Bugh ....
Sebuah pukulan melayang keras ke pipi kiri Shaka hingga wajahnya berpaling.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini! Belum cukup kamu bikin malu Papa, hah!"
Sekali lagi tangan dari pria yang berumur lebih dari setengah abad itu melayang ke pipi putranya. Panas, perih, itu sudah pasti. Pria itu tak pernah segan-segan dalam memberi pelajaran pada putranya sebab yang dilakukan Shaka sudah sangat membuatnya kecewa. Bukan kali ini saja, kesalahan Shaka sudah sering kali dibuat.
"Mas, sudah cukup! hentikan semuanya!" Winda berlari menghampiri sang putra dan merentangkan tangannya. Berniat melindungi Shaka dari amukan sang suami.
"Biar saja, biar anak ini belajar tentang kesalahannya. Biar dia tahu kalau yang dia perbuat bukan hanya merugikan dia tapi juga kita sebagai orang tuanya. Dia harus tahu kalau dia sudah mempermalukan kita!" teriak pria paruh baya itu dengan murka. Dia adalah Bagaskara Mahendra—ayah kandung dari Arshaka Mahendra.
"Tapi bukan begitu caranya, Mas. Mas sudah kelewatan, tidak seharusnya Mas menghajar Shaka seperti tadi," bela Winda.
"Dia memang pantas mendapatkannya!"
"Tapi, Mas ...."
Tak tahan melihat pertengkaran itu, Shaka menepis tangan Winda yang mencoba melindunginya dengan kasar. Ia Berlalu begitu saja dari ruang tamu dan pergi dengan wajah babak belur. Luka akibat tawuran kemarin saja belum kering kini ditambah lagi bogem-bogem mentah dari Papanya.
"Hei, mau ke mana, kamu?" teriak Bagas.
Melihat Shaka pergi, Winda mencoba berlari mengejar putranya yang lebih dulu tancap gas dengan Ducati warna hitam milik pemuda itu.
"Shaka!" seru Winda memanggil. Namun sayang, putra sulungnya itu sudah menjauh seiring dengan tarikan gas yang dipacu.
Arshaka Mahendra, pemuda dua puluh tiga tahun yang merupakan mahasiswa tehnik di sebuah perguruan tinggi swasta adalah anak laki-laki satu-satunya dari Bagaskara. Anak yang terkenal sebagai berandal kampus itu kini memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia ingin pergi jauh dari rumahnya. Setidaknya menjauh dari laki-laki tua yang berpredikat sebagai papanya.
Bukan apa-apa. Hanya saja, Shaka dan sang papa seolah bagai air dan minyak. Tidak akan pernah bisa menyatu. Keduanya memiliki sifat yang sama-sama keras.
Meski begitu, Shaka masih berusaha menjaga posisinya sebagai anak di hadapan Bagas. Sebab itulah ia tidak pernah melawan setiap pukulan Bagas yang diarahkan kepadanya.
Ia hanya akan memilih diam dan menerima setiap luka dan kesakitan yang dilayangkan oleh papanya tersebut. Seperti hari ini ketika Bagas murka hingga kalap karena mendengar Shaka kembali ditangkap polisi karena aksi tawuran antar geng motor.
"Shaka!" teriak Winda sekali lagi. Kini air mata turut hadir dalam kesedihannya.
Ia kembali pada suaminya dan berkata, "Mas, sudahlah. Tolong maafkan Shaka, kita bisa bicarakan semua ini baik-baik."
Bagas menatap tajam istrinya yang sering kali membela Shaka.
"Mas tolong pikirkan lagi, jangan biarkan Shaka pergi," bujuk Winda lagi.
Saat Winda begitu gigih membujuk suaminya agar memaafkan Shaka, pemuda itu justru terus memacu kuda besi berwarna hitam menjelajah jalanan kota yang masih ramai.
Tak punya tujuan. Shaka hanya ingin menjauh dan menghilang dari orang tuanya saat ini.
Semakin dipacu semakin jauh jarak yang Shaka tempuh. Jalanan mulai lengang dan ia pun merasakan kering di tenggorokannya.
