NovelToon NovelToon

Rainbow Girl

Chapter One - A Canvas

 

      Dear diary

...Kami berdua hanya terpaku. Menunggu dengan rasa gelisah. “Semoga kabar baik.” Kalimat itu memenuhi kepalaku sedari tadi....

...Masih jelas terlintas kilasan kecil di pelupuk mata, tirai malam perlahan terangkat, memperlihatkan langit gelap tanpa rembulan yang bersinar. ...

...Adikku tertidur pulas dipangkuan, dirinya terlelap begitu dalam, sehingga bunyi sayup televisi tidak bisa mengusik dirinya nya....

...Lintasan air menetes sesekali dari kelopak mata, membasahi kertas yang masih kupegang dengan kuat....

...Gadis kecil ini seharusnya bisa bersenang-senang tanpa harus mengetahui sesuatu yang pahit mengenai kewarasan nya. ...

...Rambut tipis panjang nya ku elus pelan-pelan, sembari memikirkan apa yang harus aku lakukan....

...Genggaman ku semakin kuat, membuat ujung-ujung kertas itu lecek dan nyaris robek. Namun aku tidak akan merobeknya, aku melipatnya dan memasukannya kedalam saku....

...Bagaimanapun dia adalah adiku, aku tidak bisa memberitahu dirinya tentang ini, tetapi aku juga tidak bisa menyembunyikan nya selamanya....

...Aku berjanji, suatu hari nanti akan aku beri tahu tapi tidak sekarang tidak saat ini. Meskipun fakta itu akan membuatnya hancur. Aku harus memberitahu dirinya!...

     

Selasa, 10 maret 2005

Serena

...****************...

...Chapter One - A Canvas...

Secercah senyuman menemani Arumi berkelana mengarungi rentetan gunung berapi yang besar, atau itulah yang dia lihat.

Gadis itu meraup banyak oksigen bersih sembari merangkul kumpulan angin yang berjalan menyapa dirinya.

Hamparan gedung yang berbaris didampingi pepohonan rindang yang menjejer terlihat seperti lukisan berjalan di matanya, gadis dengan rambut hitam agak kemerahan sepanjang pundak itu sangat gembira berdiri menatap kumpulan orang yang lewat.

"Aku udah punya barisan tema buat dilukis hari ini, hewan di ujung pelangi, pria gagah yang berdiri didepan gedung besar, dan yang pastinya arsiran burung biru terang dibelakangku."

Arumi mengibas rambut nya sebelum melangkahkan kakinya bergerak menelusuri lorong kampus Minggu Lalu atau yang biasa disebut MILA.

Gadis itu berjalan ditemani kilauan mentari yang menembus atap kaca diatas kepalanya, sepatu sport dengan paduan warna merah muda dan putih, lengkap dengan rok hijau dan baju bergambar superhero kesukaan nya.

Sederet bangku kosong menghadap Arumi dengan tatapan mata yang lumayan tajam, gadis itu berdiri di tengah-tengah ruangan kelas kosong didepan nya.

"Hey, kamu lagi ngapain disitu, badan kamu segede gaban gitu maksain masuk kelas sih hihihi.." Arumi tertawa girang sembari memegangi perutnya.

Gadis itu terlihat sangat bahagia,dia berbicara dengan tembok kosong dihadapan nya. Namun Arumi tetap gembira, senyuman manisnya tidak mau lepas dari wajahnya yang terlihat begitu imut

Arumi berjalan menghampiri kursi di bagian tengah kelas. Gadis itu duduk sembari melambaikan tangannya tinggi. Mengucapkan selamat tinggal kepada kelinci besar yang kini menjadi butiran kristal.

Arumi menggigit bibir bawahnya, nafasnya tertahan membayangkan dia akan bertemu teman-teman baru nanti. Buku catatan kecil kuning terang dia keluarkan dari balik tas mungil yang tersangkut di meja.

Dirinya begitu periang semenjak bangku SD, tetapi entah kenapa teman sekelas nya menjauhi dirinya saat hari ke 4 sekolah, karena teman nya selalu bilang kalau Arumi selali berbicara sendiri di ujung kelas. Begitu juga saat SMP dan SMK.

