bahwa gaun tersebut tidak robek, luntur, atau kemungkinan jelek lainnya.

"Sudah aman, Non. Dipastikan Nona Tiara adalah yang tercantik di acara."

Tiara hanya tersenyum mendengar perkataan Ati.

Tiara berangkat diantar oleh Pak Aji. Supir keluarga, Pak Bayu, sudah mengantar Ardi terlebih dahulu ke acara. Dan Pak Anto, supir lain keluarga, sedang sakit dan tidak bisa bekerja.

"Ayo, masuk, Non." Tiara mengangguk dan berjalan ke arah mobil.

Sesaat sebelum ia memasuki mobil, Mbak Ima berteriak memanggil Pak Aji.

"Pak Aji!! Pakk!! Ini, pak! Anjingnya mati!" Sontak Pak Aji langsung berbalik arah dan menghampiri asal suara Mbak Ima disusul Tiara yang juga panik.

"Kenapa, Mbak?" tanya Tiara panik.

"Ini anjing penjaga rumah mati!" jelas Mbak Ima masih dengan ekspresi kagetnya.

Tidak lama kemudian, Mbak Ati, Mbok Asih, Banyu, dan Pak Ilyas ikut menghampiri tempat anjing penjaga tadi mati.

"Ya Allah. Sudah mati, haruskah kita beli lagi?" Mbok Asih yang baru datang langsung bertanya.

"Kenapa ada anjing penjaga?" tanya Banyu bingung.

"Ini ide Pak Aji, saya, dan Mbok Asih buat perketat keamanan rumah aja. Belum seminggu, udah mati dia."

"Ya sudah, dikubur, Pak Ilyas. Saya ada acara takut telat." Lalu Tiara pergi bersama Pak Aji dan terdengar klakson mobil yang menandakan mereka izin untuk pergi.

***

Surat Berdarah

Semakin malam, acara semakin ramai. Orang-orang penting yang diundang ke acara mulai banyak berdatangan. Mereka saling menyapa, tak lupa membicarakan proyek atau bisnis masing-masing.

Tiara yang sudah datang dari setengah jam yang lalu hanya diam duduk manis di salah satu sofa.

"Permisi, anaknya Pak Ardi, ya?" Suara lelaki tua membuat Tiara terkejut. Berdirilah lelaki tua yang tampan dan gagah di hadapannya sembari tersenyum manis.

Di belakangnya, berdiri pula seorang lelaki yang lebih tinggi darinya, dengan wajah yang rupawan, ia berdiri dengan cuek.

"Iya." Tiara menjawab singkat.

"Saya temannya, Arsenio, atau Arsen." Lelaki itu mengajak Tiara berjabatan tangan. Tak lupa juga, untuk tetap tersenyum ramah.

Tiara menyambut jabatan tangan Arsen dengan senyuman ramah juga.

"Tidak sangka kamu datang. Ayahmu bercerita kamu malas datang ke acara perusahaan. Oh ya, adikmu mana?"

"Banyu? Untuk apa kesini?." Tiara bertanya balik.

Alis mata kanannya terangkat. Keningnya berkerut, menandakan dia memang kebingungan.

"Hanya bertanya. Saya pamit."

Arsen pergi disusul lelaki di belakangnya yaitu anaknya. Tiara mengabaikannya dan melihat ke panggung utama acara.

Tidak lama kemudian, papahnya naik ke panggung memberikan sambutan. Ia menyampaikan pidatonya yang disambut dengan tepuk tangan meriah dan tatapan kekaguman. Tiara yang melihat ikut bangga dan tersenyum melihat papahnya dan berharap hal itu akan terjadi padanya nanti.

Setelah selesai papahnya berpidato, Tiara langsung mengalihkan pandangannya. Melihat ke sekelilingnya, siapa tahu ada hal yang membuatnya tertarik.

Ami, temannya yang mengajak ternyata tidak bisa hadir karena pusing mendadak. Oleh karena itu, di dalam acara Tiara terlihat seperti patung.

Pandangan Tiara terhenti saat melihat anak Arsen, teman papahnya, yang sebelumnya ia lihat.

Badannya yang tinggi membuatnya lebih mudah terlihat.

