Cuaca yang sangat cerah, secerah kebahagiaan dua keluarga yang sedang mengadakan pertemuan di sebuah rumah megah, di sana sedang diadakan pertemuan dua keluarga besar. Yaitu keluarga Pak Wibowo dan keluarga Pak Cokro.
"Hahaha ... ya, benar sekali. Kalau tahu akan seperti ini sudah dari dulu kita rencanakan pertemuan keluarga ini. Bagaimana menurut, Cokro?" Pak Wibowo dipenuhi semangat menggebu, sambil sesekali menikmati cerutunya yang tidak pernah lepas.
"Iya kau benar, Bowo ... semua ini tertunda karena kita sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing." Pak Wibolo lantas menoleh. "Bagaimana menurutmu, Istriku? kau setuju, kan?" Pak Cokro melemparkan pertanyaan ke pada sang Istri yang selalu setia duduk manis di sampingnya.
"Hmm, yang terpenting adalah keputusan ini terbaik untuk anak-anak kita," jawab Bu Cokro, tersenyum sembari mengaduk teh, setelahnya memberikan secangkir teh itu kapada suaminya.
"Iya jeng bener sekali, yang terpenting kebahagiaan anak-anak kita. ini juga akan mempererat hubungan keluarga nantinya, terutama dalam meningkatkan bisnis." Bu Wibowo menambahkan.
"Oh iya, Cokro ... kapan terakhir kali kau bertemu dengan anakku?" Pak Bowo berucap mencoba mengingatkan kembali memory sahabatanya.
"Terakhir kali aku melihat saat kelas satu sekolah dasar, kalau tidak salah." Terlihat kerutan tipis di keningnya, seolah sedang serius berusaha mengingat.
"Sudah lama, ya? Sekarang anakku berumur 30 tahun. kau pasti tidak akan mengenalinya kalau bertemu, sekarang dia tumbuh menjadi lelaki tampan dan keren." Pak Bowo mulai membanggakan anak lelakinya.
"Untung saja tidak ingusan seperti ayahnya ya, hahaha ...." sahut Pak Cokro dengan nada mengejek.
Tawa mereka memenuhi seluruh ruangan, kental akan aura yang sangat membahagiakan di.
~♤~
Pagi hari di salah satu kampus elit di kota, tempat parkir sudah dipenuhi dengan kendaraan pribadi. Di salah satu koridor, seorang perempuan berjalan seorang diri menggendong tas ransel dengan kedua tangan dipenuh tumpukan buku.
Nama gadis itu adalah Luna, salah satu mahasiswi yang kecerdasannya, bisa dibilang sedang atau lebih tepatnya di bawah rata rata. Tapi namannya juga anak orang kaya, meskipun kecerdasannya tak mumpuni bisa lah kuliah di tempat itu.
Dia memasuki tahun ke empat semester akhir dan hampir selesai kuliah, selama itu Luna hanya mempunyai satu teman sejak dari kelas dua sekolah menengah pertama, yang benar-benar baik. Bernama Cici. Dan kalau untuk masalah percintaan, tak semanis di mana dia dilahirkan dari keturunan orang kaya dan harmonis.
Luna selalu mendapat kenangan buruk dengan cinta pertamanya. Beberapa tahun silam sejak awal masuk SMP, Luna sudah terpikat dengan murid lelaki bernama Aryo. Salah satu murid lelaki paling favorit berwajah tampan, tinggi, meskipun kulitnya tak begitu putih dan agak kecoklatan, semua murid perempuan terpikat dengan wajahnya yang manis.
Sudah menjadi suatu hal yang lumrah di mana seorang yang merasa dirinya memiliki ketampanan di atas rata-rata dengan ekonomi yang sangat mendukung tak khayal membuatnya menjadi sombong dan sok berkuasa. Aryo termasuk salah satu di antara mereka. Dengan wajah memerah, detak jantung yang tak beraturan, Luna mencoba mengumpulkan keberanian menyapa Aryo yang sedang duduk di depan kelas.
"Hi?"
Aryo tengah bercanda dengan teman-teman perempuannya sepontan terdiam, tidak menjawab. Hanya menoleh melirik aneh ke arah Luna. Aryo menatap sinis gadis itu dari ujung rambut hingga ke bawah, setelah melihat penampilan Luna, tatapan Aryo berubah menjadi malas. pandangannya kembali mengarah teman perempuannya yang duduk menghimpit di sebelah kanan dan kirinya. Mereka semua, para murid perempuan yang selalu mengekor ke manapun Aryo pergi. Tak hanya satu, tapi empat sekaligus.
