...{BAD X CRAZY}...
Alexandra Marlene Atmadja a.k.a Lexi
Cewek blasteran Indonesia-Perancis yang sekarang sedang menempuh bangku kuliah jurusan teknik. Lexi adalah anak tunggal kaya raya. Ibunya sudah lama meninggal, sedangkan ayahnya adalah seorang duta besar Indonesia di Perancis. Satu-satunya anggota cewek di geng motor Phoenix, geng motor yang anggotanya adalah para mahasiswa top Universitas Garuda Emas.
Muka judes bawaan dari lahir membuat Lexi disegani oleh seluruh mahasiswa di kampus. Wajahnya yang cantik dan kepribadiannya yang untouchable membuatnya dijuluki sebagai ratu es. Banyak mahasiswa laki-laki yang naksir sama dia, tapi tidak ada yang berani mendekati karena aura Lexi yang sangat mengintimidasi.
Lexi adalah sahabat Jovan sejak SMA, mereka sering melakukan kenakalan remaja bersama. Kenakalan yang ringan-ringan ya, seperti membolos bersama. Ssstt... Lexi punya rahasia, tidak ada seorang pun yang tahu ini (kecuali author, readers, dan Tuhan, emm... Mungkin juga beberapa orang), yaitu dia sudah naksir sama Jovan sejak masa SMA dulu. Tapi, jangan bilang-bilang Jovan ya... xixixi
Jovan Mahardika Priyanto a.k.a Jovan
Dijuluki sebagai pangeran kampus sekaligus ketua geng motor Phoenix. Tidak usah ditanya lagi kenapa dijuluki sebagai pangeran kampus. Gantengnya itu loh, sudah benar-benar mirip pangeran. Sebenarnya, semua anggota geng Phoenix tidak ada yang tidak terkenal di Universitas Garuda Emas. Karena selain memiliki visual yang luar biasa, mereka semua juga termasuk anak sultan. Meskipun anak sultan, Jovan ini korban broken home, atau lebih tepatnya toxic family. Ayahnya suka KDRT dengan dia dan ibunya.
Berbeda dengan Lexi yang tidak suka beramah tamah dengan orang lain, Jovan ini anaknya murah senyum. Kalau lagi berhadapan sama musuh memang selalu pasang muka seram, tapi kalau sama teman kampus berbeda, dia bisa jadi orang yang amat sangat ramah. Para mahasiswi di kampus juga pada naksir sama dia, tapi tidak ada yang berani PDKT. Alasannya adalah karena mereka takut dengan Lexi. Ngomong-ngomong, Jovan juga anak teknik, sama seperti Lexi.
Jovan juga tidak pernah tertarik pacaran dengan siapapun sebelumnya. Tapi, suatu hari, dia mulai tertarik dengan mahasiswi dari jurusan seni yang tidak sengaja menolongnya saat dikejar-kejar oleh musuh. Malam itu, Jovan jatuh cinta kepada Nara.
Kinara Putri Isabella a.k.a Nara
Kalau Lexi dikenal karena cantik tapi jutek, maka berbeda dengan Nara. Nara adalah definisi gadis perfect idaman semua orang. Kuliah di jurusan seni membuat Nara semakin terlihat seperti manusia estetik. Bukan cuma wajahnya yang cantik, tapi dia juga baik hati, cerdas, berprestasi, dan murah senyum. Tidak ada mahasiswa yang tidak kenal dengan Nara.
Gadis itu tanpa sengaja menolong Jovan yang sedang dikejar-kejar oleh musuh. Pertemuan mereka itu membuat benih-benih cinta mulai timbul. Yang tanpa mereka sadari, telah membuat hati seseorang patah.
Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini, bukan? Meskipun Nara terlihat sempurna dari luar, ia juga memiliki kekurangan yang berhasil ia tutup sembunyikan dari semua orang.
...----------------...
...{BAD X CRAZY}...
Brumm... Brumm...
Suara motor sport bersahutan membuat para mahasiswa menoleh ke arah tempat parkir kampus. Mereka sudah hafal jika ada suara motor yang cukup keras seperti itu, berarti rombongan anak-anak geng motor Phoenix sudah datang.
Dan benar saja, sekarang sudah ada 5 motor sport yang terparkir rapi di sana. Visual dari para anggota Phoenix mampu membuat para mahasiswa berdiam diri untuk cuci mata.
"Hah?! Kok udah jam segini sih. Duh! Telat nih gue," panik salah satu anggota geng tersebut.
Yang lain hanya menertawakan kecerobohan temannya yang berada di jurusan bisnis itu.
"Mampus lo! Siapa suruh tadi telat bangun? Udah gue dobrak pintu kamar lo, tetep aja molor," cibir yang lainnya.
