"Ono mayat! Ono mayat!"
Seseorang berteriak kencang dari area persawahan ke arah jalan menuju desa Mangga.
"Opo, mayat? Neng dhi?" tanya warga yang mendengar teriakan tersebut.
"Di mana ada mayat? Ojo ngawe lelucon seng ora lucu!" teriak yang lain, tidak mempercayai berita tersebut.
Pagi-pagi, keadaan yang seharusnya tenang di area persawahan, kini dikejutkan dengan peristiwa yang menghebohkan para petani di desa Mangga. Penemuan mayat yang telanjang bulat di pematang sawah dengan banyak luka menunjukkan tanda-tanda kekerasan dan kemungkinan besar adalah korban pemerkosaan.
Mayat tersebut merupakan seorang gadis, meskipun identitasnya belum diketahui, sebab banyaknya lumpur yang memenuhi tubuhnya. Di tambah keadaan sekitarnya yang becek akibat hujan yang turun semalam, membuat wajahnya juga sulit dikenali dengan luka yang ada wajah dan sekujur tubuh.
Orang-orang di desa Mangga yang baru memulai aktivitas mereka, tentu saja terkejut dan panik ketika berita penemuan mayat ini menyebar. Mereka berbondong-bondong menuju lokasi kejadian untuk melihat sendiri apa yang terjadi. Beberapa warga desa yang menemukan mayat tersebut memberikan pengamatan awal tentang kondisi mayat tersebut.
"Astaga, ini kejadian yang mengerikan. Melihat mayat yang telanjang bulat dengan luka-luka seperti itu, sungguh tak terbayangkan apa yang telah dialaminya."
salah satu warga yang ikut melihat ke lokasi kejadian bergidik ngeri, setelah mengetahui kondisi mayat yang saat ini sudah ditutupi daun pisang dengan menyisakan wajahnya, supaya jika ada yang melihat bisa mengenali.
"Tubuhnya banyak luka yang berdarah, sepertinya dia mengalami perlakuan yang sangat kejam. Aku ora iso mbayangke, bagaimana mengerikan kejadian sebelum kematiannya. Sangat kejam dan biadab!" sahut yang lain.
Semua orang merasakan kengerian seakan-akan bisa membayangkan bagaimana keadaan korban saat mengalami kekerasan.
"Pakaian gadis itu tergeletak di dekat mayatnya. Sepertinya dia telah diserang dan pakaiannya dilepaskan secara paksa. Ini benar-benar serangan penjahat yang keji."
Benar, pakaian korban memang ada tak jauh dari mayat tersebut. Tapi keadaannya sudah tidak utuh, koyak di mana-mana.
"Kita harus segera memberitahu polisi tentang penemuan ini. Orang yang melakukan kejahatan ini harus dihukum seberat-beratnya." Salah satu warga lainnya, memberikan usulan.
"Iya, tapi kita harus melapor Pak lurah dulu!"
Akhirnya, mereka yang berada di area persawahan sepakat untuk melaporkan penemuan mayat tersebut ke Pak lurah terlebih dahulu, agar Pak lurah dan pejabat desa tahu dan ikut mengurus untuk laporan selanjutnya.
Kondisi ini sangat terpengaruh oleh penemuan yang tidak biasa. Mereka harus mendiskusikan dengan aparat desa dan tidak berspekulasi tentang siapa pelaku kejahatan ini sendiri, agar bisa mengambil keputusan, bagaimana sebaiknya dan seharusnya.
Tidak ada yang berani menyentuh maupun mendekat ke arah mayat, karena takut jika akan meninggalkan jejak atau sidik jari pada korban sebelum dievakuasi polisi. Ini untuk meminimalisir dampak dari sidik jari, supaya penyelidikan polisi cepat bisa diselesaikan.
"Bukankah itu Bunga?"
Tiba-tiba, salah satu warga yang baru saja datang melihat ke lokasi penemuan mengenali identitas mayat.
"Opo, Bunga?" tanya yang lain.
"Yang benar itu, Bunga?"
"Tidak mungkin, ah! Moso iku Bunga, sih?"
Mereka semua tidak percaya, jika mayat tersebut adalah Bunga. Seorang gadis warga desa Mangga yang terkenal kecantikannya sehingga dijuluki kembang desa atau bunga desa, sesuai dengan namanya.
Bunga, anak seorang janda. Kabar terakhir yang mengatakan bahwa Bunga telah menolak lamaran anak Pak lurah, Rian. Hal ini justru memberikan sudut pandang baru terkait motif di balik kejahatan ini. Warga desa mulai mencurigai Rian sebagai pelaku pemerkosaan dan pembunuhan tersebut, dengan dugaan bahwa ia mungkin merasa sakit hati karena ditolak oleh Bunga.
Untungnya, Pak lurah dan pejabat desa belum datang. Warga akhirnya bebas membuat prediksi dan perkiraan menurut pemikiran mereka sendiri.
"Sungguh mengerikan jika benar Rian yang melakukan ini. Apakah dia begitu terobsesi dengan Bunga hingga rela melakukan kekejaman seperti ini?"
"Ini benar-benar berita yang mengguncangkan. Jika pelakunya benar Rian, maka itu adalah pengkhianatan yang mengerikan terhadap kepercayaan masyarakat. Bunga harus mendapatkan keadilan!"
Sebagian warga tampak emosi, mengingat bagaimana Rian juga dipuja dan dihormati karena anaknya Pak lurah.
"Menolak lamaran bukan alasan untuk melakukan kejahatan seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan betapa menderita Bunga sebelum kematiannya. Pelaku harus ditangkap dan dihukum dengan setimpal."
Semua orang menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan dari temannya sendiri.
"Aku ora iso mikir blas, jika ternyata Rian benar-benar melakukan ini. Bagaimana mungkin seseorang yang hidup di tengah-tengah kehormatan dan kecukupan menjadi pembunuh yang kejam? Kita harus menyerahkan kasus ini kepada polisi dan membiarkan mereka menyelidikinya dengan seksama."
Ketegangan dan kecemasan warga, sangat besar, dan untungnya saja, tak lama kemudian rombongan Pak lurah datang.
Semua orang diam dan tidak berani membicarakan Rian lagi, takut jika apa yang mereka pikirkan salah. Hal ini akan membuat kehidupan mereka sendiri semakin rumit dikemudian hari, jika ternyata pelakunya bukan Rian.
***
Zahra, yang kebetulan adalah temannya Bunga, merasa prihatin terhadap nasib temannya itu. Tapi dia juga tidak percaya, jika Rian, anaknya pak lurah yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Bunga, sama seperti desas desus yang terdengar. Tapi ia juga tidak tahu, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi pada Bunga.
Zahra juga prihatin terhadap tuduhan warga pada Rian, apalagi ia juga ikut melihat bagaimana kondisi mayat Bunga, saat dievakuasi.
"Aku merasa sedih dan prihatin atas nasib Bunga. Dia adalah teman baikku, dan tidak ada yang pantas menderita seperti ini. Tapi, aku juga tidak bisa langsung menuduh Rian tanpa bukti yang kuat, sama seperti yang dituduhkan sebagian warga."
Kepala Zahra menggeleng beberapa kali, saat bergumam seorang diri. Tatapannya lurus ke depan, memikirkan apa yang sebenarnya dialami oleh Bunga.
"Aku, Bunga dan juga Rian mengenal sejak kecil. Rian tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kejahatan atau kekerasan seperti ini. Tapi itu tidak berarti dia tidak mungkin terlibat. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang harus dipercaya dalam situasi ini."
Sekali lagi, Zahra tidak percaya jika Rian tega melakukan kejahatan tersebut terhadap orang yang dicintainya.
"Setidaknya kasus ini sudah ditangani oleh polisi untuk diselidiki dengan seksama dan mengumpulkan bukti yang kuat. Hanya dengan bukti yang kuat, semua bisa terungkap. Aku berharap Bunga mendapatkan keadilan yang layak."
Akhirnya, Zahra bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju ke kamar mandi.
'Zahra!'
Telinga Zahra menangkap suara yang memanggil namanya, tapi saat menoleh tidak ada seorangpun di rumahnya. Sebab ibunya, sedang berada di rumah Bunga, menemani ibunya Bunga yang sedang bersedih atas kematian anaknya.
"Bunga? Bunga, apa itu kamu?" tanya Zahra, meyakinkan pendengarannya.
Telinga Zahra tidak mungkin salah mengenali suara yang memanggilnya tadi, sebab suara tersebut adalah milik Bunga.