Tampan. Sadarlah Tiara, ucapanmu hanya angan-angan, batinnya seraya membetulkan rambut yang menghalangi wajahnya.

***

"Kulihat kamu menatapku, ada yang salah?" Tanya seorang lelaki secara tiba-tiba dari arah belakang.

Tiara memutuskan untuk pulang, karena ia merasa tidak ada lagi hal yang harus dilihat dan dilakukan di acara.

"Hah? Maaf." Tiara berbalik dan melotot saat melihat lelaki itu adalah anak Arsen yang ia lihat tadi.

"Aku tidak bermaksud aneh, badanmu yang tinggi membuat semua orang mudah melihatmu."

Lelaki itu mengangguk. "Mau pergi bersama akhir pekan nanti?"

Ajakan yang keluar itu membuat Tiara kaget, namun membuat jantungnya berdetak kencang. Lidahnya mendadak kelu, dan badannya kaku.

Baru sejam yang lalu, ia bertemu lelaki itu. Itu juga dalam keadaan yang canggung dan hening.

"Untuk apa?"

"Hanya jalan-jalan sebentar. Ayah kita berteman, kenapa kita tidak bisa seperti itu?" Ucapnya dengan suara bass.

"Mungkin bisa. Aku tidak janji." Jawab Tiara perlahan.

"Namaku Ryder. Kalau kamu bisa, datang saja ke pasar malam dekat rumahmu. Bye," selesai mengatakan itu Ryder, lelaki yang tampan itu pergi meninggalkannya.

Aku pun baru tahu akan ada pasar malam dekat rumah, belum selesai Tiara bergumam dalam hati, Pak Aji yang tadi sedang memanaskan mobil memanggilnya.

***

"Astaghfirullah, kenapa orang sebaik Non Tiara banyak musuh!" Suara melengking Mbak Ati yang melewati lorong lantai 2 dekat kamar Tiara menggeleng tak percaya.

"Apa, Ti? " Tidak lama Yuna datang menghampirinya.

"Nyonya, ada surat, berdarah pula. Ya Allah, kenapa banyak orang iri pada Non Tiara," Ati kembali menggelengkan kepalanya.

GADIS PEMALAS! HANYA CANTIK, TAPI PENYAKITAN!

Tulisan itu tertulis jelas di atas kertas putih kecil. Tak luput dari penglihatan juga, ada darah yang sepertinya sengaja ditumpahkan disana.

"Kasih tau bapak, dan kumpulkan semua pegawai di ruang utama."

Ati langsung bergegas ke ruang kerja Ardi, Yuna langsung terduduk lemas seketika. Matanya terpejam dan kepalanya tertunduk. "Kenapa kamu gak bilang saya dulu, Cici!"

***

Suara klakson mobil terdengar sampai ke dalam rumah. Tiara keluar mobil dan masih berjalan dengan anggunnya.

Semua orang sudah tau kalau Tiara memang sangat anggun bak putri walaupun hanya mengenakan pakaian tidur.

"Ada apa berkumpul disini?" Tanya Tiara sesaat sampai ruang utama.

"Duduk, Nak. Ada yang harus kamu tahu." Ardi memberi kode pada Tiara untuk duduk di sebelahnya.

Tiara menurutinya dan duduk. Semua pelayan di hadapannya duduk di lantai seperti sinden.

Tiara melihat semuanya dari kanan sampai kiri. Melihat ada tukang kebun, dan supir keluarga juga. Hingga pada satu titik dia melihat ada kertas berdarah di atas meja.

Ia langsung menariknya dan membacanya. "Ada lagi," ucapnya sendu. Matanya tertunduk.

"Ini yang ke 14 kalinya surat berdarah aku terima," lanjut Tiara masih dengan mata yang tertunduk. Jelas terlihat ia merasa sedih.

"Ke 15 kalinya, Nak. Maafkan Mamah, ini usul mamah, tanpa diketahui siapapun." Mamahnya mulai menjelaskan.

"Mamah berharap dengan menerima surat berdarah kamu tambah bersemangat menjaga kesehatan kamu," lanjut Yuna dengan nada sedih dan rasa bersalah.

Tiara melihat mamahnya. Ada tatapan kesal, hatinya juga tidak menyangka kalau ini ide mamahnya.