"Tck, diem lo! Udah ah, gue pergi duluan," ucap mahasiswa itu.
Belum sempat mendapat jawaban, laki-laki itu sudah lari terbirit-birit menuju gedung kampusnya. Hal itu membuat teman-temannya tertawa geli.
"Dasar, Roy! Udah tau gedung fakultas ekonomi dan bisnis jauh dari sini, tetep aja maksa parkir bareng," ucap satu-satunya anggota perempuan di geng motor itu.
"Ya gitulah, Lex. Katanya sih biar setia kawan," balas yang lainnya.
Mereka pun tertawa kecil, lalu berjalan beriringan menuju ruang kelas masing-masing.
"Eh, kita duluan ya, udah nyampe nih," ucap salah satu anggota.
Setelah itu, dua orang anggota memisahkan diri saat mereka sudah lebih dulu sampai di kelasnya. Kini, tinggal tersisa dua orang lagi, yaitu Jovan dan Lexi. Mereka berada di jurusan yang sama, yaitu teknik mesin. Dan hari ini, mereka memiliki jadwal kelas yang sama juga.
"Jo, gue belum makan nih, mampir ke kantin bentar ya," kata Lexi dengan wajah memelas.
"Lah, yang bener aja Lex, 10 menit lagi dosen masuk kelas nih, ntar kita telat," jawab Jovan.
Lexi memutar bola matanya malas, "halah, sok-sokan jadi anak rajin lo. Biasanya aja bolos kelas gak pernah merasa berdosa."
Jovan menyengir lebar, "hehe... Sekali-sekali lah jadi mahasiswa teladan."
"Tck, jadi, lo ikut gue apa nggak nih? Kalau gak mau ya udah, gue ke kantin sendiri," sungut Lexi.
"Iya-iya gue ikut, gitu aja ngamuk," cibir Jovan.
Lexi hanya mendengus kesal, lalu berjalan mendahului Jovan menuju kantin. Jovan sih santai-santai saja, dia sudah terbiasa dengan sikap Lexi yang uring-uringan seperti ini.
Grepp!
Jovan merangkul pundak Lexi dan berjalan bersama ke kantin.
"Tck! Apa-apaan sih, Jo?! Singkirin tangan lo! Berat tau gak," omel Lexi.
"Gak mau."
"Jovan!"
Bukannya menyingkirkan lengannya dari pundak Lexi, Jovan malah mengeratkan rangkulannya di leher Lexi atau sebut saja memiting. Hal itu membuat Lexi berteriak tidak terima.
"Aduh! Lepasin, Jo! Sakit anjir!" teriak Lexi sambil memukul-mukul lengan Jovan.
"Gak mau, udah gini aja," jawab Jovan acuh.
Jovan tetap menarik Lexi agar terus berjalan melalui lorong kampus menuju kantin dengan posisi Jovan yang masih memiting leher Lexi. Semua mahasiswa yang melihatnya hanya bisa menatap dengan berbagai pandangan. Ada yang merasa lucu dengan tingkah mereka, ada juga yang merasa iri dengan pertemanan mereka. Yang laki-laki iri dengan Jovan karena bisa dekat dengan Lexi. Sedangkan, yang perempuan iri dengan Lexi karena bisa dekat dengan Jovan.
"AAARGGHH! Aduh aduh! Lexi! Iya iya, gue lepas," tiba-tiba terdengar teriakan pilu dari mulut Jovan.
Ternyata, Jovan berteriak karena Lexi baru saja menggigit lengan sahabat tampannya itu. Benar-benar digigit, sampai ada bekas giginya Lexi.
"Sssh... Lo vampire apa gimana sih?! Sakit banget tau gak," ucap Jovan yang masih memegangi lengannya yang terasa perih akibat gigitan Lexi.
"Salah lo sendiri macem-macem sama gue," balas Lexi acuh.
Mereka pun tiba di kantin. Suasana kantin tidak begitu ramai pagi ini. Tentu saja, sebagian besar mahasiswa sudah memulai pelajaran mereka. Bahkan, seharusnya Jovan dan Lexi sudah berada di kelas sekarang, bukan malah ke kantin.
"Buk, roti coklatnya 2 ya," ucap Lexi kepada ibu kantin.
"Loh, cuma roti aja? Neng Lexi ndak sarapan nasi?" tanya ibu kantin.
Ibu kantin sudah mengenal Lexi dengan baik. Selain karena Lexi memang terkenal, gadis itu juga selalu membeli sarapan di kantin. Mengingat ia hanya tinggal sendiri di rumah dan tidak bisa memasak. Pembantunya juga hanya memasak untuk makan siang dan makan malam saja. Itu memang permintaan Lexi, ia hanya malas untuk sarapan sendiri di rumah.
