"Eleanor, aku mencintaimu," bisik Dimitri di telingaku.
Hatiku seolah terbang mendengar ucapannya. Ya, aku menyukai Dimitri sejak pertama kali aku menemukannya tersesat di hutan ini.
"Aku juga mencintaimu," bisikku sambil melingkarkan tanganku di lehernya.
Dimitri memelukku dan mendaratkan ciumannya di bibirku. Aku memejamkan mataku menikmati sensasi yang diberikan oleh sentuhan bibir Dimitri yang begitu manis.
Aku merasakan tangan Dimitri berada di belakang leherku seolah tangan itu ingin menahan ku agar aku tidak bergerak menjauh darinya. Bagaimana mungkin aku bisa menjauh darinya. Membayangkannya saja seolah membuat dadaku sesak. Aku mencintai Dimitri dengan seluruh jiwa ragaku.
"Jangan tinggalkan aku," bisikku sambil menatapnya sayu.
"Ya." Ia menjawabnya singkat seolah tak sabar ingin kembali mendaratkan bibirnya di bibirku.
Aku kembali tenggelam dalam gairah cintaku untuknya. Kami saling mengeratkan pelukan. Hanya ada kami berdua di bawah lindungan pepohonan yang menaungi kami. Kami berdua berbaring di tanah dan saling bertaut satu sama lain. Aku merasakan sentuhan-sentuhannya di setiap inchi tubuhku. Dimitri seakan membuatku gila oleh cintanya.
Ia memberikan cinta dan kenikmatan yang selama ini tidak pernah aku rasakan. Sensasi itu seolah menerbangkan diriku ke angkasa. Aku membenamkan jemariku di rambutnya yang tebal sambil menyebut namanya. Seperti inikah rasanya ketika jiwamu melayang oleh kenikmatan?
Kami berdua saling membelit satu sama lain dengan gairah yang sama-sama membuncah. Aku mendengar suara nafas Dimitri yang memburu ketika ia mencapai puncak kenikmatannya. Aku mengimbanginya dengan mencapai puncak ku bersamanya.
Aku merasakan tubuh Dimitri ambruk di atasku ketika ia selesai dengan pelepasannya. Aku menyentuh punggungnya. Aku merasakan tubuhnya kembali merespons sentuhan jemariku di punggungnya. Bagaimana mungkin gairah kami berdua tidak ada habisnya.
Kami kembali mengulangi hal yang sama. Nafas kami berdua sama-sama memburu. Gerakan dan sentuhan seolah membuat kami melupakan semua hal yang ada di sekeliling kami. Di pikiranku hanya ada Dimitri.
Kali ini Dimitri berteriak ketika ia mencapai puncak yang kedua kalinya. Aku pun berteriak bersamanya. Kami berdua ambruk di tanah dengan tubuh bersimbah keringat.
"Kau begitu memabukkan," bisiknya sambil membelai pipiku.
Aku tersenyum mendengarnya. Sesekali aku mendengar suara kicauan burung yang seolah bernyanyi menyenandungkan lagu cinta untukku.
Kami masih saling bertatapan lama sambil menikmati kekaguman satu sama lain. Setelah merasa puas, aku dan Dimitri kembali mengenakan pakaian kami.
Aku mengajaknya untuk berjalan-jalan sambil memperlihatkan kecantikan hutanku padanya. Sinar matahari bersinar cerah hari itu. Aku menengadah menatap sinarnya.
"Eleanor, bukankah namamu berarti 'sinar mentari'?" Dimitri bertanya sambil menatap kagum ke arahku.
"Ya," ujarku seraya mengangguk, "namaku diambil dari bahasa Yunani."
Dimitri menggandeng tanganku. Kami melanjutkan berjalan sambil melihat beberapa bunga cantik yang bermekaran di sepanjang jalan setapak di hutan.
"Dimitri, ... " Aku menyebut namanya seraya menghentikan langkahku.
Ia memandangku.
