NovelToon NovelToon

Jebakan Satu Malam

Bab 1 Biang Rusuh

"Jio jelek, balikin gak buku gue!" Haura berteriak, ia mengejar Jio di lapangan sekolah.

"Kejer gue kalo bisa." Jio tertawa sambil berlari. Dia sangat suka menjahili Aura karena cewek itu lucu saat marah-marah.

Haura Lathesia Lionard adalah putri bungsu dari keluarga Lionard. Ia memiliki satu kakak laki-laki bernama Jeandra Cakra Lionard. Keluarga Lionard sangat terkenal dengan bisnis perhotelan yang sangat sukses.

Jio Dirgantara merupakan putra tunggal dari keluarga Dirgantara. Sudah dipastikan ia akan menjadi penerus perusahaan sang papa.

Mereka sekolah di Galaksi High School, sekolah ternama yang memiliki fasilitas lengkap dan biasanya diisi oleh siswa-siswi yang berada karena biayanya yang tidak sedikit.

Saat ini mereka sedang kejar-kejaran di lapangan sekolah dan di tonton oleh siswa lain.

"Balikin Jio," ucap Haura yang sudah lelah berlari-lari.

"Cemen banget lo. Gitu aja udah capek."

"Sini lo kalo berani. Cowok kok maunya dikejar." Haura sudah sangat lelah, ia memutuskan untuk duduk di bawah pohon yang teduh.

Jio menghentikan larinya,"oh, kode nih ceritanya? Jadi lo maunya gue kejar ya." Alis Jio naik turun menggoda Haura.

Haura memasang wajah ingin muntah. "Ih najis."

"Halah, najis-najis taunya diem-diem mau."

Haura tak habis pikir, kenapa cowok ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

Haura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menatap Jio yang sudah ada di hadapannya. "Siniin buku gue. Gue harus ngerjain tugas dari Bu Fitri."

Jio ikut mendudukkan diri di samping Haura. Lantas ia menyerahkan buku itu. "Itu kan pr, Ra. Di rumah aja ngapa sih kerjainnya. Pr tuh singkatan dari pekerjaan rumah, makanya kerjainnya di rumah. Lo malah kerajinan ngerjain di sekolah." Omel Jio panjang lebar.

"Emangnya kenapa sih kalo gue kerjain sekarang. Gak buat lo rugi sama sekali. Gue sampe rumah nanti mau nonton drakor, soalnya tabungan episode udah numpuk. Lagian ujung-ujungnya lo nanti nyontek punya gue." Ujar Haura dengan sebal.

Jio yang mendengarnya pun hanya cengengesan saja. "Yaudah deh, udah bel tuh. Masuk kelas, kuy."

Jio berdiri lalu mengulurkan tangan kepada Haura. Gadis itu menerima uluran tangan Jio dan bangkit dari duduknya. Mereka berdua berjalan menuju ke kelas karena bel istirahat sudah berakhir.

* * *

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tapi Haura masih berdiri di depan gerbang menunggu jemputan. Biasanya sopirnya selalu menjemputnya tepat waktu.

"Duh, lama banget sih Pak Mamat. Mana pegel lagi dari tadi berdiri," monolog Haura yang sudah kepanasan di bawah terik matahari.

Tin!

Haura mendengar suara klakson dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Jio yang mengendarai motor besarnya berhenti di dekat Haura.

"Ojek, Neng?" Tanya Jio.

"Nggak, Bang. Makasih." Jawab Haura acuh.

"Oh, gitu. Yaudah Aa' tinggal ya. Takutnya ada hantu di sekitar sini, serem!" Jio berusaha menakut-nakuti Haura karena ia tahu gadis itu memang penakut.

"Tinggal aja, bentar lagi juga gue dijemput kok." Jujur saja sebenarnya Haura juga ngeri. Banyak rumor yang mengatakan sekolah ini dulu bekas rumah sakit jaman penjajahan. Ada-ada saja, sekolah elit gini kok ada setannya. Pikir Haura. Lagi pula sekolah juga sudah sepi, siswa lainnya sudah pulang dari tadi. Kesan horor pun semakin terlihat yang membuat Haura menggedikkan tubuhnya.

"Sopir lo udah bilang sama gue mobilnya lagi mogok."

Haura memasang tampang heran. "Kok Pak Mamat malah ngasih tau ke elo sih?"