"Nggak, Buk. Abis ini ada kelas, keburu telat nanti kalau makan nasi dulu," jawab Lexi.
Setelah membayar, Lexi dan Jovan pun duduk di salah satu bangku kantin. Lexi selalu diajarkan basic manner kalau makan harus sambil duduk, walaupun hanya makan roti.
"Lo mau?" tawar Lexi kepada Jovan.
Jovan menggeleng, "nggak. Udah, lo makan aja."
Lexi pun melanjutkan acara makannya.
"Nanti malam anak-anak bisa ngumpul semua, kan?" tanya Lexi.
Jovan menganggukkan kepalanya, "udah gue umumin di grup, katanya bisa semua kok."
"Lama gak ngumpul sama anak-anak di markas gara-gara ujian tengah semester," kata Lexi.
"Btw, lo gak lupa kan kalau lo ada balapan nanti?" tanya Jovan.
"Ya nggak lah, gimana gue bisa lupa sama jadwal balapan gue?" balas Lexi, "emang geng siapa sih yang nantangin kita?"
Jovan hanya mengedikkan bahunya, "kata Roy sih cuma geng kecil, gue juga gak tau siapa nama ketuanya."
Lexi pun terkekeh, lalu berucao sombong, "geng abal-abal kayak gitu, udah bisa ditebak lah siapa yang menang nanti."
Jovan hanya manggut-manggut sambil memainkan ponselnya. Hanya butuh waktu 3 menit untuk Lexi menghabiskan rotinya. Setelah itu, mereka pun bergegas pergi ke kelas.
"Aduh, gawat! Dosennya udah datang," gumam Lexi saat melihat pintu kelas mereka sudah tertutup.
"Udah deh, santai aja, diomelin dikit juga kelar," balas Jovan acuh.
"Untuk presentasi har--"
"Selamat pagi, Pak."
Dosen yang sedang menjelaskan materi di depan itu langsung menoleh ke arah pintu dan menemukan Jovan serta Lexi sudah menunjukkan cengiran lebar di sana. Dosen itu mendengus kesal dengan dua mahasiswa yang terkenal bandel itu.
"Kalian gak capek apa telat terus setiap hari?" tanya dosen itu dengan nada kesal.
"Hehe... Maaf, Pak," ucap Lexi masih dengan cengirannya.
"Maafin Lexi ya, Pak. Tadi dia ke kantin dulu," imbuh Jovan.
Lexi langsung melirik Jovan dengan tatapan kesal karena seolah-olah sahabatnya itu melimpahkan semua kesalahan padanya. Yaa... Meskipun memang benar sih, ini semua terjadi karena ulah Lexi.
"Hari ini kalian gak boleh ikut kelas," final dosen itu.
"Loh, Pak, kok gitu sih?" ucap Lexi tidak terima.
"Saya sudah terlalu banyak memberi kalian toleransi," balas dosen itu.
"Yahh... Jangan gitu dong, Pak. Kalau kita gak ikut kelas, nanti tambah bodoh. Bapak kan dosen, bapak pasti gak mau kan kalau mahasiswanya ada yang bodoh?" kata Jovan mencoba membujuk dosennya itu.
"Pintar sekali ya alasan kamu itu. Sudah, saya gak peduli, kalian tetap gak boleh masuk," ucap dosen itu dengan nada mengusir.
Jovan dan Lexi saling berpandangan, lalu mengedikkan bahunya acuh. Kemudian, mereka pun berjalan menjauhi kelas.
"Masih mending kita ada niat buat masuk kelas," celetuk Lexi.
"Cih, usaha kita sia-sia, sama sekali gak dihargai," balas Jovan.
Yaa... Begitulah pasangan sahabat ini. Kadang-kadang suka mendramatisir hal-hal kecil seperti itu. Lagipula, mereka juga tidak terlalu peduli jika tidak diperbolehkan masuk kelas. Diusir oleh dosen, ya terima aja. Udah berusaha sekali, tetap diusir, ya sudah pergi saja.
'Hidup gak usah dibuat rumit.'
Kira-kira begitulah prinsip hidup Jovan dan Lexi.
...----------------...
1620 kata
...Halowww...
...Kembali lagi dengan novel ketigaku, cerita ini dibuat untuk menghibur kalian serta mengikuti kontes badboy S2...
...Kali ini ceritanya tentang anak muda geng motor ya gess ya... Kisah romansa ringan, tapi juga agak berat di akhir nanti xixixi...
...Jangan lupa tinggalin jejak ya...
...Like, comment, and follow...
...Nb: all pictures are from pinterest...
...{Bad X Crazy}...