"Eh, acara ntar malam kalian harus datang, nggak mau tau Gue. Pokonya Lo pada harus dateng!" ucap Aryo kepada teman-teman perempuannya dan memilih tak menghiraukan sapaan Luna.
"Ghm!" Salah satu teman peremouan Aryo berdehem. "Aryo, Lo gak denger dia nyapa?" ucap salah satu temen Aryo, tertawa geli.
Wajah Aryo berubah muram saat harus menatap Luna yang berdiri di depannya. "Ada perlu apa, Lo?" ucapnya sinis, kemudian membuang pandangan ke sekitar.
setelah mengumpulkan kepercayaan diri, Luna mengutarakan maksud hati kepada Aryo kalau dia ingin mengajaknya jalan. di jaman sekarang kita perlu menunggu lelaki yang selalu bergerak terlebih dulu. Perempuan juga berhak melakukannya. "Nanti malam, Lo ada waktu nggak? Gue pengen ngajak Lo jalan?" Luna gugup, sesekali memainkan jari-jemarinya, mengalihkan perhatian jantungnya yang serasa mau melompat keluar.
Aryo dan teman-temannya hanya saling lempar pandang, tidak lama setelah itu mereka pun tertawa terbahak bahak. Hahahah .... Hahahaha .... hahaha....
"Lo nggak dengar tadi, Gue bicara apa ke mereka?" Tatapan Aryo semakin sinis. "Kalau ntar malam Gue bakal pergi sama mereka?" Aryo membuang senyum sinis. Tak lama dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan melewati Luna begitu saja.
"Lagi pula, Lo harusnya ngaca dulu deh sebelum ngajak Aryo jalan. Jadi cewek nggak bisa jaga penampilan, ya? Rambut lusuh ...." sejenak perempuan itu berhenti berucap, mengacak-acak rambut Luna. "Kaca mata setebal tembok pula." Kini dia mendorong kepala Luna menggunakan ujung jarinya.
Ya luna memang memakai kaca mata tebal sekali karena minesnya sudah parah.
"Lo emang anak orang kaya ... Tapi, kalau penampilan Lo kaya gini, Gue aja sebagai perempuan ogah tau jadi temen, Lo!" tamabahnya sambil berjalan dan dengan sengaja menabarak Luna menggunakan bahunya, sehingga Luna jatuh terduduk di lantai.
Luna bukan tipe orang yang gampang menyerah, hampir setiap hari dia selalu mencoba untuk mendekati Aryo. Meskipun semua mengatakan dirinya perempuan tak tahu malu, tak punya harga diri dia tak akan pernah menggubris hal itu. Selama dia tidak menjual diri, berusaha mendapatkan lelaki yang dia cintai itu bukanlah suatu kesalahan. Baginya berusaha keras mendapatkan apa yang dia inginkan sudah menjadi tekad Luna sejak dulu. Sampai nanti akhirnya hanya dia sendiri yang bisa memutuskan kapan akan menyerah.
Beberapa hari setelah itu, Luna menghampiri Aryo yang sedang berdiri sendiri di depan pintu kelas sambil sesekali menggoda murid perempuan yang lewat di depannya.
"Gue ada coklat, Lo mau?" Luna menyodorkan sebatang coklat kepada Aryo.
Lelaki sengaja membuang pandangannya ke arah lain dan tidak menghiraukan Luna. Perempuan itu masih berdiri tepat di depannya sambil membawa coklat.
"Mmm ... Lo nggak suka coklat, ya?" tanya Luna sembari mengatur nafas yang tersengal karena jantungnya terus berdetak cepat.
Aryo mulai menatap Luna dengan rasa malas. "Lo yakin coklat ini buat Gue?" Aryo bertanya dengan nada sinis sambil menunjuk ke arah coklat yang ada di tangan Luna.
"Iya." Luna mengangguk cepat, tersenyum lebar saat Aryo mau menanggapi dirinya.
Aryo hanya diam terus menatap sinis dari atas hingga bawah. Tanpa berfikir panjang dia pun mengambil coklat itu dari tangan Luna. "Serius ini buat Gue?" tanya Aryo sekali lagi sambil memegangi coklat itu. Tatapan matanya berubah licik, entah apa yang sedang dia rencanakan.
