Pagi yang cerah di sebuah desa yang berada di bibir perkotaan. Seorang gadis berusia 21 tahun tinggal seorang diri setelah sang ibu yang ia cintai meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya 2 tahun yang lalu. Dia adalah Nadya Syakura gadis yang berparas cantik, berkulit putih dan memiliki kepribadian yang lembut dan ulet.
Mendiang sang ayah merupakan seorang arsitektur yang ternama di kota M, yang memiliki adik sang pengusaha property dan restoran di kota H yang berbeda. Sedangkan sang ibu adalah pemilik toko kue di desa tersebut yang ia buat setelah kematian sang suami. Nadya melanjutkan usaha ibunya untuk keberlangsungan hidup sehari-hari dan ia tetap melanjutkan kuliahnya dengan hasil penjualan di toko kue tersebut dan pekerjaan sampingnya sebagi arsitek penerus sang ayah. Ada beberapa perusahaan yang memakai jasanya namun ia tidak pernah mau menunjukan namanya ketika perusahaan melakukan kerjasama ia hanya meninggalkan jejak sebuah gambar kecil bergambarkan lebah menghisap bunga.
Walaupun Nadya memiliki om yang kaya raya namun ia tidak ingin bergantung kepada sang om. Seperti hari ini om Brama Hartanto datang berkunjung ke rumah Nadya bersama dengan sang anak yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dari Nadya. Ia adalah Syakila Hartanto gadis cantik yang baik terhadap Nadya yang sudah menganggap
Nadya seperti adiknya sendiri.
Mini cuper mewah terparkir di halaman rumah Nadya. Syakila dan om Brama turun dari mobil, sebelum Syakila menuju pintu rumah Nadya ia berjalan menuju bagasi mobil untuk mengambil sesuatu yang ia beli untuk sang sepupu. Dua tentengan di bawanya.
Ucapan salam terdengar dari arah kamar, Nadya yang sedang memoles wajahnya dengan bedak. Nadya menjawab salam dari dalam, ia sudah hafal dengan suara Syakia hingga ia mempercepat pergerakannya merias diri dengan riasan tipis dan natural. Ia tersenyum setelah selesai dengan urusannya di depan cermin.
Langkah kaki Nadya setengah berlari ketika mendengar suara Syakila. Kunci pintu pun dibukanya. Dilihatnya Syakila dengan penampilan modis nya. Setelan kemeja biru dengan bawahan celana bahan dan kerudung berwarna senada dengan kemeja yang ia lilitkan ke leher. Nadya memeluknya dengan erat sambil menyungingkan senyuman di balik punggung, lalu ia melepaskan pelukannya dari Syakila dan mencium punggung tangan om Brama.
”Masuk kak, om! Ucap Nadya sambil menggandeng tangan Syakila. Nadya buatkan minum dulu ya om. Mau yang dingin apa yang panas, om?” ucap Nadya yang hendak pergi ke arah dapur.
Om Brama menghentikan langkah kaki Nadya dengan memegang tangan Nadia dari belakang. “Tidak usah repot-repot, nak! Kak Syakila sudah membeli minuman waktu hendak kesini. Nadya duduklah di sini .”Om Brama menpuk-nepuk sofa yang ia duduki agar Nadya duduk bersamanya..
Nadya duduk bersama om Brama dengan menatap kearah Syakila yang ada di sebrang meja. Nadya tersenyum ketika Syakila memberikan minuman kesukaan Nadya. “Terima kasih, kak! Nadya menerima minuman coklat hangat kesukaannya dengan senyum yang tersungging di kedua bibirnya.
Perlahan om Brama menarik tangan Nadya. “Nadya bagaimana dengan tawaran om bulan lalu? Om tidak tega melihat kamu tinggal di sini sendirian, lihat badanmu semakin kurus. Om tau kamu pasti kelelahan!” ucap om Brama yang menatap wajah Nadya dimana ada lingkar hitam di bagain bawah matanya.
Nadya tertunduk, hatinya bimbang untuk mengatakan bahwa dirinya ingin tetap disini untuk meneruskan usaha ibunya yang sudah lumayan ramai dan memiliki cabang di dekat pasar tradisional. Nadya menatap Syakila yang memberikan senyum kepadanya. “Terimakasih atas perhatian om kepada Nadya. Tapi om, kuliah Nadya tinggal sedikit lagi. Nadya sedang menyelesaikan skripsi di tahun ini. Insya allah dua bulan lagi Nadya akan di wisuda.”
“Ya sudah, pah. Tunggu Nadia menyelesaikan wisudanya! Syakila yakin Nadia pasti akan menepati janjinya untuk ikut tinggal dengan kita, Ya kan, Nad?” Syakila angkat bicara dan mendekat pada Nadia.
Om Brama berfikir sejak, apa yang menjadi pertimbangan Nadya ada benarnya. “Baiklah, tapi om tidak akan mendengar alasan lain lagi ketika kamu sudah selesai dengan kelulusan mu.” Om Brama mengelus kepala Nadia yang tertutup jilbab.
“Tanggal berapa kamu diwisuda, Nad? Kami pasti akan datang dan papah akan menggantikan ayahmu sebagai walinya.”
Mata Nadia mulai berkaca-kaca ketika membayangkan ketika ia wisuda tanpa kedua orangtuanya. Hari itu adalah hari yang selalu ditunggu sang ibu, melihat anak gadisnya memakai toga dan mendapatkan gelar sarjana hukum.
Syakila memeluk Nadia, ia tidak bisa membayangkan seandainya posisi ia seperti Nadya
sekarang. Syakila selalu kagum dengan Nadya yang mempunyai pendirian yang kuat dan tekad yang kuat dalam meraih cita-citanya. Seperti ia tahu bahwa Nadya menolak mengenai pembiayaan kuliahnya yang akan dibayarkan oleh papahnya. Sedangkan dirinya hanyalah wanita yang manja yang masih bergantung kepada kedua orangtuanya.
Satu jam berlalu, Saykila dan om Brama pamit pulang. Om Brama menyodorkan kartu ATM untuk Nadya namun lagi-lagi Nadya menolaknya. Secara paksa Syakila menyelipkan kartu ATM tersebut ke dalam tas Nadya. Yang kebetulan Nadya pun akan ke luar untuk pergi ke toko kue yang ada di dekat pusat perbelanjaan di kota tersebut.
****
Ditengah perjalanan motor metic Nadya terhenti ketika ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang mengunakan koko berwarna abu-abu.
Laki-laki itu memberikan salam kepada Nadya dan menepikan motornya. “Nadya hendak pergi ke toko kah?” tanyanya dengan senyum yang menunjukan lesung pipit yang indah.
