............
Di Istana megah Madison dengan ciri khas perpaduan kubah dan menara bergaya roman. Dindingnya berwarna abu bata dengan perpaduan coklat batu koral mahal yang tak ternilai harganya menyatu dengan lampu-lampu istana yang menyala rapi mengelilingi tempat ini.
Namun, di balik keindahan tempat ini ada sebuah peristiwa kelam yang selalu menjadi duka dinding batu yang hanya bisa membisu.
"Sejak kapan kau bisa mengaturku? Haaa??" Bentakan seorang pria menggelegar ke seisi kamar luas ini.
Terlihatlah sesosok wanita cantik dengan rambut panjang keemasan yang diam menatap nanar sebuah syal rajut ia buat untuk Delvin suaminya tergorok na'as di lantai dingin kamar.
"Aku sudah katakan sebelumnya padamu, bukan?!" Desisnya mencengkram dagu tirus milik wanita itu sampai wajah cantiknya mendongak keras. Ada kilatan luka dan kesedihan yang terpancar disana tapi juga terlintas kemarahan.
"Jangan pernah kau berpikir untuk membuat tempat di kerajaan ini. Paham?"
"Apa masalahmu?"
Akhirnya ia bertanya setelah sekian lama bungkam. Sungguh, ia tak tahu dimana salahnya hingga Delvin begitu membencinya.
Saat kerajaannya dulu masih berdiri gagah dan berkuasa, Delvin begitu memujanya tapi sekarang ia di campakkan seperti pakaian kotor.
Namun, sebenarnya Latizia tak tahu jika Delvin menikahinya hanya karena ingin menguasai kerajaan Garalden saja. Setelah itu, Latizia akan di campakkan.
"Apa masalahmu? hingga setiap aku mencoba untuk memahami kemauanmu kau selalu marah tanpa alasan yang jelas!!! Apaa??" Tegasnya berani tapi hanya di tertawakan oleh Delvin yang kerap kali menyiksanya.
Cengkraman pria ini begitu kuat sampai kuku-kuku tajamnya menusuk pipi sang istri melelehkan darah segar.
"Kau sudah tak berguna untukku! Kau tak BERGUNA!" Tekan Delvin mendorong Latizia yang merasa begitu hina.
Latizia tak menangis. Sekuat tenaga ia mengepal menahan semua penderitaan dan hinaan ini karna mau bagaimana-pun ia adalah seorang wanita yang memiliki martabat tinggi.
"Seharusnya kau berterimakasih padaku karna masih mengizinkanmu tinggal disini. Tapi, ..."
Delvin melirik jijik syal merah yang sudah ia injak tepat di depan mata Latizia yang merasa tertikam.
"Kau membuang waktuku dengan melihat benda menjijikan ini!" Imbuhnya meludahi kaki Latizia yang hanya bisa mematung.
Delvin menginjak-nginjak syal itu dengan penuh rasa tak sudi. Bahkan, tanpa belas kasih ia robek rajutan itu lalu melemparnya ke wajah Latizia yang hanya setia dengan tatapan datarnya.
"Ingat satu hal! Jangan tunjukan wajahmu pada seluruh tamu kerajaan di pesta besok. Jika tidak, aku tak akan berpikir dua kali untuk mempermalukan-mu!" Ancamnya lalu melangkah pergi keluar dari pintu besar kamar.
Seketika air mata yang tadi Latizia tahan langsung luruh keluar. Ia remas erat pinggiran dress santai di pahanya dengan tatapan sendu pada syal yang sudah tak berbentuk jatuh ke pangkuannya.
Aku selalu berusaha membuat kau memandangku tapi, kenapa kau tak pernah mengerti?!
Batin Latizia berulang kali menahan rasa sakit ini. Ia dulu adalah seorang putri di sebuah kerajaan besar. Tapi, suatu wabah menyerang wilayah mereka hingga tak ada lagi yang tersisa dari tempat itu.
Alhasil, Latizia hanya sendirian. Ia dulu berharap pada Delvin yang ia kira mencintainya tapi, kehidupan ini terlalu kejam untuk Latizia yang selalu di ambang penderitaan.
