Hiruk pikuk kegaduhan kelas yang bersorak sorai karena kabar gembira mengenai jam kosong mendadak terdiam demi mendengar kalimat yang terucap dari sang wali kelas.
“Tugas bahasa inggris, soal buku paket halaman dua puluh satu. Sekretaris, jangan lupa dicatat-“
Sang sekretaris yang masih fokus menatap bulu mata palsunya di cermin kecil disenggol oleh teman sebangkunya.
“Oke, pak!”
Sekretaris bernama Sari itu mengedipkan matanya manja, hendak memamerkan kelentikan bulu matanya.
“Dan tugas dikumpulkan ke ruang bahasa.”
Terdengar berbagai macam lenguhan dari para siswa demi mendengar ruang keramat itu disebutkan.
Ruang bahasa yang terletak di sudut sekolah jauh dari akses manapun. Gerbang sekolah, UKS, kantin, dan tempat kesukaan siswa lainnya berada di jalan yang berlawanan arah dengan ruang bahasa.
Apalagi bagian menyeberang gedung olahraga indoor maupun outdoor yang lebih melelahkan dibanding naik turun tangga dari kantin di lantai satu ke kelas mereka di lantai tiga.
“Ketua kelas silakan mengatur teman-temannya agar mengumpulkan tugas tepat waktu. Ada pertanyaan?”
Keheningan menyeruak membuat sang wali kelas menganggukkan kepalanya, menganggap kewajibannya menyampaikan tugas telah terpenuhi, kemudian menutup pintu kelas.
Berjalanlah ketua kelas berambut klimis dengan seragam yang dikancing penuh sampai atas untuk menaruh bukunya di meja paling belakang.
Meja tempat sang peringkat pertama sekolah duduk.
“Tugasnya dikumpulkan ke Zalva, seperti biasa.”
Murid berprestasi yang tadinya menunduk diam mengerjakan tugasnya itu mendongak. Matanya menatap sang ketua meski sebagian besar pandangannya tertutup oleh rambut panjangnya.
“Kenapa aku?”
Dua patah kata yang mampu membuat dua orang siswa yang sedang bermain lempar tangkap bola kertas di belakang berhenti.
Juga membuat seluruh kelas yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing berbalik menatap laki-laki bertanda nama Zalva Wimala itu.
Keheningan beberapa detik setelahnya terpecahkan oleh suara buku yang tertutup keras milik seorang perempuan berambut kuncir kuda yang berdiri menghampiri Zalva.
“Ke-na-pa?”
Datanglah perempuan lain berambut cepol yang ikut menimbrung percakapan searah mereka.
“Oh, sudah berani membalas rupanya...”
Ia condongkan tubuhnya mendekati mata tersembunyi Zalva sambil tersenyum miring, lalu mendorong kening Zalva dengan telunjuknya sambil mengeluarkan kata-kata mutiara.
Zalva hanya membalas mereka dengan mengalihkan pandangannya ke bolpoin yang ia pegang, sebab reaksi sekecil apapun yang tertangkap mata mereka akan membuatnya menjadi kriminal dan memperumit keadaannya.
Kekehan kecil dan bisik-bisik yang keluar dari mulut para manusia di sekitarnya bergulir meriuhkan suasana. Membuat Zalva mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap lapangan luas yang mau tidak mau kurang dari dua jam lagi akan ia lalui.
Pasti panas sekali.
Ketika akhirnya membawa tumpukan buku tugas dan kertas itu keluar dari kelas, Zalva tidak merasa panas sama sekali meski matahari bersinar terik. Semilir angin berhembus menyertai langkah kakinya, mengacaukan rasa panas sang mentari yang hendak menerpa kulitnya.
Menerbangkan salah satu kertas tanpa disadari sang pembawa.
Kertas itu menari pelan di udara, sebelum mendarat dengan anggun di dekat tali sepatu yang tengah diikat kencang.
Sang pemilik sepatu biru itu mengurungkan niatnya yang hendak berdiri begitu melihat selembar kertas teronggok di hadapannya. Ia julurkan tangan kanannya untuk meraih lembaran yang salah satu sudutnya tersepak kelembutan angin.
Kemudian mengedarkan pupil coklatnya mencari sang pemilik kertas.
Nampaklah seorang siswa yang melintas tak jauh di depannya, sedang memindahkan beberapa buku keatas tumpukan kertas.
Zalva berhasil menenangkan kertas-kertas yang memberontak tersapu angin dengan menumpukan beban di atasnya.
