NovelToon NovelToon

Rahim Titipan

Aaric Widjaja

Aaric Widjaja

Seorang pemuda berusia 30 tahun yang menjadi pewaris tunggal Grup Widjaja, sebuah Grup yang menaungi banyak anak perusahaan penting di negeri ini. Awalnya ini hanya sebuah perusahaan kecil yang didirikan oleh Sastro Widjaja, kakek Aaric yang kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya Akmaal Widjaja, ayahanda Aaric inilah yang membuat perusahaan berkembang pesat dan maju hingga akhirnya bisa menjadi salah satu perusahaan besar seperti sekarang ini.

Namun sayang, Akmal Widjaja tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya lebih lama, dia meninggal di usianya yang yang masih muda akibat kanker yang hampir 10 tahun di deritanya, seakan tahu jika waktunya tidak akan lama lagi, jauh-jauh hari sebelumnya Akmaal Widjaja menggodok putra tunggalnya Aaric sebagai pewaris satu-satunya yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas untuk belajar memimpin perusahaan, Akmaal mendidik Aaric dengan sangat keras, disaat anak muda seusianya menikmani masa remaja dengan penuh kegembiraan, lain halnya dengan Aaric yang harus bergelut dengan banyaknya pelajaran seputar perusahaan dan pekerjaannya kelak. Aaric belajar dengan giat, tidak pernah berkeluh kesah dan menyerah, hingga tak butuh waktu lama, selulus Sekolah Menengah Atas Aaric sudah mulai bekerja di perusahaan di posisi yang cukup penting sambil terus melanjutkan kuliahnya, semua itu membuat Akmaal merasa senang dan tenang jika waktunya tiba dia harus meninggalkan dunia ini.

Hingga tiba saatnya Akmaal pergi untuk selama-lamanya disaat Aaric baru berusia 25 tahun, otomatis dia menjadi pemimpin perusahaan selanjutnya di usianya yang masih muda.

Aaric menjadi CEO termuda pada saat itu, namun tak ada satupun yang meragukan kepemimpinannya, semua mengakui jika Almarhum ayahnya telah berhasil mendidiknya menjadi seorang pengusaha yang terampil dan bertanggung jawab hingga baru lima tahun kepemimpinannya saja perusahan semakin bertambah maju dan sukses, semua itu berkat tangan dingin seorang Aaric yang lihai menjalankan bisnisnya.

Seperti sebuah hukum alam yang tidak bisa dibantahkan dimana seorang CEO muda dan kaya raya pasti dianugerahi banyak kesempurnaan, begitu juga dengan Aaric yang juga begitu sempurna dengan semua yang ada pada dirinya. Wajahnya yang tampan dan menawan didukung oleh fostur tubuh yang ideal, garis wajahnya yang tegas juga dengan sorot matanya yang tajam ditambah dengan sikapnya yang dingin justru menjadi daya tarik tersendiri baginya. Aaric adalah contoh lelaki yang pasti akan sangat diidam-idamkan oleh banyak kaum hawa terlepas dia adalah seorang CEO muda kaya raya yang memiliki segalanya.

Namun semua itu tak membuatnya dengan gampang bergonta-ganti pasangan, bahkan hampir tidak pernah sama sekali Aaric memperkenalkan seorang wanitapun kepada ibu dan neneknya di usianya yang sudah kepala tiga, itu karena Aaric yang belum terpikir untuk mencari pasangan hidupnya, dia masih betah menyendiri dan fokus pada pekerjaannya, sudah pasti semua itu membuat ibu dan neneknya ketar-ketir.

"Nak. Sampai kapan kami harus menunggu kamu membawa seorang perempuan kesini, mengenalkannya pada kami dan mengatakan kalau dia adalah wanita pilihanmu, calon istrimu." Winda melihat wajah putranya ketika mereka sedang sarapan bersama.

"Ibumu benar, kami sudah tidak sabar lagi untuk menimang cucu darimu." tambah sang Nenek, Titik.

"Kalian mulai lagi." Aaric menyimpan sendoknya, menghentikan aktivitas sarapan paginya.

"Aku belum ingin menikah, aku sudah katakan itu pada kalian berkali-kali." Aaric menatap wajah ibu dan neneknya bergantian.

"Pekerjaanku masih menjadi prioritasku, tidak ingin memikirkan hal yang lainnya," ucap Aaric dingin.