Arumi hanya mempunyai beberapa teman dekat yang bisa dia ajak bicara. Walaupun gadis itu selalu ada di top 5 peringkat, namun tidak seperti wanita lain dikelas yang sangat di idam-idamkan oleh lelaki. Arumi justru menjelma seperti mahkluk tak kasat mata. Tidak ada orang yang menganggap kehadiran nya.

Tidak ada orang di kelasnya yang mendekati dirinya atau bahkan meminta contekan saat masa SMK. Gadis itu hanya bisa tertunduk di meja kelas sembari berbicara dan tersenyum lebar dibalik lengan nya yang menutupi wajah.

Setiap orang mulai memasuki kelas, jemarinya semakin cepat mencatat rangkaian kata puitis didalam notebook diatas meja miliknya.

Berbagai jenis manusia pelan-pelan memenuhi kelas yang tadinya kosong dan sunyi, dengan berbagai macam gaya pakaian tentunya, Arumi sedikit gugup saat dia melihat semua orang di kelas memakai kombinasi gaya pakaian yang terlihat elegan.

Sementara dirinya hanya memakai baju putih bergambar superhero favorit nya yang baru saja dia tonton kemarin malam.

Dirinya sibuk memperhatikan orang lain sampai Arumi tidak melihat ada pria jangkung yang berjalan mendekati dirinya. BRUKK..Hentakan suara yang cukup keras membuat Arumi memalingkan wajahnya dengan cepat.

Pria itu berdiri disamping dirinya, melempar tas hitam nya yang kini tergeletak rapih di lantai kelas, kedua bola mata Arumi masih menatap pria jangkung itu lebih dari 10 detik.

"Kenapa?" ujar pria itu yang kini duduk sembari menyilangkan kaki kanan nya, pria dengan rambut shaggy cut menutupi kepalanya. "Engg-enggak papa, tadi ak-aku kaget, abisnya kamu ngelempar tas nya kenceng banget." Arumi membuka kelopak matanya lebar. Dirinya memperhatikan lelaki itu dengan tatapan tajam bak seorang polisi yang akan mengintrogasi penjahat.

Pria tadi hanya membuang pandangan nya kembali ke pintu kelas yang terbuka lebar. Tidak menghiraukan tatapan Arumi yang masih melihat dirinya. Arumi berusaha tidak acuh.

Sesosok lelaki dengan perawakan agak muda masuk kedalam kelas, kemeja putih dan kacamata yang menempel di depan kedua matanya.

Gaya berjalan sedikit bungkuk dan pundak nya yang nyaris menyentuh pipinya. Pandangan orang dikelas terpusat kedepan, orang yang tadinya terlihat malas-malasan langsung duduk tegak dan membuka mata.

Dosen itu tidak banyak bicara, dia membuka map snelhecter dihadapan nya dengan ekpresi datar, sayupan angin perlahan memasuki kelas.

Derau nya semakin kuat saat dosen yang kini mengajar berjalan membagikan lembaran kertas putih kosong yang bisa ditembus oleh cahaya matahari.

Arumi memasang wajahnya kembali, "Kita langsung gambar nih?" gumam nya dalam hati. Jurusan Seni Rupa memang suka dianggap remeh oleh kalangan orang.

Kalimat looping yang selalu terulang terucap dari mulut mereka tidaklah lain. "Kuliah kok nggambar?, Mau jadi apa nanti kalau udah lulus?" dan lain nya.

Namun Arumi tetap menyukai pilihannya. Bakat melukis yang dia miliki ditambah imajinasi nya yang cukup liar, semua jalan terbuka untuk Arumi.

Lembaran kertas sudah rata di meja semua orang, dosen itu menatap mata seluruh siswa dengan kesunyian total.

"Kalian pastinya sudah mengetahui apa itu menggambar bentuk."

"Macam-macam bentuk, kubistis, silindris dan bebas. Jadi saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi, kita akan langsung memulai praktek."

