NovelToon NovelToon

Terpaksa Transmigrasi

1 - Takdir

...⪻⪼...

“Hati-hati ya, Cona! Terima kasih sudah mau menjaga peninggalan Daisy. Kamu mau tante antar pulang?”

Gadis berusia enam belas tahun itu menggeleng dan beranjak pamit dari rumah sang sahabat yang baru saja meninggal tiga hari yang lalu. Di tangannya terdapat sebuah buku dengan sampul coklat berisi catatan tentang novel yang tengah di tulis oleh sahabatnya. Suara gesekan kursi rodanya bergema di jalanan yang sepi.

Gadis itu menghela nafas saat memandang awan mendung yang siap memuntahkan hujan di atas kepalanya. Angin dingin menyelimuti kulitnya dan Cona mempercepat gerak kursi rodanya menuju rumahnya yang berjarak dua puluh meter dari posisinya.

Setengah jam kemudian gadis itu akhirnya sampai di rumah peninggalan keluarganya. Memasuki halaman rumah yang penuh dengan bunga anggrek mata coklat Cona memandang seekor kucing hitam dengan ekor perak yang sering diberinya makan duduk menatapnya.

Cona tersenyum saat kucing hitam itu mendekat ke arahnya dan membantu dirinya mendorong pintu coklat rumahnya. Menatap buku coklat di tangannya Cona segera menuju ruang tamu, memposisikan kursi rodanya di depan jendela besar yang menghadap ke arah taman dan menghidupkan lampu rumah.

Kucing hitam itu setia di samping kanan kursi roda Cona, jemari tangan gadis itu mulai membuka novel yang di tulis sang sahabat. Matanya sedikit sendu saat memandang tulisan rapi sahabatnya. Tangannya bergerak menyentuh judul yang tertulis di lembar pertama buku, penuh warna dan tampak timbul membuat jemari Cona terus mengikuti lekuk hurufnya.

“Jalan takdir? Apa ini judulnya?” gumam Cona dan kucing hitam itu mengeong saat mendengar kalimat yang diucapkan Cona. Gadis itu mulai membuka lembar demi lembar buku di tangannya, membaca karya sang sahabat dengan penuh rasa kagum.

--Jalan Takdir adalah kisah putri bungsu seorang penguasa di kota Osgord, Lolita Flowerlax yang berjuang mendapatkan pengakuan sang ayah untuk menjadi penerus keluarga. Mulai dari mempelajari sihir, teknik berpedang, hingga akhirnya terpilih menjadi perwakilan perang bersama anak-anak penguasa lainnya. Mereka memenangkan peperangan dan menjadi pahlawan perang, Lolita membawa jantung naga takdir ke istana kekaisaran dan mendapat pengakuan sebagai pahlawan perang.

Gadis itu menemui sang ayah dengan perasaan suka cita berharap sang ayah akan mengakuinya dan menjadikannya penerus, akan tetapi yang di dapat Lolita adalah sang ayah justru memilih sepupunya, Leister sebagai penerus tepat saat Lolita memasuki rumah. Rasa kecewa memenuhi hatinya dan gadis itu memilih kabur ke hutan hitam yang sunyi dan berakhir di serang oleh penyihir hitam yang menginginkan darahnya karena berhasil mengalahkan naga takdir.--

“Hanya sampai sini? Lalu bagaimana nasib Lolita? Kenapa penyihir itu ingin darahnya?”

Cona bertanya dengan nada heran saat sampai di halaman terakhir. Gadis itu kembali membalik ke halaman di depannya dan gerakan tangannya terhenti saat menemukan setitik noda merah pada dua halaman terakhir. Noda yang masih sedikit basah dan meninggalkan bau amis yang samar.

Cona menelan ludah gugup dan memandang taman di depannya yang mulai gelap, perasaan takut tiba-tiba memenuhi dirinya. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya perlahan dan menutup jendela besar ruang tamunya dengan tirai hijau di sudut jendela.

Kucing hitam yang menemani Cona kembali mengeong dan duduk di samping novel yang di letakkan gadis itu di atas meja. Cona memutuskan untuk membersihkan dirinya dan beranjak tidur, mempersiapkan diri untuk mengunjungi makam sang sahabat esok hari.