"Bunga! K-amu..."
Malam ini, desa Mangga terhimpit dalam kegelapan yang menakutkan. Angin malam berbisik dengan nada sedih, memaparkan kisah misterius tentang kematian Bunga yang menghantui mereka. Dalam cahaya remang-remang bulan, tragedi di pematang sawah yang sunyi menjadi saksi bisu.
Pematang sawah yang biasanya dipenuhi oleh hijaunya tanaman padi kini menjadi saksi bisu dari kejahatan yang telah terjadi. Mayat tak bernyawa tergeletak di atas tanah, tubuhnya telanjang bulat dengan luka-luka yang merobek dagingnya. Tanda-tanda kekejaman menari-nari di sekelilingnya, meninggalkan jejak ketakutan dalam hati setiap orang yang menyaksikannya.
Bunga, gadis jelita dari desa Mangga. Wajahnya yang dulu berseri-seri dengan keceriaan dan harapan telah ternoda, kini terbungkus dalam kesedihan yang tak terbendung. Di sekitarnya, pakaian yang hancur berterbangan seperti harapan yang hancur tak berkeping-keping. Setiap helai kain menjadi saksi bisu akan kesakitan dan kengerian yang telah ia alami.
Warga desa Mangga dengan hati yang berdebar-debar, tak berani keluar rumah. Sorak-sorai kegembiraan saat bulan purnama seakan sirna, digantikan oleh tangisan dan erangan kesedihan angin yang bertiup menerpa dedaunan. Apalagi mereka, yang sempat melihat mayat Bunga dengan mata yang dipenuhi dengan kejutan dan ketakutan yang mendalam. Air mata pun mengalir, mencerminkan rasa kehilangan dan duka cita yang melanda.
'Siapakah yang melakukan perbuatan keji ini? Aku akan menuntut balas!'
Angin seakan-akan seru dengan suara gemetar, mencoba mencari jawaban dalam kegelapan yang menyelimuti seluruh alam desa Mangga.
Dalam keheningan malam, kini semua terdiam. Hanya desiran angin dengan bisikan-bisikan kecurigaan dan spekulasi, sama seperti gumaman warga. Mata-mata yang dipenuhi dengan ketidakpercayaan dan pertanyaan tanpa jawaban.
Apakah Bunga adalah korban dendam tak terungkap? Ataukah ini merupakan akibat dari pertemuan tragis dengan seseorang yang lebih gelap dari bayang-bayang malam ini?
Kini, desa Mangga terikat benang-benang ketidakpastian. Mereka terjebak dalam pusaran misteri yang merayap perlahan, memaksa mereka untuk mencari kebenaran di antara kabut-kabut yang menyelimuti. Pada malam-malam mendatang, langit dan bintang-bintang akan menjadi saksi dari upaya mereka untuk menyingkap rahasia yang menghantui desa mereka.
Namun, satu hal tetap menjadi kenyataan di antara kegelapan dan ketidakpastian, kini desa Mangga telah kehilangan seorang gadis muda yang tak bersalah. Kesuciannya telah direnggut, menghancurkan kedamaian dan menciptakan luka yang mendalam di hati setiap warga desa Mangga. Dan dalam bayangan malam, harapan akan keadilan dan kebenaran pun berkobar, menjadi api yang tak terpadamkan yang akan membimbing mereka menuju kebenaran yang sesungguhnya.
***
Serrr... wusss
Kriettt kriettt kriettt
Dalam kegelapan malam yang sunyi, Zahra justru masih terjaga. Duduk termangu di kamarnya sendiri.
Suara angin di luar berbisik-bisik dengan nada yang menakutkan, memecah kesunyian dan membangkitkan rasa cemas dalam hati Zahra. Suara itu tak bisa diabaikan, seakan-akan suara itu memiliki pesan yang perlu didengarnya.
"Hishhh... apa yang aku dengar ini?"
Tengkuk Zahra merinding, dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Seakan-akan ada kehadiran yang tak kasat mata hadir di sekelilingnya. Suara angin semakin kuat, hampir seperti suara yang mendesak, meminta bantuannya.
'Zahra... tolong, aku...'
"Bunga, apakah itu kamu?" bisik Zahra dengan ragu, seolah-olah memanggil Bunga, temannya yang sudah pergi untuk selamanya.