Arumi terkesiap menatap sekitar, kantuk mendatangi orang satu persatu dikelas, bulu matanya mulai melorot turun. Beberapa bahkan sudah menaruh kepala mereka diatas tangan.

"Kalian silakan membuat gambar bentuk bebas. Benda yang bentuknya tidak beraturan atau yang tidak termasuk kubistis dan silindris, seperi sayur,buah dan yang lain."

"Gunakan teknik-teknik menggambar bentuk dengan cara yang lazim dipergunakan."

Ujar dosen dengan tegas, tatapan matanya seolah menarik kembali masuk roh orang yang tertidur didalam kelas.

"Pakai aquarel apa dusel?" Arumi berbisik perlahan, lembaran kertas di meja nya masih kosong, putih bersih tanpa ceceran noda. Lengan mungil Arumi mengambil pena hitam tebal dari balik bukunya.

Tangan nya hendak menggores kertas bersih diatas mejanya sebelum pria disamping nya memegang lengan nya halus. "Seriusan udah nemu ide? Mau gambar apa, pakai teknik apa?"

"Kalau teknik nya udah, lagi mikirin bentuk nya nih." Arumi semangat, dirinya hampir melompat kegirangan di tempat duduknya.

"Alby...pstt...dosen lg ngeliatin kamu tuh." Alby memutar kepalanya cepat saat teman didepan nya memberi kode. Genggaman tangan nya terlepas.

"Pakai kreativitas kalian, jangan mencontek." Seru dosen sembari mengarahkan pandangan nya menyusup Alby yang duduk di bangku bagian tengah.

Bel tanda berakhirnya kelas berbunyi nyaring mengelema ke seluruh fakultas. Arumi masih terpaku didalam kursi milik nya. Kedua bola matanya masih menatap selembar kertas putih kosong diatas meja miliknya. Jam kuliah hari ini hanya dihabiskannya untuk menatap lembaran kertas sembari memutar-mutar pena miliknya.

"Udah gk usah sampe segitunya, masih dikasih waktu sampe minggu depan. Lagian gambar bentuk emang enggak sebentar bikin nya." Alby memasukan semua peralatan miliknya kedalam tas hitam lalu membopong nya keluar. Arumi tidak menjawab perkataan Alby, namun dirinya juga reflek memasukan semua lembaran dan pena miliknya kedalam tas.

Lautan manusia terpampang didepan wajah. Orang orang sedang berkumpul di kantin, ada juga yang membentu kelompok dan menguasai koridor fakultas. Arumi berjalan menghampiri parkiran dan beranjak pulang disaat terik matahari dan angin panas yang membasuh kulit nya.

Arumi kembali melihat kumpulan burung berwarna biru terang yang berkeliaran bebas di angkasa, seekor kucing besar yang berjalan disamping nya membuat gadis itu tersenyum tidak karuan.

Badan nya berputar seperti gasing yang baru dilepas, bola matanya tidak bisa berhenti bergerak memutari matanya. "Jalan pulang aku gk sepi hari ini, mereka semua bakalan ngawal aku!" Arumi cekikikan dan menyembunyikan senyuman manisnya dibalik lengan nya.

Pintu gerbang, Arumi hendak melangkahkan kedua kakinya keluar namun sesuatu membuat langkah nya terhenti.

Seorang pria yang tengah duduk dengan easel besar dihadapannya. Garis absrtak, coretan warna tidak karuan dan tidak menyatu sama sekali. Dirinya diam membisu menatap kanvas, coretan yang dia buat tidaklah jelas. Paduan warna hitam, kuning, cyan, dan tosca berkumpul di tengah kanvas menghasilkan perpaduan warna yang aneh.

Arumi hendak menghampiri pria yang dia pandangi sedari tadi, langkah patah nya menyeret kedua sepatu sport dengan kasar menggerus batuan yang tersusun di gerbang kampus.

Visual nya semakin jelas, kemeja polo hitam dengan kulit sawo matang, kacamata pria itu cukup tebal, jari-jemarinya terlihat bergetar menahan kuas nya didepan kanvas.

