Di dalam ruangan pemeriksaan khusus dokter obgyn, yang bernuansa putih bersih. Tampak seorang wanita muda yang berbaring di atas bad. Dengan baju yang sedikit terbuka pada bagian perut yang terlihat masih rata.
Dokter obgyn perempuan itu terlihat sedang menggerakkan alat USG-nya di atas perut wanita tersebut. Sesekali menatap layar monitor.
"DUG! DUG! DUG!"
Tak lama kemudian, suara detakan yang lebih kuat dan cepat menggema, menghiasi ruangan itu. Suara itu tak lain merupakan detakan jantung janin yang membuat sang pemilik bergetar.
"Itu suara apa dok?" Tanya Aluna kepada dokter sedikit bingung sambil melirik layar monitor yang sama sekali tidak ia pahami isi gambarnya.
Dokter perempuan itu mengulas senyum menatap Aluna. "Ini suara denyut jantung Janin ibu!" Sahutnya.
"BUM!"
Aluna tersentak mendengarkan jawaban dari dokter. Layaknya dentuman suara ledakan yang besar menghantam dadanya. Membuatnya sontak membulatkan mata detik itu juga.
"Ja.. J..antung janin?" Aluna kembali bertanya dengan nada terbata-bata.
"Iya! Selamat ya usia kehamilan ibu sudah memasuki 10 minggu!" Sambungnya sambil merapikan kembali pakaian Aluna.
Lagi-lagi dokter memberikan jawaban yang mengejutkan dan terkesan tidak mungkin. Aluna terdiam beberapa saat berusaha menata pikirannya, tenggorokannya tercekat dengan berat menelan saliva.
'
'
'
"Jadi aku sekarang benar-benar hamil dan sudah 10 minggu?" Batinnya sambil mengigit kecil bibir bawahnya. Badannya terasa lemas dan bergetar mendengar kabar yang tak terduga itu.
Aluna bangun dari pembaringannya, lalu duduk di kursi pasien berhadapan dengan dokter yang baru saja memeriksanya. Dokter itu terlihat sedang menulis beberapa catatan di buku kehamilan.
Sementara Aluna, dia terdiam memandangi buku dan foto USG itu. Tatapannya kosong dan wajahnya sedikit pucat. Hatinya bergejolak saat itu juga, ntah harus berbahagia atau bersedih.
Pasalnya, beru 1 bulan lebih dia bercerai dengan suaminya. Lukanya bahkan belum memudar. Tapi, kini dia justru mendapatkan kabar tak terduga, kalau dirinya ternyata sedang hamil 10 minggu. Itu artinya usia kehamilan Aluna saat perceraian kurang lebih 4 atau 5 minggu.
"GOD...!" Andai aja berita kehamilan ini diketahuinya lebih cepat, mungkin rumah tangganya masih baik-baik saja sampai saat ini.
'
'
'
"Bu ini resepnya. Bisa ditebus di apotek!" Sahut dokter itu menyodorkan secarik kertas resep bersama buku kehamilan kepada Aluna.
Aluna terkejut. Sontak menarik pandangannya, lalu menatap sendu buku dan resep itu. "Ny. Aluna!" Tulisan yang tertera di cover buku itu, membuat tenggorokannya kembali tercekat, kemudian dengan susah paya menelan salivanya lalu perlahan meraih buku itu.
"Terima kasih dokter!" Lirihnya lalu beranjak keluar dari ruangan.
'
'
'
Dengan langkah berat. Aluna berjalan di lorong rumah sakit yang menghubungkan dengan ruangan apotek. Wajahnya putih pasi, matanya memerah memikirkan perkataan dokter yang terus terngiang di benaknya.
"Selamat ya usia kehamilan ibu sudah memasuki 10 minggu!" Perkataan itu terus bergulir di ingatannya membuat kedua sudut matanya perlahan berlinang lalu menumpahkan buliran air mata.
Dia terus melanjutkan langkah kecilnya sambil sesekali menyeka wajahnya, menghapus buliran air mata yang terus mengalir bahkan hampir menghalangi pandangannya.