Jio berdecak malas, "hp lo gak bisa dihubungin. Makanya isi batre lo penuh-penuh."

Haura sontak melihat ponselnya. Benar saja, ponselnya sudah mati.

Cewek itu cengengesan. Ia menoleh ke arah Jio. "Hehe, gue boleh naik gak ini?"

Jio merotasikan matanya. "Buruan naik."

Setelah Haura naik, Jio menarik pedal gas meninggalkan pekarangan sekolah mereka.

Setelah sampai di depan rumah, mereka berdua turun dari motor besar milik Jio.

"Lo ngapain ikutan turun? Pulang sono lu."

"Suka-suka gue dong."

Haura masuk ke dalam rumahnya, "yuhu Haura pulang."

Silvi yang muncul dari tangga pun berucap, "kamu ini masuk ke rumah bukannya salam malah teriak-teriak."

Mama Haura itu melihat cowok yang ada di samping anaknya. "Loh ada Jio juga."

"Iya Tan." Jio mencium tangan Silvi.

"Yuk, makan bareng. Tante baru aja selesai masak." Ajak ibu dia anak itu kepada anak tetangganya.

"Ayo, Tan. Jio paling suka sama masakan Tante."

"Kamu pinter banget godain orang tua, ya."

"Serius, masakan Tante itu juara di dunia, setelah masakan mami sih."

Silvi tertawa. "Bisa aja kamu."

Jio dan Silvi berjalan beriringan ke ruang makan. Sedangkan Haura yang melihatnya cengo.

"Ini anaknya gue atau Jio sih? Kok rasanya gue kaya anak pungut." Gumamnya, ia segera menyusul ibu dan tetangga laknatnya itu.

* * *

Haura sedang menonton drakor di kamarnya. Namun masalahnya adalah ....

"Kiri itu awas dia ngintip."

"Kejer bego, udah deket banget itu."

"Tolongin gue dulu ini, duh cepetan."

"Sabar ogeb, susah ini."

Duo biang rusuh ini malah main PS di kamarnya juga.

Cewek itu menarik napasnya dalam-dalam. "Berisik woy!" Teriakan Haura menggema di ruangan itu.

Dua cowok yang ada di kamarnya terkejut, membuat keduanya menjatuhkan stik PS.

"Yah, kalah gue."

"Gara-gara lo nih, Ra. Padahal bentar lagi kita menang."

Andai mereka punya mata batin, pasti mereka bisa melihat ada tanduk di kepala Haura. Cewek itu kesal setengah mati karena acara menonton drakornya diganggu.

"Lo berdua kalo mau main PS jangan di sini ogeb. Gue keganggu."

Jean berdecak, "gak boleh pelit-pelit dong, Ra. Sesama saudara gak boleh pelit, ya gak bro?"

"Yoi bro," saut Jio.

"Kalian kalo udah main lupa segalanya. Gue nonton drakor ampe gak kedengaran suaranya." Haura menarik napas sejenak, "lagian kenapa gak di kamar lo aja sih, Bang?"

"Lo kan tau kamar gue AC-nya rusak. Ya kali kita dua main disitu panas-panasan."

"Orang tua lo siapa sih? Kere amat perasaan."

Jean pura-pura memasang wajah terluka. "Wah tega banget lo ngeremehin orang tua gue. Kalo orang tua gue tau bisa abis lo sama dia."

"Orang tua lo kan orang tua gue juga, Bang." Ucap Haura yang tak habis pikir dengan kelakuan abangnya.

"Oh iya, ya. Bisa-bisanya gue lupa."

Jio yang dari tadi menyaksikan kelakuan kakak beradik itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dan tersenyum maklum.

" Gak adiknya, gak kakaknya, sama aja stresnya. Bener-bener gak waras nih dua bocah. Mending gue pulang aja daripada ketularan gilanya." Jio bergumam yang pastinya hanya bisa di dengar telinganya sendiri.

"Gue pulang aja deh," pamit Jio kepada dua orang itu.

"Dah pulang aja lo," sahut Haura.

"Kok pulang, Bro? Gak lanjut nih?" Tanya Jean sambil menunjuk ke arah PS.

"Males gue. Anaknya om Axel sengklek semua."

Jean dan Haura yang mendengarnya pun shock di tempat. Memang Jio ini berani sekali mengatai mereka berdua.