Ia hendak melanjutkan langkahnya sebelum sebuah kertas diberikan kepadanya.
Kertas berisi tugas membuat quotes berbahasa inggris dengan kalimat pertama bertuliskan namanya, yang tadi ditulis asal tanpa pemikiran apapun.
Hanya persis mencontek tulisan kecil yang tercetak di sudut bawah buku tulisnya.
Ketika dibaca lagi, kalimat itu membuatnya tertegun.
Zalva baru tahu jika waktu, tempat, dan suasana bisa menambah sebuah kalimat yang tadinya biasa saja menjadi kalimat yang menggelitik hatinya.
It’s just a bad day, not a bad life.
Hembusan angin membuka sedikit rambut yang menutupi wajah Zalva, membuat netranya mengikuti pergerakan perempuan pemberi kertas yang sedang berlari mengitari lapangan. Rambut sebahunya bergerak mengikuti irama tubuhnya, sedangkan beberapa helai lain bergerak leluasa mengikuti angin.
Membuat bibir Zalva mengukir senyum seraya berbalik melanjutkan langkahnya.
Perempuan itu kemudian berhenti tepat di depan tribun, menatap kesal pada tali sepatunya yang kembali terurai. Sepatu pemberian sang sahabat di hari ulang tahunnya kemarin.
Dirundukkan badannya sambil menghela napas untuk membenarkan tali, lalu terkejut dengan sensasi dingin yang menyentuh pipinya.
“Kerja bagus, Sena.”
Adalah sang sahabat yang menempelkan sebotol pocari sweat dingin di pipinya. Sena menerimanya dengan senyum cerah lalu menyatukan kembali sensasi dingin itu ke kulitnya.
“Terimakasih, Tina.”
Tina duduk berselonjor di lapangan berumput, diikuti oleh Sena yang telah selesai mengikat kencang tali sepatunya.
“Hari ini, ya? Festival itu?”
Tina mengangguk sambil mengusap keringat yang menetes di dahinya. Bibirnya kemudian mengerucut membicarakan ketidaksukaannya pada sifat para gadis yang nanti akan pergi bersamanya.
Fani si genit dan ahlinya senyum palsu, Nira yang tak bisa lepas dari ponsel, Tiara yang terkenal pelit dan kikir, juga Hani dengan ketidakberaniannya yang menyusahkan.
Meski tidak pernah bertemu langsung, Sena hapal kelakuan mereka dari cerita-cerita Tina. Mereka adalah sahabat sejak sekolah dasar, rumah mereka berdekatan dan sering berkumpul bersama.
“Ah, pasti si cengeng Hani berulah lagi, menyebalkan. Kamu tahu tidak-”
Sena hanya tersenyum mengangguk mengiyakan, meski tidak menyukai mulut pencela Tina yang terus mengatakan keburukan teman-temannya.
Ia mengalihkan fokus pikirannya pada pilihan jajan apa yang hendak ia beli di perjalanan pulang nanti. Maklor dekat sekolah atau seblak di sebelahnya.
Ternyata setelah betulan pulang, dua jajan gerobak itu sama-sama tutup.
Sena membuang napas, mulai mempercayai rumor yang mengatakan bahwa dua penjual itu adalah saudara beda ibu; karena mereka selalu tutup di waktu yang sama.
Lalu memutuskan untuk berjalan sedikit lebih jauh ke perempatan, tempat batagor langganan Tina melapak. Meski ia ragu gerobak itu belum tutup, sebab jingga sang langit mulai menyebar dan matahari hampir terbenam separuhnya.
Kegiatannya mengagumi langit terhenti akibat tali sepatu yang lagi-lagi terlepas dari lilitan kuat jemari Sena.
Membuatnya berdecak kecal dan kembali mengikat kedua ujung tali itu kuat-kuat. Ia mulai berpikir untuk membeli tali sepatu baru yang lebih kuat akhir pekan nanti.
Pada tarikan simpul terakhir, tubuh Sena oleng ke depan akibat tabrakan yang cukup keras dari belakang oleh seseorang berjaket biru tua yang kemudian membungkukkan badannya meminta maaf.
Sena yang hampir mengumpat kemudian menundukkan kepalanya cepat untuk membalas permintaan maafnya.
Umpatan yang sempat ditahannya itu meluncur begitu saja ketika benda kotak berwarna krem terlihat berada di genggaman sang penabrak.
Dompetnya.
Laki-laki yang sebagian wajahnya tertutup topi itu berlari kencang begitu Sena meneriakinya untuk berhenti.