Gemerisik pohon di samping kanan rumah Cona terdengar seolah ada orang yang menggoyangkan pohon beringin itu. Kucing hitam tadi duduk dengan mata bersinar di samping tempat tidur Cona, gadis itu tertidur lelap dan tenggelam dalam selimutnya. Kucing hitam itu mulai mendesis saat sosok hitam muncul dari bawah pintu dan bergerak cepat menuju Cona yang terlelap.

Cahaya perak tiba-tiba muncul dan melibas bayangan hitam yang datang menghasilkan kabut samar yang menyebar ke seluruh ruangan. Sosok pria berjubah hitam-perak bangkit dan berbalik menatap Cona yang terlelap, senyum kecil hadir di wajahnya. Jemari tangannya bergerak mengusap kepala Cona dan berbisik pelan di telinga gadis itu, “Mimpi indah nona.”

Pagi harinya Cona bangun dengan kaget saat merasakan bulu halus menerpa wajahnya, membuka matanya perlahan Cona menemukan kucing hitam yang selalu menemaninya tidur dengan posisi bergelung. Cona tersenyum dan bangkit dari tempat tidurnya, meraih sisi atas tempat tidur untuk berpegangan menuju kursi rodanya.

Cahaya matahari masuk melalui sela tirai hijaunya dan Cona segera bersiap. Ruangan itu hening dan samar-samar terdengar suara air jatuh dari kamar mandi yang digunakan Cona. Kucing hitam itu membuka mata heterochromianya dan kembali memindai ruangan. Mata kanan yang bewarna coklat mulai bersinar sedangkan mata kiri yang berwarna perak bergerak memindai ruangan.

Kucing hitam itu mendesis saat menemukan jejak telapak kaki hitam di jendela kamar Cona yang hanya bisa dilihat dari mata coklatnya. Kucing itu segera berlari menembus jendela Cona dan menghilang tanpa jejak. Cona keluar dari kamar mandi dua menit kemudian dan segera menjalankan kursi rodanya keluar rumah. Gerakan tangan gadis itu terhenti saat merasakan bau busuk di sekitar halaman rumah. Suara kucing di kejauhan membuat gadis itu bernafas lega dan mulai menggerakkan kursi rodanya menuju area perbukitan di sekitar rumahnya.

Memasuki area jalan raya Cona melirik ramainya kendaraan yang melintas dan mata gadis itu kembali menangkap kucing hitam yang selalu menemaninya. Senyum di Wajah Cona hilang saat dari jauh melihat sebuah mobil minibus melaju dengan kecepatan sedang hendak menabrak kucing yang sedang berlari di tengah jalan. Gadis itu panik dan menggerakkan kursi rodanya menuju jalan, menghiraukan panggilan orang-orang di sekitar.

Cona menulikan pendengarannya, gadis itu tidak ingin kembali kehilangan dan meski itu hanya seekor kucing Cona sudah menganggapnya sebagai keluarga. Mobil minibus itu tiba-tiba berbelok dan mengarah padanya membuat Cona yang berjarak tiga meter panik dan hanya menutup mata.

Suara tabrakan itu menggema dan tubuh kecil Cona terlempar dari kursi rodanya, terjatuh di tengah jalan dengan darah keluar dari sekujur tubuhnya. Bibir gadis itu bergetar menahan rasa sakit dan penglihatannya tertuju pada kucing hitam yang menatapnya diam dengan mata heterochromianya.

Tangan Cona gemetar hendak mencapai sang kucing tetapi tubuhnya terasa sangat lemah dan pandangannya kian memburam. Seruan panik orang di sekitarnya tak lagi terdengar dan Cona kembali memandang kucing itu. Manik matanya sedikit melebar saat menatap sosok hitam yang menyeringai di samping kiri mobil dan setelah itu semua pandangannya gelap.

Dalam kegelapan tak berujung Cona bisa merasakan jemari tangan dan kakinya yang bisa bergerak. Gadis itu membuka matanya dan sedikit menyipit saat ruangan putih sejauh mata memandang memasuki pandangannya. Cona terdiam dan menatap dirinya yang kini berdiri dengan kedua kaki tanpa bantuan kursi roda. Gadis itu berseru riang dan mencoba berjalan dengan perasaan haru tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara tawa seseorang di belakangnya.

“Selamat datang, Nona.”

...⪻⪼...

2 - Dunia Perbatasan

...⪻⪼...