"Darah itu darah hewan bukan manusia."

Tiara memeluk mamahnya. "Bukan begini Mah. Dengan kertas kayak gini, malah buat aku tambah pasrah dan males."

"Iya mamah salah. Mamah udah jelasin semua ke orang di rumah dan keluarga, kecuali Mbak Cici. Hilang dia, pergi kayaknya. Dia pasti yang tulis ini tapi gak bilang dulu ke mamah atau Mbok Asih." Jelas Yuna panjang lebar. Jika diteliti lagi memang hanya Mbak Cici yang gak ada di barisan.

"Cari Cici! Suruh dia kesini! Ji, tolong ya!" Ardi memberi perintah kepada Pak Aji yang berdiri sigap.

Pak Aji membuat hormat lalu lekas pergi ke kamar pelayan di belakang rumah.

Tidak sampai lama, Pak Aji kembali sambil berlari tergopoh-gopoh.

"Mbak Cici mati! Darah keluar dari lehernya. Matanya terbelalak."

***

"Innalilahi. Bagaimana bisa terjadi? Saya masih sempat mengobrol dengan Mbak," Rini mengusap wajahnya dan air matanya. Pelayan lain juga menangis, tak menyangka Mbak Cici mati dengan keadaan begitu.

Darah segar terus mengalir keluar yang berasal dari lehernya. Wajahnya menghadap ke atas dan matanya terbelalak. Seperti orang ketakutan dicampur terkejut.

"Ciciii! Ya ampun, maafkan saya sudah sempat salah menyangka kamu salah. Kenapa begini?!"

"Kalau begini berarti bukan Cici yang nulis surat itu, Mas. Cuma dia yang kuperintah menulis itu. Mbok Asih tidak bisa tulis dan baca. Aku tidak juga melakukannya," jelas Yuna sambil terisak-isak.

"Bisa jadi, darah di atas surat itu darah Mbak Cici, Nyonya," salah satu pelayan menyahuti.

"Bersamaan begini peristiwanya."

"Ada yang lain disini yang melakukannya, kan?!" Ardi berbalik menghadap pegawainya dengan tatapan marah.

"Mereka orang baru, Pah. Hanya Mbok Asih dan Mbak Cici yang lama. Begitu juga Pak Aji." Banyu menambahkan. Ardi mendengar itu langsung menyadari hal itu bahwa ia memang sering mengganti pelayan rumah, kecuali Mbok Asih, Pak Aji yang dia percaya dan Mbak Cici yang dipertahankan Yuna, istrinya.

"Ya sudah. Cepat bersihkan ini saja. Kita langsung bergegas memberi kabar keluarga Mbak Cici, agar bisa dikebumikan."

Mayat Mbak Cici langsung dibersihkan oleh Pak Aji, tukang kebun rumah, Pak Bayu, begitu juga Ardi yang ikut membantu.

Sisanya, para pelayan kembali melakukan kegiatannya begitu pula Banyu, Tiara, dan Yuna.

Surat ini bukan Cici yang tulis. Kalau bukan dia, siapa lagi? Yuna terus memikirkan tentang surat berdarah dan kematian Cici yang mendadak.

Namun, ia mencoba melupakan pikiran yang aneh dan mendoakan yang terbaik untuk Cici agar tenang di alam sana.

***

Raefal Max Celeste

Pagi-pagi sekali Tiara sudah bangun dan memanggang roti untuk sarapan. Niatnya, ia ingin olahraga lari pagi, karena beberapa hari belakangan dia banyak diam di rumah.

Badannya yang serasa lemas itu juga berangsur pulih, semenjak ikut bergabung dengan acara penting perusahaan, dia malah merasa enakan saat bangun.

" Mau makan bareng kakak, Nyu?" Tiara yang sedang menaruh sepiring roti dan segelas susu di meja makan, melirik Banyu yang hanya diam duduk di sofa.

" Itu cuma buat satu orang. Aku gak mau makan buah itu." Banyu kembali diam merenung seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak tahu apa itu.

" Kalau mau, aku panggang roti lagi. Ini untuk kamu," tawar Tiara ramah. Banyu bangkit dan menghampiri kakaknya. Dia menarik kursi dan duduk masih dengan wajah seriusnya.

