Pada akhir bulan Juni tahun 1999 di desa Raketan, salah satu desa yang termasuk kategori desa tertinggal dan miskin di Jawa Timur. Siang menjelang sore, seorang gadis 15 tahun berjalan terengah-engah membawa sekeranjang penuh buah mangga. Dia harus berjalan melewati beberapa sawah dan kebun untuk dapat sampai ke rumah mungilnya yang berbilik bambu.
Mangga itu didapatnya dari kebun pak Soleh yang mengizinkannya mengambil buah mangga yg jatuh sendiri dari pohonnya. Buah mangga yg jatuh ini biasanya adalah buah mangga yang jelek kualitasnya, entah itu berukuran lebih kecil atau karena busuk dimakan hama. Nantinya buah itu akan dipilih kembali oleh sang gadis. Buah mangga yang masih bisa dikonsumsi akan di jual di sekolah atau pasar desa, tentu dengan harga yang jauh dari harga normal.
Gadis itu bernama Wardah, perawakannya kurus dengan tinggi rata-rata remaja wanita di Indonesia. Kulitnya kecoklatan, rambut berombak yg sedikit memerah akibat terlalu sering di bawah sinar matahari.
Wajahnya bulat, dengan hidung yang tidak bisa dikatakan pesek, juga tidak bisa dikatakan mancung. Bangir, itu mungkin sebutannya. Bibir yang mungil dan matanya yang bulat. Mungkin matanya ini yang bisa dikatakan istimewa dari wajahnya, karena selain bulat dan bening, ia memiliki bulu mata lentik.
Wardah terus berjalan dan matanya mengerjap berbinar saat terlihat rumahnya. Gadis itu melangkah semakin lebar, berharap lelahnya berjalan sambil membawa sekeranjang penuh buah mangga segera berakhir.
"Assalamu'alaikum...", ucapnya nyaring. "Wa'alaikumsalam...", terdengar jawaban dari ibunya dari arah dapur. Kemudian segera terdengar langkah berisik dari dua adiknya, Fadil 10 tahun dan Laila 7 tahun.
Rumah itu segera ramai, suara riang celoteh Wardah dan adik-adiknya memenuhi rumah. Rumah berbilik bambu yang berukuran 6 kali 8 meter itu terbagi menjadi 4 ruangan. 1 ruang tamu sekaligus ruang makan, 2 kamar tidur dan 1 ruang dapur.
Sedangkan kamar mandi dan WC berada di luar rumah di bagian belakang bersebelahan dengan sumur. Hal ini juga yang membuat mereka sangat bersyukur karena tidak perlu ke sungai untuk mencuci, mandi dan buang hajat. Di belakang sumur dan kamar mandi terdapat tanah pekarangan yang dimanfaatkan untuk berkebun.
" Asyiiik, mbak Wardah dapat mangga banyak, Bu", seru Fadil girang. Itu artinya hari ini lumayan, selain untuk dijual, buah mangga yg tidak layak jual bisa untuk lauk menemani nasi untuk makan malam.
Dengan antusias Fadil dan Laila melakukan sortir pada buah mangga yang dibawa Wardah. Sedangkan gadis itu sendiri duduk di dipan sambil meminum segelas air yang diambilnya dari kendi (tempat menyimpan air dari tanah liat).
" Dapat dari kebun milik siapa, Mbak?", tanya sang ibu yang membawa gembili (semacam ubi jalar tapi rasanya lebih hambar) kukus dari dapur sebagai makan malam. Karena mereka sudah kehabisan beras, bersyukur masih bisa menanam ubi, singkong, gembili dan talas di halaman belakang rumah.
" Kebunnya Pak Soleh Bu, lumayan banyak yang masih bagus. Besok kan terakhir aku masuk sekolah, mau aku bawa ke sekolah. Kalau tidak habis ya aku bawa ke pasar.", jawab Wardah sambil mengatur nafasnya.
Ibu Wardah yang bernama Sajidah itu tersenyum samar. Ia menatap anak gadisnya yang menyeka keringat di dahi menggunakan ujung lengan bajunya. Anaknya itu sudah ujian kelulusan SMP, tinggal menunggu pengumuman dan ijazah keluar.
Tapi Ia ragu, akan masa depan putrinya itu. Dari jauh hari sang suami sudah berkata tidak sanggup untuk membiayai kelanjutan pendidikan Wardah. Sedangkan belum ada lelaki yang datang menanyakan putrinya untuk dinikahi.