Ia panik saat melihat bayangan Sena di kaca toko yang berhasil mempersempit jarak meski berlari sambil berteriak.
Pikirnya ia berhasil mendapat target yang tepat berdasarkan pengalaman mencopetnya; yaitu anak sekolah, perempuan, dan nampak lemah.
Kali ini ia salah besar menilai perempuan ini nampak lemah hanya dari paras lembutnya. Postur tubuh dan caranya melangkah mengindikasikan bahwa perempuan itu terbiasa berlari.
Ia kemudian memutar otak untuk menemukan solusi agar tidak tertangkap dalam beberapa detik lagi.
Hampir saja tudung jaketnya tertarik sang pengejar jika tubuhnya tidak segera berbelok ke kiri. Ia menoleh dan tersenyum senang menemukan perempuan itu hampir terjerembab di belakangnya.
Akibat napasnya yang memburu dan dadanya yang nyeri, otaknya memberi perintah untuk memelankan laju larinya. Sebelum perintah itu dijalankan dengan sempurna, sarafnya kembali mempercepat langkah kakinya demi mendengar teriakan menggelegar dari sang korban yang ia kira tidak lagi mengejar.
Dua kotak kayu didepannya ditarik sampai ambruk menggelinding guna memperlambat sang pengejar.
Ia menyemangati tungkainya yang mulai linu. Ayolah, dua puluh meter lagi mereka bisa mendapatkan bantuan!
Dipacunya kedua kaki sampai meraih sang bantuan dan bersembunyi di balik punggungnya.
“Tolong, Bang!” ucapnya dengan suara tercekat karena kehabisan napas sambil menunjuk sang pengejar yang masih bernapas dengan normal.
Sang bantuan berwujud manusia itu menghentikan kegiatan menendangnya demi melihat perempuan cantik yang dibawa si anak buah ke markas mereka.
Sena menarik napas panjang menatap nyalang lima empat di depannya begitu melihat ada manusia di tengah-tengah mereka yang tergeletak lemah tak berdaya dengan mulut berdarah.
Tatapan yang membuat sang bantuan berupa pemimpin komplotan itu tertawa keras.
“Ada perlu apa, Nona Manis?”
Dari penampilan dan bahasa tubuh yang dipindai cepat oleh mata Sena, mereka tampaknya komplotan yang suka melakukan kegiatan tercela. Dari mencopet, menggoda perempuan, hingga menganiaya sesama manusia. Tipe manusia yang melakukan kegiatan keji hanya untuk menutup ketimpangan ego mereka.
Untuk mengalahkan jenis manusia tipe ini, kalian hanya perlu memutar otak memainkan ego mereka.
“Dompet saya terbawa bocah di belakangmu, dik. Dengan sengaja.”
Sena tersenyum setenang mungkin, untuk mendapatkan reaksi berlebihan sang lawan bicara.
“Dik?”
Tawa menggelegar dari manusia-manusia berseragam sekolah khusus laki-laki di daerahnya itu membelah kesunyian dan kegelapan malam.
“Atas dasar apa perempuan berseragam SMA memanggil kami ‘dik’?”
“Oh, kukira kalian masih SD karena hanya anak SD yang bisa melakukan perbuatan tidak baik seperti itu tanpa berpikir.”
Tatapan congak pemimpin komplotan itu bertambah buas seiring langkah pelannya mendekati Sena. Suara kayu diseret pelan dan beradu dengan kontur tanah yang tidak rata membuat bulu kuduknya merinding.
Ujung mata Sena menangkap gerakan kecil dari orang yang dikira telah pingsan. Ia menganggukkan kepalanya guna memberi tanda pada Sena, lalu berdiri pelan tanpa suara.
Meskipun tidak mengerti dengan maksud tandanya, Sena mengedipkan kedua matanya dan mendesak otaknya berpikir keras mengenai langkah yang tepat untuk mengatasi situasi ini.
Sang korban menendang cepat tungkai dua orang di depannya, membuat sang pemimpin yang hanya berjarak dua meter dari tubuh Sena berbalik. Ia tersenyum senang dengan kebangkitan korbannya, yang masih sanggup menumbangkan dua orang anak buahnya meski darah segar menetes dari mulutnya.
Kayu yang tadinya hendak dipukulkan pada Sena ia angkat tinggi-tinggi hendak menghujankannya keras pada punggung si korban.
Kecepatan turunnya sang kayu menjadi terganggu akibat jeritan Sena yang mengancam hendak menghubungi polisi seraya mengangkat ponselnya. Layar redup ponsel itu menjadi sangat cerah karena berpendar di kegelapan.