"Kamu pikirin apaan sih? Ayo makan. Aku mau panggang lagi." Tiara menyodorkan roti dan susu tadi. Baginya, adiknya adalah segalanya dan teman pertamanya yang setia, apapun akan dia turuti kemauan adiknya asalkan untuk hal yang baik.

Banyu mengangguk. " Aku tunggu kakak."

Tiara dan Banyu mulai sibuk menghabiskan makanan mereka masing-masing. Satu suap, dua suap, tapi Banyu yang biasanya akan terus bicara malah terus diam sambil sesekali seperti sedang berpikir.

"Gak mau ngomong kamu?" Tiara memberanikan diri untuk memulai obrolan. Banyu menggelengkan kepalanya.

"Bicara aja. Jangan dipendem, aku gak tau bisa ngasih solusi atau enggak, tapi seenggaknya aku bisa jadi pendengar dan kamu lega."

"Yang aku pikirin tentang kakak, Mbak Cici, sama anjing penjaga baru yang mati."

Tiara mengerutkan alisnya. "Pikirin apa kamu tentang aku?"

Banyu menghentikan makannya. "Lebih tepatnya aku pikirin tentang kejadian kemarin." Banyu berbisik kepada Tiara walaupun sebenarnya itu seperti tidak sedang berbisik karena suaranya yang cukup besar.

" Aku gak nyangka aja kalau Mamah yang ngerancang semua itu, ngirim surat yang ada darahnya ... "

Tiara menghela nafas. " Ditambah Mbak Cici yang mati, anjing itu juga mati. Kayaknya darah di surat itu darah anjing!" Banyu melanjutkan dengan sangat antusias. Berbeda dengan Tiara yang hanya diam dan menghela nafas begitu seterusnya.

"Lanjutkan makannya. Aku mau olahraga pagi." Tiara bangkit dan keluar dari rumah meninggalkan Banyu yang kebingungan.

***

Tik...Tik...Tik...

Pagi yang dikira akan terus cerah ternyata berubah dengan sesaat. Rintik air hujan jatuh perlahan menyentuh badan Tiara yang sedang berjalan sambil melamun.

Ya, begitulah. Olahraganya di pagi hari ini rasanya dirusak oleh Banyu, setidaknya itu yang dia pikirkan. Ucapan Banyu tadi membuat dirinya menjadi mulai berpikir dan berpikir.

Lama kelamaan, air hujan mulai turun lebih banyak. Tiara sadar dari lamunannya dan langsung mencari tempat berteduh. Tempatnya saat ini cukup jauh dari rumah. Dia juga bahkan tidak sadar kemana kakinya membawanya melangkah tadi.

Sampai saat dia melihat teras sebuah ruko yang tutup, ia mulai merasa lega. Setidaknya bajunya tidak akan terlalu basah, karena semakin lama air hujan bertambah jumlahnya.

Orang-orang juga beberapa mulai berteduh di sampingnya. Keadaanya sama, rambut yang basah, baju olahraga yang basah, dan ekspresi kedinginan. Sampai mata Tiara melihat seorang lelaki yang memakai kaos biru langit yang sedang berusaha menyingkirkan serangga di badan.

Badannya yang kekar, bahu yang lebar, tinggi semampai, dan wajah tampan lelaki itu mencuri perhatian Tiara. Tak luput dari perhatiannya yaitu wajahnya yang lucu, panik, dan jijik dengan serangga yang mendekati.

Beberapa kali, Tiara tertawa kecil melihatnya. Sungguh, lelaki tampan yang nyalinya ciut terhadap serangga.

Sungguh, lelaki tampan yang penakut, Tiara kembali tersenyum tipis. Dia mendongak dan Aish! Sial! Sejak kapan lelaki itu berdiri di sampingnya.

"Maaf kalau aku lancang. Tapi, kalau aku tidak salah mengira ah bukan kamu memang melihatku, kenapa kamu tertawa? Ada sesuatu yang lucu? Saat temanmu ketakutan, apa kamu hanya diam dan tertawa?" Lelaki itu memulai obrolan. Obrolan yang panjang, lebih seperti memastikan dan bertanya. Sekali bicara, dia langsung memberikan banyak pertanyaan.