Nadya menjawab salam lelaki tersebut. Dengan anggukan Nadya menjawab. “Ada hal apakah sampai-sampai kak Yusuf menanyakan Nadya hendak ke toko” Nadya membuka helem nya.
”Kakak ingin membeli kue kering kesukaan ummi kakak, tapi kakak lupa kue kering apa yang biasa ummi beli di toko Nadya.
“Ya sudah nanti Nadya lihat dulu persediaannya masih ada apa tidak, bila ada nanti Nadya chat kak Yusuf, ya kak!!” Nadya sudah menyalakan motor metiknya dan hendak melanjutkan perjalannya setelah keduanya saling mengucapkan salam.
***
Pria itu adalah Yusuf Arffan seorang anak dari pemilik pondok pesantren yang ada di desa tersebut. Usia Yusuf genap 25 tahun bulan kemarin. Selain seorang ustadz Yussuf juga seorang pengusaha muda di kota M dan beberapa wilayah di indonesia. Ayah Yusuf bernama Muhamad Arffan yang merupakan pendiri pondok pesantren ternama di kota tersebut. Nama ibunya adalah Mariyam.
Yusuf dan Nadya memiliki perasaan yang sama, kedua orang tua Yusuf menyukai Nadya karena Nadya memiliki kepribadian yang jarang dimiliki wanita lain. Sosok wanita yang kuat dalam menghadapi setiap ujian hidupnya, Nadya dikenal anak yang gigih, seperti yang ustadz Arffan tahu bahwa Nadya mempunyai om yang kaya raya namun ia tidak perah mendengar Nadya memanfaatkan om nya untuk biaya hidup Nadya. Itulah yang membuat ummi Mariam sangat menyukai Nadya, ia selalu baik kepada semua orang.Ayah Nadya berteman baik dengan ustadz Arffan.
Nadya juga memiliki teman baik bernama Kiren Matsumi. Mereka berdua berteman sejak keduanya duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) sampai mereka kuliah di universitas yang sama namun di fakultas yang berbeda.
Malam pukul 10 Nadya bergelut dengan pekerjaan tambahannya sebagai arsitektur yang menangani sebuah sketsa untuk sebuah hotel mewah yang berada di daerah luar kota. Pekerjaan itu ia dapat dari teman kuliahnya. Ia tidak pernah
memperkenankan temannya itu menyertakan namanya dalam sketsa ia hanya memberi simbol pada sketsa yang ia buat. Matanya mulai lelah setelah sketsa terakhir ia selesaikan. Rasa kantuk sudah menyambutnya, sesekali ia menguap sambil meletakan alat-alat yang telah membantunya malam ini.
Suara pesan singkat masuk ke hp nya. Di lihatnya Syakila yang memberi tahu bahwa dua pekan lagi ia akan melangsungkan pertunangan dengan Adrian pengusaha muda di bidang perhotelan. Nadya mengucapkan selamat dan doa untuk Syakila. Syakila mengamini dan memintanya untuk datang sehari sebelum acara pertunangan itu di selenggarakan. Pesan singkat itu ditutup oleh Nadya dengan icon dua wanita berpelukan.
“Alhadmulilllah, akhirnya pekerjaanku selesai sudah. Besok harus datang ke kampus untuk menyerahkan ini kepada Anyelir. Terimaksih ya Allah Engkau selalu mempermudah urusan hamba Mu ini!” Nadya mematikan lampu di ruang kerjanya dan merenggangkan otot-otot tangan nya.
****
Dikediaman Yusuf.
Ummi Mariam sedang menikmati kue kering yang ada di hadapannya di temani Yusuf yang sedang asyik mengobrol dengan abinya.
"Yusuf bagaimana niat mu akan mengkhitbah Nadya? Tanya ummi Mariam yang memasukan sekeping demi sekeping kue lidah kucing buatan Nadya ke mulutnya dan diikuti pula oleh ustad Arffan.
“Hemmm… Yusuf belum tahu ummi, takut Nadya menolak khitbah Yusuf. Lagi pula Yusuf belum
tahu alamat rumah pamannya Nadya, ummi.” Ucap Yusuf yang ingin menyicipi kue kering yang menjadi kesukaan sang ibu.
“Enakkan, kuenya!” Tanya ummi Mariam yang tahu kalau Yusuf tidak begitu menyukai kue kering.
“Ya ummi, ini enak pake banget, biasnya Yusuf kurang suka sama kue-kue kaya gini, tapi ini beda ya, mi!”
“Beda rasa kuenya, apa beda sama yang bikinnya?” ledek ustadz Arffan sambil berlalu menuju ke luar rumah.
Yusuf hanya tersenyum sambil menatap kepergiaan sang Abi dari hadapannya.
****
Pagi dikediaman pak Brama. Syakila sedang menerima telepon dari mamahnya yang sedang menemani anak sulungnya bernama Marhen Hartanto. Anak pertama keluarga Hartanto yang sedang menyelesaikan perjalanan bisnisnya di temani sang mamah tercinta. Ibunya bernama Retno Hartanto.
"Mamah pokoknya Minggu ini haru segera pulang bersama bang Marhen, Syakila gak mau tau." Syakila menjawab telepon dengan wajah yang penuh rasa kesal ketika mengetahui sang ibu akan pulang 3 hari sebelum acara lamarannya dengan Adrian berlangsung.
Ia membanting hp nya ke atas kasur dengan gusar. Berfikir siapa yang akan mengurus semua ini tanpa ibunya. Suara langkah kaki terdengar masuk ke kamar yang pintunya sedikit terbuka. Ketukan dari sepatu terdengar begitu jelas di dekatnya. Mata Syakila menatap kedatangan sang ayah. Dengan cepat ia memeluk pinggang sang ayah dengan wajah sedikit sedih.
"Kamu tenang saja papah sudah menyuruh Vino untuk mengurus semua pertunangan mu dengan Adrian. Kamu jangan khawatir, sayang!" Brama mengelus rambut sang putri dengan lembut. Lalu duduk di sampingnya sambil memegang tangan sang putri dengan lembut.
"Terimakasih, pah!" Ucapnya dengan menatap kedua tangan ayah dan anak itu bertautan.
"Papah tidak pernah bisa membayangkan hidup Nadya yang ia urus sendiri tanpa kedua orangtuanya!" Brama merasa sedih dengan keponakannya itu.
Syakila menatap wajah sang ayah dengan cermat dan melihat gores kesedihan dari mata sang ayah. " Papah jangan khawatir lagi dalam waktu dekat Nadya akan tinggal dengan kita, ia pasti akan bahagia tinggal disini, pah!" Syakila membelai wajah sang ayah lalu memeluknya.
