On-air.
"Okeeee, Afe pamit. But don't worry sebab minggu depan di jam yang sama, Afe bakal tetap nemenin malam Minggu kamu hingga jam dua belas tepat, jangan lupa besok high five ya ... persembahan akhir jumpa kita kali ini, tembang lawas milik Westlife, soledad. Check this sound and bye bye."
Suara merdu Afjameha Manorama mengalun mengakhiri sesi acara yang dia beri nama hitgirl. Dia belajar mendalami dunia broadcast semenjak tubuhnya kian tambun. Berbagai masalah hormonal pun muncul seperti jerawat yang memenuhi hampir seluruh bagian wajah bulatnya, membuat Afja merasa buruk rupa.
Menjadi penyiar radio, dipilih Afja sebagai jalan mendapatkan teman yang tak dapat dia wujudkan secara nyata, sebab minder jika bersosialisasi langsung. Stasiun radio ini adalah hasil rengekannya pada sang ayah.
Postur Afjameha yang tinggi besar, rambut keriting bak mi instan, wajah penuh jerawat puber, kian membuat dia terlihat bagai Ogre, tokoh raksasa dalam film animasi Shrek.
...*...
Keesokan pagi.
Afjameha telah rapi menyambut para fans yang ingin berkenalan dengannya. Harapan hati, dia dapat memiliki teman nan tulus tanpa menilai penampilan buruknya ini.
Namun, agaknya angan Afja jauh melambung tinggi. Saat sesi perkenalan dimulai, tak satupun fans kawula muda itu merespon sapaan Afja. Tatapan sinis justru di layangkan pada gadis tinggi besar yang duduk di belakang meja tamu.
"Yang benar saja, rupa Afe seperti ini?" seru seorang pemuda memakai jaket hitam di ujung tenda. "Nyesel gue sempat mengagumi dia," imbuhnya lagi, bangkit berdiri seraya menunjuk tajam.
"Gila! jauh dari ekspektasi," cibir seorang wanita yang duduk di depan, menatap sinis Afja.
"Ku kira suara indah rupa bed-ebah itu hanya mitos, tapi nyatanya kok benar ya?" sambung lainnya.
Ejekan tajam itu tanpa mereka sadari menoreh luka mendalam di hati Afjameha. Lyn, sang produser menenangkan para fans yang mulai ricuh melempari Afja dengan gumpalan kertas juga kulit buah bahkan sandal jepit usang.
Buk.
Plak.
Duk.
Afja bergeming, berharap sakit akibat lemparan dapat mengurangi pedih. Kepalanya sedikit menunduk hingga membuat air mata yang dia tahan pun perlahan jatuh.
"Wooooooooo! Ogre!" seru beberapa gadis, melempar tatapan sengit pada Afjameha.
Kumpulan orang-orang bar-bar itu akhirnya pergi menyisakan kekacauan di pelataran radio. Baju Afja basah, terkena noda berbagai benda yang mengenai tubuhnya.
"Ya wajar fans kecewa, dia kan anak orang kaya, kenapa gak merawat diri, sih," gumam Lyn, tak mengira bahwa Afja masih berada di sekitarnya.
Deg.
Putri tunggal Malaseka terlanjur sakit dan tenggelam dalam prasangka bahwa gadis sepertinya tak pantas ada di dunia.
Hari Senin pun tiba.
Di sekolah, kehadiran dirinya hampir tak teranggap meski wujud fisik Afja sangat dominan. Hanya di tahun akhir ajaran saja, saat satu kelas dengan gadis itu, Afjameha mulai mendapatkan perundungan akut dari sang primadona, Candy lenjelitha dan pasukan resenya.
Seperti biasa, Afjameha memilih mengabaikan sindiran sang primadona. Pasrah jika diperlakukan semena. Namun hari ini, tak di nyana, Candy malah dengan mudah meloloskan dia begitu saja.
"Ada yang salah kayaknya," gumam Afja terus melangkah.
Benar saja. Byur.
Sisa makanan yang ada di dalam wadah itu ikut mengotori kepala dan badan Afja. Bau amis serta busuk pun menyeruak. Tangan Afja mengepal, matanya memejam lalu mendelik tajam ke arah Candy dan melangkah menuju toilet untuk membersihkan diri diiringi tawa para siswa yang menyembul dari balik dinding kelas.
"Afe adalah Ogre!" tawa beberapa siswa laki-laki.
"Itu muka apa sungai? banyak bener batunya," kekeh para anak buah Candy, mengejek jerawat Afja.
Afjameha berlari kecil menuju toilet. Air mata sudah jatuh membasahi pipi. Hatinya sangat sakit kali ini.