Namun, rasa sedihnya tidak cukup sampai disitu. Di luar dugaan. Secara tidak sengaja, dalam keadaan yang bisa dibilang hati dan pikirannya sedang kacau. Aluna malah melihat mantan suami bersama dengan istri barunya.
Seketika membuat langkahnya terhenti. Seluruh badannya bergetar dan terasa lemas. Wajahnya semakin memucat dan bibinya bergetar memandang laki-laki yang sebulan lalu masih dia panggil suami, berjalan bersama pasangan barunya.
Dari kejauhan, dengan hati yang tercabik-cabik Aluna memandang keduanya berjalan bergandengan menuju apotek membuat pandangannya perlahan kabur.
Aluna tiba-tiba merasakan tekanan berat pada dadanya, matanya semakin mengalirkan buliran air menyaksikan kebahagiaan mereka, yang perlahan memancing aura kehancuran dalam hatinya mendominasi tempat itu.
Perlahan memundurkan langkahnya bersandar di dinding putih yang menjulang tinggi.
Seketika hatinya berkecamuk melihat pemandangan itu dari jauh. Tangannya mencengkram kuat pada dinding kokoh yang perlahan retak seakan runtuh menghimpitnya saat itu juga.
Semakin lama retakan itu melebar dan dalam, lalu mulai berjatuhan menimpanya, membuat Aluna seperti merasa sedang berada di tengah tumpukan runtuhan dinding yang menghancurkan tubuh kecilnya. Tidak ada kekuatan untuk bangkit, tidak ada tempat berlindung dan tidak ada pertolongan untuknya.
"Hhhfftt! Hhhfftt!" Aluna memegang dadanya yang terasa sesak. Sorot matanya sayu, perlahan mulai menutup dan bibinya semakin bergetar, bahkan kedua kakinya terasa lumpuh.
"Ngingg................!!!!"
Aluna merasakan kepalanya berat dan telinganya berdengung saat itu juga. Badannya mulai oleng, bahkan matanya perlahan menutup.
'
'
'
"Bu! Ibu tidak papakan?" Suara yang terdengar samar membuat Aluna perlahan mengembalikan kesadarannya. Lalu, melebarkan matanya saat ibu-ibu paru baya itu menopang tubuhnya yang nyaris ambruk di atas lantai.
Aluna perlahan melebarkan pandangannya menatap wajah di depannya sambil menggelengkan kepala "Terima kasih Bu!" Lirihnya.
Dengan bantuan ibu-ibu itu, dia kembali berdiri tegak kemudian kembali menatap ke depan meneliti tempat itu. Tapi, mantan suami dan istri barunya sudah tidak ada di tempat.
Saat itu, Aluna merasa dirinya sedang berada dititik terendah dalam hidupnya. Meski menikah dan bercerai memang sudah menjadi garis takdir hidupnya. Tapi, jika saja sang mantan suami membina rumah tangga yang baru dengan orang lain, mungkin dia akan lebih mudah untuk melupakan.
Namu. Pada kenyataannya, secara tidak langsung saudara perempuannya justru menjadi pihak yang telah membuatnya berada dalam kepahitan itu.
'
'
'
Aluna duduk di lantai, bersandar disudut kasur memeluk kedua lututnya dengan erat.
Sekuat tenaga menahan suara saat air matanya kembali mengalir membasahi kedua pipinya. Bibirnya bergetar dan wajahnya memerah merasakan kepahitan yang dirasakan.
Rasanya tidak adil baginya di usia muda harus bercerai dan hamil tanpa suami yang mendampingi.
Bagaimana dia akan menghadapi hari-harinya seorang diri? siapa yang akan memberikan dukungan, mendampingi di setiap momen menjalani kehamilannya? dengan siapa dia akan berbagi keluh kesahnya? lalu bagaimana dengan pandangan orang-orang di sekelilingnya?
Berbagai pertanyaan bermunculan dalam benaknya, membuat hatinya bergejolak mengacaukan pikirannya bahkan menumbuhkan akar rasa kekhawatiran yang kuat dan kokoh menjulang tinggi di dalam dadanya.
Selama beberapa saat dia mencoba menahan tangisannya sampai pada akhirnya...