"Sampai kapan?kalau itu alasanmu maka kamu tidak akan menikah sampai kapanpun karena pekerjaanmu tidak akan ada habisnya," jawab Titik dengan cepat.

"Nanti saatnya akan tiba aku menikah nek, tapi bukan sekarang-sekarang karena aku masih sangat sibuk dan belum ingin memikirkan masalah wanita."

Raut wajah sang Nenek dan ibunya langsung berubah sedih.

"Pikirkan umurmu sekarang nak, kamu sudah 30 tahun, sudah waktunya kamu memikirkan pewaris keluarga kita."

"Apa yang dikatakan ibumu benar, kalau kamu tidak menikah siapa yang akan melanjutkan keturunan keluarga ini? melanjutkan perusahaan dan dengan susah payah dibangun oleh almarhum kakek dan ayahmu," timpal Titik sedikit kesal.

"Nek. Ibu. Kita sudah sering membahas ini, bahkan setiap hari di setiap pagi disaat kita sarapan kalian pasti membahas tentang ini, aku sampai bosan menjawabnya," jawab Aaric sambil dengan nadanya yang juga sedikit kesal.

"Bukan begitu maksud kami nak, kami hanya sudah sangat kesepian dirumah besar ini, kami ingin agar rumah ini ramai oleh suara tangisan anak-anakmu." Titik memegang tangan cucunya.

"Nenekmu benar, rumah ini terasa sangat sepi sekali, seandainya ada suara anak-anak yang menangis dan tertawa juga berlarian betapa itu akan membuat kami sangat bahagia," ucap Winda dengan mata yang berkaca-kaca.

Aaric berdiri, dia menghampiri ibu dan neneknya lebih dekat.

"Aku mengerti Bu, tapi aku harap kalian juga mengerti dengan pekerjaanku, untuk sementara ini aku tidak ingin perhatianku terbagi dengan masalah wanita karena aku takut berdampak pada perusahaan, kalian tahu betapa almarhum papa begitu ingin aku menjalankan perusahaan dengan baik karena ada ratusan ribu karyawan yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan kita."

"Tapi nak--"

"Aku harap kalian mengerti. Aku pamit pergi kerja." lanjut Aaric sambil mencium kening ibu dan neneknya bergantian lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Sang ibu dan neneknya hanya bisa terdiam melihat kepergian Aaric.

"Amanat ayahnya ternyata begitu membebaninya, dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk perusahaan sampai-sampai dia lupa jika dia punya kehidupan pribadi yang harus dia pikirkan juga," ucap Winda dengan sedih.

"Kamu benar, dia mendedikasikan dirinya dan hidupnya sepenuhnya hanya untuk perusahaan," timpal Titik juga tak kalah sedih dengan suaranya yang pelan.

"Ibu, kita hanya bisa berdoa semoga secepatnya dia menemukan wanita yang membuatnya mengubah pendiriannya, seorang wanita yang membuatnya jatuh cinta." Winda memegang tangan ibu mertuanya.

"Amin. Semoga saja jodohnya cepat datang, karena kamu tahu betapa ibu belum ingin pergi tanpa melihat lahirnya seorang penerus keluarga Widjaja."

Winda mendekati Titik.

"Ibu akan melihat penerus keluarga Widjaja lahir, aku pastikan bahwa ibu akan melihat cicit ibu," ucap Winda menahan tangis sambil memeluk ibu mertua yang selama ini sudah dianggap seperti ibu kandungnya sendiri.

***

"Jeng Winda, akhirnya setelah 5 tahun menunggu, aku akan menjadi seorang nenek." ucap seorang salah sahabat Winda di sebuah arisan ibu-ibu sosialita.

"Benarkah? Selamat ya Jeng." Winda memeluk sahabatnya dengan gembira.

"Kok bisa? bukannya katanya menantumu itu di vonis dokter susah untuk hamil," tanya Winda dengan heran.

"Anakku dan istrinya menjalani program inseminasi."

"Inseminasi?"

"Iya, rupanya menantuku ada kelainan pada rahimnya akhirnya dokter memutuskan untuk mencoba melakukan inseminasi sebelum program bayi tabung dilakukan dan rupanya percobaan inseminasi berhasil, menantuku akhirnya mengandung penerus keluarga kami."

Winda tampak tertegun sejenak mendengar penjelasan sahabatnya.

