Pov: July
Mataku terbelalak melihat bangunan 3 lantai bercat abu - abu kombinasi hitam bergaya minimalis modern, aku memang pernah mendengar dari Ibu kalau Ibu bekerja di rumah mewah, tapi rumah majikan Ibuku ini melebihi bayanganku, entah mereka bekerja sebagai apa karena Ibuku pun tak pernah menceritakannya, tapi kalau melihat rumah dan kendaraan yang berjejer rapi di garasi belum yang di terparkir di halaman depan, sudah pasti majikan Ibu adalah orang super kaya raya
“Waahhh” lagi - lagi aku dibuat takjup begitu masuk ke dalam rumah majikan Ibu meskipun lewat pintu belakang, ornamen mewah sudah terlihat mulai dari bagian dapurnya
Beberapa orang berseragam seperti Ibu menyapaku ramah, kebanyakan umurnya sebaya Ibu hanya beberapa orang saja yang tampak lebih muda
“Cepetan jalannya, Jul!” Titah Ibu padaku, aku cepat - cepat menyamakan langkahku dengan Ibu menuju ke jejeran ruangan dengan pintu yang sama, Ibu membuka salah satu pintunya dan masuk ke dalam, tas berbahan parasut tipis milikku yang berat turut ia geret paksa
“Jul, jangan bengong aja! Masuk!” Bentak Ibu, kelihatannya sudah mulai jengkel karena aku sibuk melihat ke kanan ke kiri mengamati tempat yang akan jadi hunianku untuk sementara, kalau Ibu sudah bermuka masam begitu aku tak berani membantah lagi, kakiku ku langkahkan masuk
“Ini kamar Ibu?” Tanyaku setelah melihat isi ruangan yang di dalamnya ada tempat tidur, lemari, dan kipas angin, serta satu buah meja tulis lengkap dengan kursinya itu
“Iya, sekaligus akan jadi kamar kamu mulai hari ini!” Sahut Ibu, setelah sekilas melihat Ibu yang sedang memindahkan bajuku ke lemari aku lantas sibuk lagi memindai sekitar kamar yang jauh lebih bagus dari kamarku di kampung
“Jul, mandi dan ganti baju dulu! Pakai bajumu yang paling bagus, Nyonya dan Tuan Azhari ingin bertemu denganmu!” Perintah Ibu, aku mengangguk mengiyakan meskipun rasanya aku belum sanggup bertemu dengan Tuan dan Nyonya besar itu, kalau boleh aku ingin berbaring dulu sebentar meluruskan kaki dan punggungku yang pegal setelah menempuh perjalanan 12 jam menggunakan kereta, tapi lagi - lagi melihat wajah Ibu yang tak bersahabat nyaliku ciut, ku seret kakