POV Anisa
Aku melangkahkan kakiku menyusuri gang sempit dimana rumahku berada, berjalan menuju jalan raya guna mendapatkan angkutan umum yang biasa mengantarku ke sekolah.
"Ck, udah gerimis aja masih pagi gini," keluhku.
Aku mempercepat langkahku, dan beruntungnya angkot yang menuju sekolah sudah ngetem ditempat biasa aku menunggunya.
Dan seperti pagi sebelum - sebelumnya, penumpang selalu berdesakan didalam kendaraan yang bermuatan kurang lebih empat belas penumpang. Kali ini aku mendapat jatah duduk tepat disamping pintu masuk angkot.
Ku tolehkan wajahku kearah luar, "Yaaahhh... Tambah deras," keluhku dengan nada suara yang lirih. Pasti jalanan akan banyak yang tergenang air, dan sekarang cipratan air hujan sudah masuk kedalam mengenai rok abu - abuku.
Setelah menempuh perjalanan yang dipenuhi drama oleh banyak supir angkot, akhirnya kendaraan persegi panjang panjang ini berhenti juga tepat didepan sekolahku.
Aku keluar dan tak lupa memberikan uang dari jasa pak supir yang mengantarku sampai ke sekolah. Aku berlari memasuki gerbang sekolah dengan tas yang ku gunakan sebagai pelindung kepala agar tak terkena air hujan yang mulai mereda.
"Huuuh... Akhirnya sampai juga,"
Oh iya, nama ku Anisa, Nur Anisa lebih lengkapnya. Aku anak dari pasangan Bapak Waluyo dan Ibu Ningrum. Bapak bekerja sebagai buruh bangunan di sebuah perusahaan kontruksi di daerah ku, tapi sungguh malang nasib bapak yang mengalami kecelakaan kerja dan meninggal ditempat enam bulan yang lalu. Sedangkan ibuku hanya seorang pedagang yang menjual makanan untuk sarapan bagi ibu - ibu yang malas memasak dipagi hari. Ya, aku adalah anak yatim dan dari kalangan masyarakat kelas bawah. Dan untuk sedikit meringankan beban ibu, sekarang aku juga ikut mencari uang dengan bekerja disebuah grosir sembako didekat rumahku.
Aku memiliki perawakan cukup mungil dengan tubuh kurus dan tinggi kurang lebih hanya 155 cm. Aku juga memiliki rambut hitam lurus nan lebat bak iklan shampo yang ada di tv - tv. Jangan lupakan dengan warna kulitku yang kuning langsat khas wanita Indonesia. Kalau untuk masalah kecantikan itu tentunya relatif bagi semua orang, tapi ibu selalu memuji wajahku dengan kata cantik. Ya wajar aja sih, gak mungkinkan orang tua sendiri bilang kalau anaknya jelek? Hehehe...
Bangunan yang kini ada di hadapanku ini merupakan sekolah elit yang cukup terkenal yang ada di daerah ku. Jangan tanya kenapa aku bisa sekolah disini? Ya tentu saja karena dengan adanya bantuan beasiswa yang pihak yayasan berikan pada anak yang pintar tapi kurang beruntung seperti ku untuk mengenyam pendidikan di sekolah bertaraf internasional seperti Galaxy School ini.
Aku berjalan menyusuri koridor menuju kelas ku berada. Aku mengibaskan rok dan tas ku yang basah karena terkena air hujan. Banyak yang menatapku Dengan tatapan yang tak terbaca, ada juga yang menatapku dengan sinis, dan tak sedikit juga yang mau menyapa anak dari kalangan bawah seperti ku.
Di sekolah ini rata - rata adalah anak dari orang kaya, ya... meski ada juga yang berasal dari golongan sama seperti ku, dan kebanyakan itu adalah murid beasiswa.
"Nis!"
Ku tolehkan wajahku kearah suara yang memanggil namaku. Aku tersenyum saat mendapati Pinkan; teman sekelasku yang baru saja keluar dari kelas pacarnya. Hanya gadis inilah yang mau menganggap ku dengan tulus sebagai temannya tanpa embel - embel apapun. Meski ia adalah anak orang kaya, tapi dia tidak pernah menganggapku berbeda darinya. Katanya, 'Yang kaya itu bokap gue. Gue cuma numpang kaya aja,' dan aku cukup salut dengannya.