"Bukankah seminasi itu adalah seseorang bisa hamil tanpa harus berhubungan intim?" tanya Winda dengan penasaran.

"Iya. Sel ****** si laki-laki dimasukkan langsung ke indung telur wanita dengan sebuah alat."

Winda mulai tampak antusias.

"Sepertinya aku harus mencoba hal ini." Gumam Winda dengan senang.

"Mencoba apa?"

"Terima kasih ya jeng, kamu sudah memberikan aku ide yang luar biasa," Winda kembali memeluk sahabatnya dengan gembira

Nenek.

Beberapa Minggu Kemudian

Aaric berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan tergesa-gesa, dari wajahnya tampak jelas bahwa dia tengah sangat cemas dan panik. Dia semakin mempercepat langkahnya karena wajah sang nenek terus terbayang di wajahnya, di belakangnya nampak beberapa orang yang mengikuti, dua orang asisten dan orang-orang kepercayaannya.

Aaric telah sampai di sebuah ruangan VVIP, dengan cepat dia membuka pintu dan menerobos masuk ke dalamnya.

Kedatangannya disambut oleh pelukan sang Ibu dengan wajahnya yang sembab menandakan dia telah banyak menangis.

"Bagaimana keadaan nenek?" tanya Aaric di pelukan ibunya, matanya menatap sang nenek yang berbaring lemas di atas ranjang pasien.

"Penyakit jantungnya kambuh lagi, tapi dokter sudah menanganinya dengan baik, keadaannya sudah stabil," jawab Winda menahan tangisnya.

Aaric melepaskan pelukan ibunya, dia menatap wajah sang ibu yang tampak sangat bersedih.

"Nenek akan baik-baik saja, ibu tenang saja, aku sudah memanggil dokter terbaik untuk mengobati nenek," ucap Aaric menenangkan sang ibu.

Winda mengangguk pelan.

Aaric mendekati ranjang neneknya perlahan, menatap sayu wajah sang nenek yang seperti tengah tertidur pulas dengan alat bantu pernapasan yang menutupi mulut dan hidungnya, dia lalu melihat tangan renta sang nenek yang telah keriput termakan usia, selain dipasangi infusan, tangan itu juga dipasangi berbagai macam alat medis untuk terus memantau keadaannya.

Aaric perlahan memegang tangan sang nenek.

"Nek. Bertahanlah, aku tahu nenek pasti kuat," ucap Aaric dengan menahan tangisnya.

Ini untuk kesekian kalinya dia melihat sang nenek terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit karena penyakit jantung yang diidapnya, walaupun terlihat tegar namun sebenarnya perasaannya tidaklah sekuat itu, hatinya hancur melihat tubuh renta sang nenek kembali terkapar lemah tak berdaya.

Dibalik sikapnya yang dingin tak banyak bicara, Aaric sebenarnya sangat menyayangi neneknya, karena hanya nenek dan ibunyalah kini satu-satunya keluarga yang dimilikinya, hanya saja dia memang tak pandai mengeppresikan perasaannya dan terkadang Aaric menyesali semua itu.

Winda menghampiri putranya, mereka berdua lalu menatap wajah sang nenek dengan nanar.

Tiba-tiba Winda teringat sesuatu.

"Nak, kemarilah, ada yang ingin ibu bicarakan." Winda memegang tangan putranya, menarik agar mengikutinya menuju sofa yang tidak jauh dari sana.

Aaric mengikuti ibunya, dia duduk di samping ibunya.

"Nak, kamu tahu kan keinginan terbesar nenek?"

Aaric menarik napas panjang.

"Aku tahu Bu. Nenek ingin aku menikah dan memberikannya seorang cicit sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya," ucap Aaric dengan penuh sesal.

Winda menganggukan kepalanya pelan dengan mata yang melihat putranya dengan serius.

"Lalu bisakah kamu mengabulkan keinginannya itu?"

Aaric menatap wajah ibunya.

"Maksud ibu?"

"Memberikan nenekmu seorang cicit," jawab Winda cepat.

"Sekarang?"

"Iya, dalam waktu dekat ini, karena kita tidak tahu sampai kapan nenekmu bisa bertahan mengingat usianya yang sudah sangat renta ditambah dengan penyakit jantungnya yang sudah semakin parah, dokter bilang suatu keajaiban jika nenekmu bisa bertahan setahun lagi."