Suatu hal yang lumrah di desa itu, anak gadis seusia Wardah untuk menikah. Bahkan ada yang begitu lulus SD sudah dinikahkan oleh orangtuanya. Sangat jarang seorang gadis melanjutkan pendidikan hingga setingkat SMA kalau bukan anak juragan kaya.
Sajidah sendiri menikah di usia 15 tahun, dan melahirkan anak pertama usia 19 tahun. Keluarganya termasuk keluarga miskin begitupun keluarga sang suami Tholibin. Rumah yang ditempatinya saat ini adalah rumah warisan dari sang mertua yg sudah meninggal dunia sebelum ia menikah dengan Tholibin.
Tholibin sendiri tidak lagi mempunyai saudara setelah saudara laki-laki satu-satunya meninggal karena tenggelam di sungai saat usia 12 tahun. Orangtua Sajidah sendiri tinggal sang ibu yang tinggal bersama sang kakak laki-laki di dusun sebelah.
Sajidah menghela nafasnya berat, ia tahu putrinya sangat ingin melanjutkan ke SMA. Para guru di sekolahpun kerap memuji kecerdasan sang putri yang selalu meraih peringkat 1 mulai dari SD sampai SMP. Ada tawaran beasiswa, tapi hanya untuk SPP-nya saja. Sedangkan untuk keperluan sekolah yang lain ditanggung sendiri. Belum lagi biaya transportasi setiap hari. Satu-satunya SMA terdekat ada di Kecamatan yang berjarak 17 km dari rumah mereka.
Sajidah berdiri berjalan ke arah jendela dan menutupnya. Hari sudah beranjak senja, semua pintu dan jendela harus segera ditutup agar tidak semakin banyak nyamuk yang masuk ke dalam rumah. Fadil dengan sigap menyalakan lampu cublik (penerang sederhana, biasanya terbuat dari botol bekas yang di beri sumbu dengan bahan bakar minyak kelapa.) untuk menerangi ruangan.
Rumah mereka belum di aliri listrik, karena tidak sanggup membayarnya. Sajidah kembali menghela nafas, menatap pintu depan yang tertutup rapat, berharap sang suami pulang membawa Rizki untuk keluarganya.
Tholibin sang suami bekerja sebagai perawat ternak milik juragan Agus, salah satu orang terkaya di desa Raketan. Ia berangkat pagi hari bersamaan dengan putrinya Laila berangkat sekolah dan kembali pulang menjelang petang.
Dulunya Sajidah juga bekerja di rumah juragan Agus sebagai pembantu rumah tangga. Namun karena kesehatannya yang terus menurun setelah melahirkan Laila dengan operasi Caesar karena terjadi pre eklamsia. Akhirnya Sajidah memutuskan berhenti daripada sering tidak masuk kerja karena sakit. Ia tidak enak hati pada majikannya.
Beruntung Tholibin diwarisi rumah yang masih mempunyai sisa tanah yang cukup luas di halaman belakang. Sajidah bercocok tanam sederhana di sana. Terutama menanam tanaman pengganti beras, toga, sayur-sayuran yang bisa di konsumsi sendiri dan dijual jika hasil panennya melimpah.
Wardah mencuci potongan-potongan kecil mangga hasil sortir Fadil dan Laila. Potongan kecil yang masih bisa dikonsumsi dari buah mangga yang busuk. Ada yang sudah matang dan ada pula yang masih muda.
Setelah dicuci bersih, Wardah kembali memotongnya jadi lebih kecil. Kemudian diletakkan di dalam baskom plastik bekas tempat nasi hajatan. Diambilnya sejumput garam dan irisan cabe rawit. Diaduknya dengan cepat semua yang ada di dalam baskom. Hasilnya adalah rasa yang persis dengan permen nano-nano, manis, asam, asin dan pedas.
Wardah kembali ke ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan, ruang keluarga dan ruang belajar. Di sana menunggu Fadil dan Laila uang dengan antusias duduk di dipan dengan sepiring gembili kukus di hadapan mereka. Wardah menyisihkan sebagian sambal mangga itu diatas piring plastik untuk kedua orang tuanya.
" Alhamdulillah...", ucapnya lirih melihat kedua adiknya dengan lahap memakan gembili kukus dengan lauk sambal mangga. Paling tidak, sambal mangganya memberi sedikit warna
dari rasa gembili kukus yang hambar, tidak selezat singkong, ubi atau talas.
Tapi untuk hari ini dan mungkin seminggu ke depan, jenis umbi-umbian inilah yang harus mereka makan. Karena hanya gembili yg siap di panen daripada singkong, ubi dan talas yg tumbuh di halaman belakang.
