NovelToon NovelToon

Menggenggam Rasa

1. Kejutan

Senyuman tak sedetik pun luntur dari wajah cantik Nayla, saat ia melihat kartu undangan pernikahan berwarna peach di tangannya.

Gadis itu akan segera melepas masa lajang dengan seorang laki-laki yang tak sengaja hadir dalam kehidupannya. Laki-laki yang satu tahun belakangan ini mengisi kekosongan hatinya.

Adrian Mahendra, kakak tingkat satu almamaternya di kampus. Mereka bertemu secara tidak sengaja, ketika Nayla mengalami insiden kecil saat perjalanan pulang dari salah satu restoran milik Hasna yang ia kelola.

Saat itu mobil yang Nayla tumpangi mogok. Hampir satu jam menunggu, tapi montir tak kunjung datang. Dan secara kebetulan, Adrian datang menawarkan bantuan.

Dari pertemuan tidak di sengaja itu, mereka baru menyadari jika berasal dari almamater yang sama. Hanya saja fakultas mereka berbeda.

Selama hampir enam bulan lamanya mereka berhubungan dekat, akhirnya Adrian memberanikan diri untuk melamar Nayla tepat di hari ulang tahunnya yang ke 25. Lalu meresmikan hubungan mereka sebulan kemudian melalui acara pertunangan.

Rencananya bulan depan, resepsi keduanya akan di gelar di sebuah ballroom hotel mewah. Tempat yang sama saat Rama, kakak laki-laki Nayla mengadakan resepsi pernikahan dengan sang istri beberapa tahun silam.

Nayla meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Lalu dengan gerakan cepat, ia mengetikkan pesan pada seseorang yang sangat dirindukannya saat ini.

~Hun, lagi apa?~ Nayla.

~Udah waktunya makan siang. Jangan lupa makan, ya.~ Nayla

~Baik-baik di sana.~ Nayla.

~Selalu jaga kesehatan.~ Nayla.

~Aku merindukanmu.~ Nayla.

Beberapa pesan ia kirimkan kepada laki-laki yang dalam waktu dekat akan menjadi suaminya. Dan pesan terakhir berhasil membuatnya terkikik geli. Karena berkali-kali Hasna, kakak ipar kesayangan selalu memperingatkan dirinya. Agar tidak terlalu sering mengumbar kata-kata manis pada seseorang. Terlebih lawan jenis. Apalagi belum memiliki ikatan yang sah.

"Tapi kan, kami akan segera menikah, Mbak." Sangkalnya waktu itu.

"Baru segera, Nay. Masih belum jadi suami, kan?"

"Nggak baik, apalagi kamu perempuan."

Nayla hanya mendengus saat mendengar penuturan Hasna. Mau menyangkal pun, dia merasa sungkan. Karena ia pun menyadari jika terlalu mengumbar kata cinta pada lawan jenis yang belum memiliki ikatan sah, tidaklah baik.

Sekilas mengingat pesan kakak ipar kesayangannya, tiba-tiba saja ia merindukan Reyn. Keponakan tampannya yang baru saja genap berusia 2 tahun, dan dalam waktu dekat akan segera memiliki adik. Sungguh rajin sekali kakak laki-lakinya itu.

Nayla baru saja akan membereskan barang pribadinya, bersamaan dengan ketukan di pintu ruang kerjanya.

"Masuk." Sahutnya dari dalam.

Reni, salah satu pegawai restoran menyembul dari balik pintu.

"Maaf, Mbak, ada tamu."

"Siapa?" Tanya Nayla bertepatan dengan selesainya ia memasukkan ponsel ke dalam tas yang selalu ia bawa.

"Emmm... Nggak tau, Mbak." Nayla mengernyit heran.

"Tapi, aku nggak ada janji temu dengan siapapun hari ini." Ucap Nayla.

"Tadi tamunya sempet bilang, kalau Mbak sama dia teman lama. Dan kebetulan sedang lewat, jadi sekalian mampir."

Nayla menghembuskan nafasnya perlahan, berusaha mengingat kalau-kalau ada salah seorang temannya yang pernah mengirimkan pesan jika akan mampir ke restoran. Tapi sepertinya tidak ada. Bahkan Silvi, sahabatnya masih berada di luar kota.

"Oke, suruh masuk, karena aku tidak punya banyak waktu." Nayla melihat jam yang melingkari lengan kirinya.

Jam makan siang, pasti akan sangat seru jika menghabiskannya di rumah sang kakak. Ia benar-benar rindu dengan keponakan tampannya. Hampir dua minggu ia tidak berkunjung ke sana.