Cona terdiam menatap sosok pemuda dengan jubah hitam-perak di depannya. Pemuda itu tersenyum menatap Cona dan berjalan mendekat ke arahnya sembari mengecup pelan punggung tangan kanan Cona. Gadis itu kaget dan segera menarik tangannya dengan wajah bersemu karena tindakan tiba-tiba pemuda di depannya. Mata heterochromia (mata berbeda warna) pemuda itu sedikit berkilau dengan wajah menguntai senyum, kembali mundur dan berdiri tegak menatap Cona.

“Di mana ini? Apa aku sudah mati?”

Cona bertanya menatap sekitarnya.Pemuda berjubah itu mengangguk. Cona terdiam dan kembali menatap kedua kakinya yang kini dapat di rasakannya dan tersenyum kecil.

“Hanya itu? Anda menerima bahwa Anda sudah mati?”

Suara pemuda itu terdengar tidak puas dan menatap heran Cona yang tampak tenang.

“Aku lebih takut kehilangan seseorang dari pada kematian. Karena aku sudah kehilangan keluargaku jadi kematian tidak menakutkan lagi,” jawab Cona menatap jemari kakinya yang bergerak sesuai keinginannya.

Pemuda berjubah itu tersenyum dan merentangkan jubah hitam-peraknya, segera sekitarnya berubah menjadi ladang bunga penuh warna. Cona terpesona menatap warna-warni di depan mata, kakinya melangkah dan menyentuh pelan rumput halus di bawahnya.

Beberapa kupu-kupu terbang di sekitarnya, gadis itu memetik salah satu bunga lavender dan tersenyum lebar. Sosok pemuda di belakangnya tersenyum dan mendekat ke arah Cona, menepuk pelan pundak gadis itu dan berbisik tepat di telinganya, “Apa Anda senang, Nona?”

Cona mengangguk dan sedikit menjaga jarak. Pemuda itu terkekeh dan menatap Cona dengan wajah serius. Atmosfer di sekitarnya langsung berubah dan Cona menatap pemuda di sampingnya yang kini menampilkan wajah datar.

“Saya tidak punya banyak waktu. Tapi ada tugas yang harus Anda selesaikan, Nona. Saya harap Anda bersedia melakukannya.”

Suara pemuda itu terdengar mengalun dan sampai ke telinga Cona yang menatapnya heran.

“Anda adalah jiwa yang terpilih Nona karena itu Anda harus menyelesaikan kisah yang tak ada akhir. Anda harus mencari akhir terbaik untuk kisah dan dunia ini.”

Pemuda itu berucap dan menatap Cona yang terdiam. Hembusan angin menerbangkan beberapa kelopak bunga di sekitar mereka. Cona mengernyit mendengar penuturan pemuda itu, dan mulai berpikir.

“Apa itu kisah dalam novel Jalan Takdir?” tanya Cona dan pemuda berjubah itu mengangguk perlahan, menatap Cona dan menjentikkan kedua jarinya. Buku dengan sampul coklat karya sang sahabat itu hadir di tangan sang pemuda.

“Sebenarnya saya hanya berniat meminta Anda untuk menyelesaikannya di dunia Anda. Namun, penyihir itu ... malah membunuh Anda jadi saya tidak punya pilihan selain membawa jiwa Anda masuk dan menyelesaikan semua kisahnya,” terang pemuda itu melirik Cona yang tetap diam.

“Anda sudah membacanya kan, Nona?”

Pemuda itu kembali bertanya sembari membalik halaman buku dengan sampul coklat di tangannya. Cona mengangguk pelan menatap novel yang berada di dalam tasnya saat kecelakaan itu terjadi.

“Jadi apa jawaban anda, Nona?”

Cona terdiam sejenak dan menghela nafas merasa dirinya tidak beruntung karena bukannya bertemu dengan keluarganya setelah kematian gadis itu justru harus masuk ke dunia lain. Cona mengangguk dan menatap pemuda berjubah di depannya yang kini tersenyum kemudian menutup mata heterochromia nya dan mulai merapalkan mantra yang tak Cona pahami. Cahaya perak dari lingkaran mantra hadir di bawah kaki Cona dan manik mata coklatnya menatap pemuda berjubah di depannya yang kini membuka mata.