Shaka mulai mencari toko untuk sekadar membeli minum. Dengan memperlambat laju motor, Shaka melihat kanan dan kiri jalan untuk menemukan toko ataupun mini market.
Beruntung meski sudah hampir tengah malam Shaka melihat ada sebuah toko kelontong. Ia pun berhenti di depan toko.
Melihat seseorang yang hampir menutup toko Shaka berteriak. "Tunggu!"
Seorang gadis yang sudah menarik rolling door menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke sumber suara. Di mana ada pemuda yang berlari ke arahnya.
"Tunggu, gue mau beli air mineral," ujar Shaka begitu berhadapan dengan gadis yang masih menahan rolling door.
Gadis berkuncir kuda dengan kaca mata itu menilik Shaka dari atas sampai bawah, lalu ke atas lagi dan berhenti di wajah Shaka yang penuh lebam. Dalam hatinya pasti pemuda ini usai tawuran.
Tidak-tidak, ia tidak mau membantu orang yang baru saja tawuran. Ia tidak suka sama sekali aksi tawuran itu.
"Hei!" Shaka menjentikkan jari di depan wajah gadis itu.
"Gue mau beli air mineral," ulang Shaka begitu mata mereka beradu.
"Maaf kami sudah tutup!" jawab gadis itu ketus.
"Apa? Bukannya ini baru mau tutup? Kan bisa ambilin gue satu," protes Shaka.
"Kami sudah tutup!" Gadis itu tetap kekeuh tak mau melayani Shaka.
"Hei ... gue bakal bayar sepuh kali lipat buat harga satu botol air mineral yang lo jual. Buruan ambilin!" Dengan sombongnya Shaka mengeluarkan lembaran uang merah seratus ribuan dari saku hoodie yang ia kenakan dan mengulurkannya pada gadis pemilik toko.
Tidak suka melihat sifat sombong dan arogan Shaka, gadis itu dengan sengaja menarik rolling door dan segera memasang gembok. Tanpa menggubris Shaka ia pergi begitu saja.
Merasa tidak dianggap, Shaka dengan kasar menarik pergelangan tangan gadis itu dan mencengkeramnya kuat. "Lo budeg, ya. Gue kan minta lo ambilin air mineral kenapa lo tutup pintunya!"
Tanpa rasa takut sama sekali, gadis itu menatap tajam tangan Shaka yang menempel di pergelangan tangannya. meraih kemudian menghempaskannya begitu saja.
"Kita sudah tutup, tidak melayani lagi pembelian apa pun. Bahkah kalau Anda membayar satu juta sekali pun!"
Seolah tidak mau kalah, gadis itu pun dengan sombongnya melenggang pergi dengan motor matic merah kesayangan. Membuat Shaka kesal dibuatnya.
"Cewek sialan!" umpat Shaka yang masih bisa di dengar oleh gadis itu.
Usai gadis itu menjauh, Shaka kembali naik ke atas motor. Suasana hatinya bertambah buruk. Semakin emosi karena ulah gadis pemilik toko. Ia pun semakin memacu kuat motornya untuk melampiaskan kekesalan yang bukannya mereda tapi justru semakin menggila.
Semakin gas ditarik semakin kuat juga motor melaju. Sampai-sampai Shaka kehilangan kontrol ketika ada seseorang yang akan menyeberang jalan tiba-tiba.
Shaka tidak bisa lagi mengendalikan kuda besi itu karena jarak yang terlalu dekat ketika pria paruh baya melintas memotong jalan. Nahas pun tak terelakkan.
Motor Shaka menabrak pria itu dan Shaka sendiri juga terjatuh karena rem mendadak. Seketika ramai orang dalam mesjid keluar untuk melihat apa yang terjadi.
"Woy ... kecelakaan, woy!" teriak salah satu jamaah.
Berduyun-duyun mereka keluar dari mesjid untuk melihat apa yang terjadi.
"Pak Yusuf!" pekik salah satu jemaah yang keluar lebih dulu.
