NovelToon NovelToon

Kado Untuk Aldo

Bab 1

“Hoi, berhenti Lo!” suara teriakan seseorang terdengar bersamaan deru mesin motor tengah meneriaki Aldo yang sedang dalam perjalanan pulang.

Aldo menoleh ke belakang seketika itu juga. Dilihatnya sekelompok geng motor COBRA yang selama ini menjadi musuh besar nya menuju ke arahnya dan mengepung. Aldo terhenti dalam kepungan itu.

Geng LION yang Aldo pimpin bukanlah satu – satunya geng motor yang ada di kota Kediri, ada juga geng COBRA yang selama ini berdiri di bawah pimpinan seorang pemuda yang sangat membenci Aldo.

Aldo baru saja meninggalkan pangkalan geng LION, Aldo bersama geng nya mengadakan balap di area lereng. Aldo selalu menang di setiap pertandingan baik itu legal atau pun tidak. Dan karena itulah salah satu pemicu kebencian dari musuhnya yang selalu kalah melawan Aldo saat balapan liar.

Setelah berhasil mengepung Aldo, salah satu dari geng COBRA turun dari motor dan langsung memberikan bogem mentah ke arah wajah Aldo. Hampir saja pukulan itu mendarat di wajahnya jika saja Aldo tidak cepat menghindar.  Tak hanya seorang saja yang bergerak, para geng motor COBRA lain ternyata membawa alat pemukul sebagai senjata dan siap untuk menyerang Aldo. Mereka mulai turun dari motor dan menyerang secara bersamaan. Aldo bergerak cepat, salto ke depan, kiri dan kanan untuk menghindari serangan karena Aldo tak membawa perlindungan diri satu pun. Tangan Aldo menangkis serangan, sementara tangan satunya lagi meninju lawan.

 Pertarungan satu dibanding tujuh itu berlangsung sengit hingga Aldo merasa lelah dan kewalahan. Di akhir babak pertarungan itu Aldo berhasil ditaklukkan. Kedua kaki Aldo menjadi sasaran. Mereka memukul hingga Aldo menjerit histeris. Mereka seolah tuli dengan rasa sakit yang Aldo lontarkan. Aldo ambruk. Para geng COBRA tertawa lalu di antara mereka berdebat tentang nasib Aldo, langsung dibunuh ataukah dibiarkan saja begitu. Semenit kemudian mereka mendapatkan perintah untuk langsung saja menghabisi nyawa Aldo.

Mendapatkan kesempatan disaat perdebatan itu, Aldo sebisa mungkin merangkak dan bersembunyi dalam semak. Ternyata alam berpihak padanya, dalam kegelapan malam ini secara tidak langsung memberikan perlindungan pada diri Aldo. Aldo mencoba menahan rasa sakit di bagian kakinya dan berusaha untuk menegakkan kedua kakinya. Rasa sakit ia abaikan agar bisa selamat dari keroyokan itu. Perlahan kedua kakinya mulai mampu menopang bobot tubuhnya. Melangkah pelan sudah bisa Aldo lakukan meski dia harus menahan rasa nyeri.

Teriakan dari para geng COBRA terdengar mengecil, itu menandakan kalau langkah Aldo sudah sangat jauh. Aldo berlari pincang sambil terus menatap ke arah belakang. Licinnya jalanan membuat Aldo tersungkur dan kepalanya menghantam batu. Pelipisnya mengeluarkan darah lalu Aldo pingsan seketika itu juga.

Shiren memungut pulpennya yang jatuh. Memasukkan ke dalam tas bersama barang bawaan lain. Malam minggu ini ia sudah mendapatkan izin dari ayahnya untuk berkemah di lapangan yang tak jauh dari rumah CINTA. Rumah CINTA adalah bangunan tua yang ia beli dan ia jadikan sebagai sarana mengajar dan bermain bagi anak yang tuna wisma dan putus sekolah.