Chapter Two - Little Dream

Ruangan putih bersih tanpa furniture selain rentetan cat kaleng dan cat akrilik yang menempel di tembok, easel kayu menumpuk di sudut ruangan, dengan tumpukan kanvas lukis disamping nya.

Lampu panel persegi menempel di atap-atap, cahaya nya yang berusaha menyinari ruangan tidak terlihat oleh rembusan sinar matahari yang masuk lewat jendela.

Arumi duduk diam di bangku kayu kecil yang tidak lebih tinggi dari pinggang. Jari nya memutar-mutar kuas kecil dengan corak violet di ujung nya. Dirinya tidak berhadapan dengan kanvas lukis atau media gambar lainnya. Hamparan tembok putih kosong. Lengan nya bergerak keatas kebawah seolah dirinya sedang melukis sesuatu. Tatapan matanya hampir mereda, lesung pipi nya semakin dalam tertarik.

Pintu kaca lebar menyamping disamping menampilkan siluet seorang wanita, gesekan pintu menarik mata Arumi.

Gadis itu tengah berjalan perlahan membawa nampan plastik hijau dengan beberapa makanan diatasnya.

"Kakak habis dari mana? Tupai- tupai itu lompat ngikutin kakak lho." Arumi mengambil keseimbangan, kakinya menegak dan mencoba meregangkan badan nya yang kaku setelah duduk termenung puluhan menit.

"Kakak abis dari dapur, kamu dicariin kemana-mana enggak ketemu, taunya lagi di gudang."

"Gudang nya jadi lebih bagus kan abis aku cat." Arumi memasang senyuman, kakak perempuan satu satunya, mengurus Arumi sedari masa sekolah dasar.

Gadis dengan raut wajah biasa, tidak terlalu mencolok, Serena Davira. Dengan lembut dia menaruh nampan di meja kecil dan menarik meja itu mendekati Arumi.

"Wahh...pai apel!" Arumi mendongak semangat melihat kumpulan pai apel tertata rapih diatas nampan. Lengan mungil yang hampir tertutup manset biru cerah mengambil satu pai apel yang sedikit lonjong dengan barisan gula putih yang bertabur.

Pai renyah digerus oleh gigi putih Arumi mengeluarkan sensasi renyah sekaligus lembut. Aroma manis yang melebur sempurna dengan gula yang mulai basah.

Lapisan dalam yang lembut melonjak keluar ketika kulit pastry yang perlahan masuk kedalam mulut. Potongan apel merah segar dan krim manis lembut berserakan memenuhi pipi.

Bibir nya merah pucat kini sedikit terang ketika lengan nya kembali mengambil satu pai yang tersaji. Serena menelan ludah beberapa kali, adik satu satunya yang dia punya sangat menyukai pai apel buatan nya.

"Habis ini kamu ikut kakak, kita beli cat terus kertas gambar buat tugas seni kamu kemarin." Serena merapikan sisa makanan yang habis tanpa jejak. Arumi mengangguk kuat meskipun dia sedang mengelap pipi dan bibir nya menggunakan lap tangan kecil.

***

Decitan ban mobil yang menggores aspal terdengar cukup lantang. Arumi memandang sekitar melalui jendela mobil yang sedikit terbuka, persimpangan jalan yang dipenuhi berbagai mobil dan motor dengan berbagai jenis.

Motor kopling yang sudah tua, suara bisik kalpot mobil dan bus yang lewat tepat disamping kedua gadis itu. Serena menggerakan lengan nya membuka sabuk pengaman yang melilit Arumi, membuka pintu perlahan.

"Ikutin kakak, jangan jalan sendirian yah." Serena menuntun lengan Arumi, rambut sepanjang bahu nya menggoyang kiri-kanan tidak beraturan. Berjalan memasuki toko melewati barisan keranjang belanja yang ditumpuk. Lampu gantung yang memberikan sinar kuning kemerahan, dinding berlapis rentetan papan kayu memajang kumpulan foto pelukis terdahulu dengan rangkaian kata puitis yang memotivasi.

Salvador, Oscar-Claude Monet, Pablo Picasso, Michelangelo, dan jangan lupakan Leonardo da Vinci, foto mereka semua berbaris rapih di pajang dengan ukuran bingkai besar.