"D..dulu kau katakan kalimat yang sangat indah di telinga tapi sekarang, kau lupa caranya bicara yang sopan padaku," Lirih Latizia beralih mengusap jari-jemari lembut nan lentiknya yang sudah tertusuk jarum berulang kali.
Ia tak berdaya. Gelar putri yang ia sandang sama sekali tak berguna lagi bahkan, sekarang hidupnya lebih buruk dari seorang budak.
Tak ingin berlarut-larut dengan kejadian ini, akhirnya Latizia memilih bangkit dari duduknya dan membersihkan serakan benang di atas lantai.
Ia pergi ke ruang ganti dan membuka lemari pakaiannya tapi, ia terdiam saat melihat tak ada lagi pakaiannya disini.
Seketika sudut bibirnya terangkat miris. Ia palingkan wajahnya ke sebuah tas berukuran cukup besar di sudut ruangan ini.
"Bahkan, pakaianmu-pun tak pernah diletakan dengan layak!" Gumam Latizia sadar itu.
Ia bersandar ke lemari ini menatap nanar ke atas langit-langit tinggi yang memang sangat megah tapi tak ada kemanusiaan disini.
"Ibu! Kau selalu bilang jika aku adalah seorang wanita terhormat. Kau menyuruhku untuk patuh pada suamiku tapi..tapi dia tak pernah menghargaiku sebagai istrinya, tidak pernah!" Gumam Latizia dengan suara parau dan bergetar.
Tak ingin suara tangisnya di dengar oleh siapapun, Latizia memilih menangis di pojok ruangan dengan membekap wajah dan mulutnya.
Hanya dinding dan barang-barang disinilah yang menjadi saksi bagaimana kuatnya Latizia mencoba mempertahankan kehormatannya.
....
Kerajaan Madison. Kastil megah itu berdiri di negara Endarlan yang merupakan kekuasaan mutlak dari keluarga Madison Altariz, bangsawan yang selalu di hormati oleh siapapun.
Keluarga kerajaan ini terkenal dengan sikap semena-mena mereka bahkan, banyak wilayah yang seharusnya bukan hak kerajaan Madison tapi tetap saja di rampas secara rakus.
Korupsi, penindasan, pelecehan bahkan banyak lagi yang terjadi di wilayah kerajaan ini. Tiada siapapun yang berani menentang karna kandidat yang kokoh berdiri di tahtah istana termasuk bengis dan sangat licik.
"Jangan!!! Jangan bawa putrikuu!!!" Isak tangis seorang wanita paruh baya yang dipeggangi oleh anggota keluarganya dengan pandangan sendu ke depan.
Para prajurit kerajaan Madison malam ini sedang berpatroli mengambil para gadis yang akan di bawa ke istana untuk di jadikan pelayan atau mungkin budak.
Setiap malam rakyat Madison akan di hantui rasa takut akan kehilangan harta, anak bahkan suami mereka yang di ambil paksa tanpa ada belas kasih.
"Lepaas!!! Bebaskan aku!! ibuuu!"
"Lepaskan akuu!!"
Jerit para wanita itu di seret kasar. Bukan hanya para wanita. Pemuda yang berumur belasan juga harus di kirim ke istana untuk di jadikan prajurit yang bisa saja mati kapan-pun.
Saat tiba di jalan menuju istana dengan pepohonan gaharu berjejer di samping tempat itu, terdengarlah suara alunan harmonika dari sela-sela pohon yang berguncang terasa familiar dan cukup menggetarkan keberanian.
"Alunan itu lagi!" Gumam mereka saling pandang gentar. Lantunan irama dari harmonika yang nyaring terasa sangat memekik hingga kefokusan mereka mulai buyar dan tak tentu arah.
Semakin keras dinamika itu mengalun maka gendang telinga mereka seperti di tusuk ribuan jarum. Alhasil, semua perajurit kerajaan yang tadi menyeret banyak gadis dan pemuda itu mulai berteriak karna tak tahan dengan kerasnya irama yang mengaduk-aduk telinga mereka.
"Cepat pergi dari sini!!!"