"Hiks.! Hiks.! Hiks.!" isakan kecil yang tidak tertahankan lagi mulai terdengar. Dengan perasaan pedih Aluna membenamkan wajahnya di atas kedua lututnya "HIKS.! HIKS.! HIKS.! Semakin terisak dan lebih keras.
Bagai berada dalam ruang kosong yang gelap dan jauh, dirinya merasakan setiap titik rasa sakit yang tumbuh semakin membesar sampai membuat dadanya hampir meledak.
"HAAAAAA.... !!!!" Teriaknya mendongakkan wajahnya yang di basahi air mata, sementara kedua tangannya mengepal kuat sampai kukunya memutih hingga ototnya mengeras.
Aluna meluapkan amarah, kesedihan dan kepahitan yang dirasakannya saat itu dalam tangisan di dalam kamarnya seorang diri.
Tidak ada sosok yang mendampingi saat dia merasa rapuh, membuat dirinya seakan berada di jalan buntu. Apa tidak ada lagi secercah kebahagiaan yang tersisa untuknya? Dan.. mengapa takdir mempermainkannya dengan begitu kejam?
Ingatannya kembali beberapa tahun lalu. Kebahagiaan yang dia rasakan selama 5 tahun pernikahannya dengan Arlan.
5 tahun menjalin bahtera rumah tangga yang harmonis lenyap seketika. Hanya karena Aluna yang tidak mampu memberikan keturunan membuat mertuanya memilih untuk menikahkan Arlan dengan wanita lain.
*Aluna Sagita Putri. Merupakan gadis berusia 27 tahun yang berparas cantik alami dan berkulit putih. Memiliki sepasang bola mata dengan netra berwarna hitam. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis.
*Aluna memiliki tinggi badan sekitar 160 cm dan berat badannya sekitar 50 kg. Memiliki hobi masak dan berbakat dalam bidang seni desain grafis.
Saat ini berprofesi sebagai desainer disalah satu perusahaan dalam negri. Aluna mahir dalam membuat desain cincin dan kalung membuatnya memiliki karier yang baik di usia mudanya.
Tapi tentu saja, karir yang mapan bukanlah jaminan untuk kebahagiaan hidup seseorang. Sama seperti yang dia alami.
Meski pernikahan mereka didasarkan cinta 5 tahun lalu. Tapi, tampa kehadiran sang buah hati justru menjadi pemicu perceraian yang terpaksa mereka jalani.
Bersambung...
_5 TAHUN LALU_
Arlan Raden Wijaya. Berusia 29 tahun yang merupakan CEO muda di salah satu perusahaan dalam negri yang bergerak di bidang konstruksi.
Berparas tampan, berkulit putih, memiliki mata yang sipit berwarna hitam. Hidungnya mancung dan bibir yang sedang.
Memiliki tinggi badan sekitar 180 cm dan berat badan 65 kg. Tubuhnya proporsional dan sixpack. Membuatnya banyak di kagumi lawan jenis.
Namun, diantara para gadis-gadis yang menawan itu. Arlan menjatuhkan pilihannya kepada sosok Aluna, yang saat itu berusia 22 tahun dan Arlan sendiri masih berusia 24 tahun.
Keduanya memutuskan menikah di usia muda dan sempat menggemparkan khususnya di kalangan para pengusaha dalam negri.
Arlan dan Aluna menjalani bahtera rumah tangga yang harmonis sambil menyelesaikan studinya.
Bahkan saat Arlan harus kembali keluar negeri untuk menyelesaikan pendidikan, Aluna rela menjalani LDR-an dan tetap menjadi istri yang setia untuknya.
Aluna masih merekam jelas bagaimana kejadian bahagia saat Arlan melamarnya di sebuah restaurant mewah 5 tahun lalu.
'
'
'
Kala itu, di sebuah ruangan private yang bernuansa biru muda. Ada ratusan lilin indah yang menghiasi setiap sudut ruangan, beberapa bunga mawar yang berwarna merah dan putih bertebaran di lantai.
Arlan sengaja booking satu ruangan penuh spesial untuk mereka berdua.