"Em!" Luna mengangguk memastikan.
Tidak lama setelahnya Aryo memberikan coklat yang dia dapat dari Luna kepada murid perempuan yang melintas tepat di depan Aryo. Lelaki itu sengaja melakukannya di depan Luna. "Hei, Lo suka coklat? Ambillah nih, buat Lo!" Aryo mengulurkan coklat ke arah murid perempuan itu.
"He? Lo serius ngasih coklat ini buat Gue? Uuuwwhhh makasih Aryo ... Lo manis banget dah, mmuuuaahhh." Murid itu melempar flying kiss kepada Aryo sebelum pergi meninggalkannya.
"Kok, kenapa ... kenapa Lo kasih coklat itu ke murid lain?" Luna terbata, menunjuk ke arah coklatnya yang telah dibawa pergi.
"Bukankah Lo bilang coklat itu buat Gue? Setelah Lo kasih itu coklat ke Gue, itu artinya coklat sepenuhnya jadi milik Gue, kan? Apa pun yang Gue lakuin sama coklat itu ... Lo nggak berhak marah kali!" Aryo berucap sambil berlalu pergi.
Sementara Luna hanya diam dengan wajah yang lesu, ingin rasanya marahi Aryo tapi dia tidak bisa melakukannya. "Sabar, Lun. Lo pasti bisa buat dia tunduk dan jatuh cinta sama Lo!" batin Luna menahan kesal.
Namun baru beberapa langkah Aryo meninggalkan Luna, tiba-tiba lelaki itu menghentikan langkah. Aryo mulai memikirkan ide untuk mengerjai Luna. Dia pun berbalik dan berjalan mendekat. "Sampai kapan Lo bakal kayak gini?"
"Maksud, Lo?" Kenung Luna berkerut.
"Lo ... bakal ngejar-ngejar Gue sampe kapan? Nggak capek apa? Gini aja deh, Gue akan kasih Lo kesempatan. Kalau sampai Lo bisa buat Gue terpesona, Gue bakal terima ungkapan cinta dari Lo," ucap Aryo, tersenyum licik lalu pergi meninggalkan Luna.
Mendengar ucapan Aryo, Luna terdiam sesaat, entah apa yang ada di benaknya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja di katakan Aryo.
Sejak saat itu, Luna terus menerus menyapa dan berusha mendekati Aryo tapi lelaki itu selalu dingin dan acuh tak acuh terhadap Luna.
Bagaimana pun caranya, Luna tidak pernah menyerah, tapi apa pun yang di lakukannya tidak pernah di gubris sama Aryo, seolah dia memang sengaja melakukan itu. Hingga kemanapun Aryo sekolah saat SMA, Luna terus mengikuti. Dia juga masuk ke sekolah yang di pilih Aryo. Luna terus bertekad apa pun yang terjadi bagaimana pun caranya, suatu saat nanti dia pasti akan mendapatkan Aryo.
Pagi itu Luna berjalan melewati koridor menuju kelasnya, kelas bahasa asing. Kelas masih sepi belum terlalu banyak anak yang datang.
Saat akan memasuki ruang kelas Luna menghentikan langkahnya di depan pintu masuk, dia terkejut melihat sosok lelaki yang sedang duduk di bangku barisan belakang. Tanpa berpikir panjang dia melangkahkan kakinya mundur ke belakang perlahan.
Bersembunyi di balik tembok untuk mengintai lelaki itu.
"Itu benar dia, bukan? aku tidak salah lihat, 'kan?" gumamnya, Luna mengedip matanya dan sesekali membenarkan kaca mata lalu dia kembali mengintip dari sela jendela kaca perlahan.
"Hayooo!!!" Cici tiba-tiba datang menepuk pundaknya mengejutkan Luna, seketika buku yang tertata rapih di tangannya berhamburan jatuh ke lantai.
"Iiihhhh, , , kau sengaja ingin membuatku cepat?! sengaja ingin membuat jantungku meledak ya? dasar, kau membuatku terkejut?!" Luna marah sembari membereskan bukunya yang berjatuhan.
"Ya sorry... Lagi pula kenapa kau berdiri di depan pintu tidak jelas seperti ini? seperti orang bodoh...kau sedang menguntit siapa?" Cici bertanya penasaran sambil mencoba membuang pandangannya ke dalam ruang kelas.