"Bagaimana jika kau tinggal bersamaku di hutan ini selamanya?" Aku bertanya sambil menatap lekat matanya.
Ia terdiam mendengar pertanyaanku. Aku takut untuk berpisah dengannya. Bagi kami kaum Elf, bercinta adalah suatu ikatan suci yang mengikat jiwa kami. Aku telah menautkan jiwaku dengan Dimitri.
Aku memandangnya. Ia masih terdiam tidak menjawab pertanyaan dariku. Aku merasakan ketakutan menjalari tubuhku. Aku menelan ludah dengan bersusah payah. Bagaimana jika Dimitri meninggalkanku?
"Dimitri, ... " Aku menyebut namanya dengan perasaan khawatir. "Apakah kau tidak mau tinggal bersamaku?"
Ia tiba-tiba tertawa hingga bahunya berguncang. Aku masih berdiri kaku di hadapannya.
"Bagaimana mungkin aku bisa tahan berjauhan darimu!" Ia mengucapkannya sambil tertawa.
Aku tersenyum lega mendengar jawabannya.
Kami berdua melanjutkan perjalanan kami. Tiba-tiba terdengar suara yang memanggilku dari kejauhan.
"Eleanor!" Terdengar suara kakakku, Eldrin, memanggilku. "Cepat pulang!" Teriaknya dari kejauhan.
Aku menatap khawatir ke arah Dimitri. Sampai hari ini tidak ada yang mengetahui tentang hubunganku dengan Dimitri. Hutan kami dilindungi oleh sihir yang tidak bisa dimasuki oleh manusia. Sampai hari ini aku masih belum mengetahui kenapa Dimitri bisa menembus dinding pertahanan hutan ini.
"Aku harus pergi," bisikku pada Dimitri.
Ia menatapku lekat dan mengangguk.
"Besok aku akan kembali menemui mu di sini." Aku mengatakannya sambil mencium bibirnya.
Dimitri membalas ciumanku. Kami saling berciuman selama beberapa detik dan akhirnya kami berpisah dengan perasaan yang begitu berat.
Aku berjalan pergi meninggalkan Dimitri. Aku kembali menoleh padanya seolah berat untuk berpisah dengannya.
"Pergilah," ujarnya sambil tersenyum, "besok aku akan menunggumu di sini." Dia melambaikan tangannya.
Aku tersenyum dan berlari kecil menuju ke arah suara kakakku. Untunglah kakakku berteriak dari tempat yang jauh sehingga dia tidak melihat kebersamaanku dengan Dimitri.
Aku pergi sambil bernyanyi riang. Aku suka sekali bernyanyi. Terkadang aku menyanyikan syair bahasa kuno bersama peri-peri kecil di hutan.
Aku melihat kakakku berdiri di atas batu besar yang ada di puncak hutan. Aku segera menghampirinya.
"Kau berjalan-jalan kemana saja?" Ia bertanya sambil memajukan bibirnya jengkel.
"Aku mencari bunga emas di pinggiran hutan." Aku menjawabnya sambil melangkah pergi berharap ia tidak melihat kebohongan di mataku.
Ia berjalan di sampingku. Kami berdua berjalan ke arah rumah.
"Belakangan ini kau sering sekali pergi meninggalkan rumah," ujarnya.
Aku mengangkat bahuku sambil menoleh ke arahnya.
"Aku ingin mencari udara sejuk," ujarku tanpa menoleh ke arahnya.
"Kau tahu, ayah dan ibu mulai merasa jengkel dengan tingkahmu." Ia mengucapkannya sambil menoleh ke arahku.
Aku mengabaikan perkataannya dan terus berjalan. Di sana, tampaklah istana kerajaan Silvan yang merupakan rumahku. Aku menghela nafas panjang dan meneruskan langkahku.
Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai tinggal di dalam istana yang terlalu banyak peraturan. Di sana, aku harus selalu belajar tentang sihir yang menurutku sangat membosankan.
Aku menoleh ke arah kakakku.
"Aku bosan belajar sihir." Aku mengucapkannya seraya memajukan bibirku kesal.