Bab 2 Pembuat Onar

"Haura, bangun sayang. Udah jam tujuh loh ini, nanti kamu terlambat." Ucap Silvi yang sedang membuka gorden jendela kamar Haura.

Haura yang mendengar itu pun langsung bangun. "Mama kok gak bangunin aku dari tadi sih. Ini udah mau telat tau."

"Kamu udah mama bangunin dari tadi, kamu aja yang kebo."

Langsung saja Haura bangkit dan berlari ke kamar mandi. Kata yang awalnya satu karena mengantuk langsung segar seketika.

Silvi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. Padahal Silvi hanya mengerjai anaknya. Silvi cekikikan dan keluar dari kamar anaknya.

Haura sudah selesai berpakaian. Penampilannya terlihat berantakan karena mengejar waktu. Saat melewati samping tempat tidur ia melihat jam weker yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh.

"Mama ngerjain gue ternyata," gumamnya. Ia berlari menuruni tangga.

"Mama."

"Apa sih, Dek? Masih pagi udah kaya orang utan aja lu."

"Ih mama kenapa bohong? Liat karena aku buru-buru jadi acak-acakan nih seragamnya," Haura memberengut. Ia pun duduk di meja makan dan mulai sarapan.

"Makanya lo kalo dibangunin jangan kebo." Ucap Jean kepada sang adik.

"Kalo aja elo gak ganggu kemaren, gue juga gak bakalan begadang," protes Haura kepada kakaknya karena menurut Haura ini adalah salah Jean.

Axel Jovan Lionard, papa dari kedua anak itu dari tadi hanya menyimak pertengkaran anak-anaknya. Baginya ini sudah biasa, kalau tidak si bungsu yang berulah, berarti si sulung yang buat masalah.

Axel berdehem. "Sudah, jangan berisik. Habiskan dulu sarapan kalian."

Jika sudah sang papa yang berkata, maka mereka berdua tidak bisa lagi membantah. Silvi tersenyum geli melihat kedua anaknya. Dua anak ini hanya akan berhenti bicara ketika papanya yang menegurnya.

Tin!

Tin!

Merasa terusik, Haura berdecak sebal. "Siapa sih pagi-pagi nyalain klakson di depan rumah orang?"

"Siapa lagi kalau bukan tetangga," balas Jean santai.

"Jio udah jemput itu. Gih, samperin anaknya." Ucap Silvi.

Setelah berpamitan kepada orang tuanya, Haura berjalan ke luar rumah.

"Lama amat, Neng."

"Klakson lo berisik banget."

"Oh, itu. Ini emang sengaja biar lo denger."

Haura memasang wajah tak terima. "Lo pikir gue tuli, hah?"

"Gue mikirnya lo belum bangun. Biasanya lo kan kebo."

Haura semakin memberengut. Sontak Jio meloloskan tawanya yang dari tadi sudah ditahan.

Sedangkan Haura kesal karena mamanya, abangnya, bahkan Jio mengatainya kebo. Padahal Haura yakin bahwa ia tak sesusah itu untuk dibangunkan.

'Mereka aja yang lebay.' ucap Haura dalam hati.

* * *

Jam pelajaran pertama sudah selesai. Banyak siswa yang berdesak-desakan ingin segera ke kantin. Haura dan Ela juga tak ingin ketinggalan, mereka bahkan sudah mengantri di kantin karena perut yang berbunyi minta diisi.

Begitu pesanannya sudah jadi, mereka mencari tempat duduk yang masih kosong.

"Itu meja yang paling ujung kosong. Duduk sana aja, yuk."

"Okay."

Haura membuang napas lega. Akhirnya ia tak perlu lagi berdesak-desakan seperti tadi.

"Ra, pr dari Bu Fitri udah lo kerjain belum?" Tanya Ela sebelum menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Udah lah. Gue kan anak rajin," balas Haura menyombongkan diri.

"Halah, gitu aja lo banggain. Contoh nih gue, setiap pelajaran seni selalu dapet nilai tinggi." Ela pun ikut-ikutan menyombongkan dirinya.

"Iya deh maniak seni, gue mah remahan rengginang bisa apa?"

Ela tertawa, "sialan lo!"

"Eh, btw tumben lo udah ngerjain tugas dari Bu Fitri. Biasanya kan elo paling males sama itu pelajaran." Lanjut Ela yang penasaran.