Malam ini, di salah satu area jalanan ibukota sudah tampak ramai. Bukan ramai akibat lalu lalang kendaraan, justru area tersebut sangat sepi akan kendaraan yang melintas. Tetapi area tersebut ramai oleh para penonton yang memenuhi jalan raya. Anak-anak muda yang bisa dibilang 'nakal' saat ini sedang menantikan acara yang mereka tunggu-tunggu. Apalagi kalau bukan balap liar.
Sebenarnya, balap liar seperti ini sangat umum terjadi di jalanan sepi ibukota. Ada beberapa geng motor penyelenggara balap liar yang tidak beruntung, mereka bisa saja dibubarkan oleh satpol PP yang sedang berpatroli. Namun, beberapa geng motor kuat yang memiliki 'orang dalam' yang bisa membuat pihak berwajib menutup mata atas tindakan ilegal mereka.
Salah satu dari geng motor kuat itu adalah geng motor Phoenix. Meskipun Phoenix tidak pernah membuat kerusuhan dan melukai warga dengan tindakan anarkis seperti yang dilakukan oleh geng motor dengan kekuatan besar pada umumnya, tetapi yang namanya balap liar tetap saja ilegal. Maka dari itu, agar bisa terus menjalankan hobi mereka, geng motor Phoenix secara teratur memberikan 'pesangon' kepada polisi setempat agar mereka kebal dari hukum.
Saat ini, salah satu anggota Phoenix sedang bersiap untuk balapan. Anggota itu tak lain dan tak bukan adalah Lexi. Sebenarnya, yang ditantang untuk melakukan balapan oleh geng motor lawan adalah Jovan, bukan Lexi. Namun, menurut Phoenix, ketua dari geng musuh masih belum sebanding untuk bisa melawan Jovan. Maka dari itu, Lexi yang maju untuk melakukan balapan hari ini.
"Udah siap, Lex? Lawan lo udah nungguin tuh," tanya Ansel, salah satu anggota Phoenix.
"Udah siap kok, bentar lagi gue kesana," jawab Lexi.
Ansel pun menganggukkan kepalanya dan pergi lebih dulu ke arena, kemudian Jovan datang menghampiri Lexi sambil membawa sebuah helm di tangannya. Lalu, ia memasangkan helm itu di kepala Lexi.
"Safety first~" ucap Jovan dengan nada bercanda sambil mengaitkan helm itu.
Lexi terkekeh, "iya iya, si paling aman."
Jovan juga ikut terkekeh, lalu beberapa detik kemudian, menatap mata Lexi dengan tatapan serius, "hati-hati ya, Lex. Gue gak peduli lo menang atau kalah, tapi jangan sampai lo lecet sedikit pun."
Hati Lexi menghangat saat mendengar perkataan Jovan yang menyiratkan bahwa sahabatnya itu mengkhawatirkan dirinya. Tapi ia segera menepis perasaannya itu agar tidak salah tingkah di hadapan Jovan, lalu menanggapinya dengan tertawa kecil untuk menghindari salting.
"Kok gitu sih ngomongnya, lo gak yakin sama gue? Gue pasti menang kok," ucap Lexi.
Jovan tersenyum kecil, "gak gitu, Lex. Gue percaya kok sama lo. Seorang Lexi gak mungkin kalah."
Lexi tidak bisa menahan senyumnya lagi. Untung saja ia sudah memakai helm full face, jadi Jovan tidak akan melihat pipinya yang sekarang sedang bersemu merah.
"WOYY!! NIAT BALAPAN GAK SIH LO?!"
Lexi dan Jovan tersentak, lalu menoleh ke arah sumber suara teriakan itu. Ternyata, yang berteriak adalah ketua geng motor lawan yang sudah siap di atas motornya.
"SANTAI DONG ANJ*NG!"
Balas Lexi dengan suara yang tak kalah keras, lalu ia pun segera naik ke atas motor sport putihnya dan bersiap di garis start.
Si lawan pun menoleh ke arah Lexi dan tersenyum miring di balik helmnya. Ia memindai Lexi dari bawah ke atas.
"Cih, sok-sokan ngatain geng gue gak selevel sama geng kalian. Ngaku aja deh, kalau emang si Jovan itu yang pengecut, sampai ngirim cewek buat gantiin dia," cemooh si lawan berusaha memanas-manasi Lexi.
"Bacot! Mending lo diem aja deh," sahut Lexi dengan nada dinginnya sambil tetap melihat ke depan.
Lawan di samping Lexi hanya mengedikkan bahunya acuh, lalu kembali fokus untuk memperhatikan aba-aba dari seorang perempuan berpakaian minim yang berdiri di depan mereka.
"Kalian udah siap?" tanya wanita itu yang dibalas anggukan oleh Lexi dan lawannya.
Wanita itu juga ikut menganggukkan kepala. Kemudian, ia pun mengangkat sapu tangan berwarna merah yang ada di tangannya, lalu mulai menghitung mundur.