"Kamu benar. Kamu harus bisa belajar banyak kepada Nadya." Brama menyentuh hidung Syakila dengan lembut dan mengecup keningnya. "Papah harus berangkat ke kantor karena ada rapat! jangan lupa kamu juga harus bekerja ya, sayang!" Brama mengelus dan pergi dari kamar Syakila.
***
Di rumah Nadya.
Nadya menatap jam dinding yang ada di ruang tengah menunjukan pukul 9 pagi. Ia ada janji jam 10 dengan Anyeir di kantin kampus. Dengan cepat ia meraih kunci motornya yang berada di gantungan dekat pas-pas bunga kecil di dingding.
Dengan setelan rok bermotif bunga kecil berwarna pink dipadukan dengan tunik berwarna senada dengan bunga dan kerudung berwarna crame sesuai warna dasar rok yang ia kenakan. Nadya menyalakan mesin motor.
Satu jam motor metik yang ia parkiran di fakultas arsitektur. Ia letakan helem di stang motor miliknya dan ia ambil tas gendol berwana hitam dan ia letakan di depan dadanya. Sepatu sket warna cream melangkah ke tangga yang akan membawanya ke lantai 2 dimana kantin yang mereka berdua sepakati berada dilantai tersebut.
Wanita berambut pirang sebahu melambaikan tangannya ketika melihat ke keberadaan Nadya. Nadya membalas hal serupa dan mendekat. Nadya mendekat dan satu kursi ia tarik dan duduk bersebrangan dengan Anyelir.
Satu cangkir coklat panas pesanan Nadya sudah tersedia di meja dengan sepiring kentang krispi menemani mereka. Nadya menyodorkan satu bundel berkas kepada Anyelir. Anyelir melihat sekilas lalu memasukannya ke dalam tas miliknya.
"Pembayaran akan gue kirim setelah orangnya setuju dengan sketsa yang elo bikin ya, Nadya!" Anyelir menyesap jus jeruk ke mulutnya setelah menatap Nadya dengan senyum manis yang terukir di sudut bibir Nadya.
"Siap. Santai aja Anye, lagian kaya baru kenal aku aja. Abis ini kamu mau langsung ke perusahan itu, apa ada urusan lain dulu?"
"Gue langsung ngasihin ini dulu ke itu orang. Abis itu baru mau jemput nyokap gue yang baru mudik. Anyelir menghabiskan minumnya dan bergegas akan pergi.
"Baiklah kalau begitu. Inget ya Anye, kalau ada hal yang gak sesuai tolong kabarin aku, dan jangan bocorin nama aku kesiapa pun ya!" Nadya menerima salam dari anyelir dan menatap kepergian temannya itu dari hadapannya."
Nadya duduk kembali sambil meraih hp yang ada di dalam tasnya. Ia membuka dan mengecek pesan yang ada di hp nya. Tidak ada pesan penting dan Nadya hendak memasukan benda tersebut ke dalam tas.
Namun panggilan seseorang menghentikan tangannya. Nadya melihat ke arah suara di lihatnya Kiren yang berjalan ke arahnya.
"Ngapain kamu ada disini, Nadya? bukannya kamu tinggal nunggu wisuda aja ya? Tanya Kiren yang menatap ada satu gelas yang sudah tak bertuan di sebrang kursi milik Nadya.
Nadya mengetahui pertanyaan dari mimik wajah Kiren. "Aku abis ketemu Anyelir makanya aku ada di sini?" Mata Nadya menatap wajah Kiren yang kini sudah ada di sebelah kiri kursi yang ia duduki.
"Oooh pantes, kamu ada di fakultas ini? Kiren mengeluarkan satu buku novel yang sudah selesai ia baca ke Nadya. "Ini novelnya aku udah selesai bacanya, ceritanya bagus ya. Aku suka Ama alur ceritanya gak ngebosenin di bacanya."
Nadya meraih Nobel tersebut dan memasukannya ke dalam tas. "Pokoknya kalau kamu mau pinjem lagi besok-besok harus kena denda ya kalau telat balikin?" Ledek Nadya yang menyindir Kiren karena sudah telat seminggu sahabatnya itu mengembalikan novel miliknya karena ia sendiri belum baca.
"Hahaha, kamu bisa aja. Ya sudah sebagai gantinya aku ajakin kamu nonton deh hari ini, gimana? kebetulan ada filem bagus!" Mata Kiren menatap orang yang sedang berjalan ke arah mereka berdua dengan mengisyaratkan bibir monyong ke pada Nadya.
Nadya tidak menggubris sikutan dari tangan sahabatnya. Sehingga suara salam pun terdengar di telinganya. Nadya tidak asing dengan suara lelaki tersebut. Matanya menatap Yusuf yang sudah ada di hadapan meja Nadya.
"Wa'aikum salam."
Ucap Nadya dan Kiren bersamaan.
Kiren hendak bangkit dari kursinya ketika Yusuf kini sudah duduk di hadapan mereka berdua. Dengan cepat Nadya meraih tangan Kiren untuk duduk kembali kekursinya. Agar tidak meninggalkan ia berdua saja dengan Yusuf.
"Kak Yusuf ada keperluan apa datang ke sini? Kiren memberanikan diri bertanya karena ia tahu kalau Yusuf bukan jebolan dari universitas yang ia dan Nadya kuliah sekarang.
Yusuf menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menemukan pandanganya dengan senyum yang menunjukan lesung Pipit yang dalam. "Kebetulan dekan di fakultas ini teman kak Yusuf dan saya ada janji dengannya hari ini. Tapi setelah saya sampai sini dapat kabar bahwa teman kak Yusuf tidak bisa kesini karena ada urusan mendadak yang harus ia urus." Yusuf menjelaskan sekilas melihat wajah Nadya.
"Oooh gitu, teman kak Yusuf itu pak Aresen bukan? dosen arsitektur yang terkenal kiler gitu. Kiren menjelaskan sambil mengangkat kedua bahunya.
Nadya terdiam tanpa suara karena baru kali ini ia bisa duduk begitu dekat dengan laki-laki yang sudah hampir satu tahun ini mencuri hatinya.
"Kebetulan kakak melihat Nadya dan Kiren di kantin jadi kakak kesini. Tadi sempet sih liat Nadya dengan temanya yang sebelum Kiren datang." Yusuf melihat wajah Nadya dan Nadya tersenyum.
Ketiganya berbincang-bincang sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan melanjutkan urusan mereka masing-masing.