Setelah kedua adiknya selesai makan barulah Wardah memakan gembili kukus dan sambal mangga yang tersisa. Mungkin besok siang pulang dari pasar Ia akan mengajak Fadil untuk mencari ikan di sungai sebagai lauk. Ia tahu, ibu dan ayahnya tak lagi punya uang untuk sekedar membeli tempe atau tahu untuk lauk.
" Mbak, bapakmu kok belu pulang ya? Sudah lewat Isya' ini.", suara ibunya yang resah mengalihkan lamunan Wardah. Gadis itu mengendikkan bahunya sebagai tanda tidak tahu mengapa Tholibin belum juga pulang.
" Mbak, maaf ya, bapak tidak bisa menyekolahkan kamu sampai SMA. Tidak ada biayanya, belum lagi menyekolahkan adik-adikmu. Tidak apa-apa ya, mbak? ", ucap Sajidah sambil mengelus bahu Wardah. Gadis itu hanya mengangguk pelan kemudian beranjak membereskan alat makan ke dapur.
Wardah melangkah dengan gontai ke arah dapur, perlahan meletakan piring kosong di dekat tumang ( kompor dari batu bata dan tanah liat dengan bahan bakar kayu) untuk dicuci esok hari. Sumur yg terletak di luar terlalu gelap, Ia harus membawa cublik jika mencuci piring sekarang.
Perlahan Wardah menyusut setetes bening di ujung matanya. Bohong, kalau Ia tidak ingin menangis saat ini. Bohong, kalau Ia tidak merasa kecewa dengan keputusan orangtuanya. Bohong, kalau Ia tidak merasa marah dengan kemiskinan yang merenggut cita-citanya.
Tapi dia bisa apa? Bahkan beasiswa yang diraihnya dengan belajar mati-matian terbuang percuma. Beasiswa itu hanya menanggung biaya sekolah, tapi tidak dengan biaya-biaya pendukung yang lain, seperti biaya transportasi, seragam dan peralatan sekolah.
Selama bersekolah di tingkat SD dan SMP, tidak pernah dia meraih peringkat 2, selalu peringkat 1. Bahkan Putri anak Pak Kepala desa dan Rizal anak juragan Agus orang paling kaya di desanya harus puas di peringkat 2 dan 3.
Ironisnya, kini malah dia yang justru tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Sedangkan Putri dan Rizal sudah pasti meneruskan SMA-nya di kecamatan. Kabarnya Rizal akan indekos di dekat kantor kecamatan yang letaknya tepat di samping kanan gedung sekolah SMA, sedangkan Putri akan tinggal di rumah Budenya.
Rasa sedih, kesal, marah jadi satu di hati Wardah. Tapi gadis yang dituntut cepat dewasa karena keadaan itu sadar, bahwa kehidupan akan tetap berjalan walaupun tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Bapaknya, Tholibin hanya seorang perawat ternak yang tidak hewan ternak sendiri. Saat ini bapaknya bekerja di sawah juragan Agus, sekaligus mencari rumput untuk sapi dan kambing ternaknya. Gajinya setiap 14 hari sekali, dan itu hanya cukup untuk makan seadanya dan biaya sekolah.
Wardah memahami bahwa mustahil mengharapkan biaya melanjutkan pendidikan pada bapaknya. Maka dia memutuskan untuk mencari pekerjaan demi membantu meringankan beban orangtua dan untuk dirinya sendiri.
Dia berharap dari hasil bekerja itu dapat menyisihkan sedikit rizki untuk melanjutkan pendidikan mengambil paket C. Dan malam ini dia bertekad berbicara dengan kedua orangtuanya akan rencananya itu. Wardah berharap orangtuanya akan mendukung keinginannya itu.
Sebelumnya, Wardah sudah berbicara dengan Bude Warni, pemilik warung nasi di pasar desa. Setiap hari warungnya selalu ramai pembeli karena konon rasa makanannya yang lezat dan tempatnya yang bersih.
Rencananya Wardah akan bertugas sebagai pencuci piring dan bersih-bersih. Untuk yang melayani pelanggan sudah ada mbak Saroh yang sudah 5 tahun bekerja di sana. Mbak Saroh ini juga satu alumni di SMP nya.
Warung itu buka mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore. Pegawai warung harus datang sebelum jam 6. Jadi Wardah harus berangkat dari rumah jam 5 pagi, berjalan kaki selama 40 menit untuk sampai ke warung. Paling tidak ada waktu 10 menit sampai dengan jam bukanya warung.
Wardah juga telah memperhitungkan waktu kepulangannya. Menurut mbak Saroh, setelah tutup, semua pegawai dan Bude Warni akan membersihkan warung terlebih dahulu sebelum pulang. Biasanya jam 15.30 mereka baru bisa pulang ke rumah.