"Apa?" Aaric tampak kaget.

Winda mengangguk.

"Itu benar, karena itu kamu harus segera mengabulkan keinginan terakhirnya, membiarkan nenek pergi dengan tenang."

Aaric tersenyum.

"Jangan katakan ibu ingin aku menikah dalam waktu dekat ini?" tanya Aaric.

Winda mengangguk.

"Sudah kukatakan beberapa kali kalau aku belum berpikir untuk menikah, apalagi dalam waktu dekat ini, aku bahkan tidak sedang dekat dengan seorang wanita pun, bagaimana bisa tiba-tiba aku menikah dan memberikan nenek seorang cicit?"

"Kalau begitu ibu punya satu cara agar kamu bisa memberikan nenek cucu buyut secepatnya tanpa kamu harus menikah."

Aaric mengerutkan keningnya.

"Apa maksud ibu?"

"Dengar, nenek hanya ingin melihat anakmu lahir, anak yang akan menjadi penerus keluarga Widjaja, anak yang akan menjadi pewaris perusahaan setelahmu nanti."

Aaric tampak masih tidak mengerti.

"Jadi ibu punya ide bagaimana kalau kamu menitipkan benihmu saja pada seorang wanita, dengan begitu kamu akan mempunyai anak tanpa harus menikah dalam waktu dekat ini, maka dengan begitu keinginan terakhir nenekmu akan terlaksana."

Aaric langsung menggelengkan kepalanya.

"Begini, apa kamu tahu jika melalui program inseminasi buatan seorang wanita bisa hamil tanpa harus---" Winda tampak gelagapan untuk menjelaskannya.

"Aku tahu apa itu inseminasi buatan ibu," ucap Aaric tiba-tiba.

Winda tampak senang.

"Nah, syukurlah kalau kamu tahu, dengan begitu kamu akan----"

"Aku tidak mau." Aaric memotong perkataan ibunya.

"Apa?" Winda tampak kaget.

"Seperti yang ibu dengar, aku tidak mau."Aaric beranjak dari duduknya.

"Tapi nak--" Winda ikut berdiri, memegang tangan putranya.

"Hanya ini satu-satunya cara agar kita bisa membahagiakan nenek untuk terakhir kalinya." Winda menatap Aaric dengan tatapan memelas.

Aaric terdiam, menatap mata sang ibu dengan lekat.

"Tapi bukan seperti ini caranya bu."

"Apa kamu punya cara lain? kalau begitu beritahu ibu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Winda.

Aaric terdiam menundukkan kepalanya.

"Bagaimana kalau perkiraan dokter benar, nenekmu hanya bisa bertahan setahun lagi, tidakkah sebelum kepergiannya kita harus mengabulkan permintaannya?" Winda terisak.

Aaric mendekati ibunya.

"Ibu. Kumohon jangan menangis." Aaric memeluk ibunya.

"Ibu tahu ide ibu tadi terdengar konyol, tapi ibu melakukannya karena semata-mata ibu ingin membahagiakan nenekmu untuk terakhir kalinya."

"Aku mengerti bagaimana perasaan ibu, tapi seperti yang ibu katakan, ide ibu tadi tidak masuk akal, bagaimana kita bisa membuat seorang bayi lahir tanpa adanya sebuah pernikahan, ditambah kelak bayi itu akan menjadi penerus keluarga kita, pikirkan apa yang akan orang-orang katakan."

"Jangan pikirkan apa yang akan dikatakan orang-orang, pikirkan saja nenekmu, karena hanya nenekmu yang sekarang paling penting nak." Winda semakin terisak dalam tangisnya.

"Ibu, kumohon jangan menangis," ucap Aaric pelan.

"Ibu hanya putus asa nak, ibu takut nenekmu pergi tanpa kita mengabulkan keinginannya."

Aaric terdiam, dia melirik neneknya yang masih terbaring lemah.

"Jika nenekmu pergi tanpa keinginannya terpenuhi, ibu akan sangat merasa bersalah seumur hidup ibu." Winda masih terus menangis terisak.

Sebuah Janji..

Tiga Hari Berlalu.

Keadaan nenek masih tampak lemah berbaring diatas ranjang, walaupun keadaan jantungnya sudah stabil, namun tubuh renta sang nenek membuatnya harus lebih lama dirawat di rumah sakit untuk pemulihan.

