NovelToon NovelToon

Aku Adalah Tiran Dunia Lain

Chapter 1

Perintah terakhir yang kami dapatkan adalah untuk mempertahankan Ibukota. Lebih dari 300 ribu tentara tergabung ke dalam Divisi Pertahanan Terakhir yang baru terbentuk bernama Endsieg. Sebagian Prajurit yang terlambat datang masih berjuang untuk menghentikan musuh di pinggiran kota, sementara yang lain terlibat dalam baku tembak jarak dekat.

Beberapa Komandan berencana untuk menawarkan gencatan senjata kepada musuh, namun secara tegas di tolak oleh beberapa Komandan lainnya termasuk diriku.

Aku percaya, walaupun kota ini jatuh ke tangan musuh. Cepat atau lambat Pasukan Sekutu akan datang untuk membebaskan kota. Walaupun rasionya tak lebih dari 10% yang berarti mereka tak akan pernah datang.

Pasukan musuh di perkirakan melebihi jumlah kita. Mereka memiliki lebih banyak unit pesawat, artileri, tank, dan senjata api generasi terbaru.

Harapan terakhir kami hanyalah pertahanan yang kuat secara mendalam, yang telah kami bangun terutama di balik lereng di belakang bukit sehingga perangkat keras dan komunikasi kami dapat terlindungi dari serangan artileri dan pengeboman pesawat.

Hanya dengan sebuah pertahanan yang memadai, di perkirakan Pasukan kita dapat menekan perlawanan musuh dan mengulur waktu lebih banyak lagi. Karena waktu adalah satu-satunya variabel yang tak kami miliki.

...-...

...--...

...-...

Esok harinya, tembakan artileri untuk pertama kalinya menghantam Ibukota. Mengirimkan sebuah ucapan selamat pagi ke seluruh kota.

Informasi terbaru yang kami dapatkan menjelaskan bahwa saat ini, Ibukota sudah sepenuhnya terkepung. Informasi yang menyebar pada akhirnya, memaksa kami untuk menembak salah seorang Komandan tepat di hadapan seluruh Pasukan.

Di bawah serangan musuh, dirinya malah ketakutan, meninggalkan divisi, dan berencana untuk melarikan diri dari medan perang. Kami benci pengecut. Semua orang juga takut, tetapi tak ada yang berusaha untuk kabur. Kini mayatnya di gantung di alun-alun kota dan diludahi oleh para Prajurit yang melewatinya, bahkan tak sedikit pula yang mulai melempari batu ke arah mayatnya.

Saat ini, Ibukota adalah benteng yang sesungguhnya. Pesawat musuh terbang mengintai kota sepanjang hari. Tak ada yang bisa kabur dari dengungannya. Tiap kali mereka datang, kita harus bersembunyi atau sebisa mungkin menembak jatuh pesawatnya. Pesawat kami hampir tak terlihat, kadang-kadang beberapa pesawat yang tak dapat diandalkan muncul, namun hancur dalam sekejap.

Seminggu kemudian, Pasukan musuh mulai merangkak masuk ke dalam kota. Pertempuran terjadi di setiap gedung kota dan sudut jalan, setiap tank musuh yang tersesat di tengah jalan langsung terbakar karena senjata anti pesawat kami gunakan untuk melawan tank.

Semakin dekat Pasukan musuh menuju ke pusat kota, semakin ganas perlawanan kami. Doktrin yang selama ini kami agung-agungkan rupanya berguna untuk memberikan perlawanan yang sangat fanatik.

'Memaafkan mereka adalah urusan Tuhan. Namun membawa mereka ke hadapan Tuhan adalah urusan kami!'

Sebenarnya ada lebih dari 750 ribu orang di dalam kota. 300 ribu adalah Tentara dan sisanya adalah masyarakat sipil yang dimobilisasi. Hari ini, seluruh Resimen dipecah menjadi beberapa kelompok baru dan pertempuran sengit dimulai untuk merebut kembali beberapa gedung strategis. Pada akhirnya selalu ada pertempuran di setiap bangunan, di setiap jalan. Siang dan malam. Tidak ada lagi rasa takut, hanya kekejaman dan pengorbanan.