3...
2...
1...
srett!
Sesaat setelah sapu tangan itu dilepaskan, kedua motor yang berada di garis start itu langsung melaju dengan kencang. Semua penonton langsung bersorak ramai untuk menyemangati jagoannya masing-masing.
Lexi masih unggul di awal balapan ini, sedangkan sang lawan masih berada tepat di belakangnya. Lexi pun tertawa kecil saat melihat sang lawan yang berusaha keras untuk menyalipnya. Tetapi tiba-tiba saja, saat berada di belokan, sang lawan berhasil menyalip Lexi. Bahkan laki-laki itu dengan berani mengacungkan jari tengahnya ke arah Lexi saat sedang menyalip.
"Kurang ajar!" geram Lexi.
Gadis itu segera menambah kecepatan motornya untuk menyalip lawan yang sudah ada di depannya. Bukan hal yang sulit untuk Lexi, ia bisa langsung mendahului sang lawan dengan mudah.
"Cih, Lexi kok dilawan," monolog Lexi sambil tertawa kecil.
Ketua geng musuh tersebut kembali berusaha menyalip Lexi, tapi gadis itu terus menambah kecepatan hingga ia berada jauh di depan. Para anggota Phoenix berteriak gembira ketika pandangan mata mereka menangkap motor Lexi yang sudah hampir sampai di garis finish.
"Lexiiii!!!!"
"Yooo! Lexi! Jagoan kita!"
"Buruan, Lex! Jangan kasih kendor!"
"Ayo, Lex! Cepetan!"
Akhirnya, Lexi pun berhasil mencapai garis finish terlebih dahulu. Para anggota Phoenix langsung berlari untuk menghampiri Lexi yang baru saja menghentikan motornya.
"Wiih~ udah gue duga, lo pasti bakal menang, Lex," ucap salah seorang anggota Phoenix.
"Yess!! Makan-makan nih kita, duit taruhannya lumayan juga kan," balas anggota yang lain.
"Iya, total taruhannya 10 juta," balas Ansel.
"Lumayan juga 10 juta, 5 juta buat kita makan dan masukin kas, 5 juta buat sumbangan ke panti asuhan," ucap Jovan.
Semuanya menganggukkan kepalanya setuju. Beginilah geng motor Phoenix, mereka suka sekali melakukan tindakan ilegal untuk beramal. Lalu, bagaimanakah hukumnya? Apakah dicatat sebagai pahala atau dosa? Yaa... Mereka tidak peduli, yang penting uang taruhannya bisa digunakan untuk berbuat baik kepada orang lain, itu saja.
Prakk!
Mereka semua tersentak dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata itu adalah ketua geng motor yang baru saja membanting helmnya dan marah-marah karena baru saja dikalahkan oleh Lexi.
"Eh, santai aja dong bang, kalah kok ngamuk sih," ejek Jovan.
Semua orang di sana, termasuk para penonton, sontak menertawai geng motor yang telah dicap sebagai pecundang itu.
"Ya jelas ngamuk lah, pasti malu tuh gara-gara kalah balapan, apalagi lawannya cewek," imbuh Lexi.
Hal itu membuat geng motor tersebut semakin marah, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, mereka hanyalah geng motor kecil yang tidak sebanding dengan Phoenix. Jika mereka berani berbuat onar di sana, pasti akan langsung dibantai habis oleh Phoenix dan para pendukungnya.
Akhirnya, geng motor kecil itu pun memutuskan untuk pergi dari sana dengan perasaan geram. Setelah itu, acara balap liar pun berakhir dan semuanya bubar. Geng Phoenix pun pergi mengendarai motor masing-masing menuju markas.
...----------------...
Geng motor Phoenix memberhentikan motor mereka di halaman sebuah rumah. Rumah satu lantai yang cukup luas dan bergaya minimalis. Rumah itu adalah rumah pemberian dari ayah Lexi yang memang dibuat khusus untuk markas Phoenix. Yahh... Namanya juga anak tunggal kesayangan, minta apapun pasti akan dituruti.
Mereka pun masuk ke dalam rumah dan langsung merebahkan diri di sofa. Beberapa dari mereka ada juga yang rebahan di karpet.
"Huuh~ capek banget gue," gumam Lexi setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Capek?! Nona Lexi capek? Kemarilah, Nona. Hamba akan memijat punggung nona."
Jovan pun dengan sigap memijat bahu Lexi. Para anggota Phoenix tertawa dengan tingkah sang ketua geng. Mereka sudah terbiasa dengan kedekatan ketua dan teman perempuan mereka itu.
"Eh, gue order makanan sekarang aja, ya?" kata Ansel yang diangguki oleh teman-temannya.