"Kau harus mematuhi aturan istana!" Ia menepuk bahuku.
Satu-satunya hal baik yang aku miliki di dalam istana adalah kakakku. Ia akan selalu membelaku ketika aku akan dihukum atas kesalahanku. Ia seperti malaikat pelindung bagiku.
Tapi hingga saat ini aku masih merahasiakan tentang hubunganku dengan Dimitri dari kakakku. Bagaimana seandainya dia tahu yang sebenarnya? Apakah dia akan marah padaku?
Aku berjalan menuju istana dan masuk ke kamarku. Aku menuju ke arah jendela dan melihat hutan di kejauhan. Di sana, ada Dimitri yang sedang menungguku. Aku tersenyum mengingat percintaanku dengannya.
Aku mendengar suara langkah kaki yang memasuki kamarku. Ibuku terlihat berjalan mendekat ke arahku. Aku tersenyum ke arahnya. Ia adalah makhluk paling cantik yang ada di seluruh kerajaan ini. Ibuku menghampiriku.
"Eleanor, mulai besok kau tidak boleh meninggalkan istana tanpa pengawal." Ibuku mengucapkannya sambil menyentuh bahuku.
Apa? Mataku membelalak mendengar apa yang dikatakan oleh ibuku.
Mulutku menganga mendengar apa yang diucapkan oleh ibuku.
"K-kenapa?" ujarku dengan suara tercekat.
"Dinding pembatas di sebelah selatan mulai melemah, jauh lebih aman jika kau keluar dengan para pengawal." Ibuku menjelaskan sambil menghembuskan nafas panjang.
Aku berusaha mencerna apa yang dikatakan olehnya. Dinding pembatas melemah? Apakah itu salah satu alasan kenapa Dimitri bisa memasuki wilayah hutan kami? Ya, mungkin itulah penyebabnya. Tapi yang tidak aku mengerti adalah kenapa dinding pembatas itu bisa melemah?
Selama ini hutan kami dilindungi oleh perisai sihir yang begitu kuat sehingga tidak bisa dimasuki kaum manusia. Namun satu bulan yang lalu aku menemukan Dimitri tersesat di dalam hutan kami.
Ingatanku kembali melayang pada kejadian saat hari pertama aku menemukannya di hutan.
Hari itu aku sedang berjalan-jalan sambil bernyanyi dan memetik setangkai bunga emas yang tumbuh di kawasan pinggir hutan yang jaraknya tidak begitu jauh dengan dinding pembatas di sebelah selatan.
Aku meletakkan bunga emas itu di telinga kiriku. Aku selalu menyukai kilau nya yang mirip cahaya bintang. Ketika aku hendak kembali ke rumah, aku melihat seorang pria sedang berjalan kebingungan seolah mencari jalan pulang ke suatu tempat.
Aku menatap pria itu dari kejauhan. Ketika aku menyadari bahwa dia adalah seorang manusia, aku segera bersembunyi di balik pohon untuk mengawasinya.
Aku melihat gerak geriknya dari tempatku bersembunyi. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sambil berjalan dan tangannya seolah meraba ke udara yang kosong seakan mencari sebuah dinding.
Aku memekik kaget ketika seekor ular menjalari kakiku. Pria itu menghentikan langkahnya dan melihat ke sekeliling sambil memiringkan kepalanya seolah memfokuskan pendengarannya.
"Siapa di sana?" Ia mengucapkannya dengan suara lantang.
Aku diam dan bersembunyi di tempatku. Aku mengintip dari balik pohon tempatku bersembunyi. Pria itu berjalan mendekat ke arah tempatku bersembunyi.
Aku menahan nafas dan berharap pria itu tidak menemukanku. Pria itu terus berjalan ke arahku. Aku berdiri membeku.
"Keluarlah!" Dia mengucapkannya sambil berdiri dan menghadap tepat ke arah pohon tempatku bersembunyi.
Aku diam dan tidak menjawab.