Meski berasal dari kalangan elit, Shiren tak sombong dan lebih memilih mengabdikan diri untuk bangsa yang tepatnya berada di tepi kota.

Setiap hari Shiren selalu berangkat mengendarai sepeda untuk sampai ke sana. Ayahnya Samuel sudah memfasilitasi mobil dan memberikan sopir pribadi, tapi Shiren menolak. Ia lebih suka melakukan sendiri tanpa harus merepotkan orang lain.

“Shiren, ini ada puding, nanti segera dimakan ya, takutnya keburu basi!” ujar seorang wanita cantik yang tidak lain adalah Eliana, ibunya Shiren.

Shiren yang tengah mengecek barang bawaannya mendongak menatap Eliana.

“Iya Ma, Shiren akan membaginya pada anak – anak nanti, takutnya Shiren nggak habis kalau makan sendiri,”

Eliana tersenyum lalu memasukkan kotak berisi puding ke dalam tas. “Isi nya banyak kok, cukup untuk kalian bereenan.”

Shiren mengangguk lalu memeluk ibunya, “Shiren berangkat dulu ya, Ma!”

“Kamu nggak sarapan dulu?”

“Eum, Shiren  sarapan nanti saja Ma, sesekali sarapan bareng anak – anak!”

Lagi, Eliana hanya mengulas senyum. Wanita cantik itu tak pernah berdebat hal sekecil apapun dan selalu menghargai anaknya.

Shiren sendiri juga tak pernah membantah setiap kali ibunya melarang jika itu tak cocok dengan keinginan ibunya. Mereka berdua tak pernah terlibat cek cok, hal itulah yang membuat Eliana sangat menyanyangi putri tunggalnya.

Eliana keluar kamar menuju dapur untuk menyiapkan bekal, melebihi nasi dan lauk. Samuel menuruni tangga dan mendapati istrinya tak ada di ruang makan. Samuel mendengar suara dari arah dapur, langkahnya membawa dirinya ke sana. Dan benar saja, Eliana ada di dapur.

“Kamu mau piknik sayang!” Samuel mendaratkan kecupan di leher istrinya yang mulus. Sementara kedua tangannya merangkul pinggang.

“Sam, kalau Shiren tahu bagaimana, cepat lepaskan pelukanmu!” pekik Eliana, ia tak ingin menunjukkan keromantisan di depan putrinya yang beranjak dewasa itu.

Samuel patuh, tapi sebelumnya ia mencuri ciuman di bibir. Menyesap begitu lahap. Eliana kehabisan nafas barulah Samuel melepaskan ciuman.

“Bonusnya nanti malam ya!” seru Samuel sebelum pergi. Langkahnya terhenti lalu bertanya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi?”

Eliana sudah selesai menyiapkan bekal, “Kamu bertanya padaku, yang mana, maaf aku nggak fokus!”

“Kamu mau piknik? Kok nggak ajak aku,”

Eliana tertawa sendiri, “Bukan aku, tapi Shiren!”

“Oh, iya, semalam dia sudah minta izin padaku untuk berkemah di rumah CINTA.”

“Apakah nggak apa-apa, kita membiarkan dia sendirian di luar sana?” Eliana terlihat cemas.

“Dia tidak sendiri, ada anak – anak yang menemaninya. Jika kamu cemas, aku bisa melarangnya untuk pergi.”

“Jangan Sam, aku takut jika hal itu bisa membuatnya kecewa. Aku tak ingin merusak kesenangannya. Lagi pula, berkemah bukanlah hal yang negatif.”

Shiren datang menuju dapur. “Ma, aku sudah telat nih, anak – anak pasti menungguku. Aku sudah janji pada mereka untuk membawakan sarapan.”

Sam dan Eliana menoleh bersamaan ke arah sumber suara. “Iya, ini mama sudah menyiapkan bekal.” Eliana memperlihatkan rantang.

 

“Kamu perlu bantuan, mungkin papa bisa mengantarmu ke sana?” tawar Sam.

 

“Tidak perlu Pa, Shiren bisa sendiri kok!” Shiren mengambil bekal itu dan setelah berpamitan Shiren pergi.

 

Shiren mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Sambil bersenandung ia menikmati hawa udara di pagi hari yang sejuk. Pemandangan alam yang memamerkan sejuta keindahan membuatnya terlena hingga tanpa sadar ia melindas sesuatu.

 

Shiren menghentikan sepedanya. Merasa sesuatu yang dilindas tadi bukanlah batu, Shiren menoleh ke belakang. Mulut Shiren menganga lebar melihat sebuah tangan yang tergeletak di badan jalan.

 

“Mayat ....” Shiren melihat tubuh pemilik tangan tadi. Badan nya melintang ke tepi jalan dan tertutup semak.

 

Shiren memberanikan diri dan mendekati sosok yang tergeletak itu.

 

 

 

 

 

 

Bab 2

 

Ingin berteriak tapi pada siapa, sementara di sekelilingnya masih sepi. Ini masih terlalu pagi untuk bertemu seseorang, terlebih di tempat pinggir kota.

Shiren mengecek keadaan sosok tadi yang ia ketahui dari potongan rambut dan penampilannya adalah seorang laki – laki. Nafasnya masih terasa hangat di tangan saat Shiren mendekatkan kedua ujung jarinya di lubang hidung pria tadi.

“Masih hidup,” gumamnya.

Jarak rumah CINTA tak cukup jauh dari posisi Shiren saat ini. Shiren menarik tangan pria itu hingga sepenuhnya berada di badan jalan. Pria dengan jaket kulit berwarna hitam, ia temukan dalam keadaan pingsan dengan luka mengering di bagian pelipis sebelah kiri.

Pria itu terlentang. Shiren duduk berjongkok. Tangan nya berusaha menggapai tangan pria itu hingga memposisikan dirinya menggendong pria pingsan itu. Dengan langkah terseok dan dengan kekuatannya, Shiren membawa pria pingsan itu ke rumah CINTA.

“Bimo!” teriak Shiren begitu ia sampai di halaman rumah CINTA.

Mendengar namanya di panggil, Bimo bergegas datang. Bimo ( 8 tahun ) salah satu anak yang tinggal di rumah CINTA. Dia satu – satunya anak pria di rumah itu.

“Kak Shiren, siapa dia Kak?”

“Kakak juga tidak tahu, cepat bantu kakak bawa dia masuk ke dalam!”

“Baik Kak!”

Chika, Eva, Reva,Risma dan Mila yang sedang menunggu kedatangan Shiren pun berhenti berseru memanggil nama Shiren setelah mereka berlima tahu Bimo dan Shiren membawa seorang pria yang pingsan.

“Kak Shiren!” seru mereka kompak.

“Kalian pasti sudah lapar, maaf ya, kakak datangnya terlambat, tadi kakak menemukan kakak ini di tepi jalan.”

“Kakak kenal dengan kakak ini?” Chika menunjuk pria yang masih pingsan.

“Tidak,” Shiren menggeleng.

Shiren meminta Eva untuk mengambilkan bantal sementara Reva mengambilnya minyak kayu putih. Karena Shiren sudah tidak kuat lagi, maka pria pingsan itu diletakkan di lantai.

Eva datang membawa bantal. Shiren mengangkat kepala pria itu dan meletakkan bantal di bawahnya.

Reva datang membawa minyak kayu putih dan menyodorkan ke arah Shiren. Shiren menerimanya dan membuka tutup botol. Sebelum mengoleskan ke telapak kaki, Shiren terlebih dulu melepas sepatunya. Memijat ujung ibu jari kaki. Pria pingsan itu belum juga bergerak. Shiren mengarahkan botol minyak kayu putih ke ujung hidungnya, barulah pria itu mengerjapkan mata.

 

“Kepalaku, sakit!” pria itu mengaduh sambil memijat pelipisnya.

“Kepala kamu terluka. Aku akan membersihkan lukamu sebelum aku plester.”  Shiren menerima kotak P3K yang Risma bawakan.

“Terimakasih Risma!”

“Iya, Kak Shiren!” sahut Risma.

“Di mana aku?” Pria yang baru saja tersadar dari pingsannya itu mengedarkan pandangan, memperhatikan ornamen bangunan yang tua, terlihat dari warna cat nya yang mengelupas dan tembok yang retak. Meski bangunan dengan ukuran 5 meter persegi itu sempit, tapi bagi penghuninya ini adalah surga mereka. Llalu pandangan terakhir jatuh pada wanita cantik berkulit sawo matang. Perpaduan hijab dan kulot nya sangat serasi, menambah penampilan Shiren tampak elegan meski berhijab.

“Kamu sekarang berada di rumah CINTA, aku Shiren, aku menemukan kamu pingsan di tepi jalan. Kamu siapa, dan bagaimana kamu bisa pingsan?”

“Aku Aldo.” Pria berusia 27 tahun itu berusaha mengingat kejadian yang menimpanya. Ia ingat jika dirinya tengah kabur dari pengeroyokan geng COBRA yang berambisi ingin membunuhnya.

Aldo berusaha untuk bangkit tapi Shiren menahannya. “Jangan bergerak dulu, lukamu di kepala akan infeksi jika tak segera diobati!” Shiren membuka Alkohol lalu menuangnya di atas kapas. Setelah kapas cukup dengan cairan alkohol, Shiren menekan perlahan di pelipis Aldo.

Aldo mendesis sakit, tapi ia berusaha menahannya. Untuk meringankan rasa sakit, Shiren meniup luka itu. Terasa hembusan nafas gadis berusia 24 tahun itu menyelinap masuk melalui celah rongga hatinya yang tersembunyi. Desiran hatinya tak mau pergi.

Aldo mengerjap, menyadarkan dirinya bahwa siapa dia yang sangat tidak pantas mendapatkan gadis seperti Shiren.

 Lalu Shiren membuka perekat plester, menempelkan di bagian yang luka. Itu pun ia lakukan dengan sangat hati – hati.

“Terimakasih,” satu kata yang jarang sekali Aldo gunakan.

Shiren hanya mengulas senyum, gadis berhijab itu kemudian bangkit dan meminta Bimo untuk mengambil rantang dan sepedanya di tempat ia menemukan Aldo tadi. Mila membantu Bimo.

Meski Aldo masih lemah, tapi ia tak ingin dikasihani mencoba bangun. Aldo kemudian mengikuti Shiren menuju dapur.

“Kamu tinggal di sini?” tanyanya sambil matanya terus beredar mengamati ruangan yang baginya terlalu sempit.

“Sebenarnya tidak, aku ke rumah CINTA setiap hari kecuali hari Minggu.”

“Tolong kakak menata piring ya!” ucap Shiren pada anak – anak.

“Iya Kak!” sahut mereka berempat kompak.

Sambil menunggu makanan datang, Shiren memperkenalkan anak – anak kepada Aldo. Aldo memperkenalkan dirinya. Aldo tak menceritakan perihal identitasnya sebagai geng motor.

“ Makanan sudah datang!” seru Mila, sementara Bimo masih tertinggal, dia menuntun sepeda Shiren yang terlalu besar untuk ia naiki.

Anak – anak berseru senang ketika melihat makanan sudah datang. Shiren membuka rantang dan membagi nasi serta lauk ke setiap piring. Begitu pula dengan Aldo, ia juga mendapat bagiannya. Senyum Aldo terukir, ia segera melahap sarapannya. Sedetik kemudian ia menghentikan makannya lalu menatap mereka. “Ada yang salah?”

Bimo menggerakkan jarinya, “Kak Aldo belum berdoa sebelum makan!”

Aldo meletakkan sendok. “Tolong bantu kakak baca doa mau makan ya!” satu kalimat yang bahkan Aldo jarang ucapkan. Baru beberapa menit di rumah CINTA Aldo sudah banyak belajar pada Shiren. Tolong dan terimakasih.

Selesai sarapan penghuni rumah CINTA terlihat sibuk. Aldo mendekati Shiren yang berada di halaman luar dan bertanya. “Untuk apa kamu mengumpulkan semua kayu bakar ini?”

“Aku mau berkemah di lapangan.”

“Berkemah? Kamu tak takut sendirian?”

“Aku kan bersama anak – anak, untuk apa aku takut, warga sekitar sangat baik dan aku mengenal mereka. Sekali aku berteriak mereka akan datang menolongku.” Terang Shiren.

Aldo berdecak kagum. Rasanya sangat berat jika ia harus pulang sekarang.

“Boleh aku ikut bergabung?”

“Bagaimana dengan orang tuamu, apakah mereka tidak akan mencarimu?”

“Mereka sangat sibuk, dan malah senang jika aku tak ada di antara mereka.” Perkataan Aldo membuat Shiren menghentikan pencarian kayu bakar.

Shiren memahami perasaan Aldo. “Bergabunglah, tapi jika suasana hatimu sudah baik, pulanglah! Aku yakin para orang tua di mana pun pasti akan mencemaskan anaknya jika tak pulang ke rumah.”

“Aku janji, aku akan pulang.”

Meski Shiren baru mengenal Aldo, Shiren yakin Aldo orang baik dan takkan mencelakai diri nya dan anak – anak.

Malam pun tiba. Aldo dan Shiren membuat api unggun di perkemahan. Ini adalah hal pertama bagi anak – anak dan mereka sangat senang. Shiren mengajak anak – anak bernyanyi dan bermain. Aldo sangat tertarik dengan kepribadian Shiren yang beda dengan wanita lain.

“Mengapa kamu bisa ada di sini bersama mereka? Aku lihat, rumah itu seperti ruangan untuk belajar.” tanya Aldo yang sudah tak mampu lagi membendung rasa penasarannya.

“Aku menemukan mereka tiga tahun lalu mengemis di jalanan. Mereka adalah korban gunung meletus yang tidak punya orang tua dan tempat tinggal. Aku membeli bangunan ini dan berharap suatu hari nanti bisa membangun sekolah khusus bagi mereka yang putus sekolah.”

Ucapan Shiren mengetuk hatinya. Bagaimana bisa seorang gadis remaja mampu memikirkan kehidupan orang banyak, sementara dirinya hidup tak karuan, masuk geng motor dan bertindak sesuka hati. Ia ingat betul pernah merampas uang anak kecil lalu membelanjakan rokok untuk dirinya.

“Lalu kamu sendiri bagaimana? Apa kesibukan kamu setiap hari?” pertanyakan Shiren seketika membuat nafasnya tercekat di tenggorokan.

 

 

 

 

Bab 3

Aldo tergugu mendengar pertanyaan itu, tidak mungkin ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang geng motor, Aldo membuat karangan palsu.

“Eum, aku, aku hanya pengangguran, tidak ada pekerjaan yang bisa aku lakukan.” Sahut Aldo kemudian.

Shiren tersenyum lagi meski tak puas mendengar jawabannya. “Berusahalah, aku yakin setiap kemauan pasti ada jalan.”

“Apa kamu percaya dengan mimpi?” tanya Shiren sambil menatap indahnya bintang.

Aldo memperhatikan wajah cantik yang diterpa cahaya bulan itu. Aldo menyampaikan pendapatnya. “Mimpi hanyalah bunga tidur. Ketika bangun kita tidak bisa menjadi apa yang kita harapkan. Hanya dalam mimpi kita bisa melakukan apa yang tidak pernah bisa kita lakukan di dunia nyata.”

“Itulah mengapa aku suka bermimpi, aku yakin hanya dengan bermimpi aku bisa mewujudkan keinginanku.”