"Hoy, gempa! jangan lari!" cecar banyak suara. Tak dipedulikan Afja.
Setelah dari toilet, Afja sudah tak bernafsu mengikuti pelajaran pertama. Dia menuju belakang perpustakaan sekolah untuk berkutat dengan dunianya.
Tanpa diduga, Afja bertemu Ben lagi. Pemuda tampan kapten tim basket idola sekolah, masih dilanda murung. Seperti biasa, Afja menyodorkan bekal dan duduk tak jauh darinya.
"Kamu kok baik banget sih, gak seperti yang Candy gosipkan," tutur Ben, menatap Afjameha.
"Biarin aja. Aku ya aku," balas Afja meski hatinya murung.
Ini kali kedua mereka bertemu. Afjameha tak sengaja mendengar suara isakan dan teriakan Ben, setelah membuang kotoran kucing dari tasnya, akibat ulah Candy beberapa hari lalu.
Fasilitas mewah yang Ben peroleh, dicabut sang ayah, sebab perilaku bad boynya. Afja menemani lelaki itu karena merasa satu nasib.
"Terima kasih, kau bestieku," balas Ben, tersenyum menawan hingga gigi putihnya terlihat.
Deg.
Deg.
Deg. Debar jantung Afjameha bertalu. Tak mengira dia bisa sedekat ini dengan Ben.
Setelah hari itu, keduanya kian intens membagi kisah mereka. Hingga setelah tiga bulan saling mengenal, ditempat yang sama, Ben mengisyaratkan bahwa Afja adalah kekasihnya.
"Semangat ya, Baby. Abaikan Candy." Ben, mengusap kepala Afjameha saat dia bangkit hendak pergi.
"Baby? siapa?" tanya Afja bingung, sambil menunjuk wajahnya sendiri meski dia merasa konyol.
Ben mengangguk. "Iya, kamu, pacar rahasia," bisik Ben.
Blush.
Wajah Afja seketika menegang, matanya mengerjap, bibir pink pun sedikit terbuka, ditambah terpaan matahari membuat pipi bulat itu kian merona. Ben tertawa renyah melihat ekspresi Afja sebelum dia pergi berlalu.
Kebahagiaan Afja ternyata tak serta merta kekal. Malam hari, setelah lelah siaran, sebuah tragedi menimpa keluarganya.
Malaseka, membawa seorang wanita ke hunian mewah mereka dan membuat sang ibu berlinang air mata. Pasangan itu bahkan bermesraan di depan Fasraha.
"Papa? dia siapa?" panggil Afja, meminta sang ayah bicara sambil menunjuk ke arah wanita asing.
Malaseka hanya diam, menatap tajam putri tunggalnya.
"Jawab, Pa!" teriak Afja. Matanya menyalak, nafas pun ikut memburu dengan tangan mengepal di sisi.
Hening.
Pria yang masih terlihat gagah itu menghela nafas panjang. Malaseka meminta wanita dalam pelukan agar duduk di sofa, sementara dirinya hendak mendekat pada putri tunggalnya.
"Afja, dia ibu sambungmu. Kamu susah dibujuk untuk merubah gaya hidup dan menjaga pola makan sehat, maka Tamarine lah yang akan membantumu diet, oke?" ujar Malaseka, berniat meraih lengan Afjameha.
Afja mundur selangkah, tak ingin di sentuh sang ayah. "Maksudnya?" tanyanya tak mengerti sembari mengalihkan pandangan bergantian ke semua penghuni di sana.
"Aku istri ayahmu," sambung Tamarine, tersenyum manis ke arah anak tirinya.
Afjameha membola, dia sontak menutup mulut yang menganga dengan kedua telapak tangan. Netra sipit itu melirik ke arah dimana ibunya duduk. Dia kini mengerti arti air mata Fasraha.
"Enggak. Aku adalah aku. Lagipula itu bukan alasan tepat, Pa! teganya mengkhianati cinta Ibu! jahat!" sentak Afja, menuding ke arah ayahnya dengan wajah merah padam.
Telunjuknya terpaksa terangkat, binar mata nanar hingga sudut netra itu nampak merah sebab kuatnya emosi yang Afja tahan tak lantas membuat Malaseka luluh.
"Kau tidak perlu tahu alasannya, Afja!" seru Malaseka, tersinggung dengan sikap kasar anaknya.
"Afja, sudah. Ibu tak apa," ucap Fasraha bangkit, memeluk putrinya.
"Pecundang!" teriak Afja, meluapkan emosi.
Plak!
"Kurang ajar!" kata Malaseka, melayangkan tampa-ran ke pipi Afjameha.
"Mas!" seru Fasraha, menghalau tangan Malaseka yang akan memukuli Afja lagi.