Setiap jalan dan setiap bangunan bertingkat dengan tembok kokoh telah diubah menjadi zona berbenteng. Secara ekstensif Pasukan kami menggunakan terowongan dan struktur bawah tanah lainnya seperti kereta bawah tanah, tempat perlindungan bom, dan bahkan saluran drainase untuk bergerak cepat dari satu bagian kota ke bagian lainnya. Bahkan karenanya, Pasukan kami dapat secara mengejutkan muncul tepat di belakang Pasukan musuh yang tak menyangka akan kedatangan kami.

Komando pemerintahan sementara yang sebelumnya berada di gedung perlemen kini di pindah ke sebuah bungker rahasia. Di sini kami mengatur ulang strategi 'Zero' dan memerintahkan para Serdadu kami untuk mempertahankan garis sungai yang membelah Ibukota apa pun taruhannya.

Namun, aksi di lapangan tak semudah yang diucapkan. Meski Pasukan kami berusaha mati-matian untuk melawan, Pasukan musuh terus mendorong kami ke arah berlainan. Bahkan karena hal itulah, aku sempat memberikan perintah kepada Pasukan artileri kita untuk melakukan 'friendly fire' karena tak memiliki lokasi pasti di mana letak musuh berada.

Beberapa hari berselang, akhirnya ada sebuah kabar baik. Kabut tebal mulai menyelimuti seluruh kota dan entah kenapa suara letupan tembakan, suara ledakan meriam, dan dengungan pesawat pengebom tak lagi terdengar. Semuanya benar-benar sunyi dan bahkan Pasukan musuh tak terlihat di setiap sudut kota.

"Aneh! Apa yang sedang terjadi?" tanyaku ragu.

Chapter 2

Pagi harinya, ketika sinar mentari secara perlahan mulai menyingsing. Di saat itu pula dari arah utara, sebuah informasi mengatakan bahwa ada segerombolan harimau berbulu putih yang sedang menuju ke arah kota.

Pada awalnya, aku meragukan informasi tersebut. Menganggapnya sebagai sebuah lelucon. Namun semua berubah ketika laporan kedua datang yang menyertakan jumlah orang yang terluka.

Lalu tak lama kemudian, sebuah truk pengangkut barang datang sambil membawa beberapa Prajurit yang terluka serta beberapa mayat dari harimau-harimau berbulu putih itu.

"M-mustahil," ucap Evan tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini.

Bahkan, setelah aku menyentuh bulunya sekali pun, tak ada kejanggalan sama sekali. Hewan ini benar-benar nyata. Bukankah mereka sudah lama punah? Apalagi bulunya juga berwarna putih.

"Potong tubuhnya menjadi beberapa bagian!" perintahku kepada para Prajurit yang langsung dilaksanakan oleh mereka.

Setelah selesai melucuti mayat harimau itu. Hanya terlihat darah dan daging saja. Tak ada bahan peledak, kabel, atau bahkan aroma khas dari bahan bakar. Jelas apa yang terlihat saat ini adalah hewan sungguhan.

"Berikan daging-daging itu kepada Dokter Octo untuk melihat apakah ada kandungan racun di dalamnya. Jika terbukti benar, bakar semuanya. Jika tidak, maka bagikan dagingnya secara merata kepada beberapa Resimen di garis depan," perintahku yang kemudian mulai melangkah kembali ke dalam bungker.

Bahkan kabut tebal yang tengah menutupi seluruh kota juga masih belum menghilang. Sebagian informasi mengatakan jika kabut ini adalah gas beracun yang digunakan oleh pihak musuh, namun dengan cepat terbantahkan ketika anak kecil yang ikut menghirupnya masih dalam keadaan yang baik-baik saja.

...-...

...--...

...-...

Beberapa hari berlalu, namun anehnya semua terlihat baik-baik saja. Ibukota relatif aman, tak ada pesawat pengebom ataupun hantaman dari artileri musuh.

Namun secara perlahan kabut tebal itu mulai menghilang dan di saat kabut itu benar-benar hilang. Semua orang dikejutkan dengan adanya sebuah gunung besar di kejauhan, padahal tak ada satu pun gunung di dekat Ibukota dan yang paling anehnya lagi adalah letak geografis Ibukota saat ini berada di tengah-tengah sebuah hutan lebat.