"Kan!" Aku tersenyum ramah padanya. "Is is is.... Pagi - pagi udah ngapel aja." Ucapku sambil menggelengkan kepala.
Kulihat ia hanya meringis kecil, "iya dong. Tadi malam gak sempat ngapel soalnya," ucapnya sambil menampakan wajah cemberutnya.
Pinkan mengajakku berjalan menuju kelas dan meninggalkan kelas pacarnya; Dito.
"Kenapa?" tanya ku sedikit penasaran. Padahal biasanya Pinkan dan pacarnya sering jalan, bahkan hampir tiap malam. Seperti tak ada kata bosan bagi keduanya.
"Gue dimarahi bokap karena ketahuan sering keluar malam sama cowok." Cengirnya sambil menggaruk pelipisnya.
Aku mendengus. Sudah sering ku ingatkan padanya agar mengurangi kegiatannya yang satu itu. Tapi Pinkan selalu beralasan, "Gue suntuk. Dirumah tuh sepi banget kayak kuburan. Orang tua gue selalu sibuk sama pekerjaan dan bisnis mereka. Gue udah kayak dianggap gak pernah ada dihidup mereka,"
Bruuuk,
Tiba - tiba aku menabrak seorang gadis yang terkenal sombong dan sok paling cantik disekolahan, meski memang begitu sih kenyataannya. Aku pun meringis dengan kebenaran itu. Apalagi gadis itu adalah anak dari salah satu donatur terbesar disekolah ini. Makin bertambah lah keangkuhannya.
"Maaf!" ucapku dengan tulus.
"Heh! Kalau jalan itu pakai mata dong," sarkasnya dengan suara yang cukup keras, sehingga kami menjadi bahan perhatian. Maklum keadaan sekolah saat ini mulai ramai.
"Ya aku 'kan udah minta maaf. Kamu kok kasar begitu ngomongnya," ucapku tanpa rasa takut sedikitpun padanya.
"Berani lo ngelawan sama gue?" berang gadis itu yang dikenal bernama Sisil. Sedangkan kedua temannya yang berada di kanan dan kirinya bersedekap dada dengan wajah yang tak kalah angkuhnya.
"Kenapa aku harus takut sama kamu?" jawabku dengan santainya.
"Eh Sil! Nih anak 'kan salah satu anak beasiswa," ucap Dinda; salah satu teman Sisil.
"Oh ya?" Sisil menatapku dengan tatapan yang begitu remeh, ia memindai ku dari atas sampai bawah dan balik lagi keatas. "Anak beasiswa aja belagu dan berani nantangin gue?"
Perasaan ku mulai tak enak. Aku memutuskan untuk mengakhiri interaksi yang mulai tak biasa ini. "Udah yah, aku malas ribut. Sekali lagi aku minta maaf udah nabrak kamu." Aku bergegas pergi meninggalkan tiga cewek angkuh dan diikuti oleh Pinkan.
"Heh! Urusan kita belum selesai ya," pekiknya, namun aku tak ingin menghiraukannya.
"Sombong bener tuh cewek," gerutu Pinkan saat kami mulai menjauh dari Sisil dan kawan - kawannya.
"Dah lah, biarin aja. Orang kayak gitu gak usah diladeni. Tar malah masalah kecil jadi masalah besar," ucapku menenangkan kekesalan Pinkan.
Aku sungguh beruntung memiliki teman sepertinya. Meskipun ia salah satu murid dari kalangan orang berada, tapi Pinkan tak mau menyombongkan apa yang ia miliki pada orang lain, apalagi pada orang yang tak punya sepertiku.
Saat berjalan menuju kelas, netraku menangkap sosok yang begitu menawan bagiku. Cowok dengan perawakan tinggi dengan tatapan mata yang begitu tajam. Hidungnya mancung bak perosotan anak TK dengan kulit putih bersihnya. Tanpa disengaja tatapan kami berdua saling tertauh satu sama lain, namun itu hanya beberapa detik saja. Sayang, aku hanya berani untuk mengagumi, tak berani memupuk rasa ini menjadi hal yang lebih. Karena aku sadar, aku tak 'kan bisa untuk menggapainya.
Kini aku dan Pinkan sudah duduk dibangku kami masing - masing untuk mengikuti pelajaran pagi ini. Dan kebetulan tak lama kami sampai dikelas, gurupun datang untuk memberikan materinya pada kami.