Semua langsung mengerumuni pria bernama Yusuf. Melihat luka yang dialami Yusuf, beberapa orang bertindak cepat dengan membawa salah satu warganya ke rumah sakit.
Sementara yang lain mengurus Shaka.
*****
"Mas, jangan terlalu keras dengan Shaka. Kita tahu kenapa Shaka jadi seperti ini, jangan sampai Shaka keluar dari rumah ini. Ayo, Mas ... cari Shaka," bujuk Winda lagi dan lagi.
Bagas melihat gigihnya Winda memperjuangkan Shaka. Sebagai seorang ayah, pastilah Bagas sangat menyayangi Shaka terlebih Shaka adalah anak laki-laki satu-satunya.
Hatinya mulai melunak. Emosinya pun mulai reda.
Namun, semua berubah ketika sebuah panggilan ia terima. Ia kembali naik pitam.
Ekspresi kemarahan tergambar jelas di wajah Bagas. Tangannya bahkan sampai mengepal kuat menahan amarah yang bergejolak.
"Kenapa, Mas?" tanya Winda.
Kita ke rumah sakit sekarang.
Winda membeliak. Spontan banyak pikiran negatif berseliweran dalam otaknya.
"Ada apa, Mas. Kenapa dengan Shaka?" tanya Winda cemas.
Bagas dan Winda berjalan tergesa-gesa menuju unit gawat darurat di sebuah rumah sakit yang tadi dikatakan seseorang di telepon.
"Mas, sebenarnya kenapa dengan Shaka," tanya Winda disela-sela langkah yang memburu.
Tidak ada jawaban dari Bagas. Pria itu terus saja berjalan tanpa penjelasan. Tentu hal tersebut membuat Winda semakin khawatir. Takut terjadi sesuatu dengan putranya.
Sampai di depan ruang UGD, Bagas melihat Shaka—putranya—duduk diapit dua orang yang tidak ia kenal. Mungkin salah satunya adalah orang yang menghubunginya tadi.
"Shaka," panggil Winda cemas. Wanita itu segera mendekat dan memegang pipi putranya. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Nak?"
Bukannya senang karena orang tuanya telah datang dan memberi perhatian padanya, Shaka justru menurunkan tangan Winda begitu saja. Ada rasa kecewa dengan sikap Shaka tapi Winda bisa mengerti semua. Shaka masih marah.
"Keluarga Bapak Yusuf," panggil seorang perawat dari pintu UGD.
Semua mata tertuju pada perawat yang berdiri di depan pintu UGD.
"Saya, Sus." Seorang gadis berkuncir kuda dengan kaca mata maju menemui perawat.
"Ini resep yang ditulis dokter, tolong ditebus ke apotek lalu dibawa ke mari, ya," ujar perawat mengulurkan selembar kertas.
"Baik, Sus."
"Gue temani ya, Zi." Salah satu orang yang mengapit Shaka berdiri.
"Nggak usah, gue bisa sendiri. Tolong lo jaga bokap gue aja," jawab gadis itu.
Bagas merasa seperti pernah melihat gadis yang berjalan melewatinya. Tapi di mana?
Gadis itu pergi meninggalkan semua orang yang menunggu ayahnya di depan ruang UGD. Sebelum benar-benar berlalu, ia menatap Shaka dengan marah. Tidak disangka jika ia harus kembali bertemu dengan berandalan ini setelah sebelumnya ia berusaha menghindar.
Sepulang dari toko Zivana dikejutkan dengan berita ayahnya yang mengalami kecelakaan. Saat itu Zivana bahkan baru saja tiba dan belum sempat masuk ke rumah. Segera ia putar balik motor dan tancap gas ke rumah sakit di mana ayahnya dibawa.
Di depan ruang UGD itulah ia melihat pemuda berandal yang tadi akan membeli air mineral di tokonya. Dari penjelasan pak RT yang ikut membawa ayahnya ke rumah sakit, pemuda berandal inilah pelakunya. Zivana ingin marah dan menghajar si berandalan, tapi dihalangi oleh Jack—teman sekampung yang tadi ikut bersama pak RT.