Setelah Nadya berpisah dengan Kiren dan Yusuf. Nadya melanjutkan perjalanannya menuju mall terbesar yang ada di kota M. Ia sudah ada di lantai dua mall tersebut. Tiba-tiba dering hand phone miliknya berdering. Yang mengangkat tanpa melihat 3 orang yang ada di hadapannya karena hp yang ia cari belum ia dapatkan dari dalam tasnya.
Brukkk
Tubuh Nadya jatuh ke lantai setelah tertabrak laki-lki yang bertubuh tinggi, tampan, perawakan tegap dan rahang yang terlihat tegap.
"Awww!" Nadya mengaduh karena tubuhnya yang mungil terjatuh oleh pria yang kini berdiri di dekat kakinya.
"Kalau punya mata itu dipake!" Ucap pria itu ketika melihat Nadia yang ada di lantai dengan mengelus tangannya dan wajahnya tak terlihat karena Nadia menunduk sambil mengelus kakinya yang sakit.
Nadia hendak bangkit namun kakinya masih sakit. Ia memaki pria yang sudah membuat kakinya sakit karena terkena sepatu milik pria tersebut. Ia hendak memaki pria tersebut namun pria itu sudah jauh meninggalkannya. Nadia menatap dua laki-laki yang tadi melangkah bersama pria angkuh itu dan kedua laki-laki itu hendak membantu Nadia berdiri. Namun tangannya terhenti ketika pria angkuh itu meneriaki mereka.
"Maaf nona, kami tidak bisa membantu anda.! Kedua laki-laki itu pergi meninggalkan Nadia sambil menangkup kan kedua tangannya di hadapan Nadia dan berlalu mengejar sang majikan.
"Aawww... Nadia berusaha hendak duduk. Namun kakinya merasakan sakit hingga akhirnya ia mendudukkan dirinya kembali ke lantai. Matanya melihat sesuatu yang jatuh di lantai sebuah cincin berinisial C dengan hiasan berlian yang begitu berkilau.
Nadia mengangkat cincin itu dengan tangannya dan melihat seksama, ia pastikan itu adalah berlian asli dengan mas putih yang cukup indah. Ia bisa menebak betapa mahalnya cincin tersebut. Dengan sekuat tenaga ia bangkit kembali dan berniat hendak mengembalikan cincin tersebut kepada pemiliknya. Namun setelah dengan bersusah payah ia sampai ke parkiran mall tersebut, ia tidak bisa mengejar pria angkuh dengan dua lelaki yang Nadia anggap pasti dua laki-laki itu pengawal atau kaki tangan dari pria angkuh tersebut.
*
*
Jalan di kota M sudah sangat macet di pukul 4 sore hari. Motor metik Nadia berhenti di tengah-tengah jalan yang macet tersebut. Banyak kendaraan memberikan klakson ketika Nadia mendorong motornya dengan kakinya yang sedikit masih terasa sakit. Keringat di dahinya semakin banyak, wajah lelahnya terlihat begitu jelas dengan sesekali ia mengusap keringatnya dengan tangan baju miliknya. Matanya terus melihat ke arah kiri dan kanan berharap ada pom bensin mini yang dapat ia singgahi. Kakinya sudah tak sanggup lagi untuk mendorong motor metiknya hingga akhirnya ia menepikan di bibir jalan raya dan ia duduk di dekat motor.
Sebuah mobil menepi di dekatnya dan pintu mobil pun terbuka. Mata Nadia melihat Yusuf yang sudah di dekatnya. Nadia mendongak ke wajah Yusuf dengan kagetnya. Dipikirnya polisi yang akan menangkapnya karena parkir di bibir jalan raya.
"Nadia masuk ke sini, nak!" Suara wanita paruh baya meneriakinya dari dalam mobil dengan setengah kaca jendela ia buka.
Nadia melihat ke arah suara dan sudah hafal dengan suara ummi Mariam. Ummi Mariam melambaikan tangannya agar Nadia masuk dan duduk dengannya.
Nadya melihat Yusuf menelepon seseorang. Setelah Yusuf selesai menelpon orang tersebut Yusuf membukakan pintu penumpang dimana ummi Mariam sudah ada di dalam.
Beberapa menit orang suruhan Yusuf datang dan membawa motor Kia dengan mobil derek.
"Mau dibawa kemana motor Nadia, kak Yusuf ?" Dengan panik Nadia melihat ke arah depan dimana mobil derek sudah membawa motornya.
"Nanti di bawa ke rumahmu, Nadia." Ummi Mariam membantu menjawab. Tangannya meraih tangan Nadia. "Ngapain kamu sampe dorong-dorong motor mu sampe jauh gitu dan ummi liat kakimu juga kelihatan sakit. Kamu jauh dari motor apa kenapa, nak?" Ummi Mariam melihat jelas wajah Nadia yang kelelahan lalu Yusuf memberikan sebotol air mineral yang ada di samping kirinya.
"Minumlah ini, agar lelah mu cepat hilang! " Ucap Yusuf lalu fokus kembali menyetir.
"Nanti jangan pulang ke rumah dulu ya, nak. Ummi obati kaki kamu dulu, biar kamu enak jalannya." Ummi Mariam melihat ke arah kaki Nadia.
"Gak... gak usah, ummi. Nadia bisa kok nanti beli obat pereda nyeri di apotik. Jadi gak usah sampe ngerepotin umi dan kak Yusuf juga." Kedua tangan Nadia melambai dan bibirnya memberikan senyum degan rasa canggung.
"Ummi gak akan merasa repot dengan calon menantu ummi ini. Malah ummi seneng."
Yusuf yang sendang menyetir tersenyum kecil dengan hatinya yang penuh kebahagiaan ketika ummi Mariam memanggil Nadia dengan sebutan menantu.
Tidak dengan Nadia yang jantungnya berpacu dengan cepat ketika ummi Mariam mengatakan itu di dekat dirinya dan juga Yusuf. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela sebelah kanan untuk tidak memperlihatkan wajah merahnya di hadapan ummi Mariam.
Ummi Mariam menyadari Nadia yang malu dengan dirinya. Tangannya menyentuh dagu Nadia. Yusuf melihat dari kaca spion di depannya, bibirnya melukis senyum indah ketika melihat wajah malu Nadia melihat ke arah ummi Mariam.
"Ummi sangat setuju bila anak ummi Yusuf menikah dengan wanita sebaik kamu, Nadia. Ummi sangat mengagumi kemandirian dan tekad yang gigih dalam kehidupan ini. Ummi Mariam melihat ke arah wajah Nadia yang terdiam. "Ummi akan sangat bersyukur Yusuf memiliki istri sepertimu, Abi Arffan pun setuju bila Yusuf menikah dengan mu, nak."