Gaji yang ditawarkan hanya setengah gaji bapaknya. Pembayarannya sama, setiap 14 hari. Warung tutup setiap hari Jum'at, karena kata Bude Warni hari itu sepi pembeli. Warung justru paling ramai pembeli pada hari Minggu.
Yang membuat Wardah senang adalah, jika masih banyak lauk atau nasi yang masih tersisa hari itu, maka Bude Warni tidak segan untuk membawakan pulang bagi para pegawainya. Ia berharap adik-adiknya akan mendapatkan perbaikan gizi nantinya.
Wardah membayangkan, betapa senangnya Fadil dan Laila bisa makan makanan warung bude warni yang terkenal enak di desa. Belum lagi kata mbak Saroh, kalau dalam satu bulan warung selalu ramai, mereka akan menerima tambahan bonus dari bude Warni.
Bude Warni juga menyediakan jasa menjadi juru masak bagi orang hajatan di desa. Wardah akan memohon agar nanti di ikut sertakan jika bude Warni menerima pekerjaan itu. Terserah Wardah mau bertugas menjadi apa, yang penting dapat uang.
" Assalamu'alaikum...", tiba-tiba terdengar suara berat bapaknya masuk ke dalam rumah. Wardah segera bangkit mengambil sisa gembili kukus yang masih ada di kukusan. Tak lupa sambal mangganya di tenteng tangan kirinya.
Wardah melangkahkan kaki sambil menata kata-kata dalam otaknya. Sekiranya bapaknya akan setuju dengan rencananya untuk bekerja di warung Bude Warni. Karena Wardah tahu bapaknya itu walaupun berwajah sangar, tapi berhati baik.
"Assalamu'alaikum...", terdengar suara Tholibin memasuki rumah. " Wa'alaikumsalam, kok malam sekali pulangnya Pak? Ada apa?", tanya Sajidah sambil mengangsurkan segelas air pada sang suami.
Tholibin duduk di dipan kemudian meneguk tandas segelas air dari tangan istrinya. Diaturnya nafas terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Sajidah, karena akan berupa kalimat yang cukup panjang.
" Musibah Bu, kambingnya pak Agus mati kena penyakit. Yang mati satu, yang sakit tiga. Ini tadi ngubur lalu memindahkan yang sakit ke kandang belakang agar tidak menulari yang lain. Sore di ajak pak Agus lapor ke pak Bayan dan mantri Tani. Isya' baru kembali dari rumah pak mantri. Besok akan disuntik semua termasuk sapinya."
Sajidah manggut-manggut mendengar cerita Tholibin. Memang wajah sang suami terlihat lelah, ternyata ternak yang dirawatnya ada yang mati dan sakit. Kalau ada ternak yang mati karena sakit seperti ini memang harus segera dilaporkan pada perangkat desa agar segera di tanggulangi. Karena jika tidak, akan cepat menular dan merugikan banyak peternak yang lain.
Tholibin bangkit meraih obor yang menempel di dinding yang terbuat dari anyaman bambu, itu tandanya ia akan mandi di sumur belakang. Sajidah dengan sigap masuk ke kamar belakang, mengambilkan pakaian ganti dan handuk untuk sang suami.
Wardah hanya terdiam duduk di ujung dipan, ia masih harus menunggu bapaknya menyelesaikan mandi dan makan malamnya terlebih dahulu sebelum mengutarakan keinginannya untuk bekerja di warung Bude Warni.
Alis Tholibin terangkat ketika menyaksikan hidangan di hadapannya. " Wah, dapat mangga dari mana ini?", tanyanya penuh selidik. Keluarganya memang miskin, tapi pantang bagi mereka untuk mengambil yang bukan haknya.
" Wardah siang tadi mengambil mangga yang jatuh sendiri ke tanah di kebun milik pak Soleh, Pak. Wardah sudah izin kok, sama pak Soleh disuruh mengambil sampai tidak tersisa. Itu dapat satu keranjang."
Jelas Wardah dengan lancar, ia tahu bapaknya tidak akan marah jika ia tidak melakukan kesalahan yang fatal. Tholibin manggut-manggut, lalu mengucapkan hamdalah. Ia hanya khawatir anaknya melakukan kesalahan yang melanggar aturan agama, negara dan masyarakat.
Waktu pun berlalu, Wardah melirik bapaknya yang sudah menuntaskan makan malamnya. Ia menelan ludah sebelum mulai berbicara untuk mengurangi rasa gugupnya. " Pak, Wardah mau berbicara dengan Bapak." , ucapnya pelan namun masih bisa terdengar jelas di ruangan sempit itu.