Zahra merasa seolah-olah suara itu adalah panggilan dari dunia lain, memohon untuk membantu menyingkap kebenaran di balik kematian Bunga.
Tubuh Zahra gemetar dalam ketakutan, tetapi dia juga merasa sebuah kekuatan dalam dirinya yang mendorongnya untuk menghadapi rasa takut tersebut. Ia merasakan panggilan itu sebagai tanggung jawabnya untuk mengetahui kebenaran yang nyata pada kejadian yang dihadapi Bunga.
Zahra mengambil langkah berani keluar dari rumahnya, berjalan perlahan menuju tempat kejadian di pematang sawah yang kelam. Angin kian menderu, hampir seperti menyertai langkah Zahra dalam misi penyelidikan yang gelap dan misterius ini.
Ketika dia mencapai lokasi, Zahra merasakan aura kehadiran yang kuat. Dia merinding ketika bayangan-bayangan kegelapan menari-nari di sekitarnya, seakan-akan Bunga sedang berusaha berkomunikasi dengan dirinya.
"Beritahu aku, Bunga. Beritahu apa yang terjadi padamu," pinta Zahra dengan suara lembut, memancarkan keinginan yang tulus untuk membantu temannya yang telah pergi.
Dalam keheningan malam, Zahra merasa seolah-olah Bunga hadir di sana. Dia bisa merasakan kehadiran temannya, meskipun tak terlihat oleh mata manusia biasa. Ada perasaan kesedihan yang terpatri dalam udara, memenuhi hati Zahra dengan emosi yang kuat.
'Tidak! Hiks hiks hiks... jangan...'
"Bunga? Neng dhi, dirimu?"
Zahra pun bertekad untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi, menyingkap lapisan misteri yang menyelimuti kematian tragis Bunga. Dalam kegelapan dan ketidakpastian, ia merasa dorongan yang kuat untuk mencari suara Bunga yang tak terdengar, meminta keadilan dan mengungkap pelaku di balik tindakan keji tersebut.
Dalam malam yang sunyi, Zahra mengumpulkan keberanian dan tekad untuk menemukan kebenaran dengan dituntun oleh suara angin itu. Dalam setiap hembusan angin, dia mendengar seruan Bunga yang terdengar lebih dekat dan memohon bantuan.
Zahra siap memulai perjalanan penuh tantangan dan bahaya demi menghormati temannya yang telah pergi, memastikan bahwa keadilan akan ditegakkan dan kebenaran akan terungkap.
Sekelebat bayangan terlihat, dan Zahra yakin bahwa itu adalah Bunga. Tapi akal sehatnya segera memberikan peringatan, jika Bunga sebenarnya sudah tiada.
"Apa yang terjadi, Bunga?" tanya Zahra dengan mata awas.
"Jika kamu membutuhkan bantuan, tolong beritahu aku, Bunga!" Zahra meminta pada kegelapan malam, seakan-akan sedang berbicara dengan temannya yang sebenarnya sudah tiada.
"Aku tahu kamu tidak tenang. Aku ngerti, jika kamu ingin menuntut balas pada pelaku. Tapi, bagaimana caranya? Ibumu tidak mengizinkan otopsi jenazah mu, tidak ada biaya untuk mencari kebenaran melalui medis. Aku pun tak bisa membantu, sebab keadaanku juga seperti ini. K-amu tahu sendiri, kan?"
Angin seperti terdiam mendengarkan perkataan Zahra. Tapi setelah Zahra selesai bicara, angin tiba-tiba tertiup kencang.
Brukkk
"Awww!"
Tubuh Zahra terpental ke belakang, seakan-akan didorong oleh kekuatan angin dari arah depan.
Ekor mata Zahra, melihat sekelibat bayangan lagi, kemudian disusul dengan bayangan orang-orang yang berlari-lari, seakan mengejar sesuatu.
Sayangnya, mata Zahra seakan-akan terpaku di satu tempat. Dia tidak bisa mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain di mana orang-orang itu sudah menangkap sosok bayangan yang pertama tadi.
'Ampun! Jangan!'
'Hahaha... cepat, seret dia!'
'Malam ini kamu tidak bisa lari lagi, Bunga!'