Sang pemimpin yang menyaksikan tangan Sena bergetar memegang layar ponsel yang menampilkan lock screen itu terkekeh pelan, mengangkat dagunya dan memiringkan kepala, tengah menantang Sena.
“Silakan, kalau berani."
Terdengarlah bunyi sirine polisi bersama suara kendaraan bermotor melaju mendekat.
Kebingungan semua orang dimanfaatkan Sena untuk mengambil dompetnya yang tergeletak di dekat korban. Namun sebelum dompetnya tertangkap, lututnya dipukul keras oleh sebuah benda tumpul dari belakang.
Sena pingsan.
Datanglah sebuah motor dengan penunggang yang memakai helm full face hitam legam, meringsek masuk memaksa komplotan itu mundur. Debu dan tanah bercampur menjadi satu terbang ke segala arah akibat manuver ban motor yang berputar dan berbalik arah dengan cepat, mengaburkan pandangan siapapun yang ada di dekatnya.
Sebuah cahaya berpendar remang-remang di tengah polusi udara itu, menampilkan layar ponsel dengan tampilan pemutar musik. Suara sirine polisi kemudian berhenti setelah tombol pause di ponsel itu tersentuh.
Sang pimpinan komplotan merasa sangat marah menyaksikan ritme permainannya terganggu akibat permainan lain.
Ia lalu meraih benda apapun yang ditemukan tangannya, kemudian memukulkannya keras menyamping. Suara rintihan pelan yang menandakan senjatanya berhasil melukai seseorang membuatnya tersenyum miring, sebelum akhirnya bergabung bersama anak buahnya yang telah kabur duluan.
Sang pengendara motor itu menaikkan kaca helmnya dan membantu si korban yang kesusahan memindahkan tubuh yang tergeletak melintang di atas kakinya.
“Zalva, dia pingsan!”
Empat kaleng kopi instan ditempatkan di meja lobi oleh seorang pemagang yag terburu-buru membawanya, menarik perhatian semua suster yang tengah kebagian jaga malam di ruangan itu.
“Terimakasih.”
Salah seorang suster dengan rambut digelung tak beraturan meraih sekaleng kopi yang hampir jatuh menggelinding. Matanya yang merah melanjutkan kegiatannya membaca setumpuk laporan yang masih berkurang tiga perempat.
Dua suster yang duduk di lobi mengedipkan matanya pada sang pemagang yang berusaha menahan bibirnya yang hendak melengkung. Siapa yang tidak senang mendapatkan ucapan terimakasih dari suster yang terkenal paling irit bicara, jutek, sekaligus paling cantik itu.
Bulu mata lentiknya tercetak sempurna menghiasi iris coklatnya yang berkilauan memantulkan cahaya lampu. Sekali tatapan sayu mampu membuat semua pria tunduk padanya. Sang pemagang pria itu juga berencana akan mengincarnya kalau saja tidak melihat kilauan cincin emas yang melingkar di jari kelingkingnya.
Namun perkataan simpang siur yang ia dengar dari suster penjaga lobi membuatnya sedikit memberanikan diri. Sayup-sayup ia mendengar mereka membicarakan Sania, suster cantik itu, memasang cincin emas di jarinya untuk menghindari pasien rawat inap yang terus mendesak untuk menikahinya.
Ya, menjadi cantik memang bukan segalanya.
Ia lalu duduk menjejeri dua suster ramah itu sembari curi-curi pandang pada Suster Sania, sesekali menyauti pembicaraan mereka.
Kalau jaga malam berarti bisa memandang semua gerak-gerik Suster Sania secara langsung sepanjang malam, ia tak masalah berjaga seminggu penuh. Apalagi di malam hari yang lengang ini.
“Ah, syukurlah malam hari ini sepi.”
Pembicaraan seru mengenai dua kandidat presiden terkuat oleh dua suster di sebelahnya mendadak berhenti, demi mendengar kalimat keramat yang terucap dari pemagang tampan ini.
Mereka berdua saling bertatapan, lalu menggerakkan bola mata mereka dengan canggung.
Sang pemagang yang masih belum sadar dengan dampak ucapannya kaget melihat Suster Sania balik memandangnya, kemudian berjalan mendekatinya.
Sedikit demi sedikit irama jantungnya naik seiring jarak antara mereka menyempit dan tatapan tajam Suster Sania yang menggetarkan matanya.
Yang baru saja ia sadari bahwa itu adalah tatapan kemarahan.