"Selamat siang, Mbak Nayla."

Suara yang begitu familiar berhasil menyapa pendengarannya. Dan tanpa disadari kedua sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan sempurna.

"Kamu boleh pergi, Reni." Ucap Nayla yang di angguki oleh Reni.

Nayla berjalan mendekat ke arah tamu yang siang ini mengunjunginya, bersamaan dengan suara pintu yang ditutup oleh Reni dari luar.

Nayla menubruk tubuh tinggi tegap yang merentangkan kedua tangan, mempersilahkan dirinya untuk masuk ke dalam pelukan. Adrian, laki-laki itu datang tanpa memberikan kabar terlebih dahulu, dan berhasil membuat kejutan untuknya.

"Aku sangat merindukanmu." Gumam Nayla. Ia semakin mempererat pelukannya.

"I miss you so badly." Ucap Adrian seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil dalam dekapannya.

"Kenapa nggak bilang kalau mau mampir?" Nayla mendorong pelan dada Adrian. Hingga pelukan keduanya terurai.

"Untung aku belum pergi."

"For you." Adrian memberikan buket bunga mawar cantik untuk Nayla.

"Thank you." Nayla kembali menghambur ke dalam pelukan setelah menerima sebuket mawar merah dari Adrian. Sepertinya Adrian memiliki cara ampuh untuk meluluhkan Nayla.

Untuk beberapa saat mereka bertahan dalam posisi ternyaman untuk sekedar melepas kerinduan. Hingga suara Adrian membuat pelukan di antara mereka kembali terurai.

"Kira-kira Mbak Hasna tau nggak ya, kalau kita pelukan kayak gini?"

Nayla reflek mendorong dada bidang itu, lantas menghadiahkan pukulan di lengan Adrian. Kenapa tiba-tiba membicarakan Hasna? Andai saja kakak iparnya itu tau apa yang baru saja mereka lakukan, bisa di pastikan mereka akan mendapatkan siraman rohani dari perempuan cantik itu, detik ini juga.

"Apaan sih, malah bahas Mbak Hasna." Kekeh Nayla.

"Ya kali-kali aja, tiba-tiba muncul. Pasti habis kita kena semprot." Kekeh Adrian.

"Eh, Mbak Hasna udah lahiran, belum?"

"Belum, perkiraan pertengahan bulan depan." Ucap Nayla.

"Setelah kita menikah?"

"Ya... Antara sebelum dan sesudah kita menikah."

"Kok nggak pasti?" Adrian mengernyit heran dengan jawaban tidak pasti dari Nayla.

"Ya...namanya orang lahiran itu bisa maju, bisa mundur dari perkiraan."

Perempuan itu kembali menghirup aroma khas bunga mawar di tangannya.

"Eh, kamu udah makan belum?"

Nayla baru ingat, jika sesaat sebelum Adrian datang, ia sempat mengirimkan pesan agar tunangannya itu tidak melewatkan makan siangnya.

"Belum, tadi langsung ke sini setelah kerjaan beres."

Walaupun berasal dari kota yang sama, tapi Adrian menetap di kota tempatnya bekerja. Dan selama itu pula, mereka hanya bertemu satu minggu sekali saat weekend. Kebetulan juga, hari ini Adrian ada pekerjaan disini.

"Makan disini atau..."

"Ada opsi lain?" Potong Adrian cepat.

"Ya, sebenarnya aku mau ke rumah Kak Rama. Udah kangen banget sama Reyn. Dua minggu nggak ketemu."

"Jadi, aku saingan nih sama bocil?" Adrian mendengus kecil saat mengatakannya.

"Paan sih? Nggak jelas banget." Kekeh Nayla.

"Reyn itu umur berapa sih sekarang? Udah mau punya adek aja."

"Tiga bulan yang lalu, baru dua tahun sih."

"Rajin juga, Kak Rama. Bisa ditiru nih." Ucap Adrian seraya mengerling ke arah Nayla.

"Ckk...nggak jelas banget kamu." Kedua pipi perempuan itu nampak bersemu merah mendengar ucapan terakhir Adrian. Namun laki-laki itu justru terkekeh melihat ekspresi yang Nayla tunjukkan.

"Udah ah, jadi mau makan di mana?" Nayla mengakhiri bahasan yang akan menjurus kepada hal-hal aneh lainnya.

"Di rumah Kak Rama aja deh. Sekalian minta tips jitu biar Reyn cepet punya sepupu." Adrian menaik turunkan alisnya. Sungguh membuat Nayla ingin sekali menjewer telinganya dengan sangat keras.