Yusuf diam-diam mendengarkan percakapan ummi nya dengan Nadia. Ia mengulas senyum dan melambatkan kendaraannya.
Hati Nadia bercampur aduk, ada rasa sebahagia dan ada rasa tak enak hati kepada keluarga ummi Mariam. Walau bagaimanapun keluarga Abi Arffan adalah orang yang terpandang di kota M. Apa kata orang-orang bila anak satu-satunya menikah dengan seorang anak yatim piatu si penjual kue.
"Tapi ummi, Nadia merasa tak pantas bila Nadia menjadi menantu ummi dan Abi Arffan yang orang di kota ini tahu siapa keluarga ummi. Sedangkan Nadia hanya anak yatim piatu yang sederhana." Jawab Nadia yang membuat hati yusuf tersentuh mendengar kemalangan Nadia selama ini.
"Justru itu adalah kelebihan yang nak Nadia punya. Akan ada keberkahan dalam keluarga ummi bila kami menjadikan nak Nadia menantu kami, sayang." Ummi Mariam memeluk tubuh mungil Nadia dengan pelukan hangat di sertai air mata. "Ummi selalu memikirkan tentangmu yang begitu kuat menghadapi semua masalahmu sendiri.
Seperti apa yang ummi Mariam lihat. ia melihat Nadia dengan susah payah mendorong motornya dengan kakinya yang sedikit pincang. Ia menangis di dalam mobil melihat Nadia sepeti itu. Ia bisa membayangkan apabila Nadia menjadi menantunya mungkin Nadia tidak akan merasakan hidup yang sulit yang ia tanggung sendirian selama ini.
Nadia yang sudah lama tidak merasakan pelukan seorang ibu kini ia bisa merasakannya walaupun itu bukan dari ibu kandungnya.
Ummi Mariam mengelus lembut pucuk kepala Nadia yang tertutup jilbab. Dengan cepatnya Nadia tertidur di pelukan ummi Mariam. Yusuf melirik sekilas di kaca. Ummi Mariam tersenyum melihat anak laki-lakinya tersenyum di balik kaca spion.
"Kasihan pasti dia sangat lelah setelah mendorong motornya dengan begitu jauh. Belum lagi panas dari udara kendaraan yang sempat macet tadi." Ucap ummi Mariam melihat Yusuf dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya.
"Ya ummi, tadi sempat Yusuf bertemu Nadia waktu Yusuf hendak bertemu dengan teman Yusuf di kampus tempat Nadia kuliah. Yusuf menawari Nadia dan temannya untuk pulang bersama dengan Yusuf tapi mereka punya urusan di tempat berbeda jadi kita berpisah di kampus." Jelas Yusuf yang mobilnya sudah masuk ke gerbang rumah orangtuanya yang tak jauh dari pondok milik ustadz Arffan.
Yusuf membukakan pintu mobil untuk ummi nya dan melihat Nadia masih pulas dalam tidurnya hingga ummi Mariam sedikit kesulitan untuk menarik tangan kanannya yang Nadia tiduri.
Yusuf tersenyum melihat wajah Nadia kelihatan manja kepada ummi nya. Biar nanti Yusuf minta tolong mbok Jumi dan mba Atik untuk membawa Nadia kedalam saja ya, ummi?"
"Gak apa-apa nanti tunggu Nadia sampe bangun aja, nak?" Ketika ummi Mariam hendak meraih tangan Nadia tiba-tiba Yusuf bersin dan membuat Nadya menggeliat dan membuka matanya. Ummi Mariam dengan cepat memukul tangan Yusuf ketika melihat Nadia menatap wajahnya.
"Ummi kenapa gak bangunin Nadia kalau sudah sampe rumah." Dengan malunya Nadia melihat Yusuf yang ada di depan pintu mobil dekan ummi Mariam.
Ummi Mariam tersenyum dan menjelaskan alasannya mengapa tidak membangunkannya yang terlihat lelah. hingga Nadia merasa malu karena telah membuat ummi Mariam tangannya sampai kesemutan akibat ulahnya.
*
*
*
Dengan dipapah oleh ummi Mariam Nadia masuk ke rumah ustadz Arffan. Baru kali ini Nadia masuk ke dalam rumah ummi Mariam. Biasanya ia hanya berada di teras depan ketika mengantarkan kue pesanan ummi Mariam.
Salam dari ketiganya terdengar dari dalam hingga membuat ustadz Arffan yang sedang membaca buku samar-samar mendengar suara Nadia. Buku ia letakan ketika melihat Nadia berjalan dengan dipapah oleh ummi Mariam.
"Loh kenapa Nadia ummi, jatuh dari motor apa kanapa?" Tanya ustadz Arffan ketika ummi Mariam sudah membantu Nadia untuk duduk di kursi ruang tamu.
"Tadi kata Nadia waktu di mall ada orang yang gak sengaja ketabrak sama dia. Tapi Alhamdulillah gak kenapa kayanya kaki nya aja sedikit terkilir."
Yusuf dengan cepat memberikan hp nya ketika ia sudah menelepon seseorang yang ummi nya perintahkan ketika ia sampai tadi.
"Ditunggu ya Mbah di rumah ana? Ummi Mariam menyudahi panggilannya dengan seorang ahli pijat di tempat tersebut.
*
*
*
Pukul 5 sore.
Setelah Nadia si selesai di urut Ummi Mariam mengajak Nadia untuk makan bersama dengan keluarganya. Dimana sudah ada Yusuf dan ummi Mariam dan juga ustadz Arffan.
Ummi Mariam sudah melayani ustadz Arffan dan kini ia meletakan lauk pauk ke piring Nadya. Nadia duduk dengan rasa canggung karena hal ini pertama kali dalam hidupnya makan bersama dengan keluarga besar ustadz Arffan.
"Ummi curang ahh, masa cuma Yusuf yang gak diambil lauknya!" protes Yusuf yang biasanya ummi nya itu selalu melakukan hal demikian kepadanya.
"Gak lama lagi juga Nadia yang akan menggantikan tugas ummi mu, Suf?" Ucap Ustadz Arffan yang membuat Nadia yang sudah memasukan air minum ke mulutnya.
"Aamiin" ucap Yusuf dalam hatinya.
Uhuk... uhuk ...
Nadia terbatuk mendengar perkataan ustadz Arffan barusan .
Ummi Mariam dengan cepat menepuk-nepuk punggung Nadia dengan pelan. Yusuf hanya melihat sekilas ke wajah Nadia yang memerah dan sedikit malu ketika melihat ke arahnya.