"Itu... coba lihat, itu benar Aryo, bukan? atau aku yang salah lihat? apa perlu aku mengganti kaca mataku?" ucapnya sembari melepas kacamatanya, membersihkan dan terus memakainya lagi.
Hhuuuft! Cici menghela nafas panjang terlihat sangat kesal karena Luna masih tak bisa move on dari lelaki itu. "Iya memang bener itu Aryo, kenapa memangnya?" Cici membenarkan ucapan Luna sambil mengerutkan dahinya.
"Yeessss... Tuhan benar-benar tahu apa yang di inginkan hambanya" Luna berucap dengan penuh kegembiraan sambil menghentakkan kaki layaknya seorang anak.
Memang dasar Luna, sifat bucinnya mulai bergejolak. Kemana Aryo mengambil kelas Luna selalu mengikuti. Tapi karena cita-citanya ingin menjadi desainer berkelas dia memilih tambahan kelas bahasa asing untuk menunjang karirnya nanti. Untuk kelas yang satu ini Luna benar-benar tidak tahu kalo Aryo juga ikut kelas bahasa asing. Maka dari itu dia merasa histeris saat mengetahui Aryo juga berada di kelas yang sama dengannya.
"Aduh-aduuh seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru, kau sama sekali tidak pantang menyerah sama yang satu ini! kalau aku menjadi dirimu sudah aku hempas jauh-jauh itu lelaki playboy dari dulu! yang lain masih banyak, 'kan?" Cici merasa kesal melihat tingkah Luna yang begitu memuja Aryo .
"Seharusnya kau bangga memiliki sahabat yang pantang menyerah seperti diriku! kau seharusnya memberiku semangat... kau tidak suka melihat temanmu ini bahagia?" Luna mulai cemberut.
"Lagi pula ya, coba kau lihat perempuan yang berada di sekutar Aryo, mereka selalu mengekor kemana pun dia pergi, mereka terlihat–," ucapnya terhenti, Cici tak tega melanjutkan kalimatnya saat melihat wajah Luna mulai murung.
"Iya-iya! aku tahu aku jelek, penampilanku buruk! aku tidak bisa berdandan, aku tidak bisa merawat diri, terus apa lagi!" Luna mulai jengkel, mengumpat untuk dirinya sendiri.
"Em... itu, sebenarnya bukan begitu maksud, Lun... tapi–," Cici mencoba menenangkan luna.
"Tapi kau lihat saja nanti, aku akan berusaha menjadi seperti apa yang Aryo inginkan!" ucapnya menyemangati diri sendiri.
"Bagaimana? kau akan berubah menjadi cantik? pergi ke salon misalnya? iya?" cibir sahabatnya itu agar Luna mau pergi ke salon, bawasannya dia memang tergolong perempuan yang malas dan cuek soal penampilan.
"Hahh!! Kenapa harus ke salon? kau tahu sendiri kalau aku benar-benar sangat malas pergi ke tempat seperti itu. Tapi lihat saja nanti aku tidak akan menyerah kalau menjadi diri sendiri tidak bisa membuat Aryo menyukaiku, maka aku harus menjadi seperti orang lain, maksutku harus berubah cantik!"
"Itu sama saja!! dasar bodoh iiihhh" Cici yang mulai kesal saat melihat Luna yang selalu mengagung-agungkan Aryo.
"Kita lihat saja" Luna penuh percaya diri.
Dia pun melangkahkan kakinya perlahan memasuki kelas, sebelumnya dia sempat berhenti dan meletakkan tumpukan buku itu di atas mejanya, tidak lama setelah itu dia kembali berjalan perlahan menuju meja dimana Aryo dan teman-temannya sedang bercanda gurau.
Sementara itu Cici hanya diam dan menggelengkan kepala. Serta melihat tingkah Luna dari arah mejanya.
Jantungnya mulai berdegub kencang, aliran darahnya dari kaki menuju kepalanya terasa mulai semakin memanas, Luna terus mencoba mengatur nafas perlahan saat semakin lama semakin dekat posisinya dengan Aryo.
"Hei!" Luna memberanikan diri menyapa.