Karena merasa penasaran, aku memutuskan untuk mengirim satu atau dua pesawat udara untuk mengitari beberapa area. Setidaknya, mereka dapat mengkonfirmasi apa yang kita lihat saat ini.

Bahkan sinyal radio milik musuh yang biasanya memutar beberapa pidato kenegaraan tak lagi terdengar. Belum lagi alat komunikasi yang biasa digunakan untuk menghubungi Pihak Sekutu tak mendapat balasan apa pun dan yang paling parahnya lagi adalah ketika pesawat udara yang sebelumnya telah aku perintah untuk mengitari beberapa area kembali dengan sebuah informasi yang mengkonfirmasi jika tak ada kota-kota lain di dekat Ibukota.

"Seluruh area telah berubah," ucap Evan membaca laporan dari para Pilot.

Sedangkan aku yang mendengar ucapannya barusan hanya dapat terdiam seribu bahasa. Dokter Octo bersama seluruh anggota timnya juga tengah menghadapi kebingungan, beberapa Pejabat Kota juga tak paham dengan apa yang tengah terjadi.

Lalu tak lama kemudian ada seorang Prajurit yang datang melapor. Dia berkata bahwa timnya telah di serang oleh seorang gadis asing yang membawa anak panah dan satu orang terluka karenanya. Karena informasi tersebut, aku menyuruhnya untuk membawa gadis itu ke hadapanku.

Kemudian sekelompok Prajurit itu datang sambil membawa seorang gadis cantik yang tangannya di ikat ke belakang. Gadis itu memiliki rambut yang berwarna pirang, kulitnya berwarna putih pucat, hanya mengenakan dedaunan untuk menutupi sebagian tubuhnya, dan memiliki ukuran tubuh yang sedikit lebih tinggi daripada Prajurit terlatih kami. Namun yang paling menarik perhatianku adalah telinganya yang terlihat runcing.

"Berlutut!!" ucap seorang Prajurit memaksanya untuk berlutut tepat di hadapanku.

"Dari mana asalmu?" tanyaku ragu namun dirinya hanya menatapku dengan sebuah tatapan kebencian.

...*BRAK!*...

Seorang Prajurit yang sedari tadi mencoba untuk meredam amarahnya dengan cepat memukul kepalanya dengan menggunakan gagang senjata api.

"KALAU DI TANYA, JAWAB!" bentak Prajurit itu penuh akan emosi karena teman-teman yang telah menjadi korban.

"Cuih! Kalian manusia rendahan ... berani sekali kalian membangun kota di Hutan Suci ini!!" ucapnya sambil membuang ludah yang berdarah ke arah lantai.

Sedangkan aku yang merasa kebingungan dengan ucapannya barusan, hanya sedikit melirik ke arah Evan. Namun sepertinya yang kupikirkan, dirinya juga sama bingungnya seperti diriku.

"Dia terlihat seperti seorang Elf," ucap Dokter Octo yang mulai melangkah mendekati gadis itu.

...*SLASH!*...

Tanpa pemberitahuan apa pun, tiba-tiba saja dia menyayat wajah gadis itu dengan menggunakan sebilah pisau bedah yang ada di balik saku celananya dan karena itulah darah berwarna merah mengalir dengan begitu deras.

"Ugh~!"

"Telinga runcingnya bukanlah sebuah imitasi dan ini asli," jelas Dokter Octo saat menarik telinganya. "Jika di izinkan, bolehkah aku membedah dan meneliti gadis ini?"

"Tidak," sahut Evan. "Biarkan dirinya di interogasi terlebih dahulu, aku yakin dia tak datang sendiri. Apalagi kita masih kekurangan informasi tentang apa yang sedang terjadi saat ini," lanjutnya menjelaskan.

Chapter 3

Malam harinya di dalam sebuah ruangan VIP di dalam gedung restoran yang masih berdiri kokoh. Kami mengadakan makan malam bersama dengan beberapa Petinggi Partai untuk mempererat tali silaturahmi.