Saat itu, Arlan berlutut di depan Aluna dengan memegang kotak cincin berlian indah.
"Aluna. Maukah kau menikah denganku? menghabiskan sisa waktu dan menua bersamaku?" Arlan melamar Aluna dengan lembut dan penuh keyakinan.
Aluna cukup terkejut dengan lamaran itu. Juga sangat menikmati. Matanya sedikit berlinang menatap laki-laki yang sangat ia cintai sedang berlutut dihadapannya, lalu perlahan mengangguk mengulas senyum sebagai tanda menerima lamaran Arlan.
Begitu juga dengan Arlan, yang ikut tersenyum melihat reaksi Aluna. Lalu berdiri memeluk erat Aluna.
"Terima kasih!" Lirihnya mengeratkan pelukannya begitu juga dengan Aluna.
Rasa bahagia menyelimuti keduanya. Bahkan Aluna merasa mungkin saat itu dirinya menjadi satu-satunya wanita yang paling bahagia dimuka bumi ini.
2 Minggu setelah lamaran. Arlan dan Aluna menggelar pernikahan mewah yang di hadiri kerabat dan kolega bisnis Raden Wijaya.
Aluna tidak memiliki banyak kerabat. kedua orang tuanya sudah lama tiada. Selama beberapa tahun dia tinggal bersama dengan ibu sambung dan saudara tirinya yang bernama Nindia Sagita Putri.
Keluarga Arlan sangat menyayangi Aluna dan menganggapnya seperti putri sendiri.
Tidak ada kesulitan yang didapatkan selama berada bersama mereka.
Sehari setelah melangsungkan pernikahan. Aluna bersama Arlan langsung berangkat ke Paris untuk bulan madu.
'
'
'
Menara Eiffel, telah menjadi tujuan pertama mereka mengabadikan momen yang membahagiakan itu.
Malam itu, pemandangan kota sangatlah indah, ada jutaan cahaya lampu yang menyinari setiap sudut.
Aluna berdiri menatap puncak menara, tatapannya binar mengulas senyum merasakan pelukan dari kedua tangan Arlan yang melingkar di pinggangnya.
Saat itu Arlan memeluk Aluna dari belakang sambil ikut menatap puncak menara.
Selama beberapa saat mereka merasakan kehangatan itu. Meski bukan kali pertama mereka berlibur ke luar negeri. Tapi, momen itulah yang paling berkesan sepanjang sejarah liburan mereka.
"Honey. Apa kamu tahu perbedaan puncak menara dengan cintaku kepadamu?" sahut Arlan yang tiba-tiba sambil mengeratkan pelukannya.
Aluna sedikit mengernyit mendengar perkataan yang terlontar dari laki-laki yang resmi berstatus suami untuknya.
"Apa?" balasnya masih terus menatap puncak menara.
"Puncak menara Eiffel semakin tinggi semakin kecil. Sedangkan cintaku kepadamu semakin lama semakin besar!" Balas Arlan yang terkesan sedikit menggoda juga konyol.
Aluna seperti merasa sedang digelitik semakin melebarkan senyuman mendengar perkataan suaminya.
"Ih kok gombalan-nya gitu?" melirik wajah suaminya yang masih memeluknya dalam kehangatan.
"Hehehe!" kompak terkekeh.
Meski terdengar asal-asalan, tapi bagi orang yang sedang dimabuk asmara apapun akan terdengar romantis. Begitu juga dengan Aluna yang cukup menikmati gombalan konyol Arlan.
'
'
'
Malam itu, di dalam kamar hotel mewah yang bercat putih. Arlan yang hanya mengenakan celana training berwarna biru malam. Memperlihatkan setengah tubuh kekarnya, otot dadanya yang bidang serta otot perutnya yang sixpack bak roti sobek idaman para wanita terpampang memanjakan mata Aluna.
Perlahan Arlan mendekati Aluna yang telah terlentang di atas kasur. Mengenakan lingerie yang berbahan tipis berwarna putih, sehingga memperlihatkan bagian dalam tubuhnya walau hanya dengan menatap dengan mata telanjang.