“Apa katamu?”
Sikutan sang suster yang mengenai lengannya membuatnya sadar dan mengalihkan bola matanya yang bergetar ke arah manapun selain tatapan kemarahan Suster Sania.
“Itu mantra sakti terlarang yang ampuh meramaikan UGD-“
Sang suster penunggu meja lobi tak sempat menyelesaikan kalimatnya demi melihat pintu otomatis berbahan kaca tembus pandang itu terbuka, menampilkan seseorang yang tergopoh-gopoh menggendong seorang perempuan yang pingsan di punggungnya.
Zalva menatap semua orang berbaju biru muda yang anehnya menatapnya dengan membeku, satu persatu secara bergantian untuk meminta bantuan.
Ia tidak masalah dengan punggungnya yang menggendong gadis pingsan ini sekitar dua menitan; satu menit di tempat kejadian perkara tempatnya pingsan, satu menit lagi menggendongnya dari parkiran menuju UGD.
Suster Sania bergerak mendekati Zalva, diikuti oleh petugas lain yang mulai sadar dari kebekuan mereka.
Sang pemagang yang mendadak merasa bersalah membantu memindahkan korban ke bangsal dengan aman, kemudian berdiri menjauh memberi tempat untuk para senior.
Zalva menyaksikan mata gadis itu yang dibuka dan disinari senter, dicek napasnya yang nampak teratur, juga dicari detak jantungnya di pergelangan tangan, bersamaan dengan sang pemagang yang kebetulan berdiri di samping Zalva melakukan hal yang sama persis dengannya.
Ketika Suster Sania melepas kancing paling atas seragam Sena guna melonggarkan saluran pernapasannya, mereka berdua berbalik bersama, lalu kaget serentak dengan cara yang berbeda begitu melihat suster penjaga meja lobi berdiri tepat di depan mereka.
Ia meminta Zalva mengisi data diri korban yang ia bawa, yang membuat air muka Zalva berubah bingung. Mulutnya yang ingin berkata bahwa mereka tidak saling kenal ia tutup rapat-rapat, lalu menganggukkan kepala dan mengikuti suster menuju meja lobi.
Meninggalkan sang pemagang yang panik mendapati pintu UGD yang kembali terbuka menampilkan orang tua yang dipapah oleh satpam, juga sirine mobil ambulans yang bergaung setelahnya.
Ia menepuk tangannya dengan keras berkali-kali sembari berjalan cepat menuju ambulans di depan.
Zalva menemukan kartu identitas siswa yang tidak asing di dalam resleting depan tas biru muda yang ia gantungkan ke depan tubuhnya. Kartu glossy berbahan PVC berwarna hijau itu sempat sejenak menghentikan napasnya, menyadari gadis itu berada di sekolah yang sama dengannya.
Ia raih bolpoin dengan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa ia tidak mengenali siswa dari sekolahnya sendiri? Meskipun gadis itu memang tidak memakai seragam yang sama dengan teman-temannya yang lain, foto yang terpampang dalam kartu identitasnya memakai dasi khas motif sekolahnya; garis miring emas di atas warna dasar ungu tua.
Selama ini, Zalva berhasil menyembunyikan identitas malamnya rapat-rapat, tanpa ada teman maupun guru di sekolahnya yang tahu.
Dan ia meyakini; meskipun penuh keraguan, kali ini juga akan begitu.
Gadis itu tidak sekelas dengannya, maka kemungkinan mereka bertemu akan sangat kecil.
Adisa Senapati.
Nama yang ditulisnya juga terdengar asing di otak Zalva yang terkenal dengan ingatan kuatnya; yang ia latih keras untuk misi menyembunyikan dirinya sebagai anggota geng motor. Lebih tepatnya, pimpinan.
Sampai di kolom tinggi dan berat badan, bolpoinnya direm oleh jemarinya. Gadis itu terlihat tinggi. Kalau dikira-kira mungkin sekitar seratus enam puluh lima-an, kurang lebih setinggi telinganya.
Ia putuskan mengosongkan bagian itu untuk diisi oleh kedua orangtuanya yang berkata akan segera datang. Zalva menelepon mereka menggunakan ponsel sang korban dengan mudah tanpa harus kesulitan memikirkan kata sandi yang tepat, karena ponselnya tidak dikunci sama sekali.
Zalva terheran-heran ketika pertama kali menemukannya.