Bersambung
"Ibu? Nisa libur sekolah aja ya untuk hari ini?" Aku enggan untuk berangkat sekolah pagi ini.
Aku sungguh tak tega meninggalkan ibu yang sedang sakit. Namun sayangnya, ibu menolak keinginanku, "Kamu harus tetap sekolah. Beberapa bulan lagi kamu bakal melaksanakan ujian." Ucap ibu dengan suara lemahnya sambil mengelus rambutku.
Aku sudah bersiap dengan seragam sekolahku. Aku benar-benar ragu untuk pergi meninggalkan ibu sendiri. Terselip rasa takut bercampur khawatir akan terjadi sesuatu bila aku meninggalkannya sendiri dirumah.
"Ibu gak apa-apa, Sayang. Cepat berangkat, jangan sampai nanti kamu jadi terlambat loh," kata ibu sambil tersenyum lembut kepadaku.
Dengan langkah yang terasa berat, aku meninggalkan ibu yang tengah duduk diruang tamu dengan wajah pucatnya, menyusuri gang sempit dimana rumahku berada hingga sampai ke halte tempatku biasa menunggu angkot.
Dua puluh menit pun berlalu, aku sudah menginjakan kakiku dikawasan Galaxy School. Pagi ini aku merasa tak bersemangat untuk melaluinya. Pikiranku selalu tertuju pada ibu yang sedang sakit dirumah.
Bruuuk,
"Auuwwsss..." Aku mengelus keningku saat menabrak sesuatu yang terasa begitu keras. Kuangkat pandanganku yang sedari tadi hanya tertunduk. Kulihat di depanku kini sudah ada Aslan; salah satu murid populer di Galaxy School. Dialah cowok yang berhasil menarik perhatianku selama ini.
"Sorry. Aku gak lihat ada orang didepan," ucapku dengan tulus. Aku sedikit menciut saat ia hanya menatapku tajam.
Aku bergegas meninggalkannya saat tak ku dapatkan sahutan darinya. Aku harus segera menjauh dari cowok itu demi keamanan jantungku.
"Tumben lo lama?" tanya Pinkan saat aku sudah duduk di bangkuku.
Aku membuang nafas sedikit kasar sebelum menjawab pertanyaan teman setia ku ini. "Iya, niat hati sih gak mau berangkat sekolah, gak tega ninggalin ibu dirumah sendiri. Tapi ibu maksa aku, padahal ibu lagi sakit,"
"Ibu kamu sakit apa?" tanya Pinkan padaku.
"Kata ibu cuma asam lambungnya yang kambuh,"
Pinkan mengelus lenganku, ia tampak iba padaku. Pinkan tahu kalau kami tak memiliki keluarga lain disini yang bisa dimintai bantuan. Sedangkan tetangga kami juga sibuk dengan urusannya masing-masing. Ibu hanya memiliki satu adik laki-laki, tapi beliau memilih tinggal diluar kota serumah dengan mertuanya. Sedangkan orang tua ibu sudah lama meninggal.
Bel jam pelajaran pertama dimulai. Kami menunggu beberapa saat sampai seorang guru memasuki ruangan kelas XII IPS 1.
"Nur Anisa?"
"Ya, Bu?" sahutku sambil mengangkat tangan kananku.
"Kamu diminta untuk menemui kepala sekolah sekarang,"
"Sekarang, Bu?" tanya ku memastikan perintah yang diberinya.
"Iya, sekarang," jawab Bu Lusi.
Aku berdiri dan langsung bergegas menuju keruang kepala sekolah. Ada apa ya? Biasanya bila aku dipanggil kepala sekolah, itu hanya urusan uang beasiswa yang akan segera cair. Mungkin saja ya? Inikan hampir memasuki semester kedua dikelas XII.
Tok tok tok
Kuketuk pintu sebelum masuk kedalam ruangan orang nomor satu disekolah ini.
"Masuk!" titah seorang pria didalam sana.
Aku menekan hendel pintu dan membukanya lalu melangkah masuk kedalam. "Permisi, Pak? Bapak panggil saya?"
Pria paruh baya itu mengangkat pandangannya dari berkas yang ada dihadapannya. "Ya. Silahkan duduk, Anisa,"
Aku pun menuruti perintahnya tanpa berani mengeluarkan suara atau bertanya lebih pada pria itu.
Ku lihat kepala sekolah menatapku dengan wajah yang begitu serius yang membuatku menjadi deg degan.