“Sebenarnya apa mimpimu?” Aldo merasa semakin ke sini gadis berhijab itu sangat menarik.

“Aku ingin punya sekolah di tanah ini. Ya, sekolah gratis untuk mereka yang tak punya biaya. Membayangkan saja pasti sulit, tapi demi masa depan mereka aku rela untuk mewujudkan mimpiku.”

Aldo tercengang mendengar mimpi Shiren yang begitu besar. “Shiren, kamu bukan wanita biasa, keluargamu pasti sangat senang dengan mempunyai anak seperti mu dengan mimpi yang besar!”

“Papaku mendukung apa yang aku inginkan, tapi masalahnya tanah ini akan dibangun mal besar. Aku sangat membenci mereka, hanya menguntungkan diri sendiri.” Shiren mengungkapkan kekesalannya pada beberapa pejabat yang pernah mendatangi tempat ini. Shiren salah satu dari sekian banyak orang di tempat itu yang menolak pembangunan mal. Sayangnya, Shiren kalah dalam perdebatan itu. Rumah CINTA akan mengalami penggusuran lima bulan lagi

Aldo mengepalkan tinju, rasanya ia ingin membantai orang – orang yang tak tahu diri itu.

Malam semakin larut, mereka kembali masuk ke dalam tenda masing – masing.

Keesokan harinya.

Aldo terbangun dan tak mendengar suara Shiren apalagi anak – anak. Aldo bangkit dan rupanya Shiren beserta anak – anak sudah tidak ada. Tenda pun sudah bersih. Aldo membongkar tenda dan melipatnya. Menyusul yang lain ke rumah CINTA.

“Aldo, kamu sudah bangun, baru saja aku mau membangunkan kamu, memberikan sarapan ini,” Shiren memperlihatkan piring berisi pizza mie dan telur rebus.

Aldo menggaruk kepalanya, “Eum, Shiren, bolehkah aku meminjam kamar mandi, badanku gatal. Aku mau mandi.” Aldo malu – malu mengatakannya.

Shiren tertawa dan itu membuat Aldo semakin malu. “Iya, baiklah, aku akan meletakkan kembali sarapanmu di atas meja. Kamar mandi ada di belakang dapur.”

“Aku ke kamar mandi dulu.”

“Iya,”

Aldo mengambil langkah ke kiri bersamaan juga dengan Shiren yang mengambil langkah ke kanan, hingga tubuh mereka saling berhadapan. Secepatnya Aldo bergerak mengambil langkah ke kanan memberi kesempatan untuk Shiren agar bisa lewat. Shiren pun berpikir sama, Shiren mengambil langkah ke kiri memberi jalan agar Aldo lewat. Sayangnya hal yang tadi terjadi lagi. Mereka berdua saling berhadapan dan pandangan keduanya bertemu. Larut dalam pikiran masing – masing. Tanpa sengaja Shiren menatap jauh bola mata yang teduh itu. Aldo memiliki bola mata hitam dan bulat, kedua alis yang tebal memberikan kesan kalau dia pria yang cerdas, sensitif, mudah beradaptasi, positif, pandai mengekspresikan diri, dan sangat mudah bergaul. Mata Shiren agak lain dari kebanyakan mata wanita yang Aldo jumpai, yang berbentuk elips dengan ujung bagian luar mencuat ke atas, mengesankan mata seperti almond atau mata kucing. Perempuan yang memiliki mata seperti ini biasanya sangat percaya diri dan tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka menyukai tantangan dan optimis dalam memandang hidup.

Bimo hendak lewat tapi jalanan di ruangan itu terhalang oleh dua pasang manusia yang saling mematung. Bimo berdehem hingga membuyarkan lamunan mereka.

“Kamu, jalanlah dulu!” Aldo diam  memberi jalan pada Shiren.

Shiren menunduk untuk menghindari kontak mata yang terlalu dekat itu. “Terimakasih,” lalu Shiren jalan lebih dulu.