Arlan menatap lekat setiap inci wajah Aluna yang berada dibawahnya sambil membelai lembut pipi istrinya yang terasa halus.
Sementara Aluna dari tadi mengalunkan kedua tangannya dileher suaminya. Keduanya beradu dalam tatapan selama beberapa saat.
"CUP!"
Aluna memejamkan mata merasakan dahinya sedikit dingin dan basah saat Arlan mengecupnya dengan lembut.
Arlan mengulas senyum melihat istrinya yang terlihat cantik dan menggemaskan. Perlahan Aluna membuka matanya, lalu ikut tersenyum menatap wajah suaminya yang tampan.
Tak cukup memberikan kecupan kecil di dahi Aluna. Arlan menurunkan pandangannya menatap lekat bibir ranum milik istrinya.
"Bisakah malam ini menjadi malam terindah untuk kita?" bisik Arlan menggoda sambil mengelus lembut bibir Aluna. Membuat Aluna sedikit merinding, lalu mengulas senyuman.
Rasa panas mulai menyelimuti keduanya saat itu. Tampa berlama-lama Arlan mendekatkan wajahnya meraup dengan lembut bibir ranum istrinya dan langsung disambut pemiliknya.
Keduanya cukup menikmati kelembutan itu satu sama lain. Semakin lama Arlan semakin agresif bahkan kedua tangannya mulai meraba bagian dada Aluna hingga bagian yang lebih intim membuat Aluna kembali merinding merasakan sentuhan itu. Kemudian perlahan ikut terpancing mengikuti gerakan dari suaminya yang sudah menjelajah penuh tubuhnya.
Napas keduanya memburu dan terus berlanjut ke adegan yang lebih intim sampai tumbuh keduanya saling merasakan kehangatan tanpa penghalang sehelai pun semakin menjadi kan mereka memanas.
'
'
'
Sinar matahari mulai muncul menghiasi seluruh kota Paris. Aluna menatap lekat wajah suaminya yang masih terlelap dalam balutan selimut berwarna putih.
Rasa bahagianya tidak dapat dia sembunyikan setelah kembali mengingat, momen malam panas yang mereka lewati.
Aluna mengulas senyum sambil menatap suaminya. Perlahan mengecup lembut dahi suaminya.
"CUP!"
Kecupan lembut itu sontak membuat Arlan membuka mata menatap Aluna yang baru saja ingin menarik wajahnya dari Arlan.
Aluna sontak menunduk malu menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah menyerupai tomat.
Rasanya seperti ingin bersembunyi dibawah kolong saat itu juga setelah dipergoki oleh Arlan, yang berpura-pura tidur saat dirinya diam-diam menciumnya.
Padahal yang dicium suami sendiri, tapi tetap saja cukup membuat Aluna tersipu malu. Dia bahkan takut jika dirinya terlihat seperti wanita murahan dimata Arlan.
Terdengar konyol, tapi itulah kenyataan yang ada dibenaknya. Wanita mana? setelah melewati hanya dalam waktu semalam saja tiba-tiba berubah menjadi agresif dan menyerang laki-laki lebih dulu.
Semakin memikirkan, semakin merasa kalau dirinya mungkin saja telah melakukan sesuatu yang berlebihan dalam waktu yang secepat itu.
Arlan menunggingkan senyum kecil melihat tingkah Aluna yang tiba-tiba menciut begitu saja.
Arlan menarik Aluna ke dalam dekapannya, membuat posisi mereka saat itu dimana Aluna berada di atasnya.
"Ah!" Aluna terkejut saat badannya tiba-tiba menimpah dada bidang yang berotot milik Arlan.
Kedua tangan Aluna menempel sempurna di dada Arlan. Lalu perlahan mulai mengangkat wajahnya menatap Arlan dan pandangan mereka bertemu.
Arlan memeluk erat tubuh Aluna menikmati kehangatan di pagi itu, sementara yang dipeluk hanya tersenyum membenamkan wajah di dada suaminya.
Tidak ada kata yang tepat selain bahagia untuk mereka saat itu. Bisa menikah dengan pilih sendiri dan orang yang kita cintai tentu menjadi keinginan semua orang.