"Begini Anisa," Pak Hendro, kepala sekolah Galaxy School membenahi posisi duduknya. "Saya sungguh menyesal atas keputusan ini yang terkesan tidak adil bagi kamu, tapi mau tidak mau saya harus menyampaikannya padamu. Beasiswa yang selama ini kamu dapatkan telah dicabut oleh pihak sekolah," ucap kepala sekolah padaku dengan berat hati.
Aku terhenyak mendapati kabar yang baru saja disampaikan padaku. Apa ini? Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan fatal? Bukankah nilai-nilai ku sudah sesuai dengan ketentuan dan syarat yang berlaku untuk mendapatkan beasiswa?
"Kenapa bisa dicabut, Pak?" hanya pertanyaan itu saja yang mampu kutanyakan saat ini.
Tampak kepala sekolah menarik nafas dan menghembuskan nya dengan kasar. "Kenapa kamu bisa berurusan dengan anak dari salah satu penyokong dana terbesar disekolah ini?" tanyanya penu sesal padaku.
Aku diam, mencerna pertanyaan yang kepala sekolah berikan padaku. Aaah... Apa ini ada kaitannya dengan aku yang berseteru dengan Sisil beberapa hari lalu?"
"Saya rasa yang terjadi hanya karena hal sepele, Pak," tuturku.
"Apa masalahnya?" tanya kepala sekolah yang memang penasaran. Pasalnya papa Sisil hanya mengatakan pihak sekolah harus mencabut beasiswa atas nama Nur Anisa karena sudah membuat masalah dengan anaknya, kalau tidak segera dicabut, ia akan menarik seluruh dana yang sudah ia berikan pada sekolah ini, dan hal itu akan berakibat buruk bagi manajemen sekolah nantinya, terlebih lagi untuk gaji para guru dan para staff sekolah.
"Beberapa hari lalu saya tidak sengaja menabrak Sisil, Pak. Dan saya juga sudah minta maaf. Tapi Sisil tidak terima begitu saja hingga terjadi sedikit cekcok antara kamu," aku menjelaskan duduk permasalahannya pada kepala sekolah.
"Hanya itu?" tanya kepala sekolah seakan tak percaya dengan penjelasan ku.
Bagaimana beliau mau percaya? Bukankah itu hanya masalah sepele yang berakibat fatal bagi murid beasiswa, apalagi murid itu memang dari orang yang kurang mampu untuk bersekolah disekolah elit yang terkenal membutuhkan biaya yang banyak?
"Ya, Pak. Hanya masalah itu," mataku mulai berkaca - kaca. Aku tak menyangka akan berujung seperti ini setelah berurusan dengan Sisil.
Kepala sekolah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Sungguh tidak profesional," gerutu kepala sekolah yang masih bisa kudengar.
"Maafkan saya, Anisa. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk kamu. Saya juga harus menyelamatkan seluruh staf dan guru-guru disini. Jadi, mau tidak mau saya harus mengorbankan kamu. Saya harap kamu masih bisa bertahan untuk satu semester kedepan," ucap kepala sekolah padaku dengan penuh sesal.
Aku bisa memaklumi itu, tak mungkin kepala sekolah menyelamatkan satu orang sepertiku dan mengorbankan banyak pegawainya disini. Aku hanya bisa mengangguk lemah, lalu permisi untuk meninggalkan ruangan beliau.
Aku berjalan gontai menuju kelas ku. Kuhapus lelehan air mata yang sudah membasahi pipiku. Hingga langkahku terhenti saat seseorang berkata dan menyindirku.
"Adu ... duh ... duuuuh .... Kasian banget yang gak bisa sekolah geratis lagi,"
Aku menoleh untuk melihat orang yang bahagia diatas penderitaan ku. Wajahnya tampak begitu bahagia dengan kemalanganku ini, namun aku hanya bisa menatapnya denagn nanar. Ada ya orang yang setega ini ingin menghancurkan orang lain hanya karena hal sepele?
Sisil berjalan mendekatiku dan sedikit membungkukkan tubuh tingginya dihadapan ku. "Makanya, jangan pernah cari masalah sama gue kalau lo gak punya apa-apa." Setelah berucap seperti itu, ia meninggalkanku yang hanya bisa mengepalkan kedua tanganku.
...Bersambung...