Aldo menoleh memperhatikan punggung Shiren yang kemudian menghilang. Aldo mengusap dadanya. Detak jantungnya berpacu seperti genderang di medan perang. “Apakah aku sedang jatuh cinta?” gumamnya dalam diam.

Selesai mandi, Aldo bergabung bersama yang lain. Selesai makan Aldo membuka obrolan. “Shiren, aku akan pulang ke rumahku, tapi bolehkah aku bermain lagi ke sini, eum, itu jika kamu tak keberatan,” Aldo ragu untuk mengatakannya.

“Iya, pulanglah, kamu boleh kok main ke sini!” Shiren tersenyum, nampaknya teman baru di rumah CINTA sangatlah mengasyikkan. “Setelah sarapan, aku juga mau pulang.” Shiren memberi tahu.

“Kak Aldo, sering – sering main ke sini ya!” ujar Mila.

“Iya, Kak Aldo orangnya asyik!” imbuh Risma.

Aldo cengengesan saja lalu setelah berpamitan pada penghuni rumah CINTA, Aldo bergegas pergi menyusuri jalan terakhir ia pingsan kemarin.

....

Sesampainya di rumah.

Sebuah tamparan keras melayang di atas pipi kanan milik pria dengan luka di kepala.

“Masih berani pulang kamu setelah dua hari tidak pulang!” maki Robi sang ayah saat Aldo memasuki rumah.

Kepala Aldo sontak menoleh akibat tamparan begitu keras itu. Pipinya terasa kebas, bercak darah ke luar dari sudut bibirnya.

“Setiap hari kerjaan kamu keluyuran tidak jelas. Mau jadi apa kamu, hah!”

Aldo mengusap sudut bibirnya lalu menatap ayah nya. “Aldo sakit Pa, nginep di rumah teman.”

Rendy yang tidak lain adalah adik Aldo muncul, “Bohong Pa. Pasti Kak Aldo ikut balapan lagi,” terka Rendy.

Aldo mengepalkan tinju. Kalau bukan adiknya sudah ia sumbat mulutnya dengan bogem.

Robi menatap nanar ke arah Aldo. “Kamu balapan lagi? Aldo, Aldo, sampai kapan kamu begini terus, lihatlah Rendy, kuliah lulus dengan predikat terbaik dan sekarang di usia muda sudah menjadi CEO. Sementara kamu, apa? Menyusahkan orang tua saja. Dimana rasa balas jasa mu pada orang tua? Seharusnya kamu sudah bekerja dan mendekatkan penghasilan sendiri. Tidak menjadi benalu di rumah ini.”

Aldo terpaku mendengar umpatan yang bagaikan makan asam garam itu.

Rendy membuka mulutnya lebar. “Sebenarnya Kak Aldo itu anak kandung Papa bukan sih, kenapa sangat sulit diatur, tidak seperti diriku. Selalu bisa diandalkan orang tua.”

Tangan Aldo mengepal. “Diam mulutmu, banyak bicara!”

Rendy bergidik menatap mata Aldo yang tajam.

“Turunkan tanganmu, Aldo! Apa kamu juga akan menghajar adikmu? Dan kamu Rendy, ini urusan papa. Kamu jangan terlalu ikut campur!”

Rendy pergi setelah mengeprak meja di sampingnya.

Aldo sangat tidak suka dibanding – bandingkan. Aldo langsung pergi dan tak menghiraukan lagi umpatan ayahnya. Langkahnya terhenti ketika ibunya lewat.

“Aldo, kamu kemana selama dua hari ini tidak pulang?” tanya Siska lembut. Tangannya terulur hendak mengusap Aldo. Aldo menepis tangan Siska.

Aldo merasakan sesak di hari. Rasanya ia ingin berteriak meluapkan amarahnya.

“Ternyata sangat sakit,” Aldo mendekap dadanya. Air matanya merembes keluar.

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!