NovelToon NovelToon

Pembalasan Istri Terbuang

Hidup dan bernapas

Tek tek tek

Suara terdengar dari pisau yang beradu konstans dengan talenan. Suaranya berasal dari sebuah dapur yang tampak berantakan dengan asap yang mengepul dan wangi bumbu yang menyengat. Seorang wanita bertubuh tambun berhenti sejenak untuk mengirisan bawang saat matanya terasa begitu perih dan berair. Ia menyeka air matanya dengan bahunya lalu sedikit menengadah agar air matanya berhenti menetes.

Suara panci presto terdengar memekakkan telinga. Ia segera mematikan kompornya dan mengganjal tabung ventilasi panci itu dengan spatula kayu, uap pun langsung keluar. Sambil menunggu desisan panci itu berhenti, Anjani melanjutkan kegiatan memotong bawang merah yang belum ia rampungkan. Wajan penggorengan ia perhatikan benar, khawatir minyaknya terlalu panas.

“Daun bawangnya di potong panjang aja, jangan terlalu kecil. Gak cantik!” komentar seorang wanita yang baru menghampiri Anjani. Dia adalah Widi, ibu mertua sekaligus nyonya rumah di rumah besar ini. Wanita itu sudah terlihat segar dan cantik, berbanding terbalik dengan Anjani yang masih berbau bumbu. Hidupnya ia habiskan di dapur, menyiapkan menu makanan tiga kali sehari juga membuat kudapan yang diinginkan Widi serta anak bungsunya.

“Iya, Mah.” Anjani patuh saja. Meski di rumah ini ada beberapa ART, tetapi memasak tetap menjadi tugas utamanya. Bagi Widi, sia-sia membiayai Anjani kursus memasak kalau ilmunya tidak digunakan.

“Masih lama gak matengnya? Bentar lagi Cheryl datang loh.” Wanita itu memperhatikan meja hidang yang masih kosong.

“Sebentar lagi Mah, tinggal di plating. Mba, tolong ya....” Ia meminta bantuan ART yang sedari tadi hanya mematung memperhatikan Anjani memasak.

“Baik, Bu.” Seorang ART segera mendekat dan menata makanan di atas piring. Sudah empat menu yang matang dan keringat Anjani sudah berjatuhan. Mungkin ukurannya setara dengan bulir jagung.

Tidak lama, terdengar suara bell berbunyi. Anjani melihat jam dinding yang ada di depan matanya. Ternyata sudah jam tujuh malam. Rasanya ia sudah mengerahkan semua tenaganya, tetapi masih saja keteteran.

“Lelet kamu! Keburu datang kan Cheryl-nya.” Mata Widi mendelik tajam pada Anjani. Lantas beranjak untuk membukakan pintu.

Anjani hanya bisa terdiam melihat perlakuan mertuanya. Padahal dirinyalah yang menjadi menantu di rumah ini, tetapi Cheryl yang selalu ia puja-puja. Sungguh, ini menyakitkan. Namun, sekalipun ia kesal, tetap saja ia hanya bisa memendamnya dalam hati. Toh pada akhirnya tidak ada yang bisa ia lakukan. Meminta keadilan? Pada siapa?

Anjani bukan siapa-siapa di rumah ini. Hanya seorang menantu sekaligus istri yang tidak diinginkan oleh keluarga suaminya. Hanya satu orang yang selalu berbuat baik pada Anjani dan menyayanginya dengan tulus, yaitu kakek mertuanya yang meninggal tiga bulan lalu.

“Tanteee... apa kabar?” suara itu masih bisa didengar oleh Anjani.

Suara manja khas milik Cheryl, seorang artis terkenal. Gadis bermata cokelat itu menjadi model iklan di perusahaan milik suaminya. Sudah sebulan ini Cheryl sering datang ke rumah untuk sekadar bertemu Widi dan sesekali menginap. Kalau di hitung-hitung, satu minggu ini sudah dua kali Cheryl menginap. Alasannya karena ia merasa kesepian di apartemennya, tinggal jauh dari orang tuanya yang ada di Yogyakarta.

“Baik dong. Cheryl keliatan makin cantik aja sih. Perawatan di mana?” Widi yang penasaran mengusap pipi mulus bersemu kemerahan milik gadis itu.