"Keluarga Bapak Yusuf." Perawat yang tadi meminta Zivana untuk menebus obat kembali memanggil.
"Maaf, Sus, keluarga Bapak Yusuf sedang menebus obat. Saya adalah ketua RT tempat tinggal Pak Yusuf."
"Oh ... Pak Yusuf sudah sadar dan ingin bertemu putrinya."
"Maaf, Sus kalau boleh apa saya bisa menjenguk," tanya Bagas.
"Maaf tapi Bapak ini ...." Pak RT sedikit ragu.
Bagas memotong cepat. "Saya hanya ingin melihat kondisi korban kecelakaan. Saya janji saya yang akan membayar penuh biaya pengobatan korban. Saya ingin meminta maaf."
Sebelum memberi ijin, Pak RT melihat sekilas Shaka, beralih ke Winda kemudian kembali menatap Bagas. Melihat niat baik Bagas Pak RT pun memberi kesempatan Bagas untuk masuk ditemani Pak RT sendiri.
Bagas terkejut melihat korban kecelakaan Shaka. "Yusuf?"
"Bagas," jawab ayah Zivana.
Bagas pun memeluk Yusuf.
"Pak Yusuf kenal dengan Bapak ini?" tanya Pak RT.
"Kenal Pak RT, dia adalah teman lama saya."
"Oh ...."
Bagas menoleh pada Pak RT. "Maaf, Pak, kalau boleh bisa tinggalkan kami berdua."
"Baik, Pak. Saya tunggu di luar saja," jawab Pak RT.
Bagas kembali memeluk Yusuf karena susah lama tidak bertemu. Bagas pun dengan jujur mengakui jika yang menabrak temannya itu adalah putra kandungnya sendiri. Pria itu berkali-kali minta maaf dan berjanji akan bertanggung jawab.
"Iya, aku sudah memaafkan karena semua tidak sengaja."
"Terima kasih, Yusuf. Pokoknya kamu jangan pusing soal biaya, semua aku yang akan menanggungnya."
Yusuf mengulas senyum tipis. "Terima kasih, Gas, aku bahkan belum bisa membalas kebaikan-kebaikan kamu sebelumnya. Kini aku justru kembali merepotkanmu."
Bagas menepuk pelan bahu Yusuf. "Udah, nggak usah mikirin yang lalu. Ngomong-ngomong ada gadis cantik berkaca mata di luar tadi, apakah dia Zivana putrimu?" Bagas ingat jika teman lamanya ini punya putri bernama Zivana.
"Benar, apa kamu masih ingat?"
"Tentu," jawab Bagas dengan mengangguk. "Aku bahkan masih ingat tentang candaan kita dulu. Tentang kita yang akan menjodohkan anak-anak kita."
Senyum Bagas dan Yusuf mengembang di bibir mereka. Mengingat kekonyolan mereka dulu.
"Ah ... itu dulu, Gas. Sekarang mana pantas putriku bersanding dengan putramu." Ucapan Yusuf terdengar rendah diri.
"Kamu salah, Suf. Aku yang harusnya berkata begitu. Putraku yang tidak pantas bersanding dengan putri cantikmu."
Untuk sesaat mereka sama-sama terdiam. Hingga suara Zivana menyibak gorden membuat pandangan mereka teralihkan.
"Yah ...."
Yusuf merentangkan tangannya. Menyambut Zivana, putri semata wayangnya.
Usai memeluk ayahnya, Zivana menatap penuh tanya pada Bagas. Untuk apa pria ini ada di sini. Sementara ia tahu kalau Bagas adalah orang tua dari pemuda berandalan itu.
"Ini Om Bagas, teman lama Ayah," ujar Yusuf mengenalkan.
Zivana pun menyalami Bagas sebagai wujud sopan santun. "Zivana, Om."
"Sudah besar kamu rupanya." Bagas mengusap kepala Zivana.
"Bagaimana keadaan Ayah?"
"Sudah lebih baik," jawab Yusuf.