"Kalian sama saja, tidak pernah mau tahu kesusahanku. Tamarine menyelamatkan hidup kita agar tak jatuh miskin juga agar dia tak penyakitan akibat gendut. Masih bagus kalian bisa tinggal di sini tanpa kekurangan, dia yang membantu kita selama ini," tutur Malaseka, menjabarkan situasi sebenarnya.
Afja dan Fasraha tak dapat menerima alasan tersebut. Pertengkaran pun terjadi hingga Tamarine berteriak lantang.
"Stop! ... Sayang, aku minta kau ceraikan dia atau kamu harus segera menjual semua aset ini untuk membayar hutang padaku," ujarnya pongah, berdiri berkacak pinggang.
"Kau gila!" teriak Afjameha, melangkah hendak mendorong tubuh sintal itu tapi di halangi Malaseka.
"Pergi! sekarang juga. Karena kau lalai serta tidak sempurna melayani suamimu sehingga aku mencari pelarian, maka jatuh talakku satu, padamu Fasraha!"
Dhuar.
Fasraha membeku. Tak lama, tubuhnya mulai goyah dan ditopang Afja susah payah.
"Ibu! Ibu!" bisik Afja pilu, melihat Fasraha tanpa ekspresi.
Kedua wanita yang tersakiti, meninggalkan ruang keluarga menuju kamar utama dan berkemas. Afja akan membawa ibunya pergi.
Malaseka tak memberi uang sepeserpun, dia bahkan menarik semua kartu ATM dari keduanya.
"Kita pasti bisa, Bu. Jangan sedih, ada aku," kata Afja, menguatkan Fasraha saat keluar hunian.
Fasraha mengangguk, mendekap lengan Afja yang kini menjadi sandaran satu-satunya. Mereka akan menuju ke suatu tempat di pinggiran kota, menemui rekan ibunya.
Dua jam kemudian.
Afja tiba di tujuan, ternyata si penghuni rumah telah pindah. Merasa tak punya alamat lain, Afja berpikir cepat. Dia melihat pom bensin tak jauh dari sana dan memutuskan untuk bermalam sementara sampai menunggu pagi.
Setelah membersihkan diri, dalam renung, Afja teringat seseorang. Dia akan menemuinya esok hari, toh sekolah hanya di isi kegiatan ekskul intra sekolah sambil menunggu dokumen kelulusan turun.
Keesokan pagi.
Afjameha pamit pada Fasraha untuk menemui Ben, berharap lelaki itu akan membantunya.
Hari ini adalah final pertandingan turnamen basket antar sekolah. Afja menuju GOR tak jauh dari almamaternya.
Betapa dia terkejut kala baru saja tiba, sorakan di atrium bergema meneriakkan sesuatu.
"Cium. Cium. Cium!" sorak penonton riuh.
"Ben, I love you!" teriak Afjameha, berkesempatan mengungkapkan isi hatinya, dia bangga ketika melihat papan skor, almamaternya menjadi juara.
"Ben alue! love you!" seru Afja lagi. Masih belum sadar situasi.
Sementara di pinggir lapangan. Riuh sorakan sebab Ben sedang menyatakan cinta.
Afjameha terpana, menyaksikan adegan mesra di bawah sana. Dia pun lantas terburu menuruni tangga menuju tepi lapangan. Hatinya berdenyut nyeri.
"Minggir!" ucap Afja menyingkirkan satu persatu siswa dari kerumunan.
"Heh, raksasa!" cibir para siswa yang didorong Afja.
"Hoy, buntelan! bang-ke!" maki siswa lainnya.
Afjameha abai, emosinya kembali naik. Hingga.
"Ben!" seru Afja, membuat semua mata tertuju padanya.
Ben sontak menoleh. "Afja, kenapa kamu?" tanyanya dengan wajah datar sementara lengannya berada di pinggang Candy.
Tatapan sinis primadona sekolah pun mencibir. "Ape, lo!"
"Jahat!" Afja mendorong Ben, pria yang masih berpeluh. Butir bening itu jatuh di depan lelaki yang dia puja.
Afja lalu melangkah, menabrakkan diri, hingga Ben dan Candy terhuyung.
"Wooooooo! sarap!" oceh para siswa yang masih berkerumun di sana.
"Afja!"
Afjameha berlari kecil menaiki tangga keluar GOR, berharap Ben mengejar meski mustahil. Hatinya sakit dan mulai mati rasa.
Sedang patah hati pun, nasib sial kembali menghadang. Geng Candy telah menunggu di pelataran parkir.
"Heh! balikin, nih, semua buku kita!" ujar Vivi, tangan kanan Candy.