“Biasa Tan, ada klien yang pengen tempat usahanya di promoin. Dia ngasih tawaran kerja sama, ya aku coba dulu perawatan di sana. Kalau bagus, baru aku terima. Menurut Tante, hasilnya bagus gak?” Gadis itu memamerkan kulitnya yang lembut seperti ****^* bayi, berpadu dengan lesuk pipi yang menawan. Terlihat cantik saat ia tersenyum.

“Cantik banget... kapan-kapan ajak tante ke sana dong, tante juga pengen perawatan, perasaan muka tambah kendur aja.” Widi menekan-nekan pipinya yang sudah tidak sekencang dahulu.

“Sip! Nanti Cheryl ajak Tante ke sana.”

“Makasih Cheryl.” Widi tersenyum senang mendengar ajakan gadis berambut cokelat itu.

“Kak Andrew mana Tan, belum pulang kerja?” Cheryl celingukan mencari keberadaan Andrew, anak pertama keluarga Sanjaya, alias suami Anjani.

“Udah pulang kok. Bentar biar di panggilin.” Kalau sudah begini, sudah pasti Anjani yang diminta memanggilkan suaminya.

“Jani, panggil suamimu. Masaknya udah selesai kan?” benar bukan. Anjani lah sasaran mepuk untuk ia suruh-suruh.

“Iya, Mah.” Anjani segera mengelap tangannya dengan serbet. Lantas berjalan cepat menuju tangga ke lantai dua. Saat Anjani melintas di depan Cheryl, gadis itu tidak berniat menyapa sedikitpun, lebih memilih memalingkan wajahnya sambil terkekeh geli bersama Widi, melihat cara jalan wanita bertubuh gempal yang menurutnya mirip pinguin.

“Itu gak apa-apa Tan, nyuruh dia yang manggil?” Cheryl bahkan enggan menyebut nama Anjani.

“Biarin aja biar kurusan. Tante sesak tiap waktu liat badan dia yang segede lemari kristal begitu.” Widi ikut mendelik melihat Anjani yang kesulitan menaiki anak tangga. Baru empat anak tangga saja napasnya sudah ngos-ngosan. Masih ada sekitar delapan anak tangga lagi untuk sampai ke lantai dua.

“Cepetan doang, udah mau lewat nih jam makan malam!” Widi bersuara dengan sinis. Siapa lagi yang ia maksud kalau bukan Anjani.

“Iya, Mah.” Seperti orang bodoh, Anjani hanya bisa menurut saja.

Tiba di depan kamarnya, Anjani hendak mengetuk pintu kamar. Ia masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. Tetapi tiba-tiba saja pintu terbuka dan menampakkan sesosok pria berkacamata dengan tampilan wajah yang segar dan bersih. Wangi parfumnya juga menyengat segar.

Dialah Andrew, suami Anjani. Laki-laki yang sangat sempurna, dengan mata hitam pekat yang tajam, hidung yang bangir, bibir yang berisi juga rahang yang kokoh. Alisnya yang rapi tampak menarik saat berkerut seperti itu. Kekurangannya hanya satu, sikapnya terlalu dingin.

“Mau apa kamu?” Cara bicara Andrew memang tidak berbeda jauh dengan cara berbicara Widi.

“Em, itu Mamah manggil buat makan malam, Mas.” Meski begitu, tatapan dingin Andrew selalu berhasil membuat jantung Anjani berdebar kencang.

Pria bertubuh atletis itu tidak menimpali, membiarkan Anjani tersenyum kelu hingga giginya kering. Ia memilih turun untuk makan malam.

“Kak Andrew!!!” Seruan manja itu datangnya dari Cheryl. Dia berhambur memeluk Andrew dan cium pipi kanan kiri tanpa ragu.

Anjani mengintip dari atas. Ia melihat Cheryl bergelayut manja di lengan kokoh suaminya. Hati Anjani meringis melihat sikap Cheryl. Tidak hanya satu kali ini, tetapi sudah berkali-kali Cheryl melakukan hal ini dihadapannya dan ibu mertuanya tanpa rasa ragu atau malu. Yang lebih membuat mencelos, Widi malah tersenyum, ikut senang melihat interaksi akrab dan hangat antara Cheryl dengan putra sulungnya. Salahkah kalau seorang Anjani cemburu dan merasa tidak ada artinya di rumah ini?

Tanpa sadar, air mata Anjani menetes begitu saja saat melihat tangan Andrew dengan ringan melingkar di pinggang ramping Cheryl. Mereka melenggang kangkung menuju meja makan yang sudah terisi penuh makanan.

