"Hoooee...ayo kita cari ular bermahkota itu. Aku tadi lihat ia bersembunyi dari balik batu barat rumah kita ini!" teriak kakak laki-lakiku yang bernama mas Joko dengan membawa bambu apus untuk membinasakan ular bermahkota berwarna hitam keemasan itu.
Kakak laki-lakiku ada dua orang, ditambah laki-laki putranya tetangga ada mas No, mas Semar, Mas Kancil dan Mas Bagong. Serta ada lagi putra Bu Segi bernama mas Linduaji.
Mereka bergerombol sambil mengobrak Abrik bongkahan batu-batu yang bercelah-celah itu. Mereka Yaqin katanya ular siluman itu mengintai rumah kami hingga saat ini. Apa yang dicarinya tidak ada yang tau menau.
Apa cari tikus, mana mungkin ular siluman yang lebih pasnya raja ular makan tikus Piti.
Mereka terus mencari dengan membawa tongkat bambu untuk mengantisipasi gerakan ular bermahkota itu.
"Hei...itu dia kelihatan ekornya...!!!! " Kata mas Linduaji.
"Ayo ...kita bunuh saja. Kata Mbah buyut kalau ular bermahkota itu siluman harus kita bunuh. Daripada nanti kita yang dibunuh." teriak mas Bagong.
"Ayo kita kejar dia..."Mas Semar tak mau kalah.
"Kancil kenapa kamu diam ayo pukul kepala ular itu. Kapiasan ular itu ada di kepalanya. Segera lakukan Selak Upasnya menyembur ke kamu !" Terang mas No ke mas Kancil.
Mas Sarwokek yang jalan mengendap-endap di samping tumpukan batu bata tiba-tiba menyusul kakak-kakak mereka yang sedang menggerebek ular bermahkota itu.
Tapi begitu sabetan tongkat bambu hendak menyawat kepala ular itu, Ular bermahkota itu seketika menghilang.
Slappppppppp.....hilang entah kemana ular itu.
Bersamaan dengan menghilangnya ular bermahkota itu suara lengkingan bayi baru lahir itu membahana memecah kerumunan para kakak-kakakku yang sedang mencari ular bermahkota itu.
Bayi baru lahir itu adalah aku, Si Roro. Cewek Lo ya aku ini. Akhir cerita ular bermahkota itu tak ada yang membahasnya lagi. Mungkin semua sibuk merawat aku.
Dari munculnya ular bermahkota, ada keanehan setelah aku lahir. Kakakku yang bernama No sering melihat kejadian aneh di dapur.
Mulai ada mahkluk yang tak kasat mata. Banyak tentara makhluk halus berkeliaran di dapur sambil membawa pistol selaras panjang sebagai senjata mereka di era dulu jaman Indonesia masih dalam masa perjuangan.
Tentara itu selalu saja muncul dengan berbaris membentuk barisan peleton. Berjajar dari depan ke belakang hingga lima ruas tentara. Berjalan prok prok prok seperti seorang kapiten dari pintu dapur timur ke pintu dapur barat.
PROKKK...PROKKK....PROKKK...
Kakakku yang bukan penakut hanya mengintip dari celah pintu kamar Bapakku. Tepat di jam dua malam, Barisan tentara itu menghilang seketika tidak meninggalkan jejak.
Cerita tentara itu sampai berulang-ulang kejadiannya hampir tiap malam. Dan yang bisa melihat keberadaan mereka hanyalah mas No dan Budeku saja. Sedang Ibuku tak tau menahu, Ibuku hanya sibuk merawat aku, memberi susu aku dan menggendong aku.
Bude juga pernah bercerita kalau setiap malam ada barisan tentara berbaris di dapur semenjak aku lahir ke dunia.
Memang dari aku lahir banyak kejanggalan misteri yang tidak bisa dipahami oleh nalar manusia. Bude juga mengatakan di dapur itu banyak didatangi ular dan tikus-tikus. Hahhh cerita apalagi ini. Mereka muncul seperti Jelangkung tidak diundang dan tidak diantar pulangnya.
Menginjak Roro kira-kira kelas empat SD sekitar umur sepuluh tahun an ular bermahkota itu tak pernah menampakkan perhelatannya di kancah dunia manusia.
Yang ku rasa keberadaannya dekat denganku. Tapi aku tak mempunyai cukup ilmu untuk melihat, hanya gerakannya saja bisa ku rasakan sangat jelas.