Selagi berbincang dengan suster penjaga lobi, sepasang suami istri paruh baya masuk membawa tas carrier dengan terburu-buru. Mereka membuka setiap tirai tertutup dengan kalang kabut dan wajah hampir menangis, kemudian meminta maaf dengan sopan jika orang yang terbaring di bangsal bukan yang mereka cari.
Zalva merasa mereka adalah orangtua yang ditelponnya tadi, melihat dari wajah sang istri yang mirip dengan sang korban dan perawakan tinggi suami.
Sebanyak total sembilan tirai yang mereka buka semuanya zonk. Wajah mereka yang terlihat makin panik ketika membuka tirai kesepuluh, berubah ceria dalam sekejap kala menemukan sang anak terbaring di ranjang.
Zalva menatap reuni kecil mereka dalam diam.
Sang ayah kemudian berjalan menuju ke arah Zalva dengan pandangan mata tertuju pada suster penjaga.
“Bagaimana keadaan Sena, suster?”
Ah, ternyata panggilannya Sena.
Terjadilah percakapan dua arah yang disimak Zalva dengan penuh khidmat. Dari cara bicara dan raut wajah sang Ayah, Sena pastilah anak yang amat disayang. Sampai pada kalimat yang membuat Zalva membeku saat mendengarnya.
“Sena itu atlit lari di sekolahnya-“
Sepotong kalimat yang cukup menjelaskan mengapa Zalva tidak pernah mendengar namanya maupun bertemu dengannya. Sekaligus memunculkan perasaan iba saat mengingat ucapan Tera tentang pukulan keras di lutut dan punggungnya.
Yang mungkin akan membuat Sena beristirahat dari kegiatan larinya, atau bahkan pensiun selamanya.
Kebekuan pikiran Zalva mencair ketika suami istri itu menyalaminya dan mengucapkan terimakasih seraya membungkukkan badan. Zalva membalasnya dengan canggung; merasa asing dengan kehangatan yang mereka pancarkan.
Ditariknya tangan Zalva mendekati gelaran tikar di bawah bangsal Sena yang berisi berbagai macam lauk pauk dan buah-buahan. Mereka mendudukkan Zalva sebelum ia sempat menolak.
Pembicaraan kecil mengenai kehidupan sehari-hari mengalir begitu saja. Zalva yang awalnya canggung perlahan-lahan mulai menunjukkan senyumnya, ikut membalas mereka dengan kalimat-kalimat panjang.
Zalva tidak tahu pembicaraan dengan orang tua bisa seasyik ini; membicarakan mata pelajaran paling menyenangkan, guru tergalak di sekolahnya, juga cerita menyeramkan tentang ruangan sekolah yang bahkan tidak pernah Zalva bicarakan dengan teman sebayanya.
Selama ini, percakapan paling panjang antara Zalva dan ibunya adalah mengenai kenaikan peringkatnya. Topik obrolannya tidak jauh dari pelajaran, nilai, dan peringkat.
Zalva baru tahu pembicaraan dengan ibunya begitu membosankan, sesudah merasakan pembicaraan acak yang ternyata jauh lebih menyenangkan.
Membuatnya mendadak merindukan sang ibu.
Zalva kemudian pamit pulang, dengan keinginan kuat hendak membicarakan peristiwa acak semacam ini bersama ibunya. Sepanjang jalan ia memikirkan reaksi ibunya yang mungkin akan sama dengannya; tersenyum canggung dan mengangguk kaku, sedikit demi sedikit mampu mengikuti jalannya komunikasi seiring mengalirnya obrolan.
Begitu membuka pintu, Zalva tersenyum senang melihat sang ibu yang duduk di meja makan, menunggunya pulang.
Ia berjalan cepat hendak mengeluarkan kalimat yang sudah bersiap di ujung lidahnya.
Akan tetapi, kalimat yang berada di ujung lidah sang ibu mendesak keluar lebih cepat.
Kalimat panjang yang dinginnya mampu membentuk stalaktit dan menghujani tubuh Zalva dengan keras.
Percakapan membosankan yang membuktikan kesalahan Zalva yang meyakini bisa mengubahnya.
Percakapan pahit tentang nilai matematikanya yang hanya sembilan puluh dua.
Kaki kanannya yang terlindungi docmart kulit coklat menginjak rem dengan pelan, berkoordinasi dengan matanya yang memindai jalanan sekitar yang terlihat lengang.
“Hanya sampai sini?”
Zalva segera menggendong tasnya lalu membuka pintu mobil tanpa menjawab pertanyaan ibunya.