Anjani hanya bisa mengelus dadanya dengan hati yang pedih. Lantas mengusap air matanya dengan kasar. Semua sikap manis Andrew pada Cheryl begitu nyata di depan matanya, sementara sebagai seorang istri, ia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu.

“Mas, kamu kok tega? Aku istri kamu, masih bernapas dan memiliki perasaan.” Hati Anjani gemetar saat lisannya berucap. Ia menggigit bibirnya kelu, meraup udara dalam-dalam untuk menyabarkan hatinya yang bergejolak.

“Anjani! Di mana kamu?” panggil Widi dengan suara lantang dari bawah sana.

Haruskah Anjani turun dan menemui mereka?

****

Obat pelangsing

Menahan diri itu sulit, tetapi terdiam dan bersembunyi seperti pengecut pun bukan pilihan yang bisa di ambil oleh Anjani. Karena itu, wanita berpenampilan sederhana layaknya ibu rumah tangga ini turun, untuk menemui ibu mertua dan suami serta tamunya. Ia harus melayani keluarganya yang akan malam. Mengesampingkan egonya dengan menaruh piring di hadapan anggota keluarganya. Mengisinya dengan nasi dan mendekatkan lauk yang sudah ia masak seharian. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh Anjani sebagai menantu di keluarga Sanjaya.

“Kamu mau makan sama pake apa Cheryl? Tante masak sapo tahu kesukaan kamu, cobalah.” Cheryl menjadi perhatian penting bagi Widi. Seorang Anjani yang bertubuh besar di hadapannya, ia hiraukan keberadaannya.

“Iya Tante, Cheryl mau sapo tahunya,” timpal gadis berkulit putih itu.

“Ambilin dong, ngapain kamu diem aja?” Suara Widi meninggi, setengah membentak Anjani karena di anggap tidak sigap. Padahal jarak piring berisi sapo tahu tidak lah jauh dari Cheryl, malah lebih dekat di banding dari Anjani.

“Iya, Mah.” Anjani beranjak dari tempat duduknya, tetapi tiba-tiba tangan Andrew menahannya.

“Biar aku aja,” ucapnya dingin. Ia mengambilkan piring beiris sapo tahu untuk Cheryl dan menaruhnya di atas piring gadis itu. Anjani hanya tersenyum kelu lalu duduk kembali.

“Makasih Kak Andrew, udah cukup segitu aja.” Suara Cheryl memang sangat menggemaskan bagi Widi dan Andrew  tetapi untuk Anjani sangat mengganggu. Dari cara bicaranya saja gadis itu terang-terangan sedang berusaha bermanja dengan suaminya. Telinganya sakit mendengar suara wanita itu.

“Makan yang banyak.” Dan Andrew tidak keberatan. Mereka berdua makan dengan lahap sementara Anjani masih memandangi menu yang tersaji di depan matanya. Seperti ada kabut yang menghalangi pandangannya dan nyaris turun hujan di kedua pipinya. Wanita itu menghela napasnya dalam untuk menenangkan dirinya sendiri, seperti biasa dia tidak boleh berreaksi berlebih atau hatinya akan semakin lelah menjalani hari yang sudah terasa berat setiap harinya.

Setelah merasa tenang, Anjani mengambil sedikit nasi dan lauknya. Tidak banyak yang ia makan karena perutnya sudah merasa kenyang setelah seharian mencium bau masakan.

“Tan, minggu ini aku ada fashion show, Tante sama Kak Andrew bisa datang kan?” Cheryl membuka obrolan.

“Dimana?” Widi terlihat antusias.

“Di salah satu hotel bintang lima. Nanti Cheryl kirim invitationnya* ke tante sama Kak Andrew. Pastikan hadir yaa\, biar Cheryl semangat. Kalau baju yang Cheryl peragain banyak yang beli\, ada kemungkinan Cheryl akan jadi BA designer** itu.” Alunan kalimat Cheryl terdengar manis untuk di dengar. Sayangnya kalimat itu hanya di tujukan untuk Widi dan Andrew. Anjani bukan bagian dari circle* model yang sedang naik daun ini.

“Ya, Tante sama Andrew pasti hadir dong buat nyemangatin kamu. Iya kan, Drew?” pertanyaan Widi membuat Anjani ikut melirik, menunggu jawaban suaminya.