"Ogah," sahut Afja kali ini memberanikan diri.
"Utututu, babunya Candy di rumah dan sekolah, sudah berani melawan? kamu itu harus banyak berbuat baik dengan saudara," seloroh gadis lainnya.
"Maksudnya?" Afja tak mengerti.
"Yakin, kamu belum tahu?" sambung Vivi lagi, mencibir Afja.
.
.
...______________________...
"Saudara?" tegas Afja lagi.
Vivi menyunggingkan senyum remeh. "Ibu barumu itu adalah mami Candy ... lekas, kembalikan semua buku kami," titah Vivi, diiringi tawa ke empat gadis yang melempari Afja dengan buku dan ID card, sebelum mereka bubar.
Afja tertegun, sakit di badannya tak terasa sebab hati bagai ditusuk belati tajam. Genangan air mata pun kembali di seka, Afja memungut semua buku yang berserakan dan membawanya ke sekolah dengan langkah gontai.
Beberapa saat kemudian.
Semua buku itu kini Afja letakkan di atas meja penjaga perpustakaan. Ketika dia hendak keluar ruangan, sebuah suara menahannya.
"Afja, kamu kan tinggi besar. Tolong bantu ibu meletakkan semua buku di rak masing-masing, bisa?" pinta penjaga perpustakaan, diangguki Afja.
"Baik, Bu." Afja pun urung pergi dan meraih tumpukan buku dari atas meja menuju rak-rak di belakangnya.
Benaknya kosong sebab mood memburuk sehingga Afja tanpa sengaja menyandarkan tubuh tambunnya pada ambalan usang. Tiba-tiba.
Pluk.
"Awh!" lirih Afja menyentuh kepalanya karena sakit tertimpa sesuatu yang jatuh dari atas rak. Dia membungkukkan badan, meraih buku Dengan sampul usang.
"Wow, buku apa ini?" gumam Afja saat mengusap sampul agar tulisan judul terbaca. "Ramuan kuno Mak Beken," ejanya.
Gadis berpostur jumbo itu penasaran dan membuka sampulnya lalu membaca sekilas. Mata sipit pun memicing hingga senyum samar terlukis di wajah berjerawat. Afja memutuskan meminjam buku tersebut.
Awalnya penjaga menolak, tapi karena Afja tak pernah terlihat merusak buku, bahkan kerap menambah koleksi perpustakaan sekolah, pustakawan pun meloloskan permintaannya.
Azan duhur berkumandang manakala Afja berlari kecil menuju pom bensin tempat dia meninggalkan ibunya. Betapa terkejut Afja saat melihat Fasraha di perlakuan semena oleh petugas di sana.
"Lepaskan ibuku!" teriak Afja, sambil mengacungkan kepalan lengan di udara. Dia mendorong tubuh pria itu.
"Pergi sana, gembel!" seru petugas melempar semua barang-barang mereka asal hingga berantakan.
"Awas kau!" kesal Afja, mengepalkan tinjunya. Fasraha memilih membereskan kekacauan dan mengajak putrinya pergi dari tempat itu.
Keduanya melangkah gontai, berniat menuju warteg di tepi rel yang berada beberapa ratus meter dari sana. Tubuh Fasraha bergetar halus menahan lapar tapi tak tega meminta pada Afja. Dia tahu, putrinya juga tidak memiliki uang.
Langkah tertatih karena menyeret banyak barang di bawah teriknya mentari siang hari, nyata sangat menguras tenaga mereka. Pandangan mata Afja mulai berkunang-kunang. Perlahan tubuh tambun itu pun melemas di tepi rel.
Fasraha hanya bisa menangis melihat Afja demikian lunglai. Dia pun mendekap putrinya, serasa terpeng-gal nyawa.
Tuuuuuuuuttttt. Klakson kereta intens berbunyi. Teriakan tak lagi di hiraukan keduanya, mereka pasrah jika harus mati siang ini.
"Hoy! kereta!" teriak seorang pria, tak di hiraukan Afja.
Ninuninuninu. Sirine perlintasan berbunyi cepat tanda kereta telah dekat.
"Tolooong!" seru pria tadi, meminta bantuan warga sekitar. Beberapa warga pun sigap berlari dan membantu mengamankan barang mereka menyingkir sedikit dari sana.
Wush. Kereta pun melintas cepat.
"Hampir saja, Alhamdulillah." Warga menghela nafas lega.
"Kalau mau mati, cari tempat sepi aja biar gak di tolongin," sengit warga melihat Fasraha masih setengah sadar.