"Coba aja kalau berani." Tantang Nayla, yang membuat tawa Adrian pecah.

***

Mobil yang Adrian kendarai memasuki gerbang tinggi yang menjulang kokoh di depan kediaman Rama.

Saat pertama ia diajak Nayla untuk berkunjung di rumah kakak laki-lakinya, ia benar-benar merasa insecure saat mengetahui betapa megahnya kediaman calon kakak iparnya itu.

"Kamu tahu nggak, kalau rumah ini hadiah buat Mbak Hasna saat lahiran Reyn." Ucap Nayla waktu itu.

Ia hanya bisa menelan ludah saat mengetahui jika Rama memberikan hadiah semewah itu pada istrinya, sesaat setelah kelahiran putra pertama mereka.

Nanti jika Nayla melahirkan anak pertama mereka, apa ia harus memberikan hal serupa?

"Aku merasa bukan siapa-siapa kalau begini." Ucapnya kala itu. Ia benar-benar merasa kerdil di hadapan keluarga Nayla.

Secara finansial, ia sudah tergolong mapan dengan pekerjaan yang membuatnya menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tak sedikit setiap bulannya. Bahkan berhasil membeli satu unit rumah untuk ia tinggali bersama dengan Nayla setelah mereka menikah nanti.

Tapi saat mengetahui rumah bak istana milik Rama, ia merasa kurang percaya diri. Bahkan rumah itu lebih besar dan mewah dari rumah keluarga Suryanata.

"Pemberian itu tidak melulu dengan sesuatu yang mewah." Jawab Nayla saat ia menanyakan hadiah saat kelahiran anak pertama mereka nantinya waktu itu.

"Tapi hati di dalamnya. Ketulusan, itu yang terpenting."

"Tapi, aku tidak membutuhkan semua itu." Nayla menatap dalam manik coklat terang milik Adrian.

"Cukup temani dan dukung aku di masa-masa sulit saat aku menjalankan perananku sebagai seorang istri. Bagiku itu lebih dari cukup."

"Seperti kak Rama yang selalu berada di samping Mbak Hasna."

Ucapan Nayla terekam sempurna dalam ingatannya. Dan itu berhasil membuatnya bertahan sampai di titik ini.

Ketulusan, itu yang membuatnya yakin untuk melangkah menuju masa depan bersama Nayla. Bukan karena harta yang di miliki perempuan itu, karena berasal dari keluarga yang berada dan cukup terpandang di kota ini. Tapi ia benar-benar tulus mencintai perempuan itu apa adanya.

"Masuk, yuk."

Suara Nayla berhasil membuatnya kembali tersadar dari lamunan.

Segera ia membuka seatbelt yang membelit tubuhnya, lalu mengikuti langkah Nayla menuju pintu utama.

***

Hai...hai...hai...

Ketemu lagi di karya kedua ku. Setelah sekian purnama bertapa, akhirnya turun gunung juga. (Apaan sih, nggak penting 😂😂🙏🏻)

Setelah banyaknya request tentang kisah si gadis tengil. Akhirnya pecah telor juga, setelah mengerami selama hampir dua bulan lamanya (burung onta kali ah)

Udah...nggak perlu banyak cuap-cuap. Aku ingin mempersembahkan karya ini untuk kalian, para pembaca tersayang. Semoga kalian suka dan terhibur. Love you all.

2. Setelah Menikah

"Assalamu'alaikum."

Suara ceria khas Nayla menggema memenuhi ruang makan kediaman Rama. Membuat Rama, Hasna, juga Reyn menoleh ke arahnya secara bersamaan.

"Wa'alaikumussalam."

Nayla langsung mencium punggung tangan Hasna dan memeluk perempuan yang tengah hamil itu dengan rasa rindu. Statusnya memang hanya ipar, tapi ikatan di antara mereka sudah layaknya seperti saudara kandung.

"Kesini kok nggak ngabarin?" Tanya Hasna saat pelukan keduanya terurai.

"Sengaja. Habisnya kangen banget sama Reyn."

Nayla beralih mencium punggung tangan Rama, kemudian menghambur untuk memeluk keponakan tampannya.

"Reyn... Tante kangeeen." Ciuman bertubi-tubi mendarat di pipi bulat Reyn.

"Leyn matan duyu, Tante." Reyn kembali fokus pada sendok di tangannya.

"Selamat siang, Kak, Mbak." Sapa Adrian yang masih berdiri di samping meja makan. Membuat Rama menoleh ke arahnya.