Selama 1 minggu, mereka berada di Paris menikmati setiap momen honeymoon yang indah.
Mereka mengunjungi beberapa tempat yang indah, mencoba beberapa kuliner, terkadang berbincang ringan dengan orang - orang yang mereka temui.
Waktu seminggu sebenarnya bisa dibilang cukup singkat bagi mereka. Tapi, mereka harus mengakhiri honeymoon indah itu dan kembali untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah beberapa hari menanti.
Meski terkesan singkat juga sedikit terburu-buru. Setidaknya Aluna berhasil mengabadikan beberapa momen mereka melalui foto bersama bahkan ada beberapa clip pendek yang dia simpan di ponselnya.
Bersambung...
Tahun pertama, kedua hingga ketiga telah mereka lalui dengan harmonis. Hingga memasuki tahun keempat, berbagai pertanyaan mulai bermunculan dari orang - orang terdekat hingga rekan - rekan kerja yang terus mempertanyakan perihal kapan mereka akan memiliki momongan.
Bahkan teman-teman sosialita mertua Aluna sili bergantian melayangkan pertanyaan - pertanyaan itu. Membuat mertuanya yang awalnya biasa saja perlahan mulai mendesaknya.
Tentu saja yang paling merasa tidak enak adalah Aluna. Meski suaminya sendiri tidak mempermasalahkan, tapi Aluna tidak bisa terus membungkam mulut - mulut kejam orang di sekelilingnya, ditambah dengan keluhan mertuanya yang mulai membanding - bandingkan dirinya dengan menantu - menantu temannya.
Meski mertuanya tidak pernah mengatakan secara langsung di depannya. Tapi, Aluna kerap mendengarkan ibu mertuanya yang mendesak Arlan.
Hal itu telah berlangsung selama beberapa tahun hingga mencapai puncak permasalahan di tahun kelima yang akhirnya merenggut segala kebahagiaannya.
'
'
'
"Ma. Aku dan Aluna masih mudah! Jadi tidak masalah jika kami belum memiliki anak sampai sekarang!" Sahut Arlan yang sedang berbicara dengan mamanya di ruang kerja pribadinya.
"Arlan! Usia kalian hampir 30 tahun dan akan terus bertambah setiap tahun. Lagian, pernikahan kalian sudah 5 tahun!" Balas mamanya sedikit tegas.
"Lalu apa masalahnya ma? Aku dan Aluna saling mencintai, memiliki anak atau tidak itu tidak ada pengaruhnya bagi kami!" Kembali Arlan menjawab mamanya dengan nada sedikit kesal.
"ARLAN!" Bentak mamanya sambil menatap tajam kepadanya dan Arlan hanya terdiam menatap balik mamanya.
Wajah Arlan mulai menegang. Ini bukan pertama kalinya mereka membicarakan hal tersebut sampai membuatnya merasa muak!
"INGAT ARLAN! PT. PERKASA WIJAYA BUTUH PENERUS!" Lanjut mamanya membentak. "APA KAMU MAU PERUSAHAAN YANG DIRINTIS OLEH KAKEK KAMU KEHILANGAN PENERUS?? DAN INGAT. BEBERAPA KERABAT BERUSAHA MENJATUHKAN KITA DAN SALING BERSAING MEMPEREBUTKAN POSISIMU SEKARANG!! Kembali melanjutkan perkataannya sambil menunjuk wajah Arlan.
"KALI INI. MAMA HARAP KAMU BISA MENERIMA SARAN MAMA UNTUK MENIKAH DENGAN WANITA YANG SUDAH MAMA PILIH UNTUKMU!! Gertak mamanya lalu dengan cepat berbalik meninggalkan ruangan itu.
Arlan mengepalkan kedua tangannya dengan masam menatap tajam punggung mamanya yang berlalu meninggalkan ruangan. Kepalanya seperti merasakan didihan yang meluap sampai hampir meledak.
Diam-diam Aluna mendengar perdebatan ibu dan anak itu untuk kesekian kalinya. Namu, kali ini terdengar lebih mengerikan sampai rasanya seperti sedang memakan bom waktu yang semakin hampir meledakkan dirinya. Seluruh tubuhnya terasa lemas, tenggorokannya tercekat.