Aku memejamkan mata sejenak untuk mencari sedikit ketenangan akibat masalah yang tengah menghampiriku. "Sebentar lagi akan bakal ujian akhir, pasti bakal ada try out yang butuh biaya, belum lagi uang ujian dan uang sekolah yang nilainya fantastis buat orang kecil macam aku. Apa aku sanggup menjalani sisa waktu sekolah selama enam bulan ini? Ya Allah, permudahkan langkahku," gumamku sambil berdoa.
Aku melanjutkan langkahku dan mengikuti pelajaran yang sempat tertunda tadi karena dipanggil kepala sekolah.
*
*
*
"Hei?" Pinkan menepuk pundak ku. "Lo kenapa? Ada masalah? Dari tadi gue perhatiin lo gak fokus," tanyanya menyelidik.
Aku menggeleng dan langsung mengubah mimik wajahku seakan aku baik-baik saja. "Aku gak apa-apa. Lagi kepikiran ibu dirumah aja,"
"Ibu pasti baik-baik aja. Lo 'kan tahu kalau ibu itu wonder woman." Pinkan menarik turunkan alisnya. "Yuk ah, kantin." Pinkan langsung menarik tanganku.
Dengan langkah yang ogah-ogahan aku mengikuti Pinkan untuk mengisi perutnya di kantin.
Kali ini aku tak memiliki selera makan, bahkan aku tak merasa lapar sama sekali saat ini. Entahlah. Memikirkan ibu dirumah ditambah lagi dengan kabar dicabutnya beasiswa yang selama ini kudapat, membuatku benar-benar ingin menangis. Tapi aku berusaha untuk menahannya.
Suasana kantin yang tadinya cukup kondusif, kini berubah menjadi riuh ketika tiga most wanted sekolah ini memasuki area kantin dan duduk disalah satu bangku kosong yang masih tersisa.
"Ck," kulihat Pinkan merotasikan matanya. "Ganteng sih ganteng, apalagi sampai tajir melintir. Tapi sayang gak ada akhlak," sindirnya pada tiga cowok yang sudah duduk dengan anteng.
"Siapa?" tanya ku pura-pura tidak tahu siapa yang sedang Pinkan bahas.
Pinkan menunjuk dengan dagunya, "Noh. Tiga curut yang sok Ok,"
Aku melihat kearah yang ditunjuk Pinkan, ia sih ganteng, tajir lagi. Tapi sayang seperti yang Pinkan katakan, minim akhlak. Siapa sih yang gak kenal tiga cowok tampan tapi berandalan itu? Bahkan banyak cewek-cewek disekolah ini yang antri untuk bisa bersama mereka, apalagi berada didekat Aslan; ketua geng yang Pinkan juluki sebagai geng curut, padahal mereka tak sama sekali memberi nama perkumpulan mereka.
"Lo gak makan?" tanya Pinkan yang melihatku hanya meminum air mineral dalam kemasan botol.
"Enggak. Aku gak lapar." Aku menggelengkan kepalaku. Lain dibibir lain diperut. Nyatanya setelah mengucapkan empat kata itu, tiba-tiba perutku berbunyi khas perut lapar.
Krruuukkkk krruuukkkk...
Duuuuh, nih perut gak bisa diajak kompromi sih? Gerutuku dalam hati. Kulirik Pinkan yang malah mengulum senyumnya seakan sedang mengejekku.
"Ya udah sih pesan aja. Jangan dzolim sama diri sendiri. Perut lo butuh diisi bahan bakar buat mikir pelajaran yang bakal lo serap hari ini,"
Sebenarnya aku ingin memesan makanan. Tapi mengingat keadaan keuanganku yang mulai gawat, aku mengurungkan niatku untuk memesan makanan. Aku bertekad harus bisa lebih hemat lagi agar uangku terkumpul untuk kebutuhan sekolah yang sepenuhnya menjadi tambahan bebanku.
"Udah pesan gih. Gue yang bayar," ucap Pinkan, seakan-akan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Pinkan menyodorkan uang berwarna hijau kepadaku.
Sebenarnya aku ingin menolak, tapi sungguh perut ini tak bisa diajak kompromi.
Krruuukkkk krruuukkkk...
Aku meringis dan menggaruk bagian belakang telingaku. Dan dengan keraguan, aku beranjak dari duduku dan pergi memesan makanan yang kuinginkan.
*
*
*
"Anisa!" seru Ci Meiling; pemilik grosir sembako tempatku bekerja memanggilku.