Itu titisan Mbah kakungku, entah mengapa Mbah kakungku memberikan penjagaan yang ekstra untuk aku oleh makhluk ghaib.
Mbah Kakung tidak pernah bilang, katanya "suatu saat nanti kamu akan tau sendiri". Mbah Kakung sangat gemathi (sayang) padaku.
...----------------...
Saat pernikahan putrinya bude di desa Sidomukti yang disana belum ada listrik di jalan-jalan desa. Bahkan yang punya listrik yang punya gawe mantu aja itu pun pake diesel kuno.
Penerangan di jalan juga sangat minim, bahkan lebih cenderung gelap. Walaupun ada dimar atau lampu ublik yang ditaruh di tembok-tembok jalan.
Karena saking banyaknya keluarga bude dan keluarga ibuku, yang tidur di rumah Mbah Kakung, akhirnya tidurku dan embakku yang bernama Yu Sri diungsikan ke rumah Bude Mi yang dekat dengan sungai. Sedang rumah Mbah Kung penuh dengan tamu.
Kami harus berjalan menyusuri tiga rumah tetangga, sebuah pos kamling, pohon bambu yang panjang konon katanya ada kuntilanaknya dan kebun randu juga ada dedemitnya. Ihhh amit-amit hidup di desa, pingin pulang ke rumah sendiri umpatku dalam hati.
Hiiiii....dalam hati bergidik merinding jalanpun aku tak berani tolah toleh, tapi bersama Yu Sri yang pintar ngaji aku jadi tenang.
Suasana malam pukul sepuluh hanya bunyi jengkerik dan kodok serta desiran angin di pohon bambu itu membuat suasana malam meresahkan. Dasar aku penakut. Jalan sambil berpegangan erat di tangan embakku.
Di keheningan malam itu terdengar suara gamelan gong dari rumah embah yang buat hajatan orang jaman dulu.
Aku terus melangkah bersama Yu Sri sambil membawa obor di tangan kita. Ku rasakan ada bayangan ular bermahkota mengikuti kita di sepanjang jalan desa ini. Aku cuma diam tak berani bilang ke Yu Sri.
Seolah dia menjaga aku dari godaan mbak kunthi yang bermain ayunan di pohon bambu itu. Dan para dedemit yang sedang berpesta seperti pasar malam di kebun randu.
Alhamdulillah setelah sekian setengah kilometer rumah bude Mi sudah kelihatan. Saat aku tiba dirumah bude, tiba-tiba muncul datangnya putri bude yang bernama Yu Yati sedang berjalan terengah-engah membawa klenthing berisi air. Karena pada jaman itu, yang punya sumur hanya Mbah Kakung.
Mbah Kakung dan Mbah Putri sangat disegani oleh warga sekitar. Masih keturunan darah biru katanya. Aku juga Ndak tau, karena darahku juga sama berwarna merah.
"Dik Roro sama dik Sri, ndak papa kan ?"
"Alhamdulillah Ndak papa, Yu Yati."
"Ada apa, yu, kenapa jalannya tersengal-sengal seperti melihat hantu saja ?"
"Airnya pada tumpah Lo, Yu....!!"teriakku. Memang airnya di Klenthing tumpah karena Yu Yati setengah berlari mengejar kita.
"Iya memang melihat kunthilanak dan genderuwo, tadi."
"Hahh.......????" kami kaget setengah mati.
"Tapi, aku sudah terbiasa lihat seperti itu. Ini tadi yang ndak biasa, ada ular bermahkota sedang berjalan mengikuti kalian tadi. Aku pikir kalian kenapa-kenapa, makanya aku susul sambil berlari." Kata Yu Yati yang memang rada sedhengan ini. Sedhengan karena kurang sak ons.
"Terus ularnya kemana, yu ?" tanya Yu Sri tanda tanya.
"Ndak tau. Langsung hilang kemana gitu, begitu kalian sampai rumah ini."
"Ohhhh...." jawabku.
"Tapi kami Ndak merasakan apa-apa itu, yu. Ndak lihat ada kuntilanak dan genderuwo itu ?" jawabku dan Yu Sri juga mengiyakan.
"Wahh....ada yang janggal ini...."batin Yu Yati tak percaya dengan apa yang ia lalui barusan.