Haura mendengus kasar. "Lo kaya baru kenal gue sehari aja. Pasti lo tau lah kenapa gue selesai duluan."

"Oh gue tau, pasti episode drakor lu udah numpuk 'kan?" Tebak Ela tepat sasaran.

"Yes, bener banget. Udah gitu gue digangguin lagi sama duo biang rusuh itu."

"Terima nasib aja, Ra. Mereka kan demen banget bikin lo naik darah."

"Capek gue ngadepin kelakuan dua makhluk astral itu. Kek tiap hari ada aja tingkahnya," keluh Haura yang sudah lelah dengan kelakuan kakak dan tetangganya itu.

Ela menanggapinya dengan tertawa.

Sedang asik-asiknya bercerita, mereka berdua tidak menyadari kehadiran Larissa dkk.

Larissa menggebrak meja. Haura dan Ela kaget, mereka menoleh untuk melihat siapa orang yang mengganggu. Setelah melihat Larissa, Haura berdecak sebal.

"Lo!" Tunjuknya kepada Haura. "Udah berapa kali gue bilang sama lo buat jauhin Jio, hah!"

"Dan udah berapa kali juga gue bilang sama lo kalo Jio itu tetangga gue?" Jawab Haura dengan malas.

"Tetangga tapi tiap hari kok pulang pergi bareng," sahut Rina, salah satu teman Larissa yang menambah bumbu suasana.

"Masalahnya buat lo apa?"

"Bener, mau tiap hari kek ya terserah mereka. Kok ngurusin orang banget." Ucap Ela.

"Mending lo diem. Kita gak punya urusan sama lo," ujar teman Larissa satu lagi, Indah namanya.

Ela yang hendak menjawab dihentikan oleh Haura.

"Udah deh, La. Orang kaya gini emang susah dibilangin, cabut aja kuy!"

"Ayo."

Larissa mencekal pergelangan tangan Haura. "Gue belum selesai ngomong sama lo."

"Gue yang gak mau ngomong sama lo."

Larissa menggeram, "lo beneran nyari mati berani nantangin gue!"

Haura memberikan sorot malas. "Lo dari dulu selalu nyari gara-gara sama gue. Gak tau apa hubungannya Jio sama gue, selalu aja lo ngehalangin semua jalan gue. Sebenernya di sini lo yang nyari mati."

"Sialan." Larissa menampar pipi Haura. Hal itu membuat terkejut semua penghuni kantin.

Larissa dan kedua temannya memang dikenal dengan ratu bullying. Tapi dari dulu beberapa orang sadar, Larissa memang menaruh kebencian yang dalam kepada Haura, entah apa sebabnya.

Sedari tadi Jio menyaksikan semuanya. Ia duduk tak jauh dari tempat kejadian. Namun, ia tertutupi beberapa siswa sehingga tidak terlihat dari meja yang ditempati Haura.

Melihat Haura ditampar, Jio langsung bangkit dan menghampiri Haura.

"Ra, lo gak pa-pa?" Tanya Jio.

"Menurut lo kalo pipi gue ditampar gue baik-baik aja?"

Jio mengelus pipi Haura yang terkena tamparan. "Lo mau gue bales mereka kaya apa?"

Haura menepis tangan Jio, "gak usah."

Kali ini Haura menatap Larissa tajam. "Dari kelas sepuluh lo selalu ganggu gue cuma karena gue deket sama Jio. Kalo emang lo sesuka itu sama dia, perjuangin. Pake akal yang sehat buat dapet perhatiannya. Lo kira Jio bakal suka sama cewek trouble kaya lo?" Cewek itu berdecih, "gue harap ini terakhir kali lo ganggu gue."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Haura pergi bersama Ela.

Kini giliran Jio yang menatap Larissa. Ia menyorot dengan tatapan yang ... merendahkan mungkin?

"Jio," lirih Larissa. Jantungnya berdetak kencang. Ia selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Jio.

"Lo denger 'kan apa yang dibilang Haura?"

Jio mendekatkan wajahnya ke telinga Larissa. "Gue gak suka sama cewek pembuat onar," bisiknya.

Jio kembali menjauhkan wajahnya dan tersenyum lebar.

Bab 3 Dibilang Tidak Berguna

Jio menyusul Haura yang kembali ke kelas. Terlihat Haura yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas meja.