"Siang, duduk, duduk." Sambut Hasna.

Adrian menyalami Rama terlebih dahulu dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada kepada Hasna, sebelum mendudukkan dirinya di kursi di sebelah kiri Rama.

"Sengaja? Atau kebetulan?" Tanya Rama penuh selidik.

Adrian sempat melirik ke arah Nayla yang duduk di hadapannya, tepatnya di sebelah high chair yang di duduki Reyn.

"Kebetulan ada kerjaan di kantor pusat. Atasan memberikan izin untuk pulang. Jadi tidak perlu kembali ke kantor."

"Dan pulangnya tidak ke rumah, tapi..." Rama justru melirik pada adik perempuannya. Dan itu sukses membuat Adrian salah tingkah.

"Ee...saya sengaja mampir ke restoran, karena kebetulan searah juga."

"Aku yang ngajak Adrian kemari, karena aku memang mau kesini. Kangen sama Reyn." Sahut Nayla.

"Bi Narsih."

Tak lama muncul wanita paruh baya dari arah dapur.

"Iya, Bu."

"Tolong ambilin piring, ya. Buat Mbak Nayla sama Mas Adrian." Pinta Hasna.

"Baik, Bu."

"Makan dulu, mumpung Mbak masak menu spesial." Ajak Hasna.

"Mbak Hasna semua yang masak?" Nayla menatap kakak ipar yang berada di samping kirinya. Dan anggukan Hasna sebagai jawabannya.

"Menu sebanyak ini?"

Di atas meja ada beberapa menu yang terhidang, makanan favorit Rama pastinya. Juga yang lainnya, seperti gulai ikan dan perkedel kentang.

"Sesuai request." Hasna mengerling ke arah Rama yang kembali fokus dengan piring dihadapannya.

***

"Nanti setelah makan, temui saya di ruang kerja, ya." Ucap Rama sebelum berlalu dengan membawa Reyn dalam gendongan.

Adrian tiba-tiba saja merasa gugup luar biasa setelah mendengar kalimat yang baru saja Rama tujukan padanya. Ia sudah sering bertemu dengan Kakak laki-laki calon istrinya itu. Juga terlibat obrolan ringan. Tapi kenapa auranya sekarang berbeda.

Dari tatapan yang Rama berikan kepadanya, seolah mengatakan ada hal yang... Aahhh...bahkan hanya memikirkannya saja, sudah membuatnya susah menelan makanan yang sempat ia kunyah.

"Kak Rama mau ngomongin apa sih, Mbak?" Nayla mulai mengorek informasi dari Hasna. Paling tidak clue yang Hasna berikan bisa membantu mengurangi rasa penasarannya.

"Kok ngajak ke ruang kerja? Biasanya juga ngobrol bareng di ruang tengah."

Hasna hanya menggedikkan bahu dan kembali memakan potongan apel segar.

"Nggak balik kantor?" Tanya Nayla lagi.

"Kalau jum'at, Mas Rama jarang balik. Habis sholat jum'at, nemenin Reyn main sekalian nemenin tidur siang."

"Tapi kalau ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal, ya... Langsung balik tuh." Ujar Hasna.

Adrian yang mendengarkan obrolan dua perempuan itu hanya bisa menghembuskan nafasnya perlahan. Hasna bahkan tidak memberikan jawaban pasti. Kira-kira apa yang akan Rama bicarakan kepadanya?

***

Tok, tok, tok

Terdengar ketukan beberapa kali di pintu, membuat Rama menghentikan aktifitasnya bermain dengan Reyn di atas playmat.

"Masuk."

Terlihat Adrian menyembul dari balik pintu.

"Oke, boy. Sama bunda dulu, ya. Ayah ada perlu sebentar sama om Adrian." Rama mengangkat tubuh jagoan kecilnya setelah sebelumnya meminta Adrian untuk duduk di sofa.

Tak berselang lama, Rama kembali dan mendudukkan dirinya tepat di kursi lain yang berada di samping kanan Adrian. Lalu Bi Narsih mengekorinya dengan membawa dua cangkir minuman di atas nampan.

"Silahkan, Pak." Ucap Bi Narsih setelah menyimpan dua cangkir minuman hangat di hadapan mereka.

"Makasih, Bi."

"Minum dulu." Ucap Rama setelah pintu ruang kerjanya ditutup dari luar.

Adrian mengikuti Rama yang mengambil cangkir, lalu menyesapnya perlahan sekedar untuk menghilangkan kegelisahan.

"Ada hal penting yang perlu saya bicarakan sama kamu." Ucap Rama membuka obrolan.