Malam ini adalah malam puncak mantu ngunduh pengantinnya putrinya bude. Aku yang tidak kuat menahan kantuk dan tidak pernah bergadang seperti orang-orang desa ini. Izin undur diri ke rumah bude Mi. Ibuku mengiyakan dan menyuruh Yu Sri menemani kembali.
"Dik, mau kemana ?" tanya Yu Yati.
"Bobok yu, Ndak kuat melek. Ngantuk aku."
"Ya sudah, ayo aku anter. Sebentar aku ambil klenthing airku nanti buat wudlu atau cebok kalau malam nanti mau ke belakang." aku pikir Yu Yati ini memang orangnya aneh. Kalau ada siang hari buat bawa klenthing berisikan air kenapa pilih malam hari. Itu cuma batinku aja.
"Dik, nanti kalau kalian sampai di Poskamling itu jangan tengok-tengok ya. Ada macan putih yang menunggu disitu. Orang di desa ini sering melihat dia bersemedi disitu. Entah apa yang ia tunggu dan cari. Tapi kata Mbah Kakung, macan putih itu tidak mengganggu hanya menjaga desa saja."
"Iya, yuu...." jawab kami hampir bersamaan.
Tak hayal, katanya ada yang nunggu si macan putih.
"Mana kok aku Ndak melihat ada macan putihnya !" kata Yu Sri.
"Hah....paling untuk menakut-nakuti kita aja, Yu Yati mbak." Yu Yati yang berjalan lebih cepat di depan kita, dia yang lebih dulu sampai di rumah. Sambil sesekali ia melirik dan menengok ke arah kami.
Tersengol-sengol napasnya. Dia mulai bercerita tentang apa yang ia lihatnya barusan.
"Macan putih itu mengikuti kalian, kalian tak merasakan erangannya ya ?"
"Aku merasa, Yu. Tapi tak bisa melihat."jawabku dalam hati takut Yu Sri ketakutan.
"Enggak. Yu Yati ini nakut-nakutin kita ya....?" tanya Yu Sri.
"Lhoh ...macan putih itu turun dari semedinya ngikuti kalian dari belakang. Bulunya putih ekornya panjang. Aku Lo dengar suara dengusannya. Masak aku sendiri sih yang bisa melihat dan mendengar ?" cerocos Yu Yati.
Kasihan Yu Yati, batinku. Aku merasa kok yu, tenang saja aku di pihakmu. Hehehe....
"Yu, ngibadah dan dzikirnya ditambahi ya, biar tidak seperti ini." Yu Sri menasehati Yu Yati.
"Apa kamu kira aku berhalusinasi, dik ? Enggak ya, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Ainul Yaqin tadi macan itu turun dari tempatnya, ngikutin kalian. Aku sempat melirik, karena aku takut dimangsa, akhirnya aku berjalan sambil berlari daripada aku dimangsa habis oleh dia !"
"O.... berarti Yu Yati makakne kita. Membuat kita jadi mangsanya? Jahat sekali, Yu Yati." kata Yu Sri.
"Ya ndak gitu, aku aja takut setengah mati."
"Alhamdulillah kita Ndak digigit, Yu. Berarti macan putih itu memang mau njagain saya dan Yu Sri. Hehehe...."
"Apa iya ?"
"Yu Yati ini aneh, macan putih itu cuma ada di kebun binatang, Yu. Mana mungkin ada berkeliaran disini. Cari mati kali ya...." Jawab Yu Sri.
"Yu Yati juga aneh, kalau ada siang hari buat ambil air kenapa pilih malam hari ?" tanyaku.
"Lebih enakan malam hari, Ndak panas." sambil Yu Yati mengisi air dalam tempayan.
"Daripada malam hari yu, dibuntutin mbak Kunthi sama mas Endruwo tau rasa looo...." gurau Yu Sri sambil melirik Yu Yati yang sewot.
"Apa Yu Yati uji nyali, ya ?" tanya Yu Sri.
"Uji nyali tiap malam selalu bawa klenthing hitam, kunthilanaknya sudah hapal biarpun pakai lampu obor apa enggak, jam segitu Yu Yati lewat. Terang aja Mas Enderuwo dan mbak Kunthi minggirrrrr dahhhh..." hiyahahaha.....tertawa Yu Sri dan aku memecah keheningan malam di bilik tua ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!