"Woy, Ra!"

"Hm."

Jio menaikkan sebelah alisnya. "Lo nangis?"

"Gak," jawab Haura tak acuh.

"Terus kenapa gak mau nunjukin muka lo?"

"Males aja."

"Jangan nangis dong, Ra."

Haura mengangkat kepalanya, "gue gak nangis, Jio Jelek." Ucap Haura ngegas.

"Dih sensi amat jadi cewek." Jio duduk di samping Haura. "Pipi lo sakit banget pasti ya? Tuh cabe gak kira-kira nampar lo."

"Au ah. Padahal gue ngantuk banget dari tadi, sekali ditampar langsung seger mata gue."

Jio berbinar-binar, "apa perlu gue tambahin lagi biar lo gak ngantuk terus?"

Haura menatap Jio seperti siap menelannya hidup-hidup.

"Bangsat!"

* * *

Jio memasukkan motornya ke garasi. Ia baru saja pulang sekolah. Atensi cowok itu teralihkan saat melihat mobil hitam yang terparkir di garasi juga. Jio menghela napas.

'Dia udah pulang,' batin Jio.

Jio memantapkan langkahnya memasuki rumah. Saat masuk keadaan di dalam sangat hening. Jio bahkan bisa mendengar suara langkah kakinya sendiri.

"Baru pulang?"

Jio terkesiap. Ia menoleh, dapat dilihat seorang pria paruh baya duduk di sofa sambil membaca koran.

"Hm."

"Bukannya belajar yang bener, kamu malah keluyuran gak jelas. Pasti basket lagi kan?" Tebak Denis Dirgantara, papi Jio.

Tepat sasaran. Seharusnya Jio sudah pulang dua jam yang lalu. Tapi cowok itu memilih untuk main basket karena itu hobinya.

"Papi udah cek nilai kamu. Harus berapa kali papi bilang untuk gak main-main lagi?" Denis meletakkan koran. Lalu melanjutkan, "kamu itu satu-satunya penerus Dirgantara Group, harusnya kamu belajar lebih rajin, bukan malah main basket!"

Selalu seperti ini. Setiap kali papinya pulang, bukan sambutan hangat atau pun ungkapan kerinduan. Yang Jio dapatkan hanyalah kemurkaan sang ayah.

Jio mengepalkan tangannya. Ia mati-matian meredam amarahnya.

"Jio bakal usahain lagi buat dapet nilai tinggi." Ucapnya pelan.

"Kamu udah kelas dua belas, sebentar lagi ujian. Selalu kamu janji buat dapet nilai tinggi, tapi mana? Gak ada. Mulai sekarang jangan berani-beraninya main basket lagi." Itu adalah perintah mutlak.

Jio jelas saja tidak terima. Apa-apaan papinya ini, pikir Jio.

"Papi gak bisa gitu. Aku selama ini selalu berusaha buat nurutin kemauan papi. Papi nyuruh ikut les, oke. Papi nyuruh aku berhenti ikut band, aku gak masalah. Papi bilang aku harus ikut olimpiade, udah diturutin. Apapun bakal aku turutin asal jangan berhenti basket, Pi." Jio berkata dengan putus asa. Cowok itu sangat menyukai basket.

Padahal selama ini Jio selalu jadi penurut. Apapun yang papi inginkan selalu Jio lakukan. Bahkan untuk kesukaannya, ia relakan agar sang ayah tidak kecewa. Tapi jangan basket, Jio benar-benar tidak bisa.

"Papi yang paling tau untuk kebaikan kamu. Turuti saja perintah papi." Setelah mengatakan itu, Denis beranjak dari tempat duduknya.

"Selama ini aku dapet juara apa gak cukup? Nilai yang gimana yang papi mau?"

Denis tak jadi menaiki tangga saat mendengar ucapan anaknya. Ia marah mendengarnya.

"Kamu bangga sama nilaimu itu, hah? Cuma juara dua selama empat semester berturut-turut dan kamu bangga? Dua tahun kamu bahkan gak bisa sekalipun menggeser posisi juara satu."

"Kamu itu ... kalau tidak berguna setidaknya turuti setiap perintah papi, karena nama kamu Dirgantara!" Denis pergi, meninggalkan Jio dan harapannya yang hampir pudar.