Zahra melotot mendengar suara seseorang yang menyebutkan nama "Bunga", tapi ia tidak bisa mengenali suara siapa itu. Sedangkan matanya juga tidak bisa dialihkan dan hanya melihat di sudut lain sehingga tidak jelas apa yang sedang terjadi.
'Zahra! Tolong aku, Zahra!'
Pagi subuh datang dengan redupnya sinar matahari yang masih terbenam di ufuk timur. Ibunya Zahra merasa gerah dengan angin pagi yang menyapu lembut wajahnya.
Seperti kebiasaan rutinitasnya, ia bermaksud membangunkan Zahra untuk pergi bersamanya ke mushola, melaksanakan sholat subuh demi menyegarkan rohani mereka berdua.
Namun, saat ibu Zahra membuka pintu kamar Zahra dengan harapan menyapa putrinya yang sedang tertidur, kejutan melintas di wajahnya. Zahra tak ada di dalam kamar.
Ibunya Zahra panik. Rasa kekhawatiran melonjak di dalam hati sang ibu. Tanpa ragu, ia berteriak memanggil nama Zahra dengan nada khawatir, memohon jawaban yang mungkin tidak diharapkannya.
"Zahra! Kamu di mana, Nak?"
Karena tidak ada jawaban, ibunya Zahra kembali berteriak memanggil dengan berkeliling ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah.
"Zahra! Di mana, kamu?"
Namun, tak ada jawaban yang terdengar. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan kehidupan subuh menjadi sunyi seketika. Ketakutan semakin memenuhi hati sang ibu saat ia berlari ke teras rumah, berharap menemukan Zahra di sana.
Clek
"Zahra?"
Namun, apa yang ditemukannya membuatnya terkejut dan hampir tak percaya pada pandangannya. Zahra tergeletak di teras rumah, tak berdaya. Wajahnya pucat dan tubuhnya lemas, seakan-akan telah sesuatu yang tidak beres
Sang ibu berlutut di samping Zahra, tangan gemetar menutup mulutnya dalam ketakutan. Air mata tak terbendung mengalir dari matanya, mencerminkan kepanikan dan kebingungan yang melanda hatinya.
"Zahra, apa yang terjadi? Siapa yang menyakiti kamu?" sang ibu berbisik, mencoba mengerti apa yang terjadi pada anaknya yang tersayang.
Dalam keheningan subuh yang tegang, pertanyaan itu terjawab oleh keheningan pagi yang membisu. Zahra tak mampu memberikan penjelasan, tubuhnya hanya merasakan sakit dan lelah yang mendalam.
"Zah-ra ... Ahhh ..."
Ibu Zahra dengan cepat berteriak memanggil bantuan. "Tolong! Siapa saja,tolong aku!"
Tapi siapa yang mau membantu di subuh pagi seperti ini, sedangkan orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Apalagi sejak kematian Bunga, banyak orang yang tidak berani keluar jika suasana masih terlihat gelap meskipun waktu sudah subuh.
"Zahra, apa yang terjadi?"
Tubuh Zahra yang dingin seakan-akan telah lama berada di luar. Ibunya menangis, karena tidak tahu apa yang benar terjadi dengan anaknya.
Karena teriakan ibunya Zahra, beberapa tetangga datang untuk mengetahui apa yang terjadi. Apalagi saat ini masih pagi buta.
"Ada apa?"
"Kenapa di Zahra?"
Beberapa orang bertanya, saat mereka sudah di depan rumah dan melihat keadaan Zahra yang tidak sadarkan diri.
"Ono opo, Yu Murni?" tanya pak Lek Jalil, sebelah rumah. Beliau sudah mengenakan peci dan sarung, siap untuk ke mushola untuk melaksanakan shalat subuh.
Akhirnya, ibunya Zahra, Murni, menceritakan keadaan anaknya mulai dari awal saat membangunkan sampai menemukannya tergeletak di teras rumah.
"Ayo, bawa ke dalam!"
Pak Lek Jalil, bersama dua orang lainnya membantu membopong tubuh zahra yang tidak sadarkan diri.
Cepat Murni masuk ke dapur, mengambil air. Pak Lek Jalil, orang yang dihormati dan disegani oleh masyarakat sekitar karena termasuk dalam golongan orang-orang alim di desa Mangga.
Pak Lek Jalil, membaca beberapa ayat suci Al-Quran kemudian membasuh muka Zahra.