"Yaa Allah, kenapa hal demikian bisa keluar dari mulut ustadz Arffan yang bikin aku tambah malu dengan kak Yusuf dan semuanya." Bathin Nadia.
Ummi Mariam menyuruh agar semua tak bersuara ketika makan. Dan suasana pun menjadi sepi hanya terdengar suara dentingan sendok yang mengetuk piring diantara mereka.
20 menit mereka telah selesai makan. Nadia berpamitan ketika melihat hari mulai gelap. Ummi Mariam meminta Yusuf untuk mengantarkan Nadia pulang, di temani Sarif yang menemani mereka agar tidak menimbulkan berita miring. Karena Ummi Mariam sering mendengar berita yang kadang mengabarkan hal yang tidak baik tentang Nadia yang sering keluar dari mulut tetangga Nadia.
Nadia mencari benda pipih yang tadi hendak ia cari ketika sebelum kejadian tabrakan itu terjadi. Karena siapa tahu itu telepon penting untuknya. Ia lihat ponselnya yang hitam semua, walau ia sudah beberapa kali menekan tombol power pada ponselnya. Yusuf memperhatikan dan membuat ia ingin bertanya apa yang sedang Nadia lalukan dengan memukul-mukul benda pipih miliknya itu.
"Kenapa ponsel nya? Rusak, apa kehabisan baterai?" Yusuf melihat ke arah kursi penumpang dimana Sarif sang supir pribadi abinya yang menyetir.
"Gak tau kak. Sepertinya rusak akibat jatuh tadi waktu di mall." Nadia masih penasaran dengan benda yang sudah menemani ia selam 4 tahun belakangan ini.
"Ya sudah kita mampir aja ke gerai hand phone dulu. Hp kamu minta diganti itu, dek!"
Nadia sontak kaget dengan panggilan Dek dari mulut Yusuf. Hingga ia mengejutkan pukulan pada benda pipih nya dan melihat ke arah Yusuf yang tak sada dengan apa yang ia ucapkan tadi.
Mobil yang di kendari Sarif berhenti di sebuah outlet hand phone yang ada di mall yang tadi Nadia kunjungi siang hari.
Yusuf memilihkan satu hand phone keluaran terbaru kepada Nadia dan memberikan hand phone Nadia yang rusak kepada pelayan toko agar memindahkan file-file penting Nadia ke ponsel baru.
Nadia sempat menolak pemberian Yusuf yang membelikannya hand phone mahal yang Nadia sendiri hanya sempat berangan-angan ingin memilikinya namun selam 3 tahun belakangan ia belum bisa membelinya.
Pelayan tersebut memberikan ponsel baru yang sudah diisi file-file penting miliknya. Terkahir ponsel yang sudah rusak ia akan simpan sebagai kenang-kenangan karena ia membelinya dengan susah payah dari hasil keuntungan penjualan kue dan tabungannya.
Nadia berjanji akan menyicil setiap bulan kepada Yusuf untuk membayar hand phone yang ia belikan malam ini. Karena ia tidak mau mengambil manfaat kepada Yusuf. Yusuf menyerah dengan segala alasan Nadia yang ingin menyicil pembayaran hand phone yang Yusuf berikan, padahal ia memberikannya dengan tulus.
Bintang telah menunjukan cahayanya. Langit telah menjadi gelap tapi tidak dengan hati Yusuf yang kini merasakan bahagia karena kedua orangtuanya sudah terang terangan mendukung ia agar segera melamar Nadia sebagai istrinya.
Dua tangan ia lipat ke belakang lehernya dan bersandar ke sofa empuk berwarna abu-abu yang ada di kamarnya tersebut. Ia membayangkan kejadian tadi sore ketika wajah Nadia memerah setelah mendengar perkataan abi nya waktu di meja makan. Yusuf yakin Nadia pun memiliki perasaan yang sama dengan yang ia rasakan.
"Mungkin setelah Nadia wisuda aku harus menanyakan dimana alamat rumah om nya, semoga Allah mudahkan niat baik ku untuk segera menghalalkan Nadia menjadi istriku, Yaa Robb!" Yusuf bergumam dalam hati sambil terus menatap bintang dari jendela kamarnya.
Tok... Tok...
Suara ketukan pintu terdengar hingga menyadarkan Yusuf dari hayalan nya.
"Boleh ummi masuk, nak!" Ummi Mariam menghampiri Yusuf dan duduk di di sebelah kiri Yusuf.
Yusuf berbalik melihat kedatangan sang ibu, senyum mengembang dari wajah ummi Mariam.
"Sepertinya anak ummi ini sedang memikirkan sesuatu, Gimana kalau Minggu depan kita coba menanyakan kepada Nadia masalah niat kita akan melamarnya." Ummi Mariam melihat ke wajah Yusuf dan mengelus lembut rambut hitam Yusuf.
"Jangan dulu, ummi. Kurang lebih dua bulan lagi Nadia akan si wisuda. Yusuf sudah merencanakan setelah Nadia di wisuda Yusuf akan datang ke rumah om Brama membicarakan lamaran ini kepada keluarga beliau."
"Baiklah, kalau itu sudah jadi keputusanmu, nak. Jangan sampai kamu kehilangan kesempatan ya, sayang." Ummi Mariam meletakan tangannya di atas tangan Yusuf. "Ummi sangat menantikan hari itu dimana kamu mengucapkan ijab kabul di depan penghulu dan Nadia mengenakan gaun pengantin syar'i. Ummi tadi melihat-lihat gaun pengantin di butik teman ummi yang di mall tadi loh, suf!"
Yusuf tersenyum dan menatap wajah ummi Mariam dengan kedua tangannya menggenggam tangan ummi Mariam. "Yusuf bersyukur ummi dan Abi meridhoi niat Yusuf melamar Nadia. Semoga saja ya ummi om nya Nadia merestui niat baik kita ini!" Yusuf yang merasa khawatir dengan restu dari om nya Nadia. Dimana ia tau kehidupan om Brama seorang pembisnis handal.
"Kami jangan khawatir dengan sesuatu yang belum terjadi yang penting yakinkan hatimu, nak. Ummi yakin pasti om nya Nadia akan merestui pernikahan keponakannya dengan kamu. Nanti ummi akan mampir ke toko kue Nadia dan mengajak Nadia ke sini lagi untuk membicarakan niat kita ini, ya."
Ummi Mariam bangkit dari sofa dan meninggalkan Yusuf. Suara chat dari benda pipihnya terdengar. Di lihatnya bukti transferan dari Nadia.
"Assalamu'aikum. kak mohon di terima ini cicilan untuk hape. Alhamdulillah hari ini Nadia ada sedikit Rezki jadi bisa mencicil angsuran hape yang kakak belikan tadi."