Rupanya Rama tidak ingin berbasa-basi. Dan itu sukses membuat Adrian menelan salivanya sendiri dengan susah payah.

Berbagai pikiran negatif menghampiri benak laki-laki berusia 26 tahun itu. Adakah kesalahan yang ia perbuat, hingga Rama memintanya duduk hanya berdua di ruang kerja? Ruangan pribadi yang tidak sembarang orang bisa memasukinya.

Atau bahkan, kedatangannya di rumah Rama suatu kesalahan? Sehingga membuat sang tuan rumah merasa tidak nyaman. Apalagi datangnya berdua dengan Nayla. Dan disaat masih jam kerja. Otaknya benar-benar tidak bisa menerka satu jawaban pun.

"Maaf sebelumnya, jika nantinya kamu tersinggung dengan ucapan saya."

Bahkan bisa ia lihat, gurat keseriusan di wajah Rama.

"Satu bulan lagi, kamu dan Nayla akan menikah."

Sebaris kalimat sudah membuat Adrian dilanda kegugupan. Tapi ia berusaha untuk tetap bersikap tenang di bawah tatapan Rama yang seolah tengah mengintimidasinya.

"Saya dan Papa sudah membicarakan hal ini sebelumnya."

"Dan kebetulan kamu kemari, saya akan sampaikan ini sama kamu sekarang."

Adrian mulai menghirup nafas dalam-dalam untuk mengurai ketegangan.

"Sebentar lagi, Papa akan segera memasuki masa pensiun. Dan sebelum waktunya tiba, Papa ingin ada yang menggantikan posisi Papa di perusahaan."

"Awalnya, Papa meminta saya sendiri untuk mengambil alih perusahaan. Tapi sudah banyak yang saya handle. Perusahaan saya sendiri, bahkan restoran milik istri saya. Yang salah satunya di kelola Nayla."

"Jadi tidak mungkin saya memecah konsentrasi saya sebanyak itu."

Rama menjeda ucapannya. Memperhatikan Adrian yang belum membuka suara sama sekali.

"Jadi, Papa mengambil keputusan bijak untuk menyerahkan tanggung jawab perusahaan kepada kamu."

Keterkejutan nampak begitu jelas dimata laki-laki berkemeja navy itu. Hingga membuat Rama kembali membuka suara.

"Ini bukan keputusan sepihak dari Papa. Tapi memang kami sudah memikirkan dan mempertimbangkan semuanya matang-matang."

"Semuanya bisa dipelajari pelan-pelan."

"Makanya, sebelum Papa benar-benar meninggalkan perusahaan. Papa minta sudah ada yang menggantikan."

"Dan saya yakin, kamu mampu." Ucap Rama yang masih menatap lurus ke arah Adrian.

Adrian menundukkan kepalanya sejenak. Berusaha mencari kata yang pas untuk menolak permintaan calon kakak iparnya itu. Jangan sampai ia malah melukai perasaan keluarga Nayla.

"Di perusahaan, ada bagian milik Nayla. Dan sebagai suaminya kelak, kamu yang harus menjalankannya." Ucap Rama kembali memecah keheningan.

"Kamu tahu sendiri kan, kalau Nayla tidak ada ketertarikan dengan dunia bisnis perkantoran? Makanya lebih memilih ikut bergabung di restoran istri saya."

Adrian menelan ludahnya yang terasa begitu susah saat melewati tenggorokan. Sebelum pada akhirnya, ia membuka suara.

"Maaf, Kak. Bukannya saya menolak, tapi saya merasa tidaklah pantas memegang kendali perusahaan sebesar itu."

"Karena saya sadar akan kemampuan yang saya miliki." Ucap Adrian penuh kehati-hatian.

"Seperti yang saya katakan tadi. Semua bisa di pelajari pelan-pelan." Sanggah Rama.

"Tapi, saya sudah memiliki pekerjaan tetap. Dan sudah membuat saya merasa nyaman." Adrian masih berusaha menolak permintaan Rama.

"Maaf jika kamu tersinggung. Tapi kami tidak bermaksud menyudutkan pekerjaan kamu."

"Kami hanya ingin, kamu lebih maju. Apalagi setelah kalian menikah, tanggung jawab bukan hanya untuk diri kamu sendiri, tapi kepada keluarga kecil kalian nanti."

"Lagi pula, perusahaan milik Papa, adalah milik keluarga Suryanata. Jadi kamu juga memiliki kesempatan yang sama dengan saya saat kamu resmi menikah dengan Nayla nantinya. Memimpin perusahaan."