"Heh! nolong tuh yang ikhlas ... Bu, Non, minum dulu, ya," kata seorang wanita, mengusap bahu Fasraha. "Eh, badannya panas sekali. Mereka sakit ini, bukan mau bundir," serunya. Dia lalu meraba dahi Afja lalu segera berbalik masuk ke sebuah warung.
Fasraha menerima uluran obat juga air minum hangat dari wanita tadi.
"Bawa ke Pak Temul saja, ayo Pak RW," saran sang pemilik warung, melihat ke arah pria yang berteriak di awal tadi.
Pak RW pun mengangguk, dia lalu meminta beberapa warga mengambil kursi roda juga gerobak untuk membawa barang-barang mereka.
Evakuasi pun dilakukan dengan cepat. Pak Kunir membawa keduanya ke pemukiman tak jauh dari sana.
"Biar kata di tepi rel, saya jamin kampung kita ini gak kumuh," kata Kunir bicara pada Fasraha.
Wanita lemah itu hanya tersenyum samar, mengangguk pelan sebagai bentuk penghormatan baginya.
"Di sini dulu, istirahat. Nanti kalau minuman sehat datang, diminum ya," pesan Pak Kunir setelah memberi mereka tumpangan kamar di samping mushala.
Fasraha menerima perlakuan baik para penolongnya. Keduanya bisa berteduh dengan aman hari ini.
Keesokan pagi.
Afja telah lebih baik meski sesekali perutnya perih. Pusing masih menggelayut saat dia baru selesai berwudhu untuk salat subuh.
"Jangan tidur lagi. Di tolong itu agar berguna, balas budi, bukan cuma sekedar numpang tidur. Malu sama badan, tambun seger kok malas," ujar seorang pria, menegur Afja secara tak langsung.
Afja menoleh, memastikan bahwa pria itu sedang bicara dengannya.
"Setelah salat, kamu ke rumah warna hijau itu. Bantu dia jualan sana, nanti dapat upah buat beli makan," ujarnya lagi, menunjuk ke arah Utara.
Afja mengangguk meski tak paham situasinya. Hanya berusaha menjaga diri, menjunjung langit dimana dia berpijak.
Fasraha melepas putrinya, dia trenyuh, Afja mau melakukan semua yang di ucapkan pria tua nan sinis di mushala. Tetapi, mungkin inilah jalan bagi mereka untuk bertahan hidup.
Gadis tambun dengan penampilan lusuh itu kini mendorong gerobak, dia berjalan kaki mengikuti Jaheni berjualan ke kampung sebelah yang berjarak lima kilometer.
"Mbak Afja, keren, kuat jalan padahal gendut. Kakinya pasti melepuh. Nah, ini sisa jamu beras kencur diminum aja buat obat pegel. Jahe di parut lalu di oles sebentar ke kaki biar pegel hilang, perasan airnya boleh diminum supaya badan enteng gak masuk angin," kata Jaheni, menyerahkan dua botol sisa jamu untuk Afja.
"Bisa aja, Kak Jahe. Nanti di marahin sepuh, gak? aku yang ngabisin ini," balas Afja tak enak hati.
"Pak Temul? kagak, gih. Nanti malam, kumpul ya. Kita belajar nanem tanaman obat dan mengenal rumpun rempah berkhasiat," sambung Jaheni lagi, menepuk lengan Afja dan berlalu.
Afjameha mengangguk antusias. Dia lalu masuk menemui ibunya.
"Bu!" panggil Afja, mendorong pintu kamar sempit perlahan.
"Afja!" rintih Fasraha, menahan kram di kaki yang kaku.
"Ibu!!!" panik sang anak. Duduk bersimpuh lalu berusaha membuat ibunya hangat.
Teriakan Afja menarik perhatian Temul yang akan membersihkan mushala. Dia mengintip dari balik tembok samping.
"Kenapa?" tanya Temul.
"Ibuku kram, kaku otot kakinya. Tolong, Pak," ucap Afjameha melongok dari pintu kamar.
Temul melihat sisa jamu dalam botol di luar teras. Dia lalu menunjuk ke sana.
"Ambil asam di rumah dan air hangat. Kamu pikirkan kudu diapain itu," ujarnya meninggalkan Afja.
Tak membuang waktu lama, Afja berlari menuju rumah Pak Temul di ujung gang. Setelah mendapat asam, Afja bingung akan di apakan semua bahan ini. Dia tiba-tiba teringat buku kuno dari perpustakaan.
Afjameha mulai meraba instruksi di sana, dia menggabungkan beberapa gejala penyakit ibunya dengan jamu yang ada.
"Bismillahirrahmanirrahim." Afja membalur perasan air asam, guna melemaskan otot kaki yang kaku.