"Aku tahu kau di sana!" Kali ini suaranya menjadi lebih lembut dari sebelumnya.
Aku masih merasa takut untuk keluar dari persembunyianku.
"Jangan takut, aku tidak akan mencelakai mu!" Kali ini nadanya berubah menjadi lembut.
Aku masih tetap tidak bergerak. Pria itu kini berjalan tepat ke arah pohon tempat persembunyianku.
Aku menggigit bibirku karena rasa takut. Bagaimana jika dia berniat jahat padaku? Seharusnya aku mengajak kakakku.
Ia terus mendekat ke arah ku dan tiba-tiba ia berhenti dalam jarak satu meter dari tempatku berdiri.
Ia sudah melihatku. Aku menatapnya dengan mata ketakutan.
"Hai," ujarnya seraya tersenyum.
Aku tidak membalas sapaannya.
Dia berjalan mendekat ke arahku dan aku melangkah mundur dengan wajah ketakutan hendak menjauh darinya.
"Jangan takut," ujarnya seraya tersenyum.
Dia mengulurkan tangan kanannya ke arahku.
"Aku Dimitri." Ia mengucapkannya dengan tangan yang masih terulur ke arahku.
Tatapanku beralih dari wajahnya menuju tangannya yang terulur ke arahku.
"Apakah aku membuatmu takut?" Ia mengatakannya dan menarik tangannya.
Sepertinya ia melihat ekspresi ketakutan di wajahku.
"Baiklah," ujarnya seraya menghembuskan nafas dan menatap ke sekeliling.
Aku masih menatap wajahnya. Dia pria tampan dengan tubuh kekar dan berotot. Rambut hitamnya hampir menyentuh bahunya. Kulitnya kecoklatan.
"Bagaimana kau tahu bahwa aku bersembunyi di sini?" tanyaku pelan.
"Aku melihat pantulan sinar keemasan di sana," ujarnya seraya menunjuk ke arah bunga emas yang terselip di telingaku.
Oh, pantas saja dia mengetahui keberadaanku. Aku menyentuh bunga emas yang aku selipkan di telingaku.
"Apakah kau adalah peri?" Tatapannya mengarah ke telingaku yang berujung runcing.
Aku mengangguk ke arahnya.
"Apakah kita bisa berteman?" Ia menanyakannya dengan nada riang dan tawa yang terdengar renyah di telingaku.
Aku belum menjawabnya.
"Ayolah, aku berjanji tidak akan menyakitimu," ujarnya seraya memandangku dengan kekaguman yang terpancar dari matanya yang tajam.
Aku mengangguk padanya.
Dia tertawa dan berjalan mendekat ke arahku. Ia kembali mengulurkan tangannya ke arahku dan kali ini aku menerima uluran tangannya. Ya, itulah sentuhan pertama kami.
"Bagaimana kau bisa masuk ke hutanku?" Aku bertanya penasaran.
"Aku tidak tahu pasti. Tadi aku hanya sekedar ingin berburu rusa di pinggiran hutan, namun aku tidak sengaja menabrak sesuatu yang terasa seperti dinding dan tiba-tiba aku terdampar di sini." Ia bercerita sambil tertawa seolah hal itu adalah sesuatu yang lucu baginya.
Aku mendengarkan ceritanya sambil memandangnya dengan takjub.
"Tidak pernah ada manusia yang datang ke sini sebelumnya," ujarku padanya.
"Wow," serunya dengan tatapan takjub. "Siapa namamu?" Ia bertanya padaku seraya tersenyum.
"Eleanor," ujarku seraya membalas senyumnya.
"Eleanor, senang berjumpa denganmu." Ia mengatakannya dengan nada riang seraya tertawa.
Aku menatapnya saat dia tertawa. Ia terlihat semakin tampan ketika tertawa.
"Kau mau melihat hutanku?" Tanyaku bersemangat.
Ia mengangguk semangat ke arahku. Kami berdua berjalan di sepanjang pinggiran hutan. Aku bercerita padanya tentang banyak hal menarik di hutan ini. Mulai dari pohon yang bisa bernyanyi, peri kecil yang beterbangan, bunga emas hingga dinding pembatas yang dibangun dengan sihir.