Ansel pun memesan makanan dari ponselnya. Tidak lama kemudian, makanan pun datang. Mereka semua makan bersama-sama dan diselingi dengan canda tawa. Inilah yang membuat banyak orang iri dengan geng motor Phoenix, solidaritas mereka yang begitu kuat dan jarang sekali ada pertengkaran.
"Jo, udah jam 1 pagi nih, papa lo gak ngamuk nanti?" tanya Ansel.
Jovan pun melirik jam tangannya, "eh, iya ya, gak kerasa udah mau pagi aja. Halah, paling dia udah tidur sekarang, santai aja."
"Pulang aja yuk, Jo. Ntar papa lo ngamuk gimana?" tanya Lexi khawatir.
"Udahlah, Lex. Tenang aja, dia gak bakal sepeduli itu sama gue. Pasti udah tidur kok," jawab Jovan acuh.
"Tapi kalau Tante Rena belum tidur, dia pasti khawatir banget sama lo," balas Lexi.
Jovan pun terdiam. Ia memang tidak peduli dengan amarah ayahnya, tapi ia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Ibunya itu sangat menyayanginya, jadi kemungkinan wanita itu sekarang masih belum tidur dan menunggunya pulang.
"Gue gak mau bikin mama khawatir. Kalau gitu, gue pulang sekarang," final Jovan, lalu beranjak dari tempat duduknya.
"Ayo, Lex. Gue temenin sampai rumah lo," ajak Jovan kepada Lexi.
Lexi pun mengangguk, lalu gadis itu pun ikut bangkit dari tempat duduknya dan mengambil jaket yang ia sampirkan di dinding, kemudian mengikuti Jovan.
"Kalian semua abisin makanannya, santai-santai dulu aja di sini," ucap Jovan kepada teman-temannya.
"Siap, Bos!" jawab mereka serentak.
Setelah selesai berpamitan, Jovan dan Lexi pun keluar dari rumah itu. Mereka pulang dengan mengendarai motor masing-masing. Seperti biasa, Jovan akan mengikuti di belakang Lexi hingga gadis itu sampai di pekarangan rumahnya. Setelah memastikan Lexi pulang dengan selamat, Jovan baru pergi menuju rumahnya sendiri.
...----------------...
1460 kata
...Selamat membaca... 😊😊...
...Minta tolong like dan komen juga yaa... ♥♥...
Warning : violence, mention of blood!!!
...{Bad X Crazy}...
Jovan sampai di rumahnya sekitar pukul setengah 2 pagi. Ia memarkirkan motornya di halaman depan, lalu membuka pintu rumah perlahan-lahan dan berusaha untuk berjalan masuk tanpa suara.
'Semoga semua orang udah pada tidur,' doa Jovan di dalam hati.
Ia terus berjalan mengendap-endap menuju tangga. Tapi, tiba-tiba saja...
Buagh!!
Prangg!!
"Aaaaaa!!!"
Tapi sayang sekali, keberuntungan tidak berpihak kepada Jovan, Tuhan sedang tidak berkenan untuk mengabulkan doanya. Karena tiba-tiba saja, dahi sebelah kanannya dihantam oleh sebuah pot bunga yang menyebabkan pot itu jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.
Tubuh Jovan pun ambruk, ia terduduk di lantai sambil memegangi kepalanya yang terasa perih, nyeri, dan pusing.
"Apa yang kamu lakukan?!" teriak sang ibu histeris.
Ibunda Jovan yang bernama Rena itu langsung bersimpuh dan memeluk anaknya yang sedang kesakitan.
"Astaga! Jovan, kepala kamu berdarah, Nak," panik Rena sambil menangis.
"Ugh! Jovan gak apa-apa, Ma," kata Jovan semata-mata untuk menenangkan ibunya.
"Dari mana saja kamu, hah?!"
Suara teriakan berat pria pelaku pelemparan pot bunga itu terdengar menggelegar di seluruh isi rumah.
"Dasar anak gak tau diuntung! Setiap hari kerjaan kamu kelayapan terus! Pasti kamu baru aja ikutan balap liar gak jelas itu lagi, kan?!" bentak pria yang tak lain adalah Galang, ayahnya Jovan.
Jovan yang sudah kesakitan akibat kepalanya yang berdarah, ditambah ayahnya yang terus menerus berteriak membuat telinganya sakit pun tersulut emosi. Ia langsung berdiri menghadap ayahnya dan menatap pria tua itu dengan tatapan nyalang.
"Papa bisa gak sih sehari aja gak usah marah-marah?!" teriak Jovan.
"Dan kamu bisa gak sih sehari aja gak bikin papa kecewa?!" balas Galang dengan suara yang tak kalah keras.