“Saya harap anda bisa menyelesaikan semuanya, Nona. Dunia kami sudah sekarat dan hanya Anda yang bisa membantu.”

Cona kembali mengangguk. Pemuda itu kembali menguntai senyum dan berbisik pelan saat cahaya perak semakin menghambat jarak pandang keduanya.

“Ada kejutan untuk Anda dan itu hadiah dari saya. Terima kasih atas kebaikan hati anda, Nona.”

Pemuda itu membungkuk sebagai tanda hormat, Cona yang hendak bertanya maksud kalimat sang pemuda mengeluh tertahan saat cahaya perak mengaburkan pandangan dan menarik kesadarannya menuju kegelapan. Dalam rasa sunyi telinga Cona samar-samar mulai menangkap suara, suara berat seorang pemuda yang terus memanggil nama seseorang. Nama yang tak gadis itu kenali.

Cona mulai dapat merasakan jemari tangannya, indranya yang lain juga mulai datang padanya dan gadis itu mulai membuka kelopak matanya perlahan. Menyesuaikan matanya dengan langit-langit kayu di atasnya Cona tersentak dan bangkit duduk. Gadis itu mengerang saat merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya dan suara tertahan seseorang menyadarkannya.

Gadis itu menoleh menatap seorang pemuda dengan rambut hitam dan mata navy yang berkaca-kaca. Pemuda di depannya bergegas memeluk tubuhnya erat dan Cona merasakan bahunya sedikit basah. Gadis itu memandang sekitar dengan bingung, rumah kayu yang kecil tapi terasa hangat, ranjang kayu dengan selimut tebal dan perapian yang menyala serta pemuda yang memeluknya erat. Jemari tangan Cona bergerak dan mengelus punggung sang pemuda berusaha menenangkannya. Pemuda itu bangkit dan menatap Cona dengan wajah haru, sementara gadis itu bingung dengan situasi di depannya.

“Ada yang sakit, Dik? Apa masih pusing? Atau perbannya kurang nyaman?”

Pemuda itu bertanya sembari duduk di kursi kayu di samping tempat tidurnya dan menatap Cona khawatir. Gadis itu menggeleng perlahan dan tersenyum canggung, kepalanya terus berpikir tentang keadaan yang terjadi, gadis itu butuh informasi yang mendukungnya untuk bertahan hidup.

Pemuda di depannya mengangguk dan tersenyum, menepuk pelan kepala Cona dan keluar dari kamar sang gadis hendak memasak makan malam untuk mereka berdua. Cona mengangguk dan kembali menampilkan senyum. Kepalanya mulai berdenyut sakit karena duduk terlalu lama, gadis itu memutuskan untuk berbaring sembari menunggu pemuda tadi kembali.

“Apa yang terjadi? Di mana lagi ini? Dia siapa dan aku siapa?” tanya Cona mengangkat tangannya ke arah langit. Kulitnya pucat bahkan pergelangan tangannya tampak kecil, Cona melirik tubuhnya yang tampak kurus dan meraih rambut hitam sepunggungnya yang mengkilap dan halus.

“Halus sekali ... aku jadi iri ... Shampo apa yang digunakan pemilik tubuh ini? Bahkan rambutku di dunia sebelumnya tidak sehalus ini,” gumam Cona terus mengusap pelan rambutnya. Harum masakan mulai tercium oleh indra penciumannya membuat perutnya bergemuruh dengan rasa lapar.

Cona menghela nafas menatap langit-langit kayu di atasnya. Tubuhnya terasa lemah dan gadis itu baru menyadari ada perban yang membalut kaki kanannya yang membuatnya sulit bergerak. Cona mulai memikirkan nasib kucing hitam yang hendak ia selamatkan dan juga sosok hitam yang menyeringai saat dirinya sekarat. Termasuk pemuda dengan mata heterochromia yang menawarinya kehidupan di dunia lain, mata coklat dan perak yang menawan, dan tingkah sang pemuda yang tiba-tiba mencium punggung tangannya membuat Cona kembali memerah.

Cona berseru pelan dan memeluk bantalnya berusaha menyingkirkan bayang-bayang pemuda berjubah hitam-perak itu dari ingatannya. Gadis itu berbalik menghadap jendela kamarnya yang dihiasi dengan bunga anggrek biru dan sosok hitam kecil yang mengganggu keindahan sang anggrek.