Namun beberapa saat berselang setelah acara dilaksanakan, terdengar suara keributan dan tak lama setelahnya suara letupan senjata api dapat terdengar di luar.

"Apa yang terjadi?" tanyaku penasaran.

"Ada penyusup," jawab Ajudanku.

"Oh..."

Ada selusin Prajurit Elit yang berjaga di depan ruangan dan banyak lagi di luar gedung, mustahil baginya untuk dapat memasuki ruangan ini jika datang sendiri.

...*BRAK!*...

Namun secara mengejutkan pintu ruangan hancur berkeping-keping dan seorang Pria tua berjubah hitam yang tengah membawa sebuah tongkat di tangan kanannya itu mulai melangkah masuk. Sontak seluruh Prajurit yang ada di dalam langsung bersiap untuk menembaknya dan ada pula yang tak siap dengan kejadian ini yang malah menjatuhkan pistolnya.

"Tahan!" ucap Evan yang kemudian berdiri dari kursinya.

"Apa ini? Apakah ada kudeta? Dan siapa Pria tua itu?" bisik Dokter Octo ke arahku yang dengan sangat santainya masih dapat menyantap makanan di atas meja.

"Entahlah, pria itu terlihat asing."

"Siapa kau?!" tanya Evan dengan sangat tegas.

Namun setelah mendengar perkataannya barusan, pria tua itu langsung berlutut di hadapan kami.

"Maaf atas kelancanganku, Tuan-tuan! Aku datang untuk memenuhi permintaan dari para Dewa!" ucapnya menjelaskan.

"Apa dia orang gila?" bisik seorang Elit Partai.

"Mustahil! Bagaimana bisa orang gila mengalahkan selusin Pasukan Elit kita yang sedang berjaga di depan?" jawab Elit Partai yang lainnya.

"Sebenarnya aku adalah seorang Penyihir Kegelapan yang memiliki kekuatan untuk membaca masa depan. Dikatakan jika suatu saat nanti, akan ada peradaban maju yang datang dari dunia para Dewa. Sehingga aku memutuskan untuk mengabdikan diri untuk mencari petunjuk akan kebenarannya," ucap Pria tua itu yang membuat banyak orang merasa bingung dengan ucapannya barusan.

"Oh ... apakah kau memiliki jawaban atas apa yang terjadi?" ucap Dokter Octo yang mulai mengelap mulutnya.

"Benar, Tuan! Saat ini kalian sedang berada di Hutan Suci para Elf. Sebuah tempat tinggal bagi sebagian suku Elf yang bar-bar. Singkatnya, kalian telah berhasil turun dari dunia para Dewa menuju ke bawah," jawab Pria tua itu yang seketika membuat Dokter Octo terkekeh geli setelahnya.

"Apa yang kau ketawakan?!" ucapku kesal ke arahnya. Jelas ini bukan bahan bercanda atau setidaknya bukan waktu yang tepat untuk tertawa.

"Ah~ ya. Aku minta maaf. Ketika aku tahu bahwasanya mustahil bagi kita untuk memenangkan peperangan. Aku telah jauh-jauh hari melakukan serangkaian percobaan rahasia bernama Utopia. Awalnya kami berhasil mencipta sebuah portal antar dimensi, namun sebelum kami mencoba masuk ke dalam, ada mahluk lain yang mencoba keluar."

"Lalu?" tanyaku semakin penasaran dengan penjelasannya.

"Mayoritas tim kami mati setelahnya. Namun berkat pengorbanan mereka, kami berhasil menangkap dan memanfaatkan pengetahuan dari mahluk itu. Hingga pada akhirnya, kami mencoba untuk memindahkan seluruh kota atau setidaknya beberapa orang terpilih yang untuk dapat berpindah ke dimensi lain sebagai ras unggul yang suatu saat nanti dapat memegang posisi tertinggi dalam hierarki," jelas Dokter Octo yang di akhiri dengan sebuah tawa jahat.

"Memangnya mahluk yang seperti apa yang merangkak keluar dari dalam portal?" tanya Evan merasa penasaran.