“Aku usahakan kalau tidak ada kesibukan.” Andrew menjawab dengan diplomatis. Dia bilang akan diusahakan kalau tidak ada kesibukan. Apa Anjani buat suaminya sibuk saja supaya tidak bisa datang?

Hah, seketika pikiran jahat dari wanita yang sedang cemburu merasuki pikiran dan hati Anjani. Tiga orang ini benar-benar menganggap Anjani tidak ada di antara mereka. Bebas bercengkrama hangat di depan wanita yang dengan sadar mereka sakiti.

“Badan segede gini aja aku gak keliatan, apalagi kalau aku kurus....” Sempat-sempatnya Anjani mengupahi dirinya sendiri dengan kalimat itu. Hal itu membuat Anjani sedikit tersenyum, tersenyum kelu menertawakan penderitaannya selama satu tahun menikah bersama Andrew.

“Aku pulang,” sebuah suara mengusik pikiran Anjani. Suara itu adalah milik sang adik ipar, Carissa. Seperti biasa, mahasiswi semester empat ini baru pulang kuliah. Wajahnya tampak lelah dan langkahnya terlihat malas.

“Cuci tangan, kita makan sama-sama.” Widi yang menyabut putri bungsunya.

“Aku gak laper. Mba, bikinin aku minuman hangat kayak waktu itu ya, badanku gak enak.” Gadis itu menepuk bahu Anjani seraya berlalu pergi menuju kamarnya. Kamarnya ada di lantai satu, berdekatan dengan kamar Widi.

“Iya,” Anjani segera beranjak hendak membuatkan minuman untuk adik iparnya. Ia sudah sangat biasa di perintah oleh adik iparnya ini.

Tiga orang di meja makan itu tetap melanjutkan makan malamnya. Sesekali Cheryl tersenyum sinis melihat gadis desa yang lebih cocok menjadi pelayan di rumah ini di banding seorang menantu. “Aku pengen ngajak kak Jani juga, tapi aku gak yakin kalau ada baju yang muat buat dia. Sorry ya Kak,” Cheryl menunjukkan wajah penuh sesalnya pada Andrew.

“Gak usah, dia juga gak akan mau ikut.” Andrew hanya melirik wanita itu dari kejauhan. Yang mereka bicarakan mendengar sedikit perbincangan dua orang itu, lantas hanya tersenyum getir. Ia cukup sadar diri dengan kondisi tubuhnya yang jauh dari kata ideal, tetapi ucapan Andrew membuat lukanya semakin sakit. Ia sengaja tidak berbalik, tidak ingin memperlihatkan wajah sedihnya pada orang-orang itu. Bukankah mereka akan merasa puas saat melihat Anjani tersakiti?

Setelah membuatkan minuman, Anjani menuju kamar Carissa. Ia mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat.

“Masuk, Mba.” Suara Carissa terdengar serak. Sepertinya gadis itu memang tidak enak badan karena sedari tadi terus menerus membuang ingusnya dan tissue sudah berserakan di lantai.

“Ini minumannya ya. Kalau mau makan, Mba udah bikinin sup, tinggal di angetin aja,” ucap Anjani. Ia menyentuh dahi Carissa dan memang teraba hambar.

“Aku baik-baik aja.” Gadis itu menyingkirkan tangan Anjani yang berada di dahinya lalu mengambil gelas minuman yang sudah dibuatkan oleh Anjani. Ia menghirup hangatnya wangi jahe yang melegakan tenggorokannya.

“Istirahat ya, jangan lupa minum obat,” pesan Anjani.

“Hem, makasih.” Walaupun acuh, gadis ini masih tahu berterima kasih. Mungkin hanya gadis ini yang membuat Anjani merasa di anggap di rumah ini.

Anjani segera kembali ke meja makan. Orang-orang sudah selesai makan dan menyisakan piring yang kotor. Mereka sudah berpindah ke ruang keluarga. Anjani melihat kalau ketiga orang itu asyik berbincang. Sesekali Cheryl mencandai suaminya dan membuat suaminya tersenyum kecil, senyum yang jarang sekali tertuju untuknya. Gadis itu bahkan tidak ragu untuk bersandar di bahu Andrew dan suaminya membiarkannya begitu saja.

Selera makan Anjani mendadak hilang. Ia memilih membereskan piring dan gelas yang kotor. Rasanya ia ingin segera masuk ke kamarnya dan menenangkan dirinya di dalam sana. Sambil membereskan piring bekas pakai dan mengelap meja makan, ia kemudian berpikir, kapan penderitaannya akan berakhir? Apa ia begitu tidak menarik hingga suaminya lebih suka mencandai gadis lain secara terang-terangan di hadapannya? Bukankah dulu ia kembang desa?