Teriak salah satunya tahu jika ini bukanlah pertanda baik. Dengan sisa keberanian yang ada mereka bergegas pergi meninggalkan tawanan yang anehnya tak mendengar apapun.
Hanya pohon-pohon yang saling berguncang dengan angin yang berhembus cukup kuat menerbangkan dedaunan kering yang terbang mendekati cahaya bulan di atas sana.
Suasana benar-benar terasa aneh dan dingin. Mereka seperti di tatapan ribuan mata buas tapi tak ada siapapun diantara kegelapan ini.
"Cepat pergi dari sini sebelum mereka datang!" Seru salah satu pria muda melepaskan diri dan membantu teman-temannya yang lain agar bisa bebas.
Vote and like sayang..
Laporan yang di terima Raja Barack tentang patroli yang kali ini gagal membuat amarah pria itu menggebu. Ia memanggil Delvin putranya yang bertanggung jawab atas patroli malam ini dan menurut Panglima Ottmar, pria itu tak memantau apapun sedari malam ini.
Alhasil, Delvin terkena amukan ayahnya di hadapan Pengawal Ottmar yang menunduk kala tatapan Delvin sangat menghakiminya.
"Kau yang-ku harapkan untuk menjadi penerus kerajaan ini tapi, berapa kali patroli ini gagal juga karna ulahmu. Delviin!!" Sarkas Raja Barack menatap tajam Delvin.
Pria dengan tubuh proporsional dan memiliki wajah tergolong tampan di kalangan para pria itu termenung. Alisnya yang tipis seketika bertaut pertanda ia tersinggung.
"Yang Mulia! Maafkan aku. Tadi, aku sedang menyelidiki pemberontak buronan kerajaan kita dan sedikit mendapat hasil," Jawab Delvin membuat cerita.
Raja Barack terdiam sejenak. Ia Yang duduk di kursi ruang pertemuan ini seketika berdiri hingga tubuhnya yang hampir sama tinggi dengan Delvin mendongak angkuh.
"Apa benar yang kau katakan?"
"Benar Yang Mulia! Aku tadi membuntuti Latizia yang keluar dari kerajaan secara sembunyi-sembunyi. Gesturnya begitu mencurigakan," Jelas Delvin padahal wanita itu sama sekali tak pernah keluar dari Papiliun belakang.
Ia tak ingin kepercayaan Raja Barack yang sudah ia pupuk sejak lama menjadi hancur hanya karna sosok misterius yang selalu menggagalkan patroli kerajaan.
"Apa yang wanita malam itu lakukan di luar istana?!"
Delvin diam tapi ada seringaian yang membayang di bibir tipisnya. Beginilah fungsi Latizia di kerajaan hanya akan menjadi kambing hitam untuk Delvin.
"Wanita itu seperti mengawasi patroli malam ini. Aku yakin, dia bekerja sama dengan seseorang untuk mengkhianati kerajaan. Yang Mulia!"
"Berani sekali wanita itu?!" Geram Raja Barack sungguh naik pitam. Ia kembali duduk di kursinya lalu menatap penuh perintah Panglima Ottmar yang mengerti.
"Baik, Yang Mulia!" Gumamnya menunduk segera pergi dari ruangan pertemuan ini.
Delvin melirik sangat licik. Dengan memanfaatkan Latizia maka ia bisa bebas dari tuduhan ayahnya soal kegagalan misi malam ini.
"Apa benar wanita itu berani mengkhianati kerajaan?" Tanya Raja Barack seperti belum menyangka jika wanita seperti Latizia mampu melakukan hal itu.
"Yang Mulia! Bukankah kau tahu betul jika setelah kehilangan kerajaannya, dia tak lagi di pandang di kerajaan kita?!"
Raja Barack mengerti maksud Delvin. Pria paruh baya dengan rambut separuh memutih itu mengusap dagunya yang di tumbuhi jambang halus.
"Tak di sangka dia benar-benar pandai menyembunyikan belangnya."
"Benar, Yang Mulia! Tadi, aku sempat memarahinya dan memaksa untuk mengakui semua itu tapi dia tetap mengelak," Timpal Delvin dengan penuh rasa hormat.