"Kenapa aku merasa dejavu?!" hal itu mengingatkan kejadian di masa lalu. Aryo kemudian bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia sama sekali tidak menatap ke arah Luna. Setelah mengambil tas ranselnya dia mulai berjalan melawatinya begitu saja.
"KENAPA??" seru Luna, suaranya menggema di ruang kelas membuat Aryo terpaku. "Sebegitu menjijikan, 'kah? aku di matamu sampai kau tidak mau melihat ke arahku" kata-katanya berhasil menarik perhatian Aryo.
Lelaki itu memutar tubuhnya, kemudian berjalan mendekati Luna. "Kenapa?? Kau bertanya padaku kenapa? kau tidak sadar kau bersikap seperti ini sejak SMP?, kau tida bosan apa! aku saja muak melihat tingkahmu. Kalau aku menyukaimu sudah sejak dari dulu aku melahapmu. Dan kau bertanya padaku kenapa? Seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri kenapa seorang lelaki... oh bukan, bahkan seekor lalat pun tidak mau menghinggap di rambutmu itu, dan kau masih bertanya padaku kenapa aku tidak mau menatapmu? ahh... ya ampuunn apa kau tidak sadar kau begitu terlihat menji–,"
"Cukup hentikan!!!" sahut Cici memotong pembicaraan.
Aryo pun menoleh ke arah suara itu berasal.
plak!!! Cici menampar Aryo dengan sangat keras.
Aryo hanya tersenyum tipis sembari memegangi pipinya yang masih terasa panas setelah mendapatkan tamparan.
"Ucapanmu itu sudah keterlaluan! Inikah sikap seorang lelaki yang di puja-puja oleh kaumnya?? kalo kau tidak suka, ya bilang saja tidak suka. Selama ini dia berjuang untukmu! tidak setahun dua tahun... tapi bertahun tahun! Bagiku kaulah yang lebih menjijikkan!!" nada bicaranya begitu dipenuhi emosi saat melihat temannya di perlakukan seperti itu.
"Dasar kurang ajar kau!" salah satu teman Aryo berusaha membalas tamparan Cici namun di halau oleh Aryo.
"Berhenti!" Aryo menahan tangannya dengan kuat.
"Au, Aryo kau terlalu kuat mencengkram, tanganku sakit" rintih temannya, sembari berusaha melepaskan paksa tanganya.
"Kenapa?? Kenapa kau menghentikannya? biarkan dia membalas tamparanku? atau kau ingin melakukannya sendiri? kau ingin menamparku hm?? nih... silakan!!!" Cici tak memiliki rasa takut sedikitpun, dia bahkan mempersiapkan diri melangkah mendekati wajah Aryo dan mendekatkan pipinya tepat di depan wajah Aryo.
Aryo terpaku, bukannya membalas tamparan itu kini justru pikirannya buyar karena aroma wangi dari tubuh Cici menyerbak tercium bebas olehnya.
"Kenapa kau diam saja!" suara Cici membuyarkan lamunanya.
Aryo bergidik, setelahnya kembali fokus dengan permasalahannya. "Dengar ya!! kau berhutang satu tamparan denganku! Dan bilang pada temanmu itu untuk berhenti mengejarku!" ucap Aryo sambil berlalu.
"Dulu kau sendiri yang bilang kalau kau mengijinkan aku agar bisa terus mendekatimu! sampai bisa membuatmu menyukaiku, tapi" ucapnya terhenti karena dadanya terasa sesak. Luna berusaha dengan keras untuk bersabar dan membela diri, Aryo pun menghentikan langkahnya.
"Kau pikir aku serius mengatakan itu?" Aryo memotong ucapan Luna sembari berjalan mendekat ke arahnya, kemudian menghela nafas panjang. "Aku benar-benar sudah muak dengan tingkahmu yang seperti ini, jadi lebih baik kau menyerah" tambahnya sambil berlalu meninggalkan Luna.
Begitu juga dengan para perempuannya yang terus mengekor di belakang sambil membuang senyum sinis ke arah Luna.
"Gila ya! lihatlah sikap lelaki yang selama ini kau perjuangkan, parah!!" Cici mulai menenangkan Luna yang sedari tadi hanya diam mendengar ucapan Aryo saat menghina dirinya.
"Lun? Luna! Kau tidak apa-apa, 'kan? Lun? jangan diam saja!" Cici mencoba berbicara pada Luna yang terus melamun.