"Yah, Pak RT tanya apa kita akan membawa kasus Ayah ini ke polisi atau tidak?"
Sontak Yusuf menoleh pada Bagas. Ada rasa tak enak hati tentunya.
"Tidak usah, yang penting sekarang Ayah sudah baik-baik saja."
"Tapi, Yah, pemuda itu harus diberi hukuman yang setimpal," ujar Zivana menggebu-gebu. Kemudian menunduk karena sadar jika ada Bagas di sana.
Sekarang ia paham kenapa Ayahnya tidak mau memperpanjang kasus ini.
"Kamu bilang saja sama Pak RT kalau dia sudah bisa pulang. Kamu saja yang jaga Ayah di sini."
Zivana pun keluar dan memberitahu Pak RT juga Jack untuk mereka bisa pulang.
"Iya, saya yang akan menjaga Ayah. Bapak sama Jack bisa istirahat."
"Baiklah kalau begitu. Kalau butuh bantuan apa pun jangan segan-segan cari Bapak, ya," pesan Pak RT sebelum pulang.
Setelah mengantar ayahnya pindah ke ruang rawat inap, barulah Zivana pergi ke mini market untuk membelikan minuman. Bagaimanapun pelaku tabrakan ayahnya sudah berubah status menjadi tamu. Ia tidak mau membuat ayahnya malu dengan tidak mejamu tamu meski hanya sekadar air.
Zivana membeli beberapa air mineral.
"Ini, Tante." Zivana mengulurkan satu botol air mineral pada Winda yang duduk di sebelah Shaka.
Entah mengapa mereka hanya menunggu di luar sejak tadi. Padahal di ruang rawat ini mereka bisa masuk karena peraturannya tidak seketat di UGD tadi.
"Terima kasih," jawab Winda dengan mengulas senyum.
Tanpa berkata apa pun Zivana mengulurkan botol yang sama pada Shaka. Pria itu menatap Zivana sebelum menerima botol air mineral.
Tanpa menunggu ucapan terima kasih Shaka, Zivana segera berlalu masuk ke kamar rawat inap. Ia juga memberikan minuman yang ia beli pada Bagas. Kemudian duduk di sofa dan membiarkan ayahnya mengobrol dengan teman lamanya.
Berkat Bagas, ayah Zivana bisa di rawat di kamar kelas satu. Di mana ada sofa untuk ia istirahat. Jujur Zivana terlalu lelah setelah seharian kuliah lalu menjaga toko.
Lama kelamaan Zivana yang awalnya bermain ponsel jatuh tertidur. Sangat pulas hingga tidak tahu kapan teman ayahnya itu pamit pulang.
*****
Bagas tidak menginap di rumah sakit, setelah selesai mengobrol dengan Yusuf pria itu pamit pulang. Ia juga membawa Shaka pulang bersamanya.
"Papa mau bicara," ujar Bagas menghentikan langkah Shaka yang hendak naik ke kamarnya.
"Papa ingin kamu menikah dengan dengan putrinya Yusuf."
Shaka yang awalnya malas mendengar ucapan papanya karena menduga pasti akan ada ceramah lagi. Kini harus balik badan demi memastikan kebenaran kata yang ia dengar. "Apa, menikah?"
"Kenapa, Yah, kenapa Zi harus menikah sama pemuda berandal itu?" protes Zivana ketika Yusuf memberitahunya soal rencana menjodohkan putrinya dan putra temannya.
"Pokoknya Zi nggak mau!" Gadis itu memalingkan wajah. Rasanya ingin marah ketika mendengar permintaan ayahnya untuk menikah di saat ia masih kuliah.
Selama ini Zivana tidak pernah memikirkan punya pacar karena masih banyak mimpi yang harus ia kejar. Setidaknya ia ingin membuat ayahnya bangga sebelum ia menikah.
"Zi akan belajar yang rajin, Yah. Zi akan kerja supaya kita bisa mengembalikan uang yang dulu ayah pinjam," ujar Zivana setelah sebelumnya Yusuf bercerita tentang kebaikan Bagas.