“Kak Jani, sini deh.” Tiba-tiba saja Cheryl memanggilnya. Apa lagi maunya gadis ini?

“Ya,” Anjani masih berusaha tersenyum pada gadis itu. Ia menghampiri Cheryl, namun rasanya sungkan untuk duduk bersama mereka.

“Nih, aku punya obat diet. Cobain deh. Temenku turun enam kilo dalam seminggu.” Gadis itu menyodorkan obat dalam sebuah botol plastik berwarna putih. Anjani ragu untuk menerimanya, ia tidak mau sembarangan minum obat.

“Ngapain kamu diem aja? Kamu mau badan kamu tetep segede arca borobudur?” Adalah Widi yang berujar dengan sinis, sementara Andrew hanya meliriknya.

“Oh iya, terima kasih ya.” Akhirnya Anjani menerima obat itu.

“Sama-sama. Minumnya sebelum tidur. Di jamin paten.” Gadis itu terlihat begitu semangat.

“Iya, nanti aku coba. Aku permisi dulu.” Anjani memilih pergi setelah menerima obat itu. Tidak ada yang menimpalinya, karena ia hanya di anggap angin lalu. Ia bergegas pergi menuju kamarnya. Dari anak tangga kedua ia menoleh suaminya dan laki-laki itu kembali tersenyum saat Cheryl mencandainya. Cheryl bahkan menyentuh pipi suaminya dan Andrew membiarkannya begitu saja. Andrew sempat melirik Anjani dan Anjani segera memalingkan wajahnya. Hatinya selalu sakit setiap kali melihat wajah tanpa bersalah milik suaminya. Ia merasa tempatnya bukan di sini, kalau pun harus bicara dengan suaminya, ini bukan waktu yang tepat.

Di dalam kamarnya Anjani memandangi dirinya di cermin. Dia baru selesai mandi dan sedang menyisir rambutnya. Dipandanginya botol obat yang ia taruh di meja riasnya. Dia juga memperhatikan badannya yang memang sangat gemuk.

Bobot tubuhnya sekarang sekitar 108 kg, masuk ke dalam ketegori obesitas. Dulu tubuh Anjani tidak sebesar ini, berat badannya hanya sampai 52 kg. Tetapi sejak kakek mertuanya menyuruhnya untuk ikut program hamil, berat badan Anjani bertambah pesat. Lima bulan lalu, ia sempat merasakan memiliki janin. Di rahimnya tumbuh calon bayi yang menjadi kesayangan kakek mertuanya. Tetapi, Anjani harus kehilangan bayi itu saat berusia 5 minggu, ia terjatuh di tangga hingga keguguran.

Bukan hanya Anjani yang merasa terpukul, melainkan juga kakek mertuanya. Setelah kehilangan bayi itu, kakek mertua Anjani sakit-sakitan hingga meninggal dunia berselang satu bulan setelah ia keguguran. Sejak saat itu semua orang di rumah ini menganggap Anjani tidak pernah ada. Ia kehilangan satu-satunya pelindung. Kadang Anjani masih merasa sangat sedih atas kepergian calon bayinya, tetapi ia percaya kalau ini takdir terbaik yang harus ia jalani.

“Keadilan dunia ini hanya milik di cantik dan langsing. Apa mungkin aku harus seperti itu dulu agar sikap suamiku berubah?” Anjani bertanya pada botol obat yang ada di tangannya. Ia setengah putus asa menghadapi semuanya. Akhirnya ia memutuskan untuk meminum satu butir obat itu. Berharap ada nasib baik setelah tubuhnya tidak segemuk sekarang.

Satu butir obat itu telah Anjani telan. Perlahan ia merasakan kantuk yang luar biasa. Baru jam delapan malam, tetapi ia sudah menguap beberapa kali. Anjani membaringkan tubuhnya di atas kasur. Matanya sudah sangat berat untuk di ajak terbuka. Tidak dalam hitungan menit, dalam hitungan detik saja ia sudah terlelap. Kepalanya sangat berat. Apa efek obat pelangsing memang seperti ini?