Pandangan Luna mulai kosong, dia menutup matanya yang berkaca dan kini air itu mulai menetes. Dia jatuh terduduk di kursi yang ada di belakangnya.
"Kau sudah mendengar semuanya, kan'? ucapan dari lelaki yang paling kau puja! Sudahlah Lun, tidak usah memikirkan lelaki seperti itu. Lebih baik kau fokus, fokus dan fokus dengan masa depanmh" Cici menunduk sambil memegang tangan Luna mencoba meyakinkannya.
"Kau benar, aku tidak boleh seperti ini terus" Luna mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Benar, kau harus terus fokus dengan–," Cici mengepalkan tangannya penuh semangat namun ucapannya terputus.
"Aku harus terus fokus kepada diriku sendiri untuk lebih bertekad berubah menjadi cantik seperti yang Aryo inginkan" ucap Luna penuh dengan semangat menggebu-gebu.
"Hhaaaaa???" Cici mulai putus asa karena sahabatnya itu. "Luna apa kau sudah gila!? kenapa kau jadi semakin bersemangat mengejarnya!!!" Cici mengacak-acak rambutnya sendiri, karena mulai frustasi dengan sikap sahabatnya yang tidak pernah mau menyerah dengan Aryo.
Hari yang sama, di sisi lain kota itu tepatnya di Bandara, sebuah pesawat mendarat dengan sangat mulus. Beberapa saat kemudian pintu pesawat terbuka.
Seorang lelaki memiliki sepasang kaki panjang membuatnya begitu terlihat sangat tinggi, memakai sepatu warna hitam pekat edisi terbatas melangkahkan kakinya keluar dari pesawat. Dia berjalan turun menuruni anak tangga dengan gagah dan caranya yang elegan.
Dengan pasti dan penuh keyakinan lelaki itu bejalan penuh wibawa. Dia mamakai setelan jas hitam slim yang begitu terlihat menawan dan melekat seperti memang diukur agar pas dengan bentuk tubuhnya tanpa cela. Terlihat sekali dadannya yang sangat bidang dan punggungnya yang segitiga jika dilihat dari arah belakang menambah nilau plus untuknya.
Dia terus berjalan menyusuri bandara, semua mata tertuju pada sosok lelaki yang tak bisa membuat mereka berpaling saat lelaki itu berjalan melewatinya. Dia begitu tinggi, tatapan matanya begitu tajam dan rambut yang rapih dengan sedikit bantuan pomade untuk membantu rambutnya agar terlihat rapih dan berkilau.
Tidak lama setelah itu, dia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu lobi Bandara. Lelaki yang kerap di sapa Barack oleh temannya, mulai membuang pandangan ke sekitar. Sesekali melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
Nampak sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang begitu bersih berhenti tepat di depannya. Terlihat seorang supir bergegas turun dan membukakan pintu untuk Barack.
"Silahkan, Tuan" ucap sopir sembari membuang senyum ke arah lelaki jangkung itu.
"Mm!" Barack hanya memperlihatkan wajahnya yang dingin tanpa ekspresi sembari naik ke dalam mobil.
Sopir segera kembali menyetir dan memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Di dalam mobil, supir mulai berkeringat dingin, sikap Barack seketika membuat suasana di dalam kabin mobil terasa dingin dan canggung. Sembari sesekali melihat Tuannya yang duduk di belakang melalui kaca sepion depan Sopir mengusap keringatnya.
"Dua menit tiga puluh detik, dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah! tidak bisakah tepat waktu sedikit?" ucap Barack dengan nada ketus ke pada sopir yang telat menjemputnya.
Glek! sopir hanya bisa menelan ludahnya kesusahab.
Barack sempat melirik ke kaca sepion depan memperhatikan sopirnya, tapi tak lama kemudian dia mulai sibuk membuka alat elektroniknya dengan layar 14 inch yang bertumpu di pahanya.
"E, iya Tuan, maaf tadi–," sopir berusaha membela diri, dia merasa canggung dan bingung mencari alasan. Takut salah berbicara di depan tuannya itu.
"Aku tidak menerima alasan apa pun!" sahut Barack memotong pembicaraan.
Jelas sopir ketakutan, Barack seorang lelaki yang selalu ingin segala sesuatu harus sempurna. Dia pun sangat menghargai waktu, ketus, jutek angkuh parah, arogan dingin super cuek itu sudah mendarah daging pada dirinya, tapi kalau sudah menyangkut soal perempuan yang dicintai, semua sifat itu luntur dengan sendirinya.