"Dia sedang tidur. Biarkan sebentar, setelah bangun nanti jangan langsung ditanya dulu."
Setelah memberikan pesan pada Murni, Pak Lek Jalil mengajak semua orang untuk melanjutkan aktivitas mereka. Tapi, ia meminta pada murni untuk tetap di rumah sekaligus menjaga Zahra.
***
Setengah jam kemudian, Zahra terbangun. Tapi, ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi padanya semalam. Memori tentang kejadian itu hilang, meninggalkan kekosongan dalam ingatannya. Ibunya merasa kebingungan dan khawatir tentang apa yang mungkin terjadi pada Zahra.
"Ibu. Zahra, tidur di ruang tengah? Bukannya aku tidur di dalam kamar?" tanya Zahra kebingungan. Dia ingat betul, jika semalam sudah masuk ke dalam kamar.
"Ibu juga tidak tahu, Nduk. Mungkin kamu tidur yang sangat nyenyak atau mimpi yang membingungkan, dan berjalan keluar tanpa kamu sadari."
Ibu Zahra mendekati putrinya dengan rasa perhatian dan kepedulian yang mendalam. Tapi, Zahra tidak percaya begitu saja. Dia yakin semalam sudah menutup pintu kamarnya, meskipun hanya gerendel saja.
"Zahra, kamu harus berhati-hati dan mengunci pintu dengan benar agar tidak mengalami kejadian yang sama lagi."
Zahra yang tidak mengingat apa yang terjadi, hanya menganggukkan kepala dalam kepatuhan dan rasa hormat kepada ibunya. Dia merasa sedikit bingung dan takut karena ketidaktahuannya tentang apa yang mungkin terjadi padanya. Namun, dia merasa aman dengan perlindungan dan perhatian ibunya.
"Ya wes, Ibu ke dapur dulu. Kamu, cepat shalat subuh sebelum matahari terbit!"
Murni pamit ke dapur untuk memasak makanan yang akan digunakan untuk sarapan. Dia meminta Zahra untuk segera melaksanakan salat subuh terlebih dahulu, agar Zahra tidak melamun lagi.
Kejadian ini adalah untuk yang pertama kali bagi Zahra, jadi bisa dipastikan ia juga kebingungan.
'Aku yakin, semalam sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Tapi, kenapa aku bangun di ruang tengah?' tanya Zahra membatin.
***
Siang hari, Zahra secara kebetulan melihat Rian duduk sendirian di tepi sungai. Dia berhenti sejenak dalam perjalanannya ke warung, tertarik untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Rian. Dengan hati yang penuh keingintahuan, Zahra melangkah menuju tebing sungai untuk mendekati Rian.
Rian tampak tenggelam dalam pikirannya, tatapan matanya terfokus ke arah aliran air yang mengalir dengan tenang di depannya. Ekspresi wajahnya mencerminkan kekhawatiran dan perenungan yang mendalam. Dia tidak menyadari kedatangan Zahra dari arah belakang.
Dengan hati-hati, Zahra mendekati Rian dengan langkah yang perlahan-lahan. Dia ingin tahu apa yang sedang dilakukan Rian dan apa yang mungkin sedang dipikirkannya.
"Rian, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Zahra pelan, mencoba untuk tidak mengagetkan Rian.
Sayangnya, suara Zahra yang pelan tetap membuat Rian terkejut oleh kehadirannya, kemudian mengangkat kepalanya untuk memandang gadis yang ada di sampingnya saat ini. Dia yang terkejut dengan wajah tegang, namun tidak lama kemudian senyuman kecil muncul di bibirnya saat melihat Zahra.
"Aku hanya ingin merenung sejenak di sini," jawab Rian dengan suara yang sedikit bergetar, mencerminkan beban yang ada dalam pikirannya.
Zahra bisa merasakan kepedihan dan kebingungan yang terpancar dari wajah Rian. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rian dan ingin tahu lebih lanjut tentang keadaannya.
Zahra duduk di bebatuan samping Rian, ingin tahu lebih jauh apa yang sedang dipikirkan oleh Rian.
"Apakah ada yang membuatmu khawatir atau membebani pikiranmu?" tanya Zahra dengan hati-hati, takut menyinggung.
Rian menatap Zahra dengan tatapan campuran antara kebingungan dan harapan. Dia berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk berbagi cerita dengan Zahra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!