"Ya Ci?" aku menyudahi kegiatanku membungkus stok minyak goreng curah kedalam plastik berkapasitas satu liter.
"Cepat ambil tisu-tisu yang ada di rak atas dekat kamu itu." Tunjuk Ci Meiling pada bungkusan besar tisu yang ada diatasku.
Tanpa membantah dan menunggu diperintah dua kali, aku menarik kursi pelastik yang lumayan tinggi sebagai pijakanku agar sampai menjangkau rak paling atas.
Haap,
Bungkusan besar itu sudah ku dapatkan. Namun sial mungkin sedang menimpaku, aku terpeleset diujung bangku pelastik yang membuatku limbung dan dwngan refleks menarik tiang rak, tapu sayangnya rak tersebut tidak cukup kuat menjadi peganganku sehingga tak hanya aku yang terjatuh, melainkan rak yang berukuran tinggi itu ikut menimpaku.
Braaak...
Praaanngggg...
"Anisa....! Apa yang kamu lakuin? Astaga! Dagangan saya hancur semua?" pekik Ci Meiling, ia terlihat histeris mendapati keadaan grosirnya menjadi berantakan tanpa berniat menolong ku yang tertimpa rak itu.
"Ada apa, Ci?" tanya pegawai laki-laki yang bekerja digrosir itu juga. "Astaga! Anisa?" Pegawai itu bergegas menolong ku dari tindihan rak yang lumayan berat bagiku.
Bang Puput; pegawai laki-laki itu membantuku berdiri. Tubuhku rasanya sakit sekali dan bahuku juga terasa begitu ngilu.
"Kamu lihat semua ini." Ci Meiling menunjuk-nunjuk barang dagangannya porak poranda dan hancur.
"Maaf, Ci. Saya tidak sengaja menarik raknya. Tadi saya terpeleset di kursi, jadi saya berpegangan pada tiang rak. Tapi raknya malah ikut terjatuh," ucapku sambil meringis menahan sakit si sekujur tubuhku.
"Saya gak mau tahu. Kamu saya pecat! Dan gaji kamu tidak akan saya beri sebagai ganti kerugian yang telah kamu perbuat," ucap Ci Meiling dengan wajah yang benar-benar terlihat marah.
Apa? Dipecat? Uang gajiku...,
Padahal aku sungguh berharap uang hasilku bekerja digrosir Ci Meiling ini bisa membantuku untuk membayar semua kebutuhan sekolahku.
"Sekarang pergi kamu dari sini!" Ci Meiling mengusir dan memecatku denagn cara yang tidak hormat.
"Tapi, Ci?"
"Tidak ada tapi tapi. Pergi kamu!" sentaknya begitu emosi.
Ya Allah, apa ini? Tadi pagi beasiswaku dicabut, dan sekarang pekerjaanku hilang karena ketidak sengajaanku. Darimana aku mencari biaya sekolah ku yang mahal itu? Ditambah lagi ibu saat ini sedang sakit. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak saat ini juga untuk meluapkan ketidak berdayakanku.
"Nis! Nisa?" seseorang pemuda menghampiriku dengan wajah khawatirnya. Dia adalah Bang Joko, tetangga samping rumahku.
"Ada apa, Bang?" tanyaku.
"Ayo cepat pulang Nis. Ibu kamu-
ibu kamu sudah tidak ada, Nis," ucap bang Joko dengan wajah penuh sesal.
Aku tak langsung bereaksi, aku masih mencerna apa yang disampaikan tetanggaku ini. Ibu? Ibuku sudah tidak ada?
"Abang jangan bercanda dong, Bang," aku masih menyangkal kabar yang diberikan bang Joko padaku.
"Nis?" Bang Joko memegang kedua pundakku dan menatapku dengan lekat. "Kita pulang ya? Ibu kamu udah nunggu," ucapnya dengan suara yang pelan.
Aku mulai melangkah dengan gontai dengan tatapan kosong. Aku tidak percaya dengan yang kualami satu harian ini. Apa ini? Kenapa Tuhan tidak berpihak kepadaku?
Sampailah aku didepan rumah dimana aku meninggalkan ibuku sendiri tadi pagi dalam keadaan sakit. Disana sudah berkumpul para tetanggaku untuk melayat.
Aku masih terpaku ditempatku berdiri, menatap nanar kumpulan orang-orang yang tengah membacakan doa untuk mengantar kepergian ibu.
Bruuuk...
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!