“Syukurlah Anda sampai dengan selamat, Nona.”

...⪻⪼...

3 - Awal

...⪻⪼...

Cona kaget dan bangkit duduk, tangannya segera melempar bantal di dalam pelukannya kepada sosok hitam kecil yang mengagetkannya. Suara itu memang terdengar familiar baginya tetapi kemunculan sosok hitam yang tiba-tiba benar-benar membuatnya senam jantung.

“Tunggu dulu, Nona! Ini saya!”

Sosok hitam kecil itu berteriak sambil menghindar dari lemparan bantal Cona dan tiba-tiba mengeluarkan cahaya perak serta kabut perak samar yang menyebar ke seluruh ruangan. Gerakan tangan Cona terhenti dan matanya menatap sosok pemuda berjubah hitam-perak yang sempat berada di pikirannya.

“Tunggu! Jadi kamu kucing hitam itu?!” seru Cona menatap pemuda di depannya kaget. Pemuda itu mengangguk dan mengulas senyum, melangkahkan kakinya menuju kursi di dekat tempat tidur Cona dan duduk tenang disana.

Cona melirik pemuda di sampingnya dan sedikit menjaga jarak sembari bergumam pelan, “Untung saja aku tidak membawamu mandi hari itu.”

Pemuda itu hanya terkekeh pelan dan meminta maaf atas tindakannya yang mengejutkan Cona dan penyamarannya sebagai kucing hitam di dunia sebelumnya. Manik mata dua warna pemuda itu menatap sekitar dan kembali menatap Cona yang kini menatap kakinya yang berada dalam balutan perban.

“Ada yang ingin Anda tanyakan, Nona?”

Suara pemuda itu terdengar hangat dan Cona melirik pemuda di sampingnya yang kembali tersenyum. Gadis itu menghela nafas dan kembali berbaring menatap langit-langit kayu, sembari memijat kepalanya yang kembali berdenyut.

“Perkenalkan dirimu dulu! Bahkan, aku tidak tau asal usulmu!”

Pemuda itu terdiam dan kembali terkekeh, suaranya terdengar hangat membuat Cona lebih santai. “Oh maaf atas ketidaksopanan saya nona. Saya Veister Nolet. Saya seorang penyihir suci yang bertugas mencari jiwa suci untuk menyelamatkan dunia ini. Dan saya yang akan menemani perjalanan anda, Nona. Jadi jangan sungkan kepada saya.”

Cona berdehem pelan dan berbalik menatap Veister yang tersenyum. Gadis itu sedikit merinding saat pemuda di depannya terus tersenyum tanpa henti. Cona ingat dengan pemuda di depannya yang merupakan salah satu tokoh yang disukai sahabatnya. Tokoh yang diciptakan sahabatnya dengan karakteristik senyum yang mampu membuat orang lain tenang dan nyaman.

Juga di dunia nyata sosoknya sebagai kucing hitam dengan ekor perak yang selalu membantu dirinya saat melewati hari-hari buruk setelah sang sahabat, satu-satunya keluarga yang dimiliki juga pergi meninggalkan dirinya. Cona hendak bertanya tetapi suara langkah kaki dari luar kamar menarik perhatiannya dan gadis itu segera menyuruh Veister untuk bersembunyi.

Pemuda itu kembali tersenyum dan berubah menjadi sosok kucing hitam dengan ekor perak. Berlari ke bawah kasur Cona untuk bersembunyi, tepat saat pintu kayu di depannya terbuka menampilkan sosok pemuda dengan rambut hitam dan mata navy yang membawa nampan berisi bubur dan air hangat. Cona tersenyum saat wangi masakan memasuki indra penciumannya, memanggil dirinya untuk segera menghabiskan santapan di depan mata.

Pemuda dengan mata navy itu tersenyum dan segera menyerahkan semangkuk bubur kepada Cona. Gadis itu memakannya dengan lahap dan tersenyum saat merasakan rasa masakan yang sama dengan masakan keluarganya dahulu. Cona menghentikan gerakan tangannya dan melirik pemuda di sampingnya yang sedang menambahkan kayu ke dalam perapian.

“Pemuda itu saudara anda, Nona.”