"Kamu ada ide apa buat tugas gambar Bentuk?" Serena memalingkan wajahnya sejenak dengan tangan nya yang masih menggandeng Arumi.

"Potongan bentuk, kayak bola, persegi, kerucut, tabung. Aku mau buat jadi tiga dimensi, tanpa warna." Arumi mengamati rak tinggi disekeliling dirinya. "Terus kamu minta cat buat apa?"

"Abis dinilai, aku mau warnain terus tempel di kamar, burung biru itu pasti suka." Ujar Arumi antusias. Serena sesaat mengerutkan dahinya. Menarik bibir nya kedalam.

Waktu berjalan dengan cepat.

Kantung belanja di tangan Serena sudah penuh oleh tumpukan kertas dan beberapa kotak cat dengan warna berbeda.

Serena hendak berdiri dibelakang orang orang yang ingin membayar, sebelum dirinya menyadari kalau Arumi tidak berada di belakang dirinya.

"Arumi..Arumi, kamu dimana?" teriak Serena pelan, bola matanya bergerak-gerak tak karuan, kepalanya menoleh sekitar hingga kacamata miliknya nyaris jatuh menghantam lantai.

Lengan nya mulai bergetar, tetesan keringat perlahan keluar dari kening dan lengan nya yang ditutupi jaket tebal. "Arumi kamu dimana, jangan becanda ya." Sautan Serena tidak menghasilkan apapun selain orang-orang yang kini memandanginya dengan tatapan tipis.

Langkah kakinya semakin kencang, menyingkap rak demi rak, ruangan demi ruangan, toilet, kembali lagi ke kasir, mengintip kedalam mobil, nihil.

Serena mengusap tetesan keringat yang membasahi wajahnya samar, terakhir kali dirinya terpisah dari Arumi saat mereka sedang berjalan sore di desa.

Serena butuh puluhan menit berkelana mengitari desa dan menemukan Arumi sedang mencoba melompat masuk kedalam sungai.

"Arumi kamu dimana, jangan ngumpet deh, kakak enggak lagi bercanda lho ini." Serena tidak berhenti memanggil Arumi.

Beberapa menit berlalu, dirinya masih berjalan mengelilingi setiap penjuru toko seni yang cukup luas. Serena menggigir bibir nya pasrah, dirinya kembali terpisah.

Pandangan mata yang tadinya berkeliaran perlahan diam, langkah kakinya berdecit dengan lantai keramik. Wajahnya memandang sudut ruangan, seorang gadis tengah duduk memegangi lutut, dengan mata yang berkedip memandang atap. Itu Arumi!

Serena berjalan cepat menghampiri. Terselip rasa lega di hati, kini dia bisa menghembuskan nafas dengan tenang. Arumi melambaikan lengan dengan senyum manisnya melihat Serena yang menghampiri.

"Arumi kamu ngapain disini? Kan tadi kakak bilang jangan pergi sendirian. Kakak cariin kamu kemana-mana, ke mobil, kasir, semua!" Serena mengentikan kalimatnya ketika Arumi mulai menundukan kepalanya, memalingkan pandangan.

Serena cepat langsung merangkul Arumi dengan pelukan hangat, lengan nya mengelus pipi Arumi yang sedikit merah. "Maaf..maafin kakak." Jelas Serena.

"Kenapa kamu bisa kesini?" Arumi menoleh atap-atap toko, jari nya menunjuk sesuatu, namun tidak ada apa apa disana. "Tadi aku diajak sama wanita cantik, gaun nya indah banget, mahkota nya besar." Arumi antusias menjelaskan, matanya bersinar dengan lesung pipi yang kembali terlihat.

"Dia nyuruh aku tungguin disini sampai dia dateng lagi." Serena mengusap matanya, dia tersenyum menghadap Arumi, kedua lengan nya mengajak Arumi berdiri dari lantai yang dingin.

"Kita ke kasir terus pulang ya, putri tadi pasti nyusul kamu nanti, yah."

Arumi mengangguk pelan, menangkap genggaman Serena dan berjalan perlahan menuju pintu toko.