"Bagas tidak menganggapnya hutang, Nak. Dia hanya ingin persahabatan kami menjadi keluarga."
"Tapi nggak harus dengan menjodohkan Zi dengan anaknya yang berandal itu, kan, Yah. Apa Ayah tega Zi punya suami berandalan gitu?" Zivana bicara penuh emosi.
Membuat Yusuf tertunduk karena jujur ia pun tak ingin jika pendamping putrinya adalah pria berandalan. Yusuf belum mengenal Shaka tapi Zivana tahu pria seperti apa Shaka itu.
Melihat kesedihan di wajah ayahnya, Zivana berusaha menekan egonya. Ia pun mendekat ke ranjang perawatan Yusuf. "Yah ...," panggilnya lirih.
Air mata mengalir di sudut mata tua ayahnya. Zivana semakin tidak bisa melihat pemandangan itu. Ia peluk sang ayah dengan erat.
"Ijinkan Zi mengenal pria itu lebih dulu," ujar Zivana pada akhirnya.
Yusuf setuju. Ia pun memberikan waktu untuk Zivana agar mengenal jodohnya. Tak lupa Yusuf juga menghubungi Bagas untuk meminta waktu agar anak-anak mereka saling mengenal.
Hal itu disambut baik oleh Bagas. Papa Shaka itu memberikan kesempatan untuk Shaka supaya bisa lebih dekat dengan Zivana.
Seperti sekarang ini. Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Yusuf diperbolehkan pulang. Shaka lah yang menjemput mereka ke rumah sakit atas perintah Bagas.
"Sudah siap, Om?" tanya Shaka sebelum menjalankan mobilnya.
"Sudah," jawab Yusuf.
Mobil melaju ke rumah calon mertua. Dengan petunjuk dari Yusuf sampai juga mereka bertiga di hunian sederhana milik sahabat papanya itu.
Dengan sigap Shaka membantu Yusuf keluar dari mobil. Ia bahkan membantu membawakan barang-barang Yusuf masuk ke rumah.
"Terima kasih," ujar Yusuf ketika Zivana membantunya untuk merebahkan diri di ranjang. "Sudah sana, ambilkan minum untuk Nak Shaka."
Meskipun malas dituruti juga apa kata ayahnya. Zivana keluar lebih dulu meninggalkan Shaka yang tak bergerak.
"Mau minum nggak, lo?" tanya Zivana ketus.
"Saya permisi dulu, Om," pamit Shaka meninggalkan Yusuf.
Ia menuju ruang tamu dan menunggu Zivana membuat minum. Tidak lama Zivana keluar dengan membawa teh hangat.
"Nih, minum!" Zivana meletakkan cangkir teh di depan Shaka. "Buruan habisin biar lo bisa cepet pergi."
"Nggak ada sopan-sopannya lo sama calon suami." Bibir Shaka mencibir.
"Idih ... calon suami. Gue mah males nikah sama cowok kayak lo." Zivana memutar bola matanya malas.
"Eh ... harusnya gue yang ngomong gitu. Lagian jangan sok cantik deh lo. Yang ada gue malu punya istri culun."
Tidak terima dengan ucapan Shaka, Zivana langsung berdiri. "Pergi lo sekarang!" Zivana menunjuk pintu keluar.
"Pergi nggak, lo!" sentaknya lagi.
Shaka tidak takut dengan wajah marah Zivana. Pria itu justru tertawa. Rupanya gadis culun seperti Zivana ini bisa marah juga.
Senyum di bibir Shaka seperti ejekan baginya. Zivana tidak terima. Ia pun menarik Shaka dan mendorongnya ke pintu.
"Eh ... tunggu dulu, gue belum mau pulang," protes Shaka.
"Nggak peduli gue. Pulang aja lo!" Zivana terus mendorong tubuh Shaka.
Karena Zivana tak mau mendengarkannya, Shaka langsung memutar tubuhnya. Ia mencengkeram pergelangan tangan Zivana agar gadis itu berhenti mengusirnya.