Jio merosot. Marah, kecewa, lelah bercampur menjadi satu. Selama ini walau sudah banyak hal yang ia korbankan, ternyata tak ada artinya dimana papinya. Bagaimana prosesnya, seberapa besar usahanya, ternyata papinya tak membutuhkan itu.

Jio menjambak rambutnya sendiri. Dibilang tidak berguna oleh ayah kandung sendiri, entah mengapa rasanya lebih menyakitkan dibanding saat ia direndahkan kakeknya sendiri.

Jio mendengar bunyi bel. Cowok itu menyorot ke arah pintu. Siapa orang yang berani mengganggu waktunya saat sedang begini.

Dia bangkit dan membukakan pintu. Jio menatap tamunya, ternyata Haura. Haura berdiri di hadapannya dengan tangan yang menenteng paper bag. Cewek itu tersenyum dengan riang.

Seketika perkataan papinya terngiang di kepalanya.

"Kamu bangga sama nilaimu itu, hah? Cuma juara dua selama empat semester berturut-turut dan kamu bangga? Dua tahun kamu bahkan gak bisa sekalipun menggeser posisi juara satu."

Selama dua tahun, empat kali pengumuman juara umum, tak pernah sekalipun Jio mendapat peringkat satu. Karena Jio tahu, sekalipun ia tak mampu menggeser posisi Haura ... dari peringkat satu.

"Oy," Haura melambaikan tangan di depan wajah Jio.

Jio yang tanpa sadar melamun terkaget.

"Napa bengong lo? Kesambet baru tau."

Hening.

Merasa tak ada tanggapan dari lawan bicaranya, Haura mulai parno.

"Apa jangan-jangan si Jio kesambet beneran ya? Mana matanya merah lagi, penampilannya juga acak-acakan." Haura bergumam yang masih dapat di dengar Jio. Haura bergidik ngeri, ia merinding.

Buru-buru cewek itu memberikan paper bag yang ia bawa kepada Jio. "Cookies buatan mama, bye."

Setelah mengatakan itu, Haura lari terbirit-birit sambil berteriak, "Jean, temen main PS lo kesurupan. Tolongin gue!"

Jio tertawa. Ia merasa geli dengan tingkah Haura yang penakut itu.

Cowok itu menunduk, menatap paper bag yang ada di tangannya. Ia tersenyum kecil.

Lucu.

Haura selalu murni dengan tingkah lakunya. Tidak ada yang ditutup-tutupi, semua apa adanya. Ia akan mengatakan sakit jika merasa sakit. Ia akan tertawa ketika ia bahagia. Cewek itu juga akan menangis sesenggukan saat pemeran utama pria selingkuh dengan sahabat pemeran utama wanita.

Jio ingin seperti Haura. Bisa mengekspresikan perasaannya dengan jelas. Tidak ada yang harus disembunyikan. Jio juga lelah harus pura-pura suka pada hal yang jelas tidak disukainya.

Karenanya, Jio senang saat ia berhasil menjahili Haura. Jio suka melihat beragam ekspresi yang ditunjukkan gadis itu.

* * *

"Lo kenapa dah lari-lari gitu? Kaya abis liat setan aja." Jean sedang mencuci motor kesayangannya. Walaupun orang kaya, tapi ia tak mau membiarkan sembarang orang menyentuh motor kesayangannya.

Haura ngos-ngosan. Ia menumpu tangannya di lutut. "Emang gue abis liat setan," jawabnya dengan napas yang putus-putus.

"Halah boong lu."

"Serius gue, si Jio tuh. Gue ajak ngomong diem aja, mana pandangannya kosong gitu. Belum lagi matanya merah, penampilannya juga acak-acakan. Serem ih." Haura bergidik, ia benar-benar tak ingin membayangkannya.

"Lo kali yang nyeremin, makanya si Jio diem aja saking kagetnya dia liat lo," ejek Jean kepada adiknya.

"Terserah lo deh. Kalo gak percaya datengin aja orangnya. Gue mau mandi." Setelah mengatakan itu, Haura berjalan menuju pintu masuk. Belum sampai pintu, Haura menjerit karena disiram oleh Jean menggunakan selang cuci motor.

Jean terbahak. "Itu udah gue mandiin lu."

Haura menutup matanya, ia menghirup napas dalam-dalam. Lalu ....

"JEAN KAMBING!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!