Jujur saja, Adrian merasa tidaklah mampu. Selama ini ia bekerja di bidang yang memang sesuai dengan keahliannya. Lalu apakah dia sanggup memikul tanggung jawab yang akan diberikan seorang Andi Suryanata kepadanya?

"Kapanpun kamu siap, katakan. Saya siap membantu. Tidak perlu sungkan." Pungkas Rama.

***

Menjelang sore, Nayla dan Adrian berpamitan pada Rama juga Hasna. Dan sekarang, keduanya tengah berada dalam mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya terdengar suara nyanyian yang mengalun merdu berasal dari audio mobil, yang baru saja Adrian nyalakan. Membuat Adrian mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas kemudi mengikuti irama lagu.

Trouble will find you no mater where you go, oh oh

No Matter if you're fast no matter if you're slow, oh oh

The eye of the storm and the cry in the morn, oh oh

Your fine for a while but then start to loose control

He's there in the dark

He's there in my heart

He waits in the winds

He's gotta play a part

Trouble is a friend

Yeah trouble is a friend of mine. oh oh

(Trouble is a friend, Lenka)

"Honey."

"Ya?" Adrian menoleh sekilas pada Nayla.

"Tadi ngobrolin apa sama kak Rama? Serius banget. Sampai aku nggak diizinin masuk sama Mbak Hasna."

Tak pernah berubah, jiwa kepo Nayla selalu menggelitik untuk menanyakan hal yang belum ia ketahui pada tunangannya itu.

"Kepo, ya...." Adrian mengerling ke arahnya.

"Ckk... Siapa juga yang kepo? Orang nanya doang." Sungut Nayla.

"Itu...hidungnya sampai kembang kempis begitu. Apa coba kalau bukan kepo." Kini Adrian mulai tergelak.

"Iiihhhh...nyebelin deh." Nayla pura-pura merajuk dengan membuang pandangan ke arah luar jendela di sampingnya.

Adrian tersenyum simpul mendapati reaksi Nayla yang seolah tengah memprotes dirinya.

"Tadi kak Rama bilang kalau..."

Nayla memasang kedua telinganya dan menajamkan pendengaran. Menunggu Adrian menyelesaikan kalimatnya. Dan tetap tak mengalihkan pandangannya dari luar jendela. Akan terlihat sekali ia sangat penasaran, jika langsung menoleh pada Adrian.

"Aku...di minta untuk..."

Hampir saja Nayla melayangkan protes, karena Adrian tidak to the point dalam menyampaikan berita. Namun urung, saat laki-laki itu kembali membuka suara.

"Setelah kita menikah...aku diminta...untuk...mengambil alih perusahaan Papa kamu." Nayla langsung mengalihkan pandangannya, dan menatap Adrian yang masih fokus pada jalanan, namun masih melirik ke arahnya sebentar.

"Trus kamu bilang apa?" Kali ini Nayla benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Dan ekspresi yang perempuan itu tunjukkan benar-benar membuat Adrian tak kuasa menahan tawanya.

***

3. Diskusi Masa Depan

So don't be alarmed if he takes you by the arm

I won't let him win, but I'm a sucker for his charm

Trouble is a friend

Yeah trouble is a friend of mine, oh oh

(Trouble is a friend, Lenka)

Masih terdengar sayup-sayup lagu yang sedari tadi mereka dengarkan dari audio mobil, di tengah gelak tawa Adrian.

"Adrian iiihhhh...nggak lucu."

"Aku nanya nya serius." Protes Nayla.

"Oke."

Adrian menghentikan tawanya dan kembali fokus pada Nayla. Jemarinya bergerak menyentuh tombol off audio. Sepertinya ia harus segera membicarakan hal serius ini pada Nayla.

"Terus, kamu bilang apa? Kamu nggak nolak, kan?" Tanya Nayla dengan tidak sabarnya.

Hening.

Adrian menoleh sekilas pada Nayla, lalu kembali fokus pada jalanan. Terdengar helaan nafas panjang dari laki-laki itu.

"Jujur, aku lebih nyaman dengan pekerjaanku sendiri, daripada harus mengelola perusahaan Papa kamu." Ucap Adrian hati-hati.

"Aku cukup sadar diri dengan kemampuan yang aku miliki. Aku tidak mau serakah dengan meng iya kan tawaran Kak Rama dan Papa kamu. Aku takut." Laki-laki itu sekilas melirik Nayla yang fokus kepadanya.

"Aku takut membuat kalian kecewa, karena telah menyerahkan tanggung jawab besar kepada orang yang tidak mampu untuk mengembannya."