Beras kencur, jahe dia endapkan sejenak lalu ikut di oles ke kaki Fasraha sementara airnya diminum sang ibu.
Dengan telaten, Afjameha memijat pelan di sana. Setelah lima belas menit, dia mendiamkan semua itu di kaki Fasraha lalu di bilas dengan air hangat.
"Enakan gak, Bu?" tanya Afja.
Fasraha mengangguk, dia mencoba menarik kaki kanan bagai balok kayu itu perlahan. "Eh, kok bisa gerak, gak ngilu pula," ucapnya senang, senyum pun tersungging di wajah senja Fasraha.
"Alhamdulillah, giliran aku ya, Bu. Pegal sekali," keluh Afja, saat akan meneguk jamu beras kencur sisa dari gelas ibunya.
Bada Maghrib.
Sesuai ajakan Jaheni, Afja menuju pendopo kampung, dia sekaligus ingin berterima kasih pada Pak Temul atas arahan siang tadi. Dia juga mengatakan tentang racikan yang dibuat ternyata ampuh untuk ibunya. Namun, respon beliau justru jauh untuk sangkaan Afja.
"Heleh, baru segitu. Jangan pongah!" sergah Temul, menciutkan Afja.
"Aku hanya menjelaskan saja, bukan sombong. Wajar dong kalau aku bahagia," balas Afja kali ini.
"Benar, Pak. Kami juga, baru tahu loh kalau racikan itu bisa buat obat kaku otot," ujar beberapa warga lainnya termasuk Jaheni yang langsung praktek.
"Cih, apa hebatnya dia, tampilan diri saja begitu ... bahagia itu kalau kamu bisa hilangkan jerawat, turunkan berat badan biar sedap dipandang!" cibirnya lagi.
Afja muak, selalu saja yang dinilai adalah penampilan bukan keterampilan. Kali ini, di akan melawan.
"Apa itu tantangan buatku?" tegas Afja, menatap tajam sepuh kampung jamu.
"Kau pikir?" balas Temul, tak kalah menatap sengit sang pendatang.
.
.
...______________________...
Jemari Afja mengepal, giginya ikut mengetat hingga rahang wajah bulat itu menegang. Afja memejam guna meredam gejolak emosi yang mulai membuncah. Inginnya menggebrak meja, tapi sayang, tak ada benda itu di pendopo tersebut.
"Baik, hanya itukah tantanganku?" balas Afja, salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk gurat senyum sinis.
Pak Temul memandang remeh, tak ketinggalan kekehan mengejek yang mulai akrab di telinga Afja.
"Buktikan saja! hilangkan jerawat dan turunkan bobotmu," sindir Temul, sembari duduk di depan tampah yang berisi banyak rimpang tanaman obat.
"Tentu," ucap Afja mantap, tak melepas pandang pada sepuh di depan sana.
Jaheni menarik ujung kaos Afja, memberi kode agar sang gadis tambun urung menantang sesepuh kampung jamu itu.
"Mbak Afja, jangan melawan. Beliau itu tegas dan disiplin, nanti kamu sakit hati, loh," bisik Jaheni.
"Aku pasti bisa!" tekad Afja, melirik tajam ke sisi kanannya.
"Jangan lupa juga, coba hilangkan bau badan!" sambung Temul, melirik sekilas ke arah Afja yang sedang menundukkan kepala.
Deg.
Hening. Pak Temul memang doyan menyindir tajam. Penduduk kampung jamu tak ada yang luput dari cibirannya.
"Aku bau, kah?" batin Afja, tak kuasa mengangkat kepalanya sebab malu.
Jaheni hanya menghela nafas, berharap sahabat barunya ini dapat bersabar menjalani hidup di bawah tekanan Temul.
Sesi pembelajaran pun dimulai. Temul mengenalkan khasiat jahe merah dan sereh jika dijadikan resep minuman. Keduanya mempunyai manfaat sebagai pereda segala nyeri, mulai haid, otot hingga sakit kepala. Afja sangat tertarik dengan penjelasan detail Temul dengan semua rimpang obat tersebut hingga memicu otaknya berpikir cepat.
Satu jam kemudian, semua remaja kampung jamu mulai membubarkan diri seiring selesainya pertemuan.
Pak Kunir lalu memanggil Afja, guna memintanya untuk ikut berjualan jamu menggantikan posisi Sieri yang meninggal beberapa bulan lalu. Beruntung, rute Afja lebih pendek bila dibandingkan dengan Jaheni.
"Ada rencana mau pindah tujuan, Nak Afja?" tanya pak RW.
Afja menggeleng. "Belum, Pak. Gak punya sanak saudara di Jakarta," ujarnya segan menyebutkan keluarga sang ayah.