Jovan mengepalkan kedua tangannya dengan geram. Kenapa ayahnya itu tidak mengerti kalau penyebab ia melakukan kenakalan-kenakalan itu karena ayahnya sendiri yang selalu bersikap kasar kepadanya.
"Papa bener-bener jahat," geram Jovan, "Papa macam apa yang ngelempar kepala anaknya pake pot kayak gini?!
Galang semakin emosi mendengarnya, "kurang ajar kamu! Anak gak tau diri!"
Bugh!!
Galang meninju wajah Jovan hingga lelaki muda itu terhuyung ke belakang. Rena langsung bangkit dan memegangi tubuh putranya.
"Udah, cukup! Jangan pukul anak kita lagi!" teriak Rena dengan isak tangis yang semakin kencang.
"Ini semua gara-gara kamu yang manjain anak kamu terus!" bentak Galang kepada Rena, "bukannya belajar buat nerusin bisnis keluarga, malah jadi berandalan gak berguna!"
Rahang Jovan mengeras mendengar hinaan dari ayahnya. Setiap hari selalu seperti ini, Galang tidak pernah memperlakukan dirinya sebgai seorang anak. Tidak pernah sekalipun ayahnya itu merasa bangga kepadanya.
Jovan langsung meraih kunci motornya yang tedi terjatuh di lantai, lalu berjalan dengan tergesa menuju pintu rumah.
"Mau kemana lagi kamu, Jovan?!" bentak Galang.
Rena berusaha menarik tangan anaknya, "kamu mau kemana, Jovan?"
"Aku mau pergi ke rumah Lexi, Ma," ucap Jovan kepada ibunya.
"Cih, malam-malam ke rumah temen cewekmu itu, mau ngapain?! Dia udah bawa banyak pengaruh buruk ke kamu, pasti dia juga udah ngasih tubuhnya buat kamu," ucap Galang.
"Papa jangan ngomong sembarangan ya!" teriak Jovan tidak terima, "aku udah berusaha sabar ngadepin papa, tapi aku gak akan diem aja kalau papa ngehina sahabat aku."
Setelah itu, Jovan kembali melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Jovan! Papa belum selesai ngomong! Jovan!" teriak Galang yang tidak digubris oleh Jovan.
"Jovan, setidaknya obati lukamu dulu, Nak," ucap Rena.
Jovan sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Ia membuka pintu rumah dengan kasar dan membantingnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Galang sudah akan mengejar anaknya dan ingin menghajarnya lagi, tapi Rena memohon-mohon kepada suaminya agar melepaskan anaknya untuk saat ini.
Jovan mengendarai motornya menuju rumah Lexi dengan kecepatan tinggi. Pelan tapi pasti, air matanya menetes begitu saja. Ia sakit hati dengan perlakuan ayahnya. Selama ini, ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya itu. Sejak kecil, ayahnya selalu melakukan kekerasan kepada dirinya dan ibunya. Ia tidak paham kenapa ibunya masih bertahan dengan perilaku ayahnya yang sangat keterlaluan. Rena memiliki hati yang sangat lembut, sehingga wanita itu hanya diam saja walaupun selalu ditindas oleh suaminya sendiri.
Hanya butuh waktu 10 menit saja, Jovan sudah sampai di rumah Lexi. Satpam yang berjaga di rumah gadis itu langsung membukakan gerbang untuk Jovan. Satpam dan para pembantu di rumah Lexi sudah mengenal Jovan dengan baik, Lexi sendiri yang memerintahkan mereka untuk memperlakukan Jovan seperti pemilik rumah ini juga.
Lexi yang kebetulan belum tidur dan baru saja mengambil air minum di dapur terkejut saat melihat Jovan yang memasuki rumahnya dalam keadaan kepala berdarah.
"Astaga! Jovan!" teriak Lexi histeris sambil menghampiri Jovan, "lo kenapa, Jo?! jatuh dari motor?!"
Jovan menggeleng pelan, "bukan, Lex. Papa gue..."
Lexi terdiam dan menatap miris Jovan. Ia tahu bahwa ayah Jovan itu suka sekali melakukan KDRT, tapi ia tidak menyangka kalau pria tua itu tega melakukan hal sejauh ini.
"Sini, gue obatin dulu luka lo," ajak Lexi.
Gadis itu menarik pelan tangan Jovan agar duduk di sofa ruang tamu. Lalu, ia berlari kecil ke kamar mandi untuk mengambil kotak obat yang memang ia simpan di sana. Tak lama kemudian, Lexi kembali menghampiri Jovan dengan kotak obat dan handuk kecil di tangannya.
Ia mulai membersihkan darah di kepala Jovan menggunakan handuk yang ia bawa. Lexi meringis melihat luka Jovan yang mengeluarkan banyak darah.