Tholibin menghela nafasnya, putrinya ini pasti akan meminta untuk melanjutkan pendidikan seperti teman-temannya yang lain. Tapi apapun yang akan di utarakan oleh putrinya ia harus siap mendengarkan. " Mau bicara apa, mbak?"
Wardah meremas kedua telapak tangannya yang berkeringat karena gugup. " Mmm... Begini Pak, Wardah setelah lulus SMP mau bekerja ikut warungnya Bude Warni yang di pojok pasar itu. Pekerjaannya mencuci piring dan bersih-bersih warung. Kerjanya mulai jam 6 pagi sampai jam setengah empat sore, liburnya setiap hari Jum'at. Boleh ya Pak?", ucapnya hati-hati.
Tholibin dan Sajidah membelalakkan mata lalu saling pandang. Mereka tidak menyangka Wardah berkeinginan untuk bekerja. Mulanya mereka mengira anak gadisnya itu akan kembali membahas tentang beasiswa untuk melanjutkan ke SMA seperti beberapa hari yang lalu.
Mata keduanya berkaca-kaca, anak perempuan yang mereka besarkan dengan serba keterbatasan telah beranjak dewasa. Anak perempuan yang sejak kecil tidak pernah mengeluh meski tak mampu menikmati kemewahan. Yang ikut berjuang dengan kemampuannya yang terbatas agar semua anggota keluarganya bisa makan.
Anak bermata bulat, yang dari usia balita sudah ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan berkebun bersama ibunya. Saat sudah masuk SD, Wardah juga menjadi pemulung, mengumpulkan sampah plastik untuk dijual kembali. Terkadang saat musim buah tiba, Wardah meminta belas kasih si pemilik kebun untuk memunguti buah yang jatuh sendiri ke tanah. Yang masih bagus akan ia jual, sedangkan yang sisa nya akan diolah sebagai pendamping makan bagi keluarganya.
Wardah yang melihat bapak dan ibunya melotot, mencelos hatinya. Dipejamkannya mata rapat-rapat, siap untuk menerima amarah. Sedetik, dua detik tak ada suara terdengar. Namun tiba-tiba tubuhnya dipeluk erat oleh Sajidah dan Tholibin, ia merasakan ibunya mencium keningnya dengan dagu yang basah.
" Maaf ya ,mbak. Bapak dan ibu tidak bisa menyekolahkanmu. Maaf ya, mbak", terdengar suara berat sang bapak di tengah sedu sedan ibunya. Wardah menganggukan kepalanya, ia tidak pernah menyalahkan kedua orangtuanya.
Tholibin mengurai pelukan ketiganya, tangan nya mengusap kepala putrinya dengan sayang. " Terimakasih ya mbak, kamu mau membantu bapak bekerja. Tapi jangan lupa akhlak di jaga, yang amanah, jujur dan rajin. Kalau pagi bapak bisa mengantar sampai perempatan, kalau sore bapak jemput ke warung."
Wardah tersenyum dan mengangguk kuat, itu artinya bapak sudah setuju akan keinginannya untuk bekerja. Bapaknya memang bukan orang yang suka bertele-tele dan membuang kata. "InsyaAllah, terimakasih bapak.", ucapnya lega sudah diperbolehkan bekerja di warung Bude Warni.
Bibir Wardah melengkung keatas dengan sempurna. Merasakan pelukan dan usapan tangan bapaknya adalah sebuah kemewahan baginya. Karena sangat jarang sekali sang bapak melakukannya. Makanya malam ini hatinya sangat senang. Apalagi saat membayangkan dirinya mulai bekerja di warung Bude Warni, tambah giranglah hatinya.
Wardah berencana selain bekerja ia sekaligus mempelajari resep masakan Bude Warni yang terkenal lezat. Mungkin suatu saat ia bisa membuka warung sendiri, atau kalau ada rizki, ia akan memasakkan makanan yang lezat untuk keluarganya.
Malam itu Wardah tidur dengan senyum dibibirnya. Meskipun harus tidur berhimpitan dengan kedua adiknya di atas kasur busa bekas yang diberi oleh Pak Agus. Ya, sebagian besar barang di rumah ini adalah barang bekas pakai pemberian dari pak Agus majikan bapaknya.
Karena itulah Tholibin setia kepada juragan Agus. Beberapa kali majikannya itu tak segan membantunya. Seperti saat Sajidah harus operasi Caesar saat melahirkan Laila. Kalau tidak di bantu juragan Agus, mungkin Laila tidak akan lahir dengan selamat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!