Suara Veister terdengar di kepala Cona dan gadis itu tersedak karena kaget, membuat pemuda bermata navy yang sedang sibuk memastikan perapian di depannya hangat berbalik menatapnya. Cona meraih gelas di sampingnya dan segera meminum air hangat sembari menepuk dadanya.

“Ada apa Ivew? Kamu terlihat aneh. Apa buburnya tidak enak?” tanya pemuda itu heran menatap sang adik yang sedikit ceroboh.

“Hah Ivew?” sahut gadis itu bingung.

“Ya? Itu kan namamu, Adik. Tunggu! Apa kamu lupa dengan nama sendiri?! Apa kepalamu baik-baik saja?”

Pemuda itu menatap khawatir dan memegang kedua pundak Cona yang kini gugup. Gadis itu mengangguk dan tertawa canggung menjawab bahwa dirinya baik-baik saja.

“Mungkin kepalamu terbentur saat serangan monster itu. Istirahatlah, Ivew! Jika butuh sesuatu panggil abang ya!”

Pemuda itu bangkit, mengelus kepala Cona dan segera keluar dari kamar sang adik. Cona menatap pintu yang tertutup dan segera bangkit dari tempat tidur, mengabaikan rasa sakit yang terus menyerang kakinya. Gadis itu berjalan mengelilingi kamarnya hendak mencari sesuatu. Veister yang tadi di bawah tempat tidur berjalan keluar dan kembali ke wujud manusianya.

Pemuda itu menatap menatap gadis di depannya yang berseru riang saat menemukan sebuah cermin dan mulai menatap pantulan dirinya di cermin. Cona terdiam menatap pantulan dirinya yang baru, matanya yang dulu coklat kini berwarna emerald dan tak lupa dengan rambut hitam legam yang sama. Namun, kini rambutnya lebih berkilau. Gadis itu terpana dengan wujud dirinya yang baru dan melirik Veister yang setia menatapnya dengan wajah tersenyum.

“Siapa pemilik tubuh ini? Dan pemuda tadi?” tanya Cona beranjak ke tempat tidur dan kembali duduk sembari menatap perban di kaki kanannya yang sedikit longgar.

“Ivew Mirabeth. Gadis bungsu dari keluarga Mirabeth dan meninggal satu hari yang lalu karena serangan para monster di perbatasan hutan. Dan pemuda tadi adalah saudara laki-lakinya Ivew, Laveron Mirabeth,” jelas Veister santai menatap Cona yang sedikit meringis saat tak sengaja mengencangkan ikatan perbannya mendengar penjelasan Veister.

Pemilik tubuh ini sudah meninggal satu minggu yang lalu dan Cona menggantikan jiwanya. Apakah keluarga keluarga ini akan menerimanya jika tau dirinya hidup sebagai anak gadis mereka? Berpura-pura menjadi Ivew Mirabeth padahal dirinya hanya jiwa pengganti demi tugas menyelamatkan dunia.

Cona menghela nafas dan melirik kamarnya yang hangat, bunga anggrek biru di depan jendela benar-benar membuatnya tenang. Gadis itu kembali menggali pikirannya, mencari sosok dengan nama Ivew Mirabeth di antara ingatan tentang tokoh novel Jalan Takdir karya sang sahabat.

“Tidak ada tokoh Ivew Mirabeth dalam karya asli, Nona. Sejak awal wanita ini sudah mati dan saya hanya mencari cara lain agar jiwa Anda tidak terendus oleh penyihir hitam jika saya memasukkan anda ke tubuh tokoh lainnya. Penyihir itu pasti akan membunuh anda jika dia menemukan jiwa anda di tokoh novel lainnya,” jelas Veister membuat Cona mengangguk dan menyetujui pernyataannya pemuda itu.

Saat sibuk dengan pikirannya gadis itu tersentak melihat anggrek biru di dekat jendela kamarnya bersinar terang, bertepatan dengan cahaya bulan yang tampak semakin terang. Mata emerald Cona melebar saat menatap butiran cahaya biru itu bergerak ke arah luka di kaki kanannya. Sensasi dingin mengalir dari kakinya bergerak ke seluruh tubuh dan Cona mulai merasakan tubuhnya membaik. Veister yang berada di samping gadis itu tersenyum.

“Tidak biasanya energi alam bergerak menyembuhkan seseorang tanpa kontrak khusus. Sepertinya alam menyukai anda, Nona.”

...⪻⪼...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!