"Anubis! Dewanya bangsa Mesir. Setidaknya kami tak terkejut akan keberadaannya, namun jika yang keluar adalah manusia, mungkin kami semua akan terkejut. Bukankah begitu?" jawab Dokter Octo yang kemudian mulai melangkah mendekat ke arah Pak Tua itu. "Berdirilah, jikalau memang dirimu adalah seorang Penyihir. Maka buktikanlah kepada kami," ucap Dokter Octo.

Setelahnya Pria tua itu mulai berdiri dan menghentakan tongkatnya ke arah lantai. Selama kurang lebih satu menit, dirinya terlihat tengah membaca sebuah mantra dan tak lama kemudian terlihat sebuah lingkaran sihir berwarna hitam yang terbentuk di hadapan wajahnya. Setelahnya, terlihat sebuah bongkahan es yang runcing nan tajam dan tanpa aba-aba lagi, bongkahan es itu langsung melesat menuju ke arahku.

"AWAS!" teriak Evan. Namun sayang aku terlambat untuk bereaksi.

...*STASH!*...

Alih-alih menembus kepalaku, bongkahan es itu malah pecah dan berubah menjadi serpihan salju halus saat mengenai kulitku.

"APA KAU BERNIAT UNTUK MEMBUNUHNYA?!" tanya Evan dengan nada yang terdengar penuh dengan emosi.

"Maaf Tuan! Namun sihir kami tak akan mampu untuk membunuh kalian," jawab Pak tua itu sedikit menundukkan kepalanya seraya menunjukkan ketulusannya dalam meminta maaf.

"Kenapa?" tanya Dokter Octo merasa penasaran.

"Karena kalian tak mengerti konsep sihir yang ada di dunia ini, sehingga sihir kami tak akan menggores kulit kalian walaupun sedikit."

"Oh ... sungguh penjelasan yang menarik! Sekarang bertahanlah dari seranganku menggunakan sihir terkuatmu," ucap Dokter Octo yang entah bagaimana sudah memegang pistol di tangan kanannya.

Setelah Pria tua itu selesai membaca mantra dan menggunakan sihir pelindung, letupan senjata api rupanya berhasil menembus kakinya.

"Agh!"

"Ho~ Sepertinya sihir kita lebih kuat," ucap Dokter Octo meremehkannya. "Sekarang bawa dia ke rumah sakit dan jangan biarkan orang lain membunuhnya," perintah Dokter Octo kepada beberapa Prajurit yang langsung menggendong Pak tua itu menuju ke rumah sakit.

Setelah kejadian itu, ruangan ini berubah menjadi sepi dengan suasana yang hening.

"Apa yang terjadi?! Aku dengar ada seorang penyusup yang berhasil masuk?" ucap Doni. Komandan Ketiga alias terakhir yang bekerja di garis depan benteng pertahanan Ibukota. "Oh lucky bastard! Aku pikir akan mendapat promosi setelah mendatangi tempat ini," ucapnya sarkas setelah melihat kami semua masih hidup.

"Ho~ Jika kau datang bersama dengan musuh mungkin kau lah yang akan mendapat promosi," ucap Dokter Octo menepuk pundaknya. "Apakah ada yang ingin ditanyakan? Tentang bagaimana dan mengapa?" tanyanya ke arah kami semua.

"Tidak untuk sekarang. Namun jika ada masalah di kemudian hari, kau adalah satu-satunya orang yang akan aku gantung di gedung Perlemen. Bukankah begitu bro?" ucap Evan yang kemudian melirik ke arahku.

"Ya lebih baik daripada tidak sama sekali," sahutku tersenyum kecut setelahnya.

"Hoho~ Baiklah jika tak ada yang ditanyakan aku izin undur diri," ucap Doktor Octo yang kemudian melangkah pergi setelahnya.

"Ada apa memang?" tanya Doni yang kemudian duduk dan menuang secangkir anggur.

"Entahlah aku juga bingung harus menjelaskan darimana," ucap Evan yang kemudian memegangi kepalanya karena merasa pusing.

"Setidaknya kita tahu apa yang terjadi bukan?" tanyaku ragu.

"Ya namun kita belum tahu apa konsekuensinya," jawab Evan.

"Aish sialan," ucap Doni ketika anggur yang ia minum tak seenak yang dia pikirkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!