"Aku nggak mau orang-orang beranggapan kalau aku menggunakan aji mumpung. Mendapatkan calon istri anak seorang pengusaha sukses. Dan sekarang, aku yang ambil alih perusahaan milik keluarga kamu." Adrian menggeleng pelan.

Nayla meraih tangan kiri Adrian yang tidak memegang kemudi. Tepat setelah laki-laki itu selesai menyampaikan uneg-unegnya.

"Papa dan Kak Rama, tidak akan mengambil keputusan yang asal-asalan. Mereka sudah sangat lama terjun di dunia bisnis. Dan sangat mudah bagi mereka menemukan calon yang tepat sebagai penerus di perusahaan." Ucap Nayla berusaha meyakinkan.

"Tapi, bukan aku orang yang tepat itu." Sahut Adrian.

Nayla menghembuskan nafas panjang. Tidak mungkin ia bisa memaksa Adrian. Lebih baik ia mengikuti alurnya saja.

Nayla mengusap lembut lengan kokoh di balik kemudi itu. Dan berusaha memberikan senyuman manis untuk calon suaminya.

"Nanti pasti ada saatnya kamu akan mengatakan, aku siap menerima tanggung jawab ini. Demi aku, demi keluarga kita nantinya."

Mobil yang Adrian kendarai membelah arus lalu lintas yang tidak terlalu padat. Hanya terjebak macet di lampu merah saja.

"Mau langsung pulang, atau... Kita mampir dulu?" Tawar Adrian yang memperhatikan traffic light yang masih menyalakan warna kuning.

"Aku masih kenyang." Lirih Nayla.

Adrian sontak menoleh pada Nayla dan tersenyum lebar mendengar jawaban yang perempuan itu berikan.

"Mampir tidak harus makan, Honey."

"Barangkali kamu pengen jalan-jalan dulu. Atau... Nonton mungkin." Ucap Adrian tepat saat traffic light menyalakan lampu hijau, dan kembali melajukan mobil.

"Ya...anggap saja, kita lagi kencan. Long weekend ini." Adrian sekilas melihat ke arah Nayla.

Nayla nampak berpikir sejenak.

"Not bad. Oke, kita nonton." Ucap Nayla dengan seulas senyuman.

***

"Nggak mampir dulu?" Nayla membuka seatbelt yang membelit tubuhnya, sesaat setelah Adrian mematikan mesin mobil.

"Menurut kamu? Setelah hampir seharian menculik anak gadis orang, apa aku harus pergi begitu saja?"

"Bisa di gantung rame-rame aku sama Papa kamu dan Kak Rama." Kekeh Adrian yang mengikuti Nayla yang membuka seatbelt kemudian turun dari mobil bersamaan.

Sejenak Adrian dan kedua orang tua Nayla bercengkerama, sebelum akhirnya pamit pulang. Karena malam semakin larut.

"Hati-hati nyetirnya. Nggak usah ngebut." Pesan Nayla saat Adrian telah masuk ke dalam mobil.

"Pengennya sih nginep. Sayangnya...aku masih sayang nyawa." Adrian menatap Nayla penuh arti.

"Belum ngerasain surga dunia." Kini laki-laki itu menaik turunkan kedua alisnya menggoda.

Plak

Satu pukulan mendarat di lengan kanan Adrian.

"Dijaga kalau ngomong. Kena jewer Mbak Hasna, baru tau rasa kamu." Adrian semakin tergelak mendengar ucapan Nayla.

"Oke, aku pulang dulu." Ucap Adrian setelah tawanya mereda.

"See you next time."

"Hati-hati." Ucap Nayla.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

***

Semua berjalan seperti biasa. Rutinitas setiap week day, dan segala kepenatan yang menghiasinya.

Kurang dari dua minggu, Nayla akan segera melepas masa lajangnya. Dan itu membuat si gadis tengil kerap menyambangi kediaman kakak laki-lakinya.

Selain belajar mencoba sebuah resep tentu saja untuk belajar menjadi seorang istri yang baik untuk calon suaminya kelak, Adrian.

"Harus sabar, ikhlas, dan berusaha menerima." Tiga kata yang Hasna ucapkan padanya sore ini, setelah menyelesaikan membuat cookies dan menikmati hasilnya di ruang tengah.

"Sabar dengan apapun ujian yang menyapa kita." Lanjut perempuan cantik itu.

"Karena ujian, bukan melulu tentang kesulitan. Tapi juga kenikmatan."

Nayla mengernyit mendengar penuturan Hasna.