Ia mendengarkan ceritaku dengan ekspresi ketakjuban yang tidak disembunyikan. Kami berdua semakin akrab seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Sore harinya aku akan kembali ke istana untuk mengambil banyak makanan untuknya. Aku akan mengendap keluar dari istana sambil membawa bungkusan makanan untuk ku berikan pada Dimitri.
Kami akan menghabiskan waktu bersama untuk bertukar cerita tentang hutanku dan juga tentang tempat asal Dimitri.
Tengah malam aku berpamitan padanya untuk kembali ke istana dan berjanji akan kembali menemuinya keesokan harinya.
Kami berdua selalu bersama setiap hari. Hingga akhirnya kami sadar bahwa kami saling jatuh cinta.
......................
Ingatanku terburai ketika aku merasakan tangan ibuku menyentuh pundakku.
"Kau sedang memikirkan apa? Kau tampak termenung," ujarnya.
Aku menggelengkan kepalaku seraya tersenyum ke arahnya.
"Tidak apa-apa," ujarku.
"Mungkin dalam beberapa hari ke depan, aku akan mengutus penyihir untuk memperkuat kembali dinding pembatas itu." Ibuku menjelaskannya padaku.
Aku mengangguk sambil memikirkan kemungkinan itu. Jika dinding pembatas itu diperkuat kembali, apakah artinya Dimitri akan selamanya terjebak di hutan ini? Lantas bagaimana jika seluruh istana mengetahui keberadaan manusia di hutan ini? Apakah hal itu akan menjadi ancaman bagi Dimitri-ku? Pikiran itu mulai menggangguku.
Ibuku berbalik dan hendak meninggalkan kamarku diikuti oleh para pelayannya. Aku menatap kepergiannya.
Setelah aku kembali sendirian di kamar, pikiranku kembali pada Dimitri. Bagaimana caraku bisa menemuinya besok pagi? Aku harus memutar otakku. Aku harus bisa pergi secara diam-diam untuk menemuinya besok. Dimitri pasti menungguku seperti biasanya.
Aku kembali merenungkan ucapan ibuku. Dinding pembatas di sebelah selatan mulai melemah? Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Selama beberapa abad hutan kami sangat aman dan terlindungi dari serangan dari luar. Kenapa saat ini tiba-tiba dinding pertahanan kami menjadi melemah? Pikiran itu berkecamuk di salam benakku.
"Eleanor," panggil kakakku seraya mengetuk pintu kamarku.
"Masuklah," ujarku.
Aku mendengar suara pintu terbuka dan kakakku melangkah memasuki kamarku dan berjalan ke arahku.
Aku menyuruhnya duduk di sampingku di kasur. Ia menuruti ku.
"Ada apa?" Tanyaku padanya.
"Aku mendengar desas desus mengenai dinding pembatas yang mulai melemah," ujarnya dengan mata menerawang.
"Apa artinya itu?" Tanyaku seraya menoleh dan menatapnya.
"Entahlah," ujar kakakku seraya menghembuskan nafas berat.
Aku menatap ke arahnya dengan sorot mata khawatir.
"Mungkin hal ini tidaklah baik. Selama ini yang aku tahu adalah dinding pembatas tidak akan bisa dirusak dari luar." Dia membiarkan kalimatnya menggantung di udara.
Aku berusaha mencerna kalimat yang diucapkan oleh kakakku.
"Apakah artinya ada seseorang yang sengaja merusaknya dari dalam?" tanyaku dengan nada ketakutan.
Kakakku menatapku dengan lekat. Ia menepuk bahuku.
"Entahlah, sepertinya begitu."
Artinya ada seseorang yang sengaja merusak dinding pembatas dari dalam.
"Ada pengkhianat di dalam istana," bisikku.
Kakakku mengangguk ke arahku dengan pandangan khawatir.