****

Kecurigaan

Suara detakan jam terdengar nyaring di telinga Anjani. Di malam yang sunyi sepi, antara sadar dan tidak, sayup-sayup dia mendengar suara detakan itu cukup keras. Mungkin karena ada weker di sebelah ranjangnya, hingga suaranya terdengar sangat dekat. Anjani ingin membuka matanya, tetapi rasanya sangat sulit. Kepalanya berat dan dia hanya bisa tertidur di ranjangnya, tidak ada kekuatan untuk bangkit.

Detakan jam itu sebenarnya bukan suara yang aneh, melainkan melodi hipnosis yang bisa membuatnya tenang. Sayangnya, ada suara lain yang membuat pikiran bawah sadarnya berusaha untuk bangun. Yaitu saat sayup-sayup dia mendengar suara seorang wanita. Bukan suara orang berbicara melainkan suara l3nguhan yang makin lama makin terdengar jelas.

“Mas, aakh... Mas....” Suara itu yang didengar oleh Anjani. Otaknya yang mengantuk berusaha mengenali suara yang terdengar sangat khas.

Suara itu jelas milik seseorang dan membuat dada Anjani tiba-tiba berdebar kencang. Tidak ada suara laki-laki yang terdengar melainkan hanya suara wanita itu. Anjani berusaha membuka matanya yang begitu rapat dan begitu sulit. Hanya telinga saja yang bisa mendengar cukup jelas. Dia berupaya menggerakan tangannya yang gempal. Mengusap sisi tempat tidurnya untuk mencari Andrew. Sayangnya Andrew tidak ada di tempatnya.

Tubuh Anjani mulai panas dingin. Dia benar-benar ingin bangun dan beranjak dari tempatnya. Suara wanita itu begitu jelas dia dengar, tetapi matanya benar-benar tidak bisa di ajak kompromi. Dia mengantuk sengantuknya dan matanya benar-benar berat. Tubuhnya sangat ringan seperti melayang di atas awan, tidak tahu mana yang harus di pijak.

Beragam pertanyaan muncul di benak Anjani. Siapa wanita di sebelah sana? Dengan siapa wanita itu bermesraan? Tidak, itu bukan hanya bermesraan melainkan seperti sedang berhubungan int!m. Bukan dengan Andrew bukan? Hanya Andrew laki-laki yang ada di rumah ini. Apa Cheryl menginap?

“Mas....” Bibir Anjani hanya bisa bergumam. Ia berharap suaminya berada di ruang kerja seperti biasanya, bukan di kamar sebelah. Sayangnya, saat ini ia tidak bisa lagi bertahan. Rasa kantuk yang begitu kuat itu benar-benar membuat Anjanji kembali terpejam, terlelap tanda bisa di tahan.

Ini mimpi atau nyata?

*****

Seperti terjatuh dari tebing yang tinggi, tubuh gempal Anjani terhenyak hingga jantungnya berdebar kencang. Seperti nyata, ia merasakan tubuhnya di dorong oleh seseorang di tepi jurang, terjatuh melayang di udara dan mendarat tepat di atas kasurnya yang empuk. Jantungnya seperti mau copot hingga membuatnya mual. Mata bulatnya segera membuka dan menatap tajam jam dinding bulat yang ada di hadapannya.

Apa? Sudah jam delapan pagi?

Anjani segera menoleh tempat kosong di sampingnya, tidak ada Andrew di sana. Tempatnya pun sudah rapi, itu berarti suaminya sudah bangun dari tadi. Bagaimana mungkin? Baru kali ini ia tidur begitu lelap, sampai tidak membantu suaminya untuk bersiap.

“Astaga! Kenapa aku bisa kesiangan?” Anjani merutuki kebodohannya sendiri. Ia segera bangkit dan duduk beberapa saat di tepian ranjang. Ranjang tidurnya sampai berderit karena ia bangun tiba-tiba. Kepalanya terasa pusing, ia pegangi beberapa saat kepalanya yang terasa berputar itu sambil mengingat apa yang terjadi padanya semalam. Ia memang tertidur sangat lelap, itupun setelah ia minum obat pelangsing. Obat pelangsing, ya obat itu yang membuat ia sangat mengantuk hingga langsung tidur lelap tanpa sempat meminta izin pada suaminya.

“Kenapa pusing banget sih? Apa darah aku rendah?” Mata Anjani terpejam rapat, berusaha menyeimbangan tekanan di kepalanya agar tidak terasa berputar. Setelah membaik, ia segera bangkit dan melanjutkan langkahnya keluar dari kamar. Langkahnya yang tergesa-gesa membuat ia nyaris menyenggol vas bunga milik ibu mertuanya. Beruntung Anjani cukup cekatan, tangannya yang besar mampu menahan vas yang hampir jantuh. Selamat, hampir saja ia kena omelan mertuanya.