Aaric ditengah kesibukannya masih terus menyempatkan waktu untuk setiap hari menjenguk sang nenek di Rumah Sakit, seperti kali ini, Aaric kembali menjenguk neneknya di jam istirahat makan siang bergantian dengan ibunya yang harus pulang dulu ke rumahnya.

Aaric yang baru memasuki ruangan langsung menghampiri tempat tidur nenek untuk menyapanya, tapi ternyata sang nenek tengah tidur, tampak sangat nyenyak, membuat Aaric tidak tega untuk membangunkannya, dia hanya menatap wajah nenek kesayangannya.

Nenek yang tampak tertidur semakin lelap tiba tiba tersenyum, Aaric yang awalnya kaget baru menyadari jika neneknya sedang mengigau.

Aaric tersenyum melihat neneknya mengigau, selain itu dia juga dibuat penasaran apa yang sedang neneknya mimpikan hingga membuat neneknya tampak bahagia dan tersenyum dalam tidurnya.

Tak lama kemudian nenek tiba-tiba terbangun, dia membuka matanya perlahan dan tampak terkejut ketika melihat wajah cucunya tengah duduk di sampingnya.

"Nek." Aaric memegang tangan neneknya.

"Nak, kamu sudah lama disini? kenapa tidak membangunkan nenek?" tanya nenek.

Aaric menggelengkan kepalanya.

"Tidak nek. Baru saja aku sampai. Tidak mungkin aku membangunkan nenek, karena baru kali ini aku lihat nenek tidur dengan nyenyak."

Nenek tersenyum, dia lalu beringsut dari tidurnya, tampak ingin bangun untuk duduk sambil bersandar, dengan cekatan Aaric membantunya.

"Nenek tidur nyenyak sekali, bahkan nenek mengigau. Nenek tertidur sambil terus menerus tersenyum."

Nenek tampak kaget, namun kemudian dia tersenyum.

"Itu karena nenek bermimpi indah."

"Oh ya, mimpi apa?"

"Nenek bermimpi kamu sudah menikah dan mempunyai anak dan nenek sedang bermain-main dengan anakmu, nenek senang sekali." Nenek tampak sangat bahagia menceritakan mimpinya.

Aaric tersenyum getir, cerita neneknya seolah menjadi sebuah sindiran baginya.

"Sayangnya itu hanya mimpi nak." Tiba wajah nenek tiba-tiba berubah menjadi sedih.

"Sepertinya nenek akan pergi tanpa melihat anakmu dulu."

Aaric terkejut mendengar perkataan Nenek.

"Nek. Apa yang nenek katakan?" tanya Aaric sambil mendekatkan dirinya lebih dekat pada nenek.

"Aku pasti akan segera mewujudkan mimpi nenek," ucap Aaric lagi.

"Benarkah?" tanya nenek tidak percaya.

Aaric mengangguk.

"Iya nek, secepatnya."

Nenek tersenyum bahagia.

"Nenek senang sekali mendengarnya. Kamu tidak bohong kan?"

Aaric menggelengkan kepalanya cepat.

"Tidak nek, Aaric berjanji akan segera memberikan cicit untuk nenek."

"Jadi mimpi nenek akan menjadi kenyataan?" tanya nenek dengan tak percaya sambil menarik cucunya itu ke dalam pelukannya.

Aaric mengangguk pelan. Membuat nenek memeluknya semakin erat.

Aaric tampak terdiam di pelukan sang nenek, mencerna kembali semua perkataan yang diucapkannya pada nenek.

"Ya Tuhan, apa yang telah kukatakan!?" Gumam Aaric dalam hati dengan penuh sesal.

***

"Jadi apa rencanamu sekarang?" tanya Ryan sambil tersenyum seolah mengejek Aaric yang tengah kebingungan.

"Aku tidak tahu." Aaric memijat kepalanya.

Ryan tersenyum kecil.

"Apa yang membuatmu pusing, kamu tinggal menikah, program bayi secepatnya dengan begitu keinginan nenek dan ibumu akan terpenuhi."

"Tidak semudah itu." Aaric tampak kesal mendengar perkataan sahabatnya itu.