"Langsung saja menuju kantor Ayah!" ucapnya sembari terus sibuk dengan laptop.
"I, , iya Tuan" sopir segera megendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
♡♡♡
Di kampus semua tempat terlihat begitu ramai, mereka berhamburan mencari tempat duduk untuk beristirahat. Ada yang sekedar duduk, bergosip, ada juga yang mengerjakan tugas, tapi di satu sisi lain Luna dan Cici sadang menikmati santapan makan siangnya.
"Setelah selesai kuliah nanti aku harus mengejar cita-citaku dulu, yaitu melanjutkan kuliah lagi keluar negeri!" ucap Cici penuh ambisi sembari membola balikkan majalah di depannya.
"Serius kau masih ingin kuliah lagi?? masih mau pusing-pusing memikirkan rumus dan berbagai macam pasukannya? tugas mungkin, inilah itulah... kau masih mau? hah! kalau aku lebih baik gantung saja kepalaku di pohon mangga! sekarang saja otakku sudah buntu memikirkan semuanya," Luna berucap dengan mulutnya yang penuh bakso sampai terlihat kedua pipinya mengembang.
"Kau pusing bukan karena memikirkan materi! tapi terlalu sering memikirkan lelaki playboy itu!"
"Kadang kalau bicara kau selalu selalu benar ya! dasar! menyebalkan!" Luna mengakuinya.
"Hahaha... aku ingin sekali mendapat gelar yang lebih tinggi di belakang namaku" ucap Cici mulai membanggakan diri sambil melebarkan ke dua tangannya seperti seeokor burung yang sedang mengepakkan sayapnya.
"Gelar apa? gelar tiker? wkwkwkwk" Luna memotong pembicaraan, ucapannya memang sedikit tapi langsung menusuk ke dada Cici. Tawanya puas sebagai pembalasan karena ejekan Cici sebelumnya.
"Waah jahat sekali mulutmu!" Cici masih sibuk membuka majalah di depannya. Pandangannya mulai terhenti pada sebuah gambar seorang lelaki di dalam majalah yang menarik perhatiannya. "Uuuuwwwhhh... sumpah ini orang sangat tampan! ya ampuuunnn Barack!! kenapa kau bisa setampan ini. Mungkinkah dulu saat pembagian posi ketampanan dia berdiri di barisan paling depan sehingga Tuhan memberikan lelaki ini melebihi porsi seharusnya? Bagaimana bisa Tuhan menciptakan makhluk sesempurna ini? mambayangkan dia memelukku saja kenapa aku merasa tidak pantas ya!" Cici bersedih hati, sengaja mendramatisir.
"Hei hei hei hei!!! Apa-apaan kau ini? ekspresimu jelek! kalau kata sutradara ekspresumu berlebihan!" Luna sepertinya masih kesal dengan Cici. Mereka saling mematahkan kebahagiaan satu sama lain.
"Berlebihan di mananya?! Coba kau lihat sendiri penampilan Barack Putra Alwibowo CEO muda, tampan di usianya yang masih tergolong sangat muda sudah memiliki perusahaan sendiri di luar negeri... artikel ini berhasil membuat semua orang merasa iri dengannya. Hebat, 'kan? dia!" Cici merasa bangga membaca artikel majalah tersebut.
"Bodo! aku tidak peduli dengan apa yang ditulis artikel itu" celetuk Luna yang sama sekali tidak tertarik dengan topik pembicaraan.
"Heh jangan seperti itu, dia juga putra tunggal dari keluarga wibowo, itu artinya dia ahli waris dari–," Cici terus mengoceh sembari berangan angan sendiri.
"Tau ah... ganti topik pembicaraan donk! tidak ada yang lain apa yang lebih penting untuk dibahas?" Luna memotong pembicaraan, sambil terus mengaduk mie baksonya.
"Ya ampuuun! kau menyebalkan sekali sih!" Cici akhirnya kehilangan moodnya, dia menutup kembali majalah itu. "Tapi ngomong-ngomong kalau kau bagaimana? selesai kuliah nanti... kau mau lanjut ke mana?" sambungnya.
Luna hanya diam melamun, tatapan matanya mulai kosong sambil terus mengaduk bakso yang ada di depannya.