Raja Barack begitu tak sabar melihat tikus kotor itu. Ia menegaskan jas yang ia pakai seraya meletakan kedua tangannya angkuh di kedua sisi pegangannya kursi.
"Lepaaas!!!"
Suara keras nan tegas Latizia dari luar ruangan terdengar memberontak. Delvin menatap pintu besar di belakangnya yang dibuka memperlihatkan Latizia di seret masuk oleh dua pengawal istana dipimpin Panglima Ottmar.
"Yang Mulia!"
Sapa mereka meletakan satu tangan di atas dada dan setengah membungkuk di hadapan Raja Barack.
"Lepass!! Untuk apa kalian membawaku ke sini???" Geram Latizia karna ia merasa tak melakukan apapun.
"Lempar dia!" Tegas Raja Barack hingga Latizia di dorong tepat di hadapan pria angkuh itu.
Latizia yang tersungkur seketika menatap tajam Delvin yang memberinya senyum puas dan sarkas.
"Wanita j**lang!"
"Aku bukan j*lang!" Bantah Latizia menegaskan kalimatnya. Ia dengan cepat ingin bangkit tapi dua pengawal itu menahan kedua tangannya untuk tetap berlutut.
"Lepaaas!!! Jika hanya untuk mempermalukan aku. Maka kalian sama sekali tak pantas!!" Tekan Latizia berani menatap tegas mata coklat Raja Barack yang di penuhi api amarah.
"Lancang sekali bicaramu!!!" Geram Raja Barack hingga Delvin mengambil inisiatif menampar Latizia di hadapan semua orang.
Wajah cantik Latizia yang semula juga terluka akan cengkraman Delvin sontak ikut panas saat terkena tamparan pria itu.
"Pelankan suaramu dihadapan Yang Mulia!!" Perintahnya dengan mata penuh intimidasi.
Latizia diam. Matanya yang berair menggigil dipenuhi rasa sakit, amarah dan benci pada Delvin yang sama sekali tak pantas di sebut manusia.
"Kau menyuruhku menghormati orang yang sama sekali tak bisa menghargai seorang wanita?!"
Lagi-lagi Delvin melakukan hal yang sama hingga terjadi berulang kali. Pengawal Ottmar hanya diam melihat Latizia di tampar tanpa ampun hingga wajah cantik wanita itu bengkak dan bibirnya koyak.
"Masih berani kau menentang ayahku???"
Latizia diam mengumpulkan darah yang ada di dalam mulutnya. Telinga bengab dan kepalanya pusing seperti di timpa ribuan batu besar kian menambah rasa sakitnya.
"Rendahkan dirimu pada Yang Mulia!"
"Memangnya dia siapa?" Tanya Latizia menatap tajam Delvin yang sontak ingin menamparnya lagi tapi Raja Barack mencegahnya.
"Hentikan!"
Delvin akhirnya diam kembali ke tempatnya. Ia sudah puas memukuli Latizia yang juga tadi sempat berani melawannya.
"Dia punya nyali yang sangat besar. Tapi, aku masih berbaik hati memberimu kesempatan untuk menjawab!"
Latizia tetap bungkam dengan mata mulai kabur memandang ke arah Raja Barack. Ia tak paham soal apa yang mereka katakan dan ia hanya mempertahankan harga dirinya.
"Katakan! Apa kau terlibat dalam penggagalan patroli malam ini?"
"Patroli?" Gumam Latizia lalu menoleh pada Delvin. Seketika ia paham, kenapa Raja Barack begitu mengecamnya seperti ini.
"Jika kau mengaku. Setidaknya kau mati dalam keadaan tenang."
"Aku tak pernah punya niatan untuk ikut campur urusan kerajaan kalian!" Tegas Latizia melantunkan kebenaran.
Delvin diam. Ia tahu, Letizia memang wanita yang menjunjung tinggi kehormatannya. Selama ini, Delvin-pun mengakui jika Letizia tak pernah keluar dari kerajaan ini.