Kedua sudut matanya berlinang dan terasa pedih. Aluna mencengkram kuat pada kera bajunya dalam keadaan bergetar berusaha untuk tidak menumpahkan buliran air matanya yang semakin tidak terbendung.
'
'
'
"HAAAAAA!!" Teriak Arlan "BRAKKK!!" Yang kemudian disusul dengan suara pecahan yang melengking saat dia menyapu bersih semua benda yang ada di meja kerjanya.
Sontak mengejutkan Aluna yang masih berdiri di balik dinding tanpa sepengetahuan Arlan dan mamanya.
Aluna menutup kedua kupingnya saat mendengar amukan suaminya. Semakin membuat hatinya tertusuk dan terasa pedih. Air mata yang susah paya dia tahan kini telah bercucuran membasahi pipinya.
Perlahan menjatuhkan badannya berjongkok di lantai. Aluna menangis tanpa suara sambil terus menutup kedua kupingnya serta membenamkan wajahnya di kedua lututnya.
Sedangkan Arlan sendiri duduk termenung bersandar di sudut meja. Tatapannya sendu, kedua matanya memerah. Meski tidak meneteskan air seperti Aluna. Tapi percayalah! Jauh dari lubuk hatinya, rasa sakit yang dia rasakan sangat besar hingga tidak mampu lagi untuk meneteskan air mata.
_2 MINGGU KEMUDIAN_
Saing itu, Aluna menemui mertuanya disebuah restoran yang tak jauh dari tempat kerjanya.
Keduanya telah berada di dalam ruangan private yang sengaja dipesan oleh mertuanya untuk mereka berdua.
"Arlan tau kamu di sini?" Tanya mertua Aluna ringan sambil menyeruput isi gelasnya.
"Tidak ma!" Balasnya sambil menggeleng kecil.
Aluna cukup canggung berada dalam situasi itu. Ada rasa khawatir yang menyelimuti juga rasa tidak enak hati menghadapi mertuanya.
"Mama sengaja memanggilmu untuk membicarakan sesuatu hal penting!" Kembali mertuanya membalas membuat Aluna sedikit gugup hingga kedua tangannya menggenggam gelas miliknya dalam keadaan sedikit bergetar.
"Luna. Ibu berencana menikahkan Arlan dengan wanita lain!" Lanjutnya langsung pada inti sambil menatap Aluna.
"BUM!"
Aluna terlonjak membulatkan mata mendengar ucapannya, seketika tubuhnya terasa lemas. Tenggorokannya tercekat dengan susah paya menelan salivanya. Meski sebelumnya dia sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka dari awal, tapi tetap saja rasanya sakit mendengarnya langsung.
"Tapi kamu tenang aja! Mama tidak meminta kalian bercerai, mama hanya ingin kamu memberikan persetujuan!!" Sambung mertuanya yang terdengar enteng.
"DUG! DUG! DUG!"
Aluna semakin terlonjak. Hatinya kian remuk mendengar perkataan terakhir dari mertuanya yang sama sekali tidak memikirkan perasaannya. Aluna tidak menyangka orang yang selama 5 tahun dia panggil mama bisa dengan mudah merencanakan pernikahan untuk suaminya bahkan membiarkan dirinya dimadu.
Sakit! Rasanya sangat sakit jika membayangkan semu itu sampai membuat seluruh tubuhnya lemas dan bergetar.
Dengan mata memerah terasa pedih, juga bibirnya bergetar. Bahkan kedua tangannya mencengkram kuat pada gelas yang dia pegang dari tadi. Aluna menatap dalam mertuanya meneliti wajah paru baya di depannya. Berharap apa yang dia katakan itu hanyalah sebuah candaan semata.
Tapi... Yang dia temukan hanya kenyataan yang pahit. Aluna menemukan wajah di depannya terlihat tidak sedang bercanda, dan.. terlihat sama sekali tidak ada rasa iba untuk dirinya membuat hatinya kian remuk semakin dalam.