Begitulah pesan singkat dari Nadia. Yusuf hanya menatap isi chat dari Nadia tanpa menyentuh foto bukti transferan yang Nadia kirim. Jari jemarinya d dengan lincah membalas pesan singkat Nadia.
"Wa'alaikum salam. Jazakillah, dek!" di sertai emot senyum.
Sebenarnya Yusuf tidak mengharapkan Nadia membayar apa yang sudah ia belikan. Karena toh tak lama lagi ia akan menjadi suami istri. Yusuf berniat menyimpan setiap transferan dari Nadia. Ketika Nadia sudah menjadi istrinya ia akan memberikannya kembali uang tersebut.
*
*
*
Tak ada balasan lagi di antara keduanya. Sehingga Nadia yang kini ada di ruang kerjanya menatap kembali layar ponselnya. "Cuma itu balesannya, ya sudahlah mungkin kak Yusuf sedang sibuk!" Nadia meletakan benda pipihnya di atas meja kerjanya.
Sepuluh menit kemudian denting chat masuk ke hand phone Nadia.
"Dek, wisudamu tanggal berapa? kakak boleh gak datang?" pesan singkat itu muncul kembali ke layar ponsel Nadia. Nadia membaca dengan seksama dan mulai memikirkan jawaban yang tepat untuk seseorang di sana.
Baru saja Nadia akan mengetik balasan, Yusuf melakukan panggilan di telepon Nadia.
"Wa'aikum salam" Nadia menjawab salam dari Yusuf sambil menutup laptop yang ada di hadapannya sambil berjalan menuju tempat tidur. "Ya kak, maaf tadi Nadia baru mau bales chat kakak tapi kakak udah nelepon duluan."
Keduanya membahas tentang wisuda yang akan Nadia laksanakan dalam dua bulan kurang. Dan ketika Yusuf mengutarakan rencana ummi nya yang besok akan mengajak Nadia untuk main ke rumahnya kembali dengan halus Nadia menolaknya karena ia akan pergi ke rumah om Brama.
Nadia meminta maaf bila belum bisa memenuhi undangan ummi Mariam kali ini. Jari telunjuknya ia gigit ketika Yusuf ingin mengetahui alamat rumah om Brama. karena dirinya sendiri belum tahu alamat rumah baru om nya yang sekarang.
"Nanti Nadia kasih share lock nya, kak. Bila Nadia sudah sampai. Sampaikan permintaan maaf Nadia ya kak sama ummi. Insyaa Allah nanti kalau sudah kembali lagi ke sini Nadia akan mampir ke rumah ummi." Nadia mengakhiri panggilannya dengan Yusuf dengan ucapan salam dari keduanya.
Nadia melihat jam di dinding di kamarnya menunjukan pukul 10 malam. Tak terasa ia dan Yusuf cukup lama mengobrol di telepon hampir 35 menit.
*
*
*
Syakila memotret setiap sudut yang sudah di hias dengan aneka bunga-bunga yang segar. Foto itu ia kirim ke Nadia, dia ingin berbagi moment bahagia kepada sepupunya. Tak lupa ia mengingatkan kepada Nadia kalau besok Nadia di jemput oleh supir pribadi papahnya pak Darto.
Seseorang menemani Syakila untuk melihat tempat yang sudah di dekor dengan nuansa kebun bunga yang indah. Tangan Adrian tak lepas dari pundak Syakila. " Sayang, foto itu kamu kirim ke siapa?" Ketika mata Adrian melihat calon istrinya sibuk mengirim foto-foto kepada Nadia.
"Aku ingin berbagi kebahagiaan kepada sepupuku yang ada di kota M. Besok aku kenalin deh kamu ke Nadia." Syakila mengalungkan tangannya ke leher Adrian.
"Ooh Nadia sepupu kamu yang sering kamu ceritain itu ke aku ya, sayang?" Kenapa dia gak tinggal sama papah kamu aja di sini?" Tangan Syakila sudah lepas dari leher Adrian dan mereka berdua menuju pintu ke luar. Tangan Adrian sambil menggenggam tangan Syakila ketika hendak menuju parkiran.
"Maka dari itu aku sama papah datang ke rumah Nadia ngebujukin dia buat tinggal sama kami di sini, Alhamdulillah kurang lebih 2 bulan lagi dia akan tinggal sama kami disini."
Adrian membukakan pintu mobil untuk Syakila dan tak lupa memasangkan sabuk pengaman, lalu ia duduk di kursi pengemudi. "Baguslah kalau begitu, disana juga dia tidak ada siapa-siapa kan? lebih nyaman kalau tinggal dengan keluarga mu disini dari pada ia tinggal sendiri di kota M." Adrian melajukan mobilnya.
"Ya mas. Aku gak bisa ngebayangin kalau aku di posisi Nadia. Aku salut banget pokoknya sama dia." Syakila menceritakan masa-masa ketika ayahnya Nadia meninggal dimana kehidupan Nadia dan sang ibu harus bisa membiayai kehidupan mereka sendiri. Dan sang ibu tidak pernah mau menerima bantuan dari papahnya karena takut menjadi fitnah di lingkungan tempat mereka tinggal. Sampai akhirnya ibu Nadia membuka toko kue untuk keberlangsungan hidup mereka berdua. Dan Syakila juga menceritakan bagaimana Nadia harus kehilangan ibunya ketika itu. Setelah kepergian ibunya Syakila dan papahnya pernah membujuk Nadia untuk tinggal bersamanya namun Nadia tidak mau karena ia ingin menyelesaikan kuliahnya sampai ia lulus.
" Kayanya Nadia itu idola kamu banget ya, sampai-sampai mas itu hafal dengan cerita yang sering kamu ceritai ke mas." Ucap Adrian sambil mengelus pucuk kepala Syakila.
Syakila hanya tersenyum dan melirik ke arah Adrian. "Nanti kalau Nadia sudah tinggal di sini aku akan ajak dia untuk berkeliling-keliling di kota ini, mau aku ajakin shopping dan pokoknya hal yang bikin kami seneng!" Oceh Syakila yang membayangkan dengan senangnya ia bisa tinggal bersama dengan Nadia.
"Boleh. tapi jangan lupa nanti setelah kita menikah kita gak bisa tinggal lagi di rumah orangtuamu, sayang. Tapi mas gak akan membatasi keakraban mu degan Nadia." Adrian tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya ke Syakila hingga membuat Syakila tersenyum malu.
"Ooh ya, mas. Kalau nanti di kantor mu ada lowongan kerjaan yang cocok untuk Nadia boleh ya, mas."