Chapter Three - Abstrack

"Gila lukisan kamu keren banget!"

Teriakan lantang seorang gadis melihat selembar kertas hvs yang ditempel di papan jalar kaca transparan. Mata gadis itu terang kayak diisi puluhan bintang segilima.

Kedua tangan nya memutar-mutar papan jalar dengan cepat, kepalanya naik turun terlihat seperti anak kecil yang meloncat.

Arumi memandangi gadis didepan nya, kedua lengan nya menopang pipi sedikit gembul yang sedikit tertarik kebelakang. Gigi mungil putih nya yang terlihat seperti gigi kelinci di bagian depan nya melahap sederet mie panjang.

Kelas hari ini sudah selesai, tugas gambar bentuk memang dikumpulkan hari ini, Arumi sangat ingat dosen tadi sedikit mengomel saat awal jam pelajaran. Beberapa orang di kelas tidak mengerjakan tugas mereka.

Kelupaan, tidak sempat dan berbagai alasan lain membangung dinding pertahanan yang kokoh. Tapi sayangnya dinding itu roboh dengan satu kalimat dari dosen pagi tadi. "Keluar!"

Arumi sedikit tidak yakin dengan gambar yang dia buat, apalagi jika melihat tugas milik Alby. Pria itu menggambar bentuk guci antik, arsiran pensil nya terpadu dangat rapih. Bagian yang diarsir tebal dan tipis terlihat saling melengkapi. Dengan gambar Alby begitu sempurna membuat rasa percaya diri Arumi hilang dicerna lambung.

Namun semua sekarang berbeda, penilaian dosen tadi membuat Arumi keluar kelas dengan senyuman lebar di wajah nya. Meskipun gambar nya tidak dapat mengalahkan Alby, namun dosen tadi cukup memuji karya miliknya, ditambah Arumi disandingkan dengan beberapa orang yang tidak mengerjakan tugas mereka. Perasaan bangga itu masih mengikuti Arumi sampai di kantin, bersama teman yang baru dikenal nya tadi pagi, Flora.

"HAHH??...SEMALEMAN DOANG BUATNYA?" Flora berteriak kencang hingga suara nyaring nya berkeliaran di area kantin. "Flora, jangan kenceng kenceng diliatin yang lain tuh." Arumi segera mengoreksi, Flora langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan nya.

Matanya menyipit perlahan, gadis itu terlalu bersemangat melihat gambar Arumi. "Maaf hihi..abisnya gambar kamu cakep banget Arumi! Bikin behind the scene dong, nanti kamu slowmotion gitu." Flora antusias berbicara, membuat Arumi semakin senang berlama-lama di kantin. Ditambah Flora yang memang punya banyak waktu luang.

Pukul jarum jam menunjukan empatbelas lewat empatpuluh lima. Arumi sedikit mengerutkan kening nya sedikit saat menatap jam tangan digital yang dia pegang.

Flora yang masih menyantap nasi uduk dengan tempe bacem hitam yang disiram kecap memperhatikan Arumi sembari mengunyah butiran nasi.

"Kamu mau ada acara lain Arumi?" tanya Flora.

"Iyah, aku harus pulang nih. Kakak aku bisa ngomel panjang kalau aku pulang lewat jam tiga sore." Arumi memasukan potongan daging ayam dengan sederet mie kuning kedalam mulutnya.

Diikuti dengan lengan nya yang membawa papan jalar dan membuka alarm ponsel miliknya. Flora masih santai memperhatikan Arumi, gadis dengan rambut long mullet atau yang biasa disebut poni samping.

"Aku pulang duluan Flora, besok kita ketemu lagi yah. Dadah." Arumi meninggalkan kantin sekaligus meninggalkan senyuman nya disana, lengan nya melambai tinggi dengan Flora yang ikut melayangkan lengan nya.

Arumi dengan cepat berjalan menuju parkiran, suasana kampus MILA tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang masih duduk dan tiduran santai dibawah rindang pohon besar yang tersebar diseluruh penjuru kampus.