Tiara hanya diam tanpa satu katapun. Bukannya dia tidak mau menjawab, tapi dia bingung pertanyaan mana yang harus dijawab.

"Kamu hanya perlu mengatakan padaku apa yang lucu." Lelaki itu bicara dengan sangat sopan, suaranya juga lembut, walaupun memang merasa ditertawai dia tetap tenang dan tidak marah-marah.

"Maaf. Aku tidak bermaksud apa-apa hanya wajahmu lucu saat ketakutan." Tiara menatap laki-laki itu sementara dia hanya melihat ke arah depan atas menunggu hujan reda.

"Hm, ya." Lelaki itu bergeser ke arah samping lebih menjauh dari Tiara. Gak lama, hujan pun reda. Tiara, lelaki itu dan orang-orang lainnya langsung berhamburan pergi.

Belum terlalu jauh, Tiara berbalik dan melihat punggung lelaki itu. Badannya yang tegap terlihat berlalu pergi. Sudah banyak lelaki yang Tiara lihat, dia tatap, bahkan banyak juga lelaki yang dia lihat pergi. Tapi, anehnya, dia tidak rela badan itu hilang dari pandangannya.

Tanpa dia sadari, senyum kecil mulai merekah dari bibirnya. Apa yang dia kagumi? Wajahnya? Badannya? Atau cara bicaranya? Tiara tidak tahu. Sekarang, dia hanya berharap badan itu tidak menghilang.

Dan itu terjadi. Lelaki itu membalikkan badannya. Seketika senyuman Tiara luntur berubah menjadi muka panik, karena dia kepergok melihatnya.

"Apa kamu kembali menertawai ku?" Teriak lelaki itu dibalas gelengan kepala Tiara. Lalu, pergi meninggalkannya. Pada akhirnya, badan tegap itu hilang dari pandangannya.

***

"Aku mau ke pasar malam. Kamu mau ikut, Banyu?" Tiara turun dari tangga dan menghampiri adiknya yang sedang memakan mie instan.

"Loh? Bukannya akhir pekan nanti?"

"Dipercepat. Banyak orang yang pergi bergerombol tadi dan membahas pasar malam. Di daerah sana juga terasa lebih ramai dari biasanya." Jelas Tiara sembari terus menunggu jawaban Banyu.

"Hayu. Aku ikut, udah minta izin papa mama?" Tanya Banyu seraya membersihkan bekas makanannya. Tiara hanya mengangguk dan memutuskan menunggu di luar rumah.

Suasana pasar malam benar-benar ramai. Banyak keluarga maupun pasangan yang menghabiskan waktu mereka di sini.

Rasanya setelah hari dimana dia bertemu pria itu, dia selalu ingin keluar rumah. Dalam hatinya, ada rasa penasaran ingin berbicara dan bertemu dengan lelaki itu. Walaupun sebenarnya, alasan dia kesini adalah untuk menepati janjinya pada Ryder, anak Arsen, teman papahnya.

"Wah. Tempatnya benar-benar ramai, apa mungkin karena ini pasar malam yang pertama kali diadakan setelah bertahun-tahun lalu?" Banyu bertanya dengan melihat ke sekitar pasar malam.

"Ini juga untuk pertama kalinya kakak mau keluar rumah dengan lama. Jangan bilang kakak hanya keliling sebentar tanpa menaiki wahana."

Tiara tersenyum sambil menggeleng. "Aku ada janji disini. Aku akan cari orangnya, dan kamu cari wahana yang kamu suka. Dah. Akan aku kabari kalau sudah selesai." Tiara berjalan menjauh dari Banyu.

Janji? Di pasar malam? Atau kencan?

***

Tiara masih terus menengok ke kanan dan ke kiri. Matanya bekerja begitu jeli mencari Ryder dan otaknya juga bekerja mengingat wajah Ryder.

Tring...

+628583000511

Kita ketemu di depan wahana komedi putar

^^^Tiara^^^

^^^Iya. Aku kesana.^^^

+628583000511

Aku pakai baju biru langit. Aku tunggu.

Setelah mendapat pesan itu, Tiara langsung bergegas menuju tempat wahana komedi putar yang dimaksud. Lokasinya tidak jauh dari pintu masuk, tadi dia sudah melihatnya jadi dia tidak akan kebingungan mencarinya.