"Tapi, menurut pernyataan Delvin! Kau keluar malam ini. Apa benar?"
"Tidak," Tegas Latizia membantah itu. Raja Barack seketika menatap Delvin yang sudah mempersiapkan semuanya sedari awal ia mengatakan itu.
"Yang Mulia! Aku melihat dia memakai syal rajut merah dan syal itu ia ingin hancurkan tapi untung saja aku sempat melihatnya!"
Seketika Latizia yang sudah terlanjur sakit segera bicara soal apa yang terjadi saat itu.
"Aku membuat itu untukmu karna aku pikir kau akan bisa menerimaku! Tapi, kau sendiri yang menghancurkannya!"
"Cih, wanita sepertimu sama sekali tak dapat di percaya!" Sarkas Delvin membuat Latizia seperti seorang istri yang mengemis keadilan.
Jika tahu Delvin seperti ini maka, sejak dulu ia tak akan mau menikah kalau bukan karna permintaan ayah dan ibunya.
"Delvin! Kau memang benar-benar berubah," Gumam Letizia mengeraskan rahangnya.
Delvin hanya menaikan alis sinis dengan senyum samar kemenangan.
"Yang Mulia! Serahkan dia padaku. Aku akan mengurusnya!"
Raja Barack menyetujui itu hingga Delvin beralih menyeret Latizia keluar dari ruang pertemuan.
Latizia memberontak tapi ia yang dalam keadaan tak baik-baik saja tentu tak optimal melawan.
Sesampainya di depan sebuah kamar jauh dari ruangan tadi, Delvin mendorong Latizia ke lantai.
"Kau sudah mulai berani, ha?!"
Latizia berpeggangan ke dinding di sebelahnya. Sungguh, pada siapa ia akan lari karna semua jalan terasa buntu.
"Sampai kapanpun, kau tak akan bisa melawanku, paham?" Desis Delvin menekan intonasinya.
Latizia ingin menjawab tapi tiba-tiba ponsel Delvin berbunyi. Raut wajah pria itu terlihat cerah padahal suasana masih malam.
"Hello, Sayang!" Panggilnya mesra berlalu pergi meninggalkan Latizia yang hanya bisa memandang nanar punggung jangkung Delvin.
Ia remas dadanya kuat karna ia tak munafik. Rasa cinta masih ada di sela hatinya dan memberontak setiap melihat pria itu bersama wanita lain.
"A..aku tak bisa," Gumam Latizia meremas dadanya. Ia tahu, pasti Delvin sudah membawa wanita itu pergi ke kamar mereka.
Kamar yang tak lagi menjadi miliknya bahkan sudah terasa asing.
....
Vote and Like Sayang
Pagi ini Latizia baru ingin kembali ke dalam kamarnya. Semalaman ia tidur di kamar belakang menghindari tontonan dewasa yang hanya akan membuatnya terluka berulang kali.
Namun, niat hati tak ingin menyaksikan momen panas itu berulang kali tapi tetap saja ia akan bisa menolak.
Latizia hanya mematung diam berdiri di depan pintu dengan mata terpaku ke arah ranjang kamar dimana Delvin masih bergumal dengan wanita yang berbeda lagi.
Sungguh, Latizia sudah hafal bagaimana pose-pose bercinta Delvin yang kerap kali ia saksikan berkuda sepanas itu. Lulungan nikmat dari wanita yang ia gagahi-pun membuat Latizia mengecil.
"Apa aku tak semenarik mereka?!" Batin Latizia meremas dadanya sendiri. Matanya memanas tapi tubuhnya lebih panas dari itu.
Antara sakit hati dan sakit menahan lonjakan hasrat yang juga ikut terbangun di dalam dirinya karna menyaksikan semua ini.
Tak tahan terus melihat adegan dewasa itu, Latizia segera berjalan cepat menuju kamar belakang paviliun ini. Tak ada satu-pun pelayan yang Latizia temui karna memang Paviliun ini hanya ia yang bersihkan.
Setelah sampai di kamar belakang. Ia dorong pintu itu kuat lalu segera ia tutup rapat.