"Ini harus dijahit gak sih, Jo?" kata Lexi.
Jovan terkekeh pelan, "cuma luka kecil kayak gitu, ngapain harus dijahit sih? Udah lah, lo obatin aja, ntar juga sembuh sendiri."
"Tapi nanti lukanya bisa infeksi, Jo. Abis ini gue antar ke rumah sakit, ya?" ajak Lexi dengan suara cemas.
"Gak apa-apa, Lex. Lo tutup aja lukanya udah cukup kok. Udah gue cek tadi, lukanya gak terlalu lebar, cuma emang banyak darah yang keluar aja," jelas Jovan berusaha menenangkan Lexi.
Lexi hanya diam menuruti ucapan Jovan. Setelah ia amati, memang luka itu tidak robek terlalu parah dan tidak memerlukan jahitan. Ia pun melanjutkan untuk mengobati luka di kepala Jovan.
"Lo diapain sih sebenarnya, kok bisa sampai kayak gini?" tanya Lexi.
Jovan mengedikkan bahunya, "itu orang emang gak jelas banget tau gak, gue baru pulang, main ngelempar pot aja."
Lexi membelalakkan matanya terkejut, "kepala lo dilempar pot?! Papa lo tuh beneran gila, Jo! Sumpah, benci banget gue sama dia. Kirim aja dia ke rumah sakit jiwa!"
Jovan tertawa kecil, "heh! Seenaknya aja mau ngirim dia ke rumah sakit jiwa. Gila-gila gitu, dia tetep papa gue."
Lexi mendengus kesal, "dia gak pantes buat jadi papa lo."
Jovan hanya diam dan tersenyum masam. Benar kata Lexi, ayahnya itu memang tidak pantas untuk menjadi seorang ayah jika selalu menyakiti anaknya. Tapi bagaimanapun juga, Jovan tetap berusaha menghormatu pria itu sebagai ayahnya. Itu yang selalu diminta oleh ibunya.
"Dah beres!" seru Lexi sambil merapikan kotak obatnya.
"Semoga lukanya cepet sembuh. Fyuh~ Fyuh~" gumam Lexi, lalu meniup luka di kepala Jovan yang sudah ia perban.
Jovan tertawa gemas, "bisa aja sih lo, Lex. Niupin luka gue udah kayak anak kecil aja."
Lexi hanya tersenyum, "udah ah, gue mau tidur. Baju lo ada di kamar, kan? Cepet ganti baju dulu, abis itu lo juga tidur."
"Siap, Bos!" seru Jovan sambil berpose hormat.
Kemudian, mereka berdua pun berjalan menuju lift untuk naik ke kamar Lexi yang berada di lantai 4 rumah tersebut. Kalau kalian mengira mereka akan tidur bersama, maka jawabannya adalah TIDAK. Mereka tidak pernah sekalipun tidur bersama. Jovan memiliki kamar sendiri di rumah Lexi yang berada tepat di samping kamar gadis itu. Hal ini karena Jovan memang sering kabur dari amukan ayahnya dan berakhir tidur di rumah Lexi.
Lexi pun tidak keberatan untuk menjadikan salah satu kamar di rumahnya sebagai kamar pribadi Jovan. Lagipula, di rumah sebesar ini, ia hanya tinggal sendiri. Para pembantunya tinggal di rumah kecil yang berada terpisah di belakang rumah utama. Sayang sekali jika ada banyak kamar kosong.
...----------------...
Kenalan sama papa dan mamanya Jovan yukk...
Galang Arya Priyanto
45 tahun
Ayah kandung Jovan. CEO GA Group, perusahaan yang bergerak di bidang otomotif. Orang kaya, sebelas-dua belas lah sama keluarganya Lexi. Di hadapan publik, Galang tampak seperti pria yang bijaksana dan berwibawa. Tapi beda lagi kalau udah di rumah.
Kekurangannya adalah dia terlalu serakah, gila kerja, gak pernah merasa cukup sama apa yang dia punya. Dia juga suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Anak tunggalnya, yaitu Jovan, selalu menjadi korban amukannya. Dia juga toxic sama istrinya. Suka mukul istrinya, tapi abis itu dirayu-rayu lagi supaya luluh.
Rena Sekar Galuh Priyanto
42 tahun
Ibu kandung Jovan. Ibu rumah tangga yang selalu berbakti kepada suami, tapi gak pernah dihargai sama suaminya. Orangnya lemah lembut, gak pernah marah, paling cuma teriak-teriak pas Galang mulai ngamuk. Sering nangis kalau lihat anaknya dihajar sama suaminya. Gak mau cerai sama suaminya karena khawatir dengan masa depan Jovan, padahal mereka berdua sudah sangat tersiksa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!