"Gue mau ngomong!"
Zivana bergeming tak menanggapi karena kesal.
"Gue mau bicara serius soal pernikahan kita," ujar Shaka dengan mengecilkan suaranya.
Zivana melihat raut wajah Shaka yang terlihat tidak main-main. Bagaimanapun ia juga butuh bicara dengan pria ini tentang perjodohan yang diusulkan orang tua mereka.
"Lo cuma punya waktu sepuluh menit karena gue harus segera ke toko!"
"Ok ... tapi apa nggak sebaiknya kita bicara di luar saja. Gue takut bokap lo denger." Shaka melihat kanan kiri seolah takut ada yang mendengar.
Melihat sikap curiga Shaka, Zivana pun paham. Ia belum tahu apa yang akan Shaka katakan tapi ia yakin ada sesuatu yang ingin dirahasiakan.
"Gue, pamit dulu."
Zivana pergi ke kamarnya. Mengambil hoodie dan juga tas. Kemudian pamit pada Yusuf kalau akan pergi sebentar dengan Shaka.
Menumpang mobil Shaka mereka pergi ke sebuah warung kopi yang tidak jauh dari toko kelontong milik Zivana.
Shaka memperhatikan sekitar. "Lo yakin kita bakal ngobrol di sini?"
"Kenapa?" Zivana membetulkan letak kaca matanya yang sedikit melorot.
"Lo nggak usah memikirkan tempatnya bagaimana, yang penting tempat ini aman buat kita ngobrol," lanjut Zivana.
"Pak, es teh satu," teriak Zivana pada pemilik kedai. "Lo mau minum apa?"
"Cappucino aja."
"Buset ... di sini mana ada minuman begitu. Di sini tu ya, adanya cuma es teh, kopi tubruk apa kopi susu instan. Jangan ngadi-ngadi!"
"Ya udah air putih aja."
Bibir Zivana mencebik. "Bilang aja dari tadi."
Zivana kembali memanggil penjaga warteg dengan melambaikan tangan. "Pak, air putih satu."
Sejak tadi di rumah sakit diam-diam Shaka terus memperhatikan Zivana. Awalnya ia mau memperalat gadis itu. Namun, setelah melihat sikap gadis itu yang tidak selugu penampilannya, urung Shaka lakukan.
Kini tujuannya berubah. Ia ingin mengajak kerja sama saja.
"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?"
"PD banget lo. Siapa juga yang ngeliatin! Gue lagi memperhatikan cewek yang di sono noh!" Shaka menunjuk arah belakang Zivana. Gadis itu pun menoleh memastikan. Benar saja ada gadis cantik yang duduk di belakangnya.
"Lo mau ngomong apa?" tanya Zivana menyudahi hal tidak penting.
"Gue mau bahas soal perjodohan kita."
"Iya gue tahu, kan tadi di rumah lo udah bilang."
Shaka menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan jika situasi aman. Tidak ada mata-mata papanya yang sedang mengintai. "Nah, jadi gini ... gue ada tawaran buat lo."
"Tawaran?"
Shaka mengangguk. "Iya, tawaran kerja sama yang sangat menguntungkan untuk kita berdua."
"Maksud, lo?" Zivana sedikit bingung.
"Lo suka nggak sama gue?"
Pertanyaan Shaka membuat Zivana semakin bingung. Kenapa juga cowok berandal ini menanyakan hal konyol padanya.
"Nggak, kan?" Shaka menjawab sendiri pertanyaannya karena Zivana tak kunjung menjawab.
"Sama ... gue juga nggak suka sama lo. Tertarik pun enggak."
Ish ... cowok ini terlalu jujur. Bisa nggak sih nggak menjatuhkan harga diri Zivana.
"Terus mau lo, apa?" sentak Zivana kadung jengkel dengan ucapan Shaka.
"Ya itu tadi, karena kita sama-sama tidak saling suka jadi gue menawarkan kerja sama yang akan menguntungkan bagi kita berdua. Kita bikin perjanjian pranikah."
Zivana tercengang. "What!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!