"Ya sudah, ikut dagang saja. Upah kamu bisa buat bayar kontrakan selagi belum dapat kerjaan baru, gimana?" tawar Kunir lagi.
"Baik, Pak. Saya ke pak Temul atau siapa?" tanya Afja, antusias menyambut penawaran pak RW.
Dengan mukim di sini, dia akan mempunyai banyak kesempatan belajar untuk menaklukkan tantangan. Binar mata Afja cerah saat pak RW memberikan runutan cara mengambil bahan jamu, rute hingga menyetor uang penjualan agar mendapat upah.
Pagi buta, Afja telah bangun guna mencuci baju dan menyiapkan kebutuhan ibunya sebelum dia pergi berdagang. Kondisi Fasraha perlahan pulih, sesak nafas, maag, kram otot juga vertigo mulai jarang kambuh meski asupan nutrisi dari makanan ala kadarnya.
Fasraha terharu, Afja sangat giat dan semangat, dia seakan tak mengenali putrinya. Dulu, Afja selalu menghabiskan waktu dengan ngemil dan rebahan hingga membuat tubuhnya sebesar itu.
Pulang berjualan, Afja memanfaatkan waktu dengan membaca buku ramuan pinjamannya. Dia sibuk mencatat dan kerap meminta sisa jamu dari para rekan yang lewat di depan mushala untuk bereksperimen.
Malam hari, digunakan Afja untuk berolah raga, hal yang tak pernah dia jamah sewaktu dulu. Sit up, stretching, squad jump ringan sampai fokus pada latihan otot kaki agar kuat berjalan jauh, ditekuninya. Tungkai mulus itu tiada lagi, terdapat luka di sana sini akibat melepuh terpapar aspal jalan dan jauhnya jarak perjalanan.
Hari berlalu dan berganti pekan.
Tanpa terasa, Afja dan Fasraha telah tinggal di kampung jamu selama hampir satu bulan. Pagi ini, setelah pulang jualan dan mandi, Afja puas mematut diri di depan cermin, bobotnya telah sedikit berkurang.
"Mulai ramping, ya," kata Fasraha, tersenyum sumringah melihat perubahan putrinya.
Afja mengangguk, dia selalu mencatat perubahan diri setiap dua hari sekali. Kini fokusnya tak hanya bobot tubuh melainkan jerawat di wajah yang mulai mengganggu.
"Iya ya, Bu," balas Afja ikut tersenyum cerah melihat bajunya sedikit longgar. "Tapi aku kudu eksperimen lagi. Racikan A dan B, gak ngefek. Jerawat masih banyak," keluh Afja meraba wajahnya yang mirip bulan, bopeng dan banyak gundukan.
Fasraha terkekeh di atas pembaringan. Dia lalu meminta Afja agar berkonsultasi pada Temul untuk mendapatkan solusi.
Afjameha ragu, tapi akan mencoba memberanikan diri menemui sesepuh. Awalnya dia takut saat menyentuh bibir teras rumah beliau, tapi suara ramah Temul dari dalam membuat Afja masuk ke kediaman asri itu.
"Afja, nih!" sodornya pada gadis tambun saat akan duduk di teras.
"Apa ini?" ujar Afja menerima dan membaca selembar kertas tersebut.
Temul memperhatikan penampilan gadis didepannya. Dia tersenyum samar atas perubahan kecil Afjameha.
"Ikutlah dan buktikan padaku," ujar Temul.
Afjameha mendongak sejenak, lalu melanjutkan membaca ketentuan kontes.
"Pak, aku bisa bikin ramuan singset tanpa rasa mulas ataupun melilit. Semua herbal dan--" terang Afja tapi ucapannya di jeda oleh Temul.
"Stop. Pelajari lagi, dan bawa racikanmu itu ke kontes tadi," tutur Temul, sambil bersedekap.
"Lah, aku kan amatir. Bapak uji coba dulu dong," cicit Afja, merasa tak pantas.
"Gak perlu. Paling racikan gak mutu sebab belum sempurna. Tapi kamu ikut saja, siapa tahu beruntung. Itupun kalau kamu berani dan sanggup," kekeh Temul kembali mencibir.
Merasa kembali diremehkan, semangat Afja berkobar lagi. Dia meremas brosur itu didepan Temul lalu bangkit dari sana. Tawa Temul mengiringi kepergiannya.
Afja mendengus kesal, wajahnya masih menegang menahan emosi saat dia mendudukkan diri di teras mushala dan mulai mendaftar untuk mengikuti kontes.
"Selalu saja, diremehkan!" gerutu Afja, memejam setelah berhasil verifikasi data.