Tapak jalan dari susunan batu dengan beragam bentuk membuat alur jalanan dengan gelombang samar lurus kedepan, ada beberapa bangku bulat empuk dengan atap mini di atasnya untuk melindungi dari sergapan matahari. Bermain game online, membaca buku, scroll instagram, atau ghibah bersama sirkel mereka masing masing.

Arumi mengeluar rentetan kunci gantung dari balik saku celana, kemeja biru pucat nya sedikit lecek akibat terlalu aktif saat membersihkan ruang kelas.

Arumi hendak memasukan kunci mobilnya disaat kedua bola matanya kembali melihat sesosok pria yang tengah duduk diam di ujung tembok taman kampus. Dirinya terpaku kembali di bangku kecil dengan kanvas besar didepan nya.

Pria itu menyenderkan kanvas nya di tembok belakang gedung kantin yang memang jarang dilalui oleh mahasiswa lain, hanya mereka yang mau mengambil motor atau mobil yang bisa melihat bagian belakang itu.

Arumi mempertajam pandangan nya, berbeda dari kemarin, kali ini kanvas pria itu dipenuhi coretan alfabet random. Letak nya tidak beraturan. Huruf A, F, K, Z dan X ditulis berulang kali dengan posisi yang jauh satu sama lain. Campuran dua warna yaitu hitam dan abu-abu memenuhi seisi kanvas.

Arumi hendak menghampiri pria itu namun jam digital nya kembali mengeluarkan bunyi. PUKUL TIGA LEWAT! Arumi memupuskan niatnya untuk kedua kali.

Gadis itu langsung bersender di kursi mobil dan memacu mobilnya keluar dengan kakinya yang menepel pada pedal gas.

***

Arumi menghentikan mobil nya didepan rumah tidak bertingkat namun memiliki daerah teras yang cukup luas. Arumi memutar kemudi ke arah kiri perlahan sembari menekan pelan pedal gas diisi oleh rem yang sesaat.

KREKK...Rem tangan berbunyi. Arumi keluar dari mobil nya dan melihat Serena sudah menunggu dirinya duduk di bangku teras. Bangku yang terbuat dari kayu dengan cat merah terang. Disamping nya sudah tersedia secangkir teh yang sudah dingin.

Arumi berjalan perlahan mendekati Serena yang kini menatap dirinya dengan pandangan aneh. "Maaf kak, tadi ada tugas tambahan jadinya pulang telat." Ujar Arumi sayup.

Serena menggandeng adiknya masuk ke ruang tamu, menarik sofa putih dan mengisi gelas kosong dengan air bening hingga penuh. "Kalau bisa jangan sampai lewat jam tiga. Kakak udah bilang berkali-kali kan. Kamu harus minum obat."

Serena menawarkan segelas air dengan tiga butir pil obat berwarna orange dengan corak biru kecil. Kemudian mengambil posisi duduk didepan Arumi dan menatap nya dengan tajam.

Arumi memasukan ketiga pil tadi kedalam mulut nya, disusul oleh dorongan air dari gelas membuat ketika pil itu terperosok masuk kedalam tenggorokan. Arumi menghela nafas.

"Sekarang kamu masuk kamar ya, istirahat besok kamu masih ada kuliah kan."

Arumi mengangguk, dirinya berdirinya dan balik kanan membelakangi Serena yang terlihat mengusap batang hidung nya yang kemudian mengeluarkan helaan nafas berat yang keluar dari dada.

Arumi menutup pintu kamarnya, ruangan yang tidak terlalu luas dihiasi oleh satu kasur tidur tanpa motif dan rak dengan barisan buku yang di tempel di tembok. Laptop kecil yang terbuka memperlihatkan foto dirinya yang masih kecil bersama Serena.

Arumi memandangi keluar jendela. Jalanan kecil dan rentetan rumah berbaris rapih dengan aneka warna. Komplek perumahan yang tidak terlalu ramai.

Arumi mulai tersenyum kecil, kelima jarinya menempel erat di jendela, nafasnya meninggalkan bercak berair buram di area jendela.

Kedua matanya kembali bersinar antusias. "Ayo sini masuk, kamu pasti kesesat lagi kan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!