"Eleanor, jangan pergi sendirian keluar istana." Kakakku mengucapkannya dengan nada khawatir.
"Aku bisa menjaga diriku," ujarku menenangkannya.
"Akan jauh lebih aman jika kau keluar dengan pengawal," jawab kakakku.
Aku tidak mempedulikan ucapan kakakku. Kali ini yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya aku bisa menemui Dimitri yang menungguku di dekat dinding pembatas.
Aku menggigit bibirku dan berpikir keras.
"Eleanor, apa kau merahasiakan sesuatu dariku?" Kakakku menanyakannya seraya menatap tajam ke arahku.
Aku menoleh ke arahnya dan memikirkan apakah sebaiknya aku menceritakan padanya tentang Dimitri. Satu-satunya orang yang paling aku percaya di istana ini adalah kakakku. Dia begitu menyayangiku. Selama ini aku tidak pernah menyimpan rahasia apapun darinya. Namun, tentang Dimitri, aku masih belum memberitahunya.
"Kau tahu, aku begitu menyayangimu," ujarnya seraya menepuk bahuku.
"Ya, aku tahu," jawabku.
"Aku merasa kau sedang merahasiakan sesuatu dariku," ujarnya seraya menatapku lekat.
Aku memalingkan wajahku agar dia tidak mencari jawaban dari mataku. Dia adalah sosok yang memahami aku. Bahkan dia bisa mengerti arti diam ku. Dia bisa melihat kesedihan dalam tatapan mataku walaupun aku belum mengatakannya.
"Tidak ada apa-apa," ujarku seraya memandang ke arah jendela.
"Kau bohong," ujarnya seraya memaksaku untuk menatapnya.
Aku menundukkan pandangan untuk menghindari tatapannya.
"Eleanor, aku mengenalmu selama ratusan tahun kita tumbuh bersama, bagaimana mungkin aku tidak tahu bahwa kau sedang merahasiakan sesuatu dariku?" Ia mengucapkannya dengan nada tegas.
Ya, aku dan kakakku tumbuh bersama selama ratusan tahun. Selama ini dia yang selalu menemaniku melewati banyak hal di dalam istana.
"Eldrin, aku ... " ucapanku terputus.
Aku ragu untuk memberitahunya. Aku takut kakakku akan melarang ku untuk bertemu Dimitri.
"Aku memiliki rahasia," ujarku pelan seolah takut ada orang lain yang mendengar.
"Rahasia?" Kakakku membelalakkan matanya ke arahku.
Aku mengangguk ke arahnya.
"Berjanjilah bahwa kau tidak akan mengatakannya pada siapapun!" Aku memaksanya untuk bersumpah dengan bahasa kuno kaum Elf.
Sumpah dengan bahasa kuno kaum Elf akan mengikatmu dan tidak boleh dilanggar.
Kakakku mengucapkan sumpah itu.
Setelah aku mendengar sumpahnya, aku mendekatkan tubuhku ke arahnya dan membisikkan tentang rahasiaku bersama Dimitri padanya.
Aku merasakan kakakku menegang mendengar bahwa aku berhubungan dengan seorang manusia.
Ia membuka mulutnya seolah tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Kau serius?" Ia membelalakkan matanya ke arahku.
Aku mengangguk meyakinkan dirinya.
"Eleanor, kenapa kau tidak memberitahuku sejak lama?" Kakakku mengernyitkan dahinya.
Aku mengangkat bahu dengan cemberut.
"Aku takut kau akan marah padaku," ujarku sambil menundukkan wajahku.
"Kau tahu, aku tidak pernah bisa marah padamu!" Ia berpura-pura meninju bahuku.
Kami berdua tertawa. Kali ini aku lega karena aku telah membagi rahasia terbesarku padanya. Aku lega karena dia tidak menghakimi diriku.
"Seperti apa manusia yang kau cintai itu?" Tanyanya penasaran.
"Besok kau akan berjumpa dengannya," ujarku seraya tersenyum membayangkan pertemuan kami.