“Akh! Pinggangku....” Baru terasa kalau posisi tubuhnya salah saat berbalik. Bohong kalau orang bilang orang gemuk itu tidak pernah sakit pinggang. Buktinya, pinggang tebalnya terasa berdenyut nyeri saat tersentak tiba-tiba. Ia usap-usap beberapa saat sambil memeluk vas bunga di tangannya. Harusnya ia lebih hati-hati.

Pelan-pelan ia menaruh kembali vas bunga di tempatnya, setelah yakin tidak akan jatuh lagi ia segera menuju tangga untuk turun dan menemui suaminya. Ia juga mencepol rambutnya yang panjang ikal sebahu.

Dilihat dari tangga, orang-orang itu sudah sarapan. Suaminya sedang membaca koran dan sudah berpakaian rapi. Hanya rambutnya saja yang masih basah. Sudah pasti karena Anjani terlambat bangun dan tidak sempat membantu Andrew menghanduki rambutnya.

“Selamat pagi,” sapa Anjani pada empat orang yang ada di meja makan. Mereka hanya melirik Anjani dengan sudut matanya. Cheryl ikut melirik dan tersenyum sinis.

“Maaf, aku kesiangan. Mau aku buatkan apa?” Anjani masih berusaha memperbaiki semuanya. Bersikap seramah mungkin pada orang-orang yang tampak kesal karena ia terlambat bangun.

“Makan apa, kami sudah kenyang.” Widi menjawab dengan ketus, membuat Anjani tersenyum kelu.

“Mba Anjani mandi aja dulu. Biar bersih, jadi Kak Andrew enak ngeliatnya.” Cheryl ikut berkomentar. Untuk beberapa saat Anjani terdiam, bukan karena ucapan sinis Cheryl, melainkan karena suaranya yang mirip dengan suara yang ia dengar semalam. Ya, sangat mirip, suara seraknya sama, tarikan napasnya pun sama. Pagi ini bahkan gadis itu keramas. Apa mungkin semalam itu,

“Kenapa kamu?” Suara Andrew mengejutkan Anjani yang sedang melamun. Laki-laki itu menutup korannya dengan kasar lalu melipatnya.

“Em, aku boleh bicara sebentar gak Mas?” Entah keberanian dari mana yang membuat Anjani meminta waktu suaminya. Sesuatu yang mahal dan tidak pernah bisa diberikan cuma-cuma oleh suaminya.

“Kenapa?” Eh dia bersedia, Anjani kaget sendiri. “Waktuku gak banyak.” Walau ada imbuhannya, tetapi ini kesempatan yang baik.

“Aku nunggu di depan ya, Kak,” Cheryl ikut berbicara, mendelik sinis pada Anjani. Ia mengusap lengan Andrew kemudian pergi begitu saja.

“Dia sudah pergi, kamu mau ngomong apa?” Andrew sepertinya paham, alasan Anjani tidak bicara karena ada Cheryl.

Tetapi wanita itu masih belum berani bicara. “Kenapa, saya juga harus pergi?” Widi ikut sensi. Anjani tidak menimpali, hanya melihat takut-takut pada ibu mertuanya yang melotot. Wanita itu pun pergi bersama putri bungsunya sambil mendumel, entah mengatakan apa.

“Mereka sudah pergi. Katakan,” Andrew menyilangkan tangannya di depan dada, menunggu benar Anjani akan berbicara apa. Baginya ini kali pertama Anjani ingin berbicara dengannya. Awas saja kalau tidak penting.

Takut-takut Anjani mengangkat wajahnya dan menatap wajah suaminya beberapa saat. Sangat tampan seperti biasanya. Berbicara dengan pria ini sulit dan tidak boleh salah. Terlebih ia sadar benar, kalau pertanyaan yang ada di benaknya seperti dua sisi mata pedang. Ditahan sesak, diungkapkan bisa merusak. Kendatipun begitu, ia memilih untuk menanyakannya. Rasa penasarannya terlampau tinggi.

“Semalem, Mas ke mana?” pertanyaan itu yang dilontarkan Anjani dengan takut-takut.