"Apanya yang tidak mudah? kamu tinggal pilih wanita mana yang kamu sukai, ada Amanda model cantik dan seksi juga terkenal yang jelas-jelas selalu mengejarmu, ada juga Delia, Meta, Sharena, mereka akan dengan senang hati menikah denganmu, atau kalau tidak ada satupun dari mereka yang kamu sukai, aku banyak kenalan wanita cantik, kamu tinggal pilih, mau dari kalangan apa? artis, penyanyi, pengusaha, atau apa saja kamu tinggal bilang padaku," kata Ryan panjang lebar.

Aaric menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada satupun wanita yang kamu sebutkan tadi yang membuatku tertarik, aku juga yakin dengan wanita-wanita kenalanmu yang lainnya."

Ryan mendengus.

"Aku tahu, pasti ini semua karena Tari."

Aaric melihat Ryan dengan marah.

"Sudah kubilang jangan sebut namanya lagi di depanku."

"Oke. Maaf."

Aaric beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Ryan menuju toilet di ruang kerjanya, ucapan Ryan tadi yang menyebutkan nama Tari telah membuat moodnya semakin memburuk. Dia kesal karena Ryan masih saja menyebutkan nama Tari di depannya padahal sahabatnya itu tahu persis bahwa dia sangat tidak menyukainya.

Aaric berdiri di depan wastafel, melihat pantulan wajahnya sendiri yang tampak kusut dan kesal, dia mengendurkan dasi dan melipat lengan bajunya, lalu mencuci muka berharap akan sedikit menghilangkan rasa kekalutan di hatinya.

Aaric mengeringkan wajahnya dengan handuk yang berada tidak jauh disana, kembali dia melihat wajahnya yang kini terlihat sedikit segar.

Beberapa hari ini Aaric dibuat bingung akibat dari ucapannya sendiri pada sang nenek yang mengatakan kalau dirinya akan segera menikah dan memberikannya seorang cicit, akibat dari ucapannya itulah juga kini setiap hari dia diteror pertanyaan oleh ibu dan neneknya yang bertanya kapan akan membawa calon istrinya untuk dikenalkan, rupanya mereka berpikiran jikalau dirinya telah mempunyai seorang calon istri dan siap untuk menikah.

Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu, bahkan sampai saat ini dia tidak sedang dekat dengan seorangpun wanita, jadi bagaimana dia akan menikah sedangkan untuk calon istri saja dia belum menemukannya.

Aaric berpikir mungkinkah dia harus mengikuti saran sahabatnya Ryan bahwa dia hanya tinggal memilih satu dari beberapa wanita yang selama ini mengantri untuk mendapatkan cintanya, itu memang salah satu cara termudah, siapa saja wanita yang dipilihnya nanti pasti akan dengan senang hati bersedia ketika diajaknya untuk menikah, namun entah mengapa, Aaric tidak mau melakukannya karena sama sekali dia tidak tertarik pada salah satupun dari mereka, sedangkan untuk menikah, Aaric ingin dia menikahi wanita yang disukainya.

Mungkinkah ini karena Tari?

Aaric kembali mencuci wajahnya ketika dia tidak sengaja menyebut nama Tari dalam lamunannya.

Kedua tangan Aaric mengepal kuat, ketika memori di ingatannya memutar kembali kenangan kebersamaannya bersama Tari, wanita yang sangat dicintainya dulu yang kini telah berubah menjadi wanita yang sekarang sangat dibencinya karena pengkhianatan yang dilakukannya dengan sahabatnya sendiri 5 tahun silam.

Aaric segera kembali mengeringkan wajahnya, merapihkan diri dan bajunya dan bergegas pergi dari sana sebelum dia kembali mengingat semua hal tentang wanita itu, padahal dia telah bersusah payah melupakannya selama ini.

Aaric kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya, dia yang seorang pengusaha muda memang memiliki segudang pekerjaan dan aktifitas yang membuat jadwalnya selalu padat, bahkan tak jarang dia masih harus bekerja di akhir pekan membuatnya tidak mempunyai waktu untuk berleha-leha, oleh karenanya wajar jika merupakan hal yang sulit baginya untuk menikah dalam waktu dekat ini karena memang tidak ada waktu baginya menjalin hubungan dengan seorang wanita di tengah kesibukannya itu.

Sehingga untuk memenuhi janjinya pada Nenek, Aaric harus melakukan sesuatu agar dia tidak mengingkarinya, karena almarhum Ayahnya selalu mengajarkannya bahwa lelaki sejati adalah lelaki yang memegang janjinya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!