"Hei!! kenapa kau melamun!" Cici dengan menaikkan nada bicaranya, dia sengaja membuat Luna agar sadar dari lamunan.
"Aku tidak melamun, hanya sedang berpikir. Kau tahu sendiri, 'kan? Kalau aku ingin sekali melakukan apa pun yang aku inginkan tapi... orang tuaku ingin aku menuruti semua perintahnya. Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menentang keinginan mereka!" terlihat wajah Luna mulai murung dan tak bersemangat.
"Maksudmu?" Cici sedikit bingung dengan maksud ucapan Luna.
"Ya begitulah, Ayahku ingin agar aku meneruskan perusahaannya, kau tahu sendiri aku anak satu-satunya di keluargaku. Kalau bukan aku, lalu siapa lagi yang akan meneruskannya?" ucap Luna, kini dia seperti sudah mulai kehilangan semangatnya.
"Serius kau mau meneruskan usaha keluargamu? dengan penampilan dan... gaya seperti ini? apa semua pegawaimu nanti tidak melarikan diri? Hahahah" nada bicara Cici terdengar santai namun terdengar sangat menjengkelkan di telinga Luna.
"Wah wah... jahat sekali kau Ci! Kau mau balas dendam ya!" Luna mulai jengkel dan melempar garpu ke atas meja sembarangan.
"Hahahahah... puas aku!" Cici semakin puas tawanya setelah berhasil membalas ucapan Luna.
♡♡♡
Di tempat lain, di perusahaan keluarga Wibowo di mana semua orang sibuk bekerja dengan urusan masing-masing, Barack mulai melangkahkan kakinya menuju lobi kantor menuju ke arah lift.
Alat berat itu mulai bergerak membawa Barack dari lantai dasar menuju ke lantai 47. Sesaat kemudian lift pun berhenti dan pintunya terbuka lebar, Barack melangkahkan kakinya keluar menuju ke sebuah ruangan.
Tok tok tok!!
kepribadiannya yang angkuh Barack tetap mempunyai sikap sopan santun, dia mengetok pintu kantor Ayahnya sebelum masuk ke dalam.
"Ya! masuklah" suara berat Pak Wibowo dari arah dalam mempersilakan Barack untuk masuk ke ruangannya.
Barack pun masuk dan membuang senyum tipis ke arah Ayahnya.
"Barack putraku, bagaimana kabarmu? dan bagaimana perkembangan perusahaanmu di sana?" Pak Wibowo beranjak dari tempat duduknya menyambut kedatangan Barack dengan pelukan hangat.
"Seperti yang Ayah lihat, aku baik-baik saja, dan yang pasti begitu juga dengan perusahaanku" Barack menjawab singkat di selingi senyum tipis yang menghiasi bibirnya.
"Ayah sudah menduganya kalau kau pasti bisa melakukannya, tapi ingat jangan pernah mencoreng nama keluarga kita, oke!" ucap Pak Wibowo memperjelas dan memberi tekanan di kalimat terakhir agar Barack tetap fokus dengan perusahaan serta tujuannya.
Mendengar ucapan ayahnya senyum tipis di wajah Barack menghilang dan ekspresi wajahnya mulai berubah tegang. "Oke" jawabnya pendek.
"Kau sudah bertemu dengan Ibumu?" tanya Pak Wibowo sambil duduk kembali di kursi kebesarannya.
"Aku rasa Ayah sudah cukup dengan baik menjaga Ibu selama aku di luar negeri?"
"Kelihatannya bagaimana? hahahahah... baiklah. Oh ya, ada hal penting yang ingin Ayah dan Ibu bicarakan denganmu" Pak Aibowo melepas kacamatanya.
"Hmm, baiklah Ayah... kita bertemu di makan malam dan akan membahasnya. Sekarang aku pamit pergi dulu, sudah ada janji dengan seseorang."
"Oke, jangan terlambat" ucap Pak Wibowo di penuhi rasa kekhawatiran yang mendasar.
Barack hanya tersenyum tipis saat meninggalkan ruang kerja ayahnya. Menuju ke lift dengan ekspresi wajah yang begitu dingin dan pandangan mata tajam. Dari ekspresi wajahnya menggambarkan seolah Barack sangat menahan tekanan dari Ayahnya mengingat kembali ucapan pak Wibowo yang lebih terdengar seperti ultimatum baginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!