Dalam waktu sesingkat itu, ibunya memulai ceramah panjang tentang nilai matematikanya yang turun tiga biji. Penyebab paling utama adalah ponsel; barang yang sering menjadi kambing hitam seluruh ibu di dunia kala hal tidak diinginkan terjadi pada anaknya, yang sama sekali tidak relevan.
Zalva menutup pintu dengan lega, berpikir akan terbebas dari ceramah panjang lebar yang tidak akan terputus kalau tak terpotong paksa. Lalu kaca mobil depan yang perlahan turun kembali menampilkan ceramah sang ibu yang sempat terhenti sejenak menggugurkan kelegaannya.
Zalva menghela napas panjang.
Hanya turun tiga biji membuat ibunya bagaikan terpencet tombol otomatis tersembunyi di tubuhnya, hingga membuat wanita yang biasanya diam itu mengeluarkan banyak kata-kata emas dalam kurun waktu seminggu.
Sampai akhirnya kuda penyelamat Zalva yang tak ia kenal datang menyapa dan menyalami ibunya, mengubah wajah ibunya kembali ke default korporat dengan senyuman dan nada bicaranya.
Wali murid tempat les sang ibu menyapanya dengan senang, memberi celah pada Zalva untuk segera menjauh dan kabur.
Berbanding terbalik dengan mobil sejauh tiga meter di depannya, yang mengantarkan anak mereka dengan penuh kasih seperti suasana pertama kali sekolah. Sang anak yang merasa risih lalu mendorong kedua orangtuanya yang ia anggap berlebihan menunjukkan kasih sayang mereka masuk kembali ke dalam mobil.
Adalah Sena yang menutup pintu mobil lalu menjauh cepat sambil melambaikan tangan, membalas lambaian kedua orangtuanya yang tak kunjung usai hingga tikungan di depan.
Sena kemudian berjalan pelan menatap sinkronisasi sepasang sepatu hitam putih yang tak pernah ia gunakan lagi sejak masa orientasi dan upacara penerimaan murid baru.
Sepatu miliknya yang terasa asing karena ia terbiasa memakai sepatu lari yang bisa dipilih warnanya berdasarkan suasana hatinya pagi itu.
Juga seragam sekolah lengkap dengan jasnya, yang selama setahun lebih bersekolah SMA hanya bergantung rapi di pojok lemarinya.
Jalan setapak dari susunan batako di bawah pepohonan rindang ini mendadak terasa asing ketika dilewati dengan pakaian yang berbeda.
Cahaya matahari pagi yang terpisah menjadi berbagai bagian kecil dari sela-sela dedaunan dan gugurnya dedaunan yang terombang-ambing di udara membuat Sena merasa sendu hari ini.
Masih tercetak jelas ekspresi, susunan kata, dan nada bicara sang pelatih yang menjenguknya lima hari lalu, mengatakan sepotong kalimat yang terus terulang di ingatannya secara otomatis, siang dan malam.
Kalimat penangguhan latihan lari akibat cedera lututnya.
Kalimat yang pagi ini membuat dirinya berada di tengah kerumunan siswa yang saling berbagi kekhawatirannya akan ujian mendatang, menuju gedung bertingkat yang sangat asing meski dipandangnya setiap hari.
Gedung yang ia tatap dengan banyak pertanyaan ketika ia merasa lelah dengan omelan sang pelatih tentang makan pedas atau kurang tidur yang berakibat pada penurunan staminanya.
Kala itu Sena penasaran sebebas apa para siswa di gedung ini memilih makanannya, semalam apa mata mereka mampu terbuka untuk mengikuti keseruan yang terjadi di media sosial.
Setelah akhirnya masuk ke gedung ini, di tengah kumpulan siswa yang sempat membuatnya penasaran, ia malah merasa asing dan sendirian.
Sena tidak terbiasa mendengarkan tanya jawab soal essay nomor tiga dari tugas semalam, materi ujian mendatang yang agaknya akan berisi pertanyaan beranak, maupun terkaan perempuan beruntung mana yang mampu menggaet pangeran sekolah lewat story instagram mereka.
Semua perbincangan itu terasa ganjil bagi Sena yang terbiasa membahas berapa derajat bungkukan badan yang tepat untuk mempercepat langkah kakinya, tukang pijat paling mumpuni mengatasi kram tubuh, hingga teka-teki juara utama yang berpotensi memenangkan turnamen bulan depan.
Berbagai macam pikiran yang saling beradu di otaknya berakhir ketika tangannya membuka pintu ruang guru untuk menemui wali kelasnya.
“Adisa?”