Mata Latizia terpejam dengan nafas cukup tak stabil. Matanya perlahan terbuka dan berjalan ke arah kaca yang tak jauh dari ranjang.
"Apa yang mereka miliki tapi tak kau punya?!" Tanya Latizia pada dirinya sendiri. Antara marah, bingung dan tak mengerti terjabar dari tatapannya di depan cermin.
Ia buka simpulan tali dress di lehernya lalu ia turunkan pakaian itu sampai ke pinggulnya.
Latizia mengamati setiap sudut wajahnya. Mata violet ungu mistis, cantik dan memikat sangat lekat di iris Latizia. Di negara ini hanya ia yang memiliki mata seperti ini dari sejak kecil.
Ayah pernah mengatakan jika, mataku adalah karunia dan berkat. Tapi, kenapa ini sama sekali tak memberkatiku?!
Kiranya itu pertanyaan yang muncul di benaknya. Jika di telisik lebih jauh, mata ungu mistik yang Latizia punya itu sebuah kelainan iris karna kekurangan melanin.
Latiza juga tahu, kulitnya yang begitu putih bahkan sering merah saat terkena sentuhan kasar ini juga kelainan albino yang di turunkan ibunya.
Luka yang semalam Latizia alami masih membekas di wajahnya. Kedua pipi Latizia sudah bengkak dan merah meradang. Tamparan Delvin semalam memang benar-benar menyisakan banyak luka di sekujur kulitnya yang spesial.
"Mereka bilang kau cantik. Tapi, mungkin setelah melihat kelainanmu mereka akan pergi," Gumam Latizia tersenyum miris.
Dadanya yang berisi dan masih terbungkus rapi di dalam bra itu Latizia acuhkan. Ia tak berharap lagi akan di perlakukan baik oleh Delvin apalagi sampai di pandang seperti manusia.
"Latiziaaa!!!"
Suara Delvin dari arah luar membuat Latizia segera merapikan pakaiannya. Ia mengambil nafas dalam agar responnya lebih rileks nanti.
Brakkk..
Latizia merubah pandangannya datar saat pintu di buka kasar oleh Delvin yang tampak berdiri dengan pandangan jijik padanya.
"Bersihkan kamarku! Jangan ada satupun barang-barang atau aroma lain yang tercium di dalamnya!"
Latizia hanya diam. Tanpa memandang Delvin sama sekali ia berlalu pergi ke luar kamar.
Kondisi wajah Latizia yang merah meradang karna luka semalam membuat Delvin tersenyum puas.
"Cih, penyakitan!" Hardik Delvin menatap kepergian Latizia dengan sinis. Ia yang sudah rapi dibaluti jas formal itu segera pergi ke Istana utama karna akan ada penyambutan untuk Ibunya yang baru pulang setelah melakukan kunjungan ke beberapa kerajaan tetangga.
Latizia yang tadi masih berjalan ke arah kamarnya itu sadar jika hari ini Ibu Ratu Madison akan pulang. Wanita itu juga membencinya dan lengkap sudah penderitaan Latizia sekarang.
"Lebih baik aku tak berurusan dengan wanita itu," Gumam Latizia bergegas ke kamarnya.
Setibanya di ruangan luas nan megah itu. Latizia menutup hidung akan aroma cairan pria yang kental dan banyak pakaian Delvin yang berserakan di lantai. Kondisi ranjang sudah penuh dengan bekas percintaan pria bajingan itu dan tentu Latizia jijik.
"Kau yang berpesta dan aku yang membersihkan semua ini," Geram Latizia mengepal tapi jika tidak begitu maka akan ada masalah besar yang terjadi.
Delvin memiliki kekuasaan disini dan ia yang tak mungkin bisa melawan pria itu akan terkena imbas.
Akhirnya, Latizia segera membereskan semuanya bahkan dengan sangat telaten. Walau dulu ia seorang putri Raja tapi Latizia sudah biasa melakukan semua ini.
Setelah melakukan semuanya dengan benar barulah Latizia mandi. Ia membutuhkan 30 menit untuk ritual satu itu karna Latizia sangat hati-hati menggosok tubuhnya kalau tidak ia akan seperti kepiting rebus.
.......
Sementara di depan Istana utama Madison. Seluruh prajurit kerajaan bahkan petinggi-petinggi di tempat ini berkumpul menyambut seorang wanita yang tampak anggun dengan balutan gaun panjang berwarna brown dengan bagian bahu di tutupi semacam mantel bulu yang hangat.
Ia di giring oleh para prajurit kerajaan bersama pengawal yang siap siaga berjalan di kiri-kanan wanita itu.
"SELAMAT DATANG YANG MULIA RATU!"
Sapa mereka penuh hormat diiringi sambutan kerajaan. Rakyat Madison yang ada di luar gerbang hanya bisa melihat dari jauh karna terhalang banyak media yang hampir memenuhi seluk-beluk karpet merah yang dipijaki anggun Ratu Clorris.
Delvin yang ada di samping Raja Barack tersenyum melihat Ratu Clorris. Tapi, senyumnya seketika berubah saat mendapati ada sesosok pria yang ternyata juga kembali kesini.
"Bukankah itu Prince Milano?"
"Dia datang dengan Princess Veronica!"
Desas-desus rakyat Madison yang tak menyangka jika putra pertama Raja Barack yang terkenal tak berguna itu juga hadir disini bersama istrinya.
Banyak orang yang mengagumi ketampanan pria itu apalagi, postur tubuhnya yang gagah dengan hawa tubuh sangat angkuh dan mendominasi membuatnya selalu menjadi bualan para wanita tapi juga sebuah penghinaan.
"Memang tampan dan berkharisma! Tapi, dia tak pernah bisa membantu kerajaan. Dia sangat angkuh dan punya otak kosong."
"Jika bukan karna menikah dengan Princess Veronica. Pasti, dia akan di lupakan di kerajaan ini."
Gunjingan semua rakyat dan media di sekitarnya. Pria dengan wajah tegas dan tatapan datar itu hanya diam. Tak ada guratan risih di pahatan tajamnya melainkan hanya acuh.
"Sayang! Kau dengar mereka bicara apa?!" Bisik Veronica yang mengandeng angkuh lengan kekar Milano.
"Dengar!"
"Dan itu semua benar," Jawab Veronica tersenyum penuh keangkuhan. Milano mengangguk membenarkan hal itu. Ia tak banyak bicara dan terkenal dungu hanya di berkati ketampanan yang paripurna hingga bisa menjerat putri kerajaan besar seperti Veronica.
Saat tiba di depan semua petinggi kerajaan dan Raja Barack. Milano memberi salam hormat seperti biasa.
Dari tatapan semua orang. Mereka seperti mengolok-ngolok Milano yang tak pantas berdampingan dengan putri Veronica.
"Yang Mulia!"
"Aku senang kalian bisa kembali ke kerajaan!" Ucap Raja Barack pada putri Veronica yang tersenyum anggun.
Ia yang memiliki watak begitu angkuh dan sangat suka menjadi sorotan tentu saja tak segan untuk menunjukan pamornya di hadapan semua orang.
"Terimakasih Yang Mulia! Putri juga senang bisa kembali ke Madison. Benarkan?" Tanya Putri Veronica pada Milano yang hanya mengangguk.
Tak ada senyum di bibirnya atau sekedar bicara manis. Ia memang di juluki pangeran terbuang Madison.
"Milano! Aku harap, kau tak menyusahkan Putri Veronica!" Tegas Raja Barack dan Milano hanya mengangguk saja.
Delvin menatap miris Milano yang seperti peliharaan penurut bagi Putri Veronica yang arogan. Saat pria yang lebih tinggi dan jauh lebih tampan darinya itu berdiri di sampingnya tentu Delvin tak ingin kalah dalam segi pesona.
"Walau kau tak bisa melakukan apapun setidaknya kau bisa menjadi budak paling baik bagi istrimu."
Kelakar Delvin tapi Milano hanya setia dengan wajah dinginnya. Ucapan Delvin dapat di dengar Ratu Clorris yang juga tersenyum simpul diikuti banyak orang disini.
........
Vote and like sayang..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!