"Bagaimana caranya kita bisa pergi ke dekat dinding pembatas tanpa ketahuan pengawal?" tanyaku padanya.
Ia mengernyitkan dahi seolah berpikir.
"Serahkan saja padaku!" ujarnya meyakinkan diriku.
Ia bangkit dan berdiri seraya meninggalkan kamarku. Aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan Dimitri besok. Bagaimana reaksi Dimitri ketika bertemu dengan kakakku? Apakah mereka berdua akan menjadi teman akrab? Ah, aku tidak sabar menunggu hari esok.
......................
Aku gelisah sepanjang malam dan sama sekali tidak bisa memejamkan mataku. Pikiranku selalu menampakkan bayangan Dimitri. Aku tidak sabar ingin segera bertemu dengannya. Aku yakin dia juga tidak sabar ingin segera berjumpa denganku lagi.
Aku merasa lega ketika sinar mentari pagi telah datang menyambut. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan membuka jendela yang mengarah ke hutan. Di sana, di balik hijaunya pepohonan, ada Dimitri yang sedang menungguku seperti biasanya.
Aku menunggu kakakku. Aku belum tahu bagaimana caranya untuk bisa pergi tanpa pengawal. Tapi aku yakin kakakku pasti bisa menemukan cara untuk memecahkan hal ini.
Aku merapikan diriku dan bersiap- siap untuk berjumpa dengan Dimitri. Aku tersenyum mengingat pertemuan kami kemarin. Jantungku terasa berdebar mengingat bagaimana caranya menyentuhku.
Aku dikagetkan oleh suara pintu kamarku yang terbuka. Aku menoleh ke arah pintu dan ternyata kakakku berjalan masuk menuju ke arahku.
"Aku sudah mengatakan pada pengawal bahwa pagi ini aku akan mengajarimu tentang sihir. Aku meminta pengawal untuk tidak mengganggu kita." Kakakku mengucapkan hal itu dengan raut wajah serius.
"Apakah ini benar-benar aman?" Tanyaku khawatir.
Kakakku mengangguk meyakinkan diriku.
"Baiklah," ujarku.
"Kita harus segera berangkat dan kembali ke sini sebelum tengah hari," ujarnya seraya memberi isyarat padaku untuk mengikutinya.
Dia berjalan keluar dan aku mengikutinya. Kami berdua menyusuri lorong istana yang tampak lengang. Pagi itu semua orang sedang menjalankan tugas masing-masing.
"Aku harus membawa makanan," ujarku pada kakakku.
Ia menatapku dan mengangguk setuju.
Kami berdua mengarah ke dapur dan kakakku meminta seorang pelayan untuk membungkus makanan sebagai bekal kami.
Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan.
"Bagaimana jika ibu tahu?" Tanyaku dengan wajah khawatir.
"Anggap saja dia tidak akan tahu," ujar kakakku seraya berjalan terburu-buru keluar dari istana.
Aku mengimbangi langkahnya.
Setelah berjalan terburu-buru selama lima belas menit, kakakku memelankan langkahnya. Kami sudah berjarak agak jauh dari istana.
"Eleanor, apakah dia tidak berbahaya?" Tanyanya.
Aku mengerti yang dia maksud adalah Dimitri.
"Kau pasti akan menyukainya," balasku sambil tersenyum meyakinkan dirinya.
Ia mengangguk dan melanjutkan perjalanan.
Setelah setengah jam, kami sampai di dekat dinding pembatas di sebelah selatan.
Aku melihat berkeliling. Tidak ada siapa-siapa. Aku berjalan ke arah pohon tempat kami berdua biasa bertemu, namun tidak ada Dimitri di sana.
Aku menoleh dan memeriksa sekeliling. Nihil. Aku memanggil nama Dimitri, tapi tidak ada jawaban.
Aku menatap ke arah kakakku. Dia memandang prihatin ke arahku.
Kenapa Dimitri tidak ada di sini? Apakah dia meninggalkanku? Aku merasakan hatiku seolah ditusuk belati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!