Sena terkejut mendengarkan namanya sendiri yang terasa asing di telinga, diucapkan oleh seorang pria berkepala botak dengan kacamata yang bertengger sedikit lebih turun dari letak pada umumnya, menatap Sena dengan ujung mata atasnya seraya menundukkan sedikit kepalanya.
Sena tersenyum canggung membalas sapaan asing nama depan yang jarang sekali dikumandangkan. Senapati adalah nama beken dalam setiap turnamen yang diikutinya.
Ia mengikuti langkah kaki sang wali kelas menuju kelas barunya dengan perasaan campur aduk. Tidak ingin memikirkan seberapa besar intensitas keasingan di kelas itu; yang bahkan membuat identitasnya sendiri menjadi asing.
Sena hampir saja menabrak punggung sang wali kelas karena berhenti mendadak tepat di depan pintu geser berwarna coklat di hadapan mereka, berhias papan putih plastik timbul berukirkan II-III.
“Sudah siap?”
Pertanyaan basa-basi itu dijawab Sena dengan meneguk ludahnya dan menggenggam erat-erat strap bahu tas birunya.
Sang wali kelas yang menatap kegugupan Sena tersenyum dengan lembut, mengatakan sesuatu yang paling sulit dilalui adalah saat pertama kali.
Untuk sedikit memperjelas isi kelas yang nampak buram di mata Sena, sang wali kelas membocorkan nama teman sebangkunya, Zalva. Juga memberitahu betapa pintarnya sang teman sebangku.
Sena mengangkat sedikit ujung bibirnya, membuang napas lega mendengar nama cantik si perempuan teman sebangkunya. Dari namanya, perempuan ini terdengar ramah, mudah bergaul, dan punya banyak teman.
Perkenalan di depan kelas ia lalui dengan memindai setiap siswa perempuan di kelas ini; mana kira-kira yang akan menjadi teman sebangkunya.
Apakah gadis bercepol dua yang duduk di bangku paling depan dan menatapnya dengan pandangan antusias?
Atau perempuan kuncir kuda yang duduk di bangku belakang, tengah menatapnya dengan enggan? Sena membaca banyak webtoon persahabatan yang diawali dengan adegan semacam ini; cuek dan tidak peduli yang kemudian berubah menjadi mau berkorban apapun. Sena menyukai tipe cerita seperti ini.
Atau bisa jadi seorang diantara dua perempuan yang saling berbisik, menatapnya dari ujung sepatu hingga ujung rambutnya.
Ketika sang wali kelas menunjuk bangku kosong paling belakang sebelah jendela, air muka Sena berubah kecewa.
Nama feminin yang sudah diperkirakan sifat sekaligus tampangnya sekian detik yang lalu itu, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ekspektasinya.
Laki-laki, tidak ramah, dan penyendiri.
Laki-laki berambut panjang sampai menutupi sebagian matanya itu menatapnya sejenak ketika namanya dipanggil wali kelas, lalu kembali sibuk memandang bukunya seiring sorak sorai riuh teman-temannya.
Sorakan yang mirip dengan sorakan penonton ketika Sena berhasil memotong garis finish dengan tubuhnya. Bedanya, mata para pendukungnya nampak gembira sedangkan mata mereka terlihat sinis dan merendahkan.
Kesimpulannya, teman sebangkunya adalah laki-laki culun penyendiri yang gemar belajar meski diasingkan teman-temannya.
Entah mengapa kesimpulan tidak akurat Sena membawa tubuh gugupnya lega; jauh lebih lega dibanding ucapan lembut sang wali kelas di depan pintu kelas untuk menenangkannya.
Kenyataan bahwa mereka berdua adalah orang asing di kelas yang nampak harmonis ini membuatnya senang.
Berjalanlah Sena tanpa memperdulikan sorak sorai menggoda dari teman-temannya, menuju Zalva yang terdiam menatapnya.
Sena kemudian menyadari ini bukan kali pertama mereka bertemu kala otaknya tiba-tiba menampilkan kilasan masa lalu dimana ia memberikan selembar kertas yang terbang terbawa angin pada seorang laki-laki yang berjalan di belakangnya.
Laki-laki itu adalah Zalva.
Sedangkan Zalva terkejut menatap tas biru muda familiar milik perempuan yang duduk disampingnya.
Ia mempertanyakan reaksi lambat otaknya ketika sang wali kelas dengan jelas menyebut nama Adisa; nama yang ia tulis dengan huruf kapital di kertas pasien seminggu yang lalu.
Nama yang entah mengapa terasa asing di benaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!