"Boleh. Memang lulusan Nadia itu apa?"
"Sarjana hukum!"
"Hemmm... tapi untuk di bagian itu sulit, sayang. Nanti coba mas carikan ke beberapa teman, mas. Selain itu Nadia memiliki keahlian yang lain tidak?
"Ada sih dia pinter bikin beraneka ragam kue-kue. Makanya dia sampe punya dua cabang di kota M."
"Ya sudah kalau gitu nanti coba ajak kerja sama saja dengan restoran-restoran di beberapa tempat, mas!"
"Beneran, mas?"
"Ya, sayang!" Syakila hendak mencium Adrian tapi hal itu ia urungkan karena Adrian sedang menyetir mobil.
*
*
*
Suara ayam jago sudah mengeluarkan suaranya dan suara-suara sholawat bergema di setiap menara-menara masjid. Kia yang sudah selesai dengan sholat tahajjud nya yang kini beralih dengan mushaf berwarna jingga. Ia baca lembar demi lembar sampai ia menunggu suara adzan subuh berkumandang.
Setelah satu juz ia membaca ayat suci Al Qur'an suara adzan shubuh pun berkumandang. Perlahan ia meletakan Al Qur'an di atas meja kamarnya. Ia membuka jendela agar udara masuk ke dalam kamarnya. Ia matikan kipas yang tadi telah menemaninya dan membuat kesejukan dalam dirinya . Hingga akhirnya ia melaksanakan sholat shubuh.
Selesai sholat Nadia mengecek kembali barang bawaan yang akan ia bawa ketika menginap dua hari di rumah om Brama. Dirasa sudah lengkap dengan apa yang sudah ia siapkan. Nadia beranjak ke dapur untuk membuat segelas susu coklat dan dua lembar roti sisa kemarin. Sambil menikmati sarapannya Nadia mengecek beberapa pesan yang masuk, chat paling atas dari Yusuf yang menanyakan jam berangkat Nadia hari ini. Nadia membalas chat paling bawah dengan nama id Syakila yang memberi tahu bahwa pak Darto akan tiba di rumahnya sekitar jam 10 pagi. Di tatap lagi chat dari Anyelir yang mengatakan bahwa pengusaha yang sudah menerima sketsa buatan Nadia sangat puas dan ia ingin bertemu langsung dengan si pembuat sketsa.
"Anyelir kamu harus mencari alasan kepada orang tersebut kalau yang membuat sketsa itu terlalu sibuk. Atau kamu sendiri yang mengaku itu adalah hasil buatan mu." Begitulah kira-kira Nadia membalas chat dari Anyelir.
Nadia meletakan hapenya setelah membalas chat dari Anyelir. Ia lupa untuk membalas chat dari Yusuf. Kedua tangan Nadia mengusap wajahnya dengan kasar. Memikirkan bila suatu saat akan ada orang yang ingin mengetahui setiap sketsa bangunan yang ia rancang.
"Aku tidak mau hal orang-orang kaya seperti mereka mengetahui setiap sketsa yang aku buat. Mereka cukup mengambil hasil sketsaku dan membayarnya tanpa harus tau siapa yang membuatnya. Bathin Nadia
Setelah ia membalas chat-chat di hape nya, Nadia bergegas untuk pergi ke toko karena ada beberapa suplayer yang mengirim bahan-bahan baku ke tokonya pagi ini. Hingga akhirnya Nadia mengeluarkan motornya dari samping rumahnya.
Seseorang menyapanya ketika Nadia sudah mengunci gerbang rumah yang tingginya sebahu Nadia.
"Mau kemana neng Nadia pagi-pagi gini udah rapih?" Tanya ibu-ibu paruh baya dengan tentengan kantong kresek berisi sayur-sayuran.
"Eehh ya, Mbah. Nadia mau ke toko, mbah karena ada yang harus di urus." Jawab Nadia yang memberikan senyum manis kepada tetangga komplek yang rumahnya beda 3 rumah dari rumah Nadia.
"Kemarin kayanya di anterin pulang tuh sama anaknya pak Ustadz Arffan? Celetuk ibu-ibu yang samping kanan rumah Nadia. "Pasti kamu ya yang kegatelan ngedeketin anaknya ustadz Arffan."
"Astagfirullahaladzim" ucap Nadia ketika mendengar ocehan tetangganya yang selalu usil tentang Nadia karena ia juga memiliki gadis yang usianya tak jauh berbeda dengan Nadia.
"Ehh, Narti jangan sembarangan kalau ngomong. Bilang aja kalau kamu iri sama neng Nadia. Karena anakmu jarang disuka pria yang bermobil." Bela Mbah Arum.
Nadia hanya senyum kepada tetangga sebelahnya, ia sudah kebal dengan setiap ucapan yang tidak baik dari mulut ibu-ibu itu. Dan akhirnya ia berpamitan untuk pergi kepada Mbah Arum dengan senyum yang ia sunggingkan dan sedikit anggukan kepala.
Dalam perjalanan motor Nadia tiba-tiba mogok di tengah jalan dilihatnya ban belakang motor yang kempes. Ia menatap jam di tanganya pukul 6.30 mana ada tukang tambal ban jam yang buka sepagi ini.
"Yaa Allah, merah-merah kenapa si kamu dua hari ini gak bersahabat banget sama aku!" ucap Nadia yang kini mendorong kembali motor metik yang sudah hampir 5 tahun menemani nya.
Suara motor berhenti di sampingnya hingga membuat Nadia menoleh ke arah motor tersebut dan di lihatnya Kiren yang memboncengi adiknya yang berseragam putih biru.
"Kenapa, Nan motor kamu?" Tanya Kiren yang masih menggenggam stang motor dan mematikan mesin motornya ketika melihat Nadia yang mendorong-dorong motor metiknya.
"Tuh coba kamu liat ban belakangku minta jajan pagi-pagi gini. Kamu tau sendiri kan jam segini mana ada tukang tambal ban yang buka!" Nadi menggelengkan kepalanya.
"Ya udah kamu tunggu aja aku di sini, sehabis aku nganterin adek ku Firman, aku akan anterin kamu. Emang kamu mau kemana pagi-pagi gini, Nad? Ucap Kiren yang sudah diberi sinyal oleh adiknya karena takut terlambat masuk sekolah.
"Mau ke toko, Ki. Ada supplier yang mau anter bahan-bahan ke toko aku yang di dekat mall Moon." Nadia melihat Firman yang sudah gelisah karena takut terlambat. "Ya udah sana kamu anter adek kamu aja, aku mah gampang nanti bisa pesan ojek online lah."
Mobil sedan berhenti di belakang motor Nadia dan Kiren.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!