Dalam waktu dua hari, sampel jamu untuk mengikuti kontes telah selesai diracik dan sudah dikirimkan melalui kurir ojol. Sambil menunggu panggilan seleksi, Afja terus melakukan aktivitas yang sama, berjualan, bereksperimen dan berolah raga.
Dua pekan kemudian dia mendapatkan panggilan dari panitia kontes untuk masuk ke sesi berikutnya. Afja girang bukan kepalang, dia berlari ke rumah pak Temul sambil berteriak.
"Paaaaaakkkkk! aku lolos!" seru Afja berlari kecil di tempat, di depan kediaman beliau.
Pak Temul muncul dari dalam, dia hanya mengangguk dengan wajah datar lalu berlalu melewati Afja.
Gadis tambun itu lagi-lagi kesal, usaha gigihnya tak dihargai. Afja hanya bisa melongo dan memilih berbalik arah, pulang ke kamar sempit itu dan mulai bersiap untuk berangkat esok pagi.
Jaheni setia membantunya bahkan berjanji menemani Afja ke Senayan esok pagi untuk bertanding.
"Sukses ya, Afja!" ucap Jaheni memberi semangat.
"Sukses!" balas Afja, mengepalkan jemari tangan ke udara.
Hari yang ditunggu pun tiba.
Afja dan Jaheni telah siap di meja kontestan, bergabung dengan peserta lain. Dua gadis itu nampak serius meracik bahan agar komposisinya tepat meski menggunakan peralatan sederhana dan tradisional.
Mereka berdua tak menyadari bahwa pimpinan pabrik minuman kesehatan itu bakal turun langsung ke venue, melihat para kontestan.
"Shin!" panggil seorang pria, berhenti di depan meja Afja.
"Ya, Tuan?" jawab lelaki muda.
"Kenapa yang begini bisa lolos? lihat mereka, apaan ini! kuno sekali dan tidak hygiene!" sentaknya kasar, menunjuk ke arah Afja dan Jaheni.
Semua mata kini tertuju pada dua gadis di lajur meja tengah. Afja mendongakkan kepalanya, ingin melihat sosok arogan yang menghina.
"Tapi kan atas persetujuan Anda, Tuan," jawab Shin, sekretaris pribadi pimpinan.
"Aku? cih, yang benar saja," elak Samagaha, melirik tajam ke arah Afja.
Shin ingin menengahi akan tetapi suara Afja membuatnya urung menyampaikan sanggahan.
"Maaf, Tuan. Saya jamin, semua orisinil juga bersih meski alat kami masih manual dan tradisional," jawab Afja membela diri.
"Yakin sekali, amatiran seperti Anda! apa semua alatmu sudah uji kelayakan, Nona? kebersihan?" cecar Samagaha, sambil melipat tangan di depan dada.
Afja menghela nafas. "Jika Tuan khawatir racikan jamu saya terkontaminasi, silakan siapkan talent tiga orang gadis tambun untuk meminum jamu racikan saya ini. Jika apa yang mereka minum berdampak buruk maka saya bersedia menerima konsekuensinya," ujar Afja nekad, balik menatap tajam Samagaha.
Shin, hanya tersenyum melihat keberanian Afjameha. Samagaha lalu meneliti semua bahan yang terjajar di atas meja.
"Shin! catat, dan kabulkan permintaan si pongah ini," ucapnya sambil lalu.
"Baik," sahut Shin, ikut pergi dari sana.
Samagaha kemudian menginstruksikan pada Shin agar mengawasi semua pergerakan Afjameha juga mencatat perkembangan talent gadis tambun yang dia minta.
Selama kompetisi berlangsung, Afja berkali mendapat cibiran dewan juri hingga mentalnya ambruk. Dia dan Jaheni, tak lagi percaya diri.
Setelah tiga jam berlalu, kini saatnya menerima hasil pengumuman.
Afjameha harus puas tersingkir dari kategori racikan tradisional terbaik. Dia pun pulang membawa rasa kecewa, meski Jaheni menghiburnya tapi hati Afja tetap hampa. Angan dapat hidup layak kembali pun seketika musnah. Tiada pilihan selain melanjutkan aktivitas seperti biasa kembali.
Sementara keluarga sang ayah juga Ben, perlahan tak lagi jadi fokus Afja. Entah bagaimana kabar mereka.
...*...
Dua bulan berselang. SidoGeni Corp.
Samagaha sedang berada di kantornya, membaca grafik perubahan efek jamu racikan Afja saat kontes. Dahinya mengernyit heran lalu tiba-tiba.
Brak!
"Kurang ajar. Shin! lekas bawa gadis tambun itu ke sini," titah Samagaha pada sang asisten.
.
.
...______________________...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!