Andrew terdiam beberapa saat, tidak langsung menjawab. Ia menatap heran pada istrinya. “Tidur. Memangnya ke mana lagi?” Sekilas Andrew tampak tidak suka dengan pertanyaan istrinya. Ia mengambil jas yang tersampir di kursi lalu memakainya.

“Semalem, aku kebangun, tapi Mas gak ada di sampingku. Aku pikir Mas pergi.” Anjani melanjutkan kalimatnya dan ekspresi Andrew sedikit berubah, sedikit kikuk.

“Saat aku ke kamar, kamu udah tidur nyenyak banget. Tadi pagi juga aku bangunin, kamu kayak mayat hidup gak bisa dibangunin. Aneh kalau kamu mikir aku gak ada, padahal semalam aku ada di sebelah kamu dan dengerin kamu ngorok. Sampai pusing kepala aku.” Panjang sekali jawaban Andrew, sesuatu yang sangat langka. Biasanya jawabannya hanya singkat saja dan tidak ada kalimat penjelasan sedikitpun. Apa sebenarnya yang coba Andrew jelaskan pada istrinya?

“Maaf, semalem aku memang ngantuk banget. Padahal gak capek-capek banget. Cuma semalam itu aku denger suara aneh dari kamar Cheryl. Semalam Cheryl nginep kan Mas?” Anjani memberanikan dirinya untuk menatap Andrew. Feeling-nya sebagai seorang istri yang berbicara kalau ada sesuatu yang tidak beres.

"Cukup katakan tidak suka kalau kamu memang tidak suka Cheryl menginap di rumah ini, tidak perlu mengatakan hal-hal yang tidak jelas dan tidak masuk akal." Kalimat sinis itu yang menjadi timpalan Andrew. Laki-laki itu tampak murka.

"Bukan begitu Mas, aku hanya tidak nyaman melihat Mas yang terlalu dekat dengan gadis lain. Aku," Anjani menghentikan kalimatnya saat sadar kalau suaminya menatapnya dengan tidak suka. Benar adanya kalau wanita memang tidak pernah bisa menyembunyikan rasa cemburunya, seperti yang terjadi pada Anjani saat ini. Entah keberanian dari mana yang membuat ia berani mengungkapkan perasaannya.

"Aku akan melarang Cheryl datang ke sini kalau itu membuatmu tidak suka. Puas?" Mata Andrew melotot tajam pada Anjani.

"Bu-bukan begitu maksudku Mas." Anjani mendadak tergagap. Entah seperti apa ia harus menjelaskan kebingungan dan dugaan yang ada di kepalanya.

"Jadi maumu apa?!" Suara Andrew makin meninggi membuat Anjani terhenyak. "Sudah bangun terlambat dan sekarang kamu seperti menuduhku memiliki hubungan yang tidak-tidak dengan Cheryl. Sadarkan diri kamu Anjani, bicaramu melantur. Kamu cemburu tanpa alasan. Ingat, kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak mengatur aku bisa dekat dengan siapa saja. Kamu juga tidak berhak menuduh yang tidak-tidak padaku. Apa kamu tidak sadar kalau aku sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini, termasuk terpaksa menerima kehadiran kamu di rumah ini?" Lagi, suara Andrew meninggi di ujung kalimatnya. Ia menatap Anjani dengan tajam seolah ingin mencabik dirinya yang berani berbicara yang tidak-tidak.

Anjani tidak menimpali. Dari kalimat Andrew yang panjang ini, Anjani malah bisa menyimpulkan kalau suaminya sedang membuat pembelaan atas sesuatu yang tidak Anjani ketahui persis duduk masalahnya. Laki-laki ini sedang playing victim, sebuah tindakan yang dilakukan saat seseorang sedang tersudut oleh kesalahan yang coba ia tutupi.

Lantas, bisakah Anjani menyimpulkan kalau suaminya memang melakukan sesuatu?

"Apa masih ada yang kurang jelas?!" Suara Andrew membuyarkan pikiran Anjani. Anjani hanya bisa menggeleng. "Lain kali, pikirkan dulu apa yang mau kamu tanyakan dan bicarakan, jangan asal main tuduh!" Laki-laki itu menutup kalimatnya dengan tegas seraya mengambil tas kerja yang ia taruh di atas kursi.

Baru kali ini Anjani tidak berusaha membujuk suaminya dan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Ia masih berpikir, kalimat mana yang membuat Andrew merasa tertuduh kalau ia tidak melakukan apa pun?

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!