Sekuat tenaga Aluna menahan agar matanya tidak menjatuhkan setetes pun buliran air mata di depan mertuanya. Meski hatinya hancur berkeping, Aluna tidak ingin terlihat lemah di depannya.
Aluna menegakkan pandangannya menatap dalam kedua matanya mertuanya, lalu mengatupkan gigi. "Baik kalau itu keinginan mama!" Balas Aluna bergetar.
"Terima kasih! Mama harap secepatnya kamu bujuk Arlan!" Balas mertuanya menunggingkan senyum kecil sambil merapikan tasnya, kemudian beranjak meninggalkan Aluna seorang diri.
'
'
'
Selama beberapa saat Aluna terdiam. Bahkan dia enggan melirik mertuanya yang beranjak meninggalkannya. Seluruh tubuhnya kian bergetar, perlahan buliran keringat dingin bermunculan di dahi hingga pelipisnya.
Rasanya seperti berada dalam ruangan kosong dengan pencahayaan juga sirkulasi udara yang minim membuat dadanya terasa berat dan sesak.
Aluna tertunduk menatap gelas ditangannya, melihat pantulan bayangan wajahnya, kedua sudut matanya perlahan berlinang hingga pandangannya kabur dan bayangannya dalam pantulan gelas juga ikut memudar.
"Tes!" Tak butuh waktu lama tetesan air mata yang sekuat tenaga dia tahan akhirnya membasahi pipinya hingga menetes bercampur pada isi gelas yang dia pandangi.
Aluna menangis dengan bibir bergetar tanpa suara merasakan duri-duri yang menggerogoti hatinya. Meski tidak diminta bercerai, tapi apa gunanya ber status istri jika jelas-jelas dia akan dimadu.
Gila! Mungkin dia akan menjadi wanita gila jika mengatakan rela untuk dimadu. Dengan berat hati Aluna menyetujui permintaan mertuanya, karena dia tidak ingin menjadi menantu durhaka. Arlan sudah cukup membuktikan cintanya, jadi mungkin saja inilah satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan yang tidak bisa diberikan secara langsung.
'
'
'
Setelah melalui hari-hari yang berat penuh tekanan serta berbagai pertimbangan yang matang. Akhirnya Aluna mulai memberanikan diri untuk mendiskusikan masalahnya dengan Arlan secara terbuka.
Malam itu, dibawa cahaya bulan yang berbentuk sempurna menerangi kedua pasangan suami-istri itu yang sedang menikmati pelukan hangat satu sama lain di balkon kamar mereka.
Aluna mengeratkan pelukannya kepada Arlan sampai membuat Arlan sedikit mengerutkan dahi. Tidak biasanya Aluna memeluknya dengan se-erat itu, terkecuali kalau Arlan akan melakukan dinas luar atau baru saja pulang dari dinas yang memakan waktu selama beberapa hari.
Maka Aluna akan terus memeluk dengan erat sebagai ungkapan melepaskan rasa rindunya. Tapi kali ini sedikit berbeda. Arlan tidak sedang pulang dari dinas luar kota bahkan tidak memiliki jadwal dinas luar dekat-dekat ini.
Arlan tidak berlarut memikirkan perkara pelukan itu. Dia bahkan menyambut pelukan istrinya dengan senang hati sambil memberi beberapa kecupan hangat.
'
'
'
"Mas!" Lirih Aluna masih memeluk erat suaminya.
"Em!" Balas Arlan yang juga masih memeluk erat Aluna.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu!" Sambung Aluna sambil melonggarkan sedikit pelukannya. Lalu mendongak menatap lekat suaminya.
Arlan sedikit menunduk menyambut tatapan itu. Perlahan tangan kanan Arlan menyentuh dan membelai lembut wajah Aluna, sementara satu tangan lagi menggenggam tangan Aluna.
"Katakan!" Sahut Arlan yang terdengar serak.
"Mas. Sebaiknya terima saja tawaran dari mama!" Lirih Aluna sontak membuat Arlan mengerutkan dahi.
"Tawaran?" Tanyanya sedikit heran.
"Iya. Tawaran menikah dengan pilihan mama!" Sambung Aluna mulai bergetar sontak membuat Arlan membulatkan mata.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!