***

Tiara duduk di bangku sebrang wahana. Setiap ada lelaki yang lewat, dia langsung memperjelas penglihatannya. Namun, belum juga dia melihatnya.

"Permisi. Apa kamu Tiara?" terdengar suara seorang lelaki dari arah belakang. Tiara membalikkan badannya dan matanya terbelalak. Lelaki yang dia lihat saat hujan tadi pagi kembali dia lihat pada malam harinya.

"Maaf? Iya, saya maksudnya aku Tiara. Mungkin lebih akrab." Tiara menjulurkan tangannya. Perasaan aneh kembali dia rasakan, karena ini pertama kalinya dia yang memulai berinteraksi dengan menjabat tangan lawan jenis yang sedang berbicara padanya. Ya Tuhan, apa benar-benar aku terpikat? Setidaknya itu yang ada dibenaknya saat ini.

"Terserah padamu. Namaku Raefal Max Celeste. Kamu juga bisa memanggilku apapun, terserah padamu." Lelaki itu menjawab pertanyaan dan bersalaman dengan Tiara. Benar-benar cara bicara dan ucapannya membuat Tiara terpesona. Dan sekarang dalam pikirannya, benar, dia terpikat dengan cara lelaki itu berbicara.

"Tiara. Elina Tiara Cahya Pradipta." Tiara terus tersenyum. Lelaki itu juga, walaupun terkesan dingin, tapi dia tidak terlalu buruk. Dia juga terus tersenyum. Tidak hanya sok jual mahal dengan muka datar.

"Pradipta? Uh, aku kesini menggantikan Ryder. Dia tidak bisa kesini." Pernyataan Raefal sedikit membuat Tiara terkejut. Dia yang janji, tapi dia yang mengingkarinya.

Tiara membuka ponselnya untuk memeriksa pesan terakhir antaranya dengan Ryder.

Tring...

+628583000511

Kakakku akan kesana. Maaf.

Kurang ajar! Apa Ryder mempermainkanku? Hanya karena aku tidak sengaja melihat ke arahnya di acara?

"Apa dari Ryder? Maaf. Atas namanya. Akan aku temani kamu bermain di pasar malam. Tapi, tolong maafkan Ryder." Raefal sedikit membungkuk menatap Tiara dengan wajah memohon.

Raefal kembali menatap Tiara. "Ayo, aku temani kamu berkeliling."

"Tidak usah. Untuk apa kamu yang minta maaf. Katakan pada adikmu, aku ingin bertemu dengannya sekali, dia yang harus minta maaf. Aku permisi." Tiara yang terlanjur kesal pergi meninggalkan Raefal yang masih berdiri di dekat bangku.

Di satu sisi, dia kesal dengan perbuatan Ryder yang mengingkari janji dan malah mengirim Raefal kesini. Tapi, di satu sisi lain dia kembali merasa tidak ingin melihat badan tegap yang dia lihat waktu itu yang tak lain Raefal pergi menghilang. Perasaan itu ada lagi. Ada apa Tiara? Kamu baru mengenalnya. Bahkan hanya baru berbicara singkat, kenapa terasa begitu terikat?

Lagi dan terulang lagi, belum jauh dari tempat dia bicara dengan Raefal, dia membalikkan badannya. Tujuannya sangat simple, hanya ingin melihat Raefal.

Raefal juga memandang Tiara. Entah mengapa dia merasa tatapan Tiara seperti mengatakan bahwa dia tidak boleh pergi atau ikuti aku, jangan tinggalkan aku sendiri. Tapi, karena itu hanya perasaan, semua itu langsung dia tepis.

Berbeda dengan Tiara, yang pastinya dia pasti akan memikirkan penyebab dan alasan mengapa dia begitu merasa tertarik.

Kenapa dia terasa terus menarik. Hanya dalam hitungan menit dan bahkan hanya dengan tatapannya aku tertarik. Mengapa?

-Elina Tiara Cahya Pradipta

Dia menarik dan bisa menarik perhatianku. Tapi, itu masih dalam hitungan jam, bukan tahun.

-Raefal Max Celeste

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!