"Contohnya seperti Mbak ini." Tautan kedua alis Nayla semakin dalam.

"Mbak hamil. Itu juga sebagai suatu ujian dalam pernikahan. Ujian atas kesabaran kita untuk menikmati rasa sakit yang tiba-tiba mendera."

"Hilangnya naf-su makan. Tidur yang tak selalu nyaman. Dan kondisi tubuh yang tidak selalu bugar." Hasna mengusap lembut perut besarnya.

Nayla mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan Hasna.

"Bagaimana nanti suami yang selalu di butuhkan sosoknya oleh istri di masa-masa sulit? Bagaimana kesabaran suami mendampingi istrinya? Dan bagaimana kesabaran istri atas apa yang di alaminya?"

Nayla mengingat bagaimana saat pertama Hasna resmi menikah dengan Rama. Walau secara tidak langsung, tapi ia tahu jika kakaknya itu menolak kehadiran Hasna sebagai istrinya. Tapi Hasna tetap bertahan dengan segala sikap menyebalkan Rama.

Lalu saat Hasna dinyatakan hamil oleh dokter. Saat itu Hasna bahkan tengah koma pasca kecelakaan. Bagaimana hancurnya Rama. Namun tetap bertahan mendampingi Hasna hingga terlepas dari masa sulit. Hingga putra mereka terlahir ke dunia dengan selamat.

"Ikhlas dan berusaha menerima apapun yang telah digariskan oleh Allah untuk kebaikan kita."

Satu yang Nayla suka dari Hasna, tidak pernah merasa menggurui. Karena mereka lebih sering terlibat diskusi ringan, yang bahkan seperti obrolan pada umumnya. Tentang bagaimana membawa hubungan pernikahan agar tetap terasa manis, meski jalan yang di lalui tak selalu indah.

"Mungkin kamu berpikir jika, gampang Mbak soalnya udah sering ngobrolin hal serupa. Udah banyak belajar. Tapi, nantinya permasalahan yang akan kamu temui tidak akan sama dengan apa yang Mbak dan mas Rama alami."

Nayla mengangguk perlahan. Tidak bisa membayangkan saja, bagaimana ia berada di posisi Hasna. Diacuhkan oleh sosok yang bergelar sebagai suami. Yang bahkan baru pertama ditemui saat akad nikah. Yang pasti, dia tidak akan sanggup.

"Karena Allah sudah menakar semua sesuai dengan porsinya."

"Yakinlah, kalau apa yang Allah tetapkan adalah yang paling terbaik buat kamu."

Nayla tiba-tiba saja menghambur ke dalam pelukan Hasna.

"Kenapa aku merasa Allah nggak adil ya, Mbak?" Hasna mengerutkan keningnya.

"Kenapa bukan Mbak Hasna aja yang jadi kakakku?" Ucap Nayla setengah menggerutu.

"Jadi kamu nggak suka kalau Mas Rama jadi kakak kamu?" Todong Hasna.

"Oke, nanti aku kasih laporannya biar segera di ACC sama Ayahnya Reyn." Seloroh Hasna.

"Iiihhh... Mbak Hasna... nyebelin deh." Nayla memberengut dengan kedua tangan yang masih melingkari pundak perempuan itu.

Sesaat keduanya terdiam. Hingga suara Hasna kembali terdengar.

"Nay... Mbak boleh ngomong sesuatu nggak?" Tanya Hasna.

Nayla melepaskan pelukannya dari Hasna.

"Ngomong aja kali, Mbak. Biasanya juga nggak pakek izin dulu." Ucap Nayla.

"Tapi janji, ya. Kamu jangan tersinggung."

Nayla memperhatikan wajah cantik yang tengah serius menatap ke arahnya.

***

Nayla merebahkan tubuhnya di atas ranjang, setelah menyelesaikan sholat isya'. Kedua netranya menatap langit-langit kamar bernuansa lavender itu.

Kata-kata yang sempat Hasna ucapkan kembali berputar memenuhi pikirannya.

Jujur saja ia tidak menolak, tapi perlu belajar dan membiasakan diri tentunya. Dan tanpa paksaan, itu poin pentingnya.

"Tapi sebaiknya kamu bicarakan dulu sama Adrian. Bagaimanapun dia akan menjadi imam kamu nantinya. Izinnya adalah sebuah ridho bagi kamu saat sudah sah menjadi istrinya." Itu yang Hasna ucapkan sebelum Rama tiba dari kantor.

Hal yang sangat sensitif, tapi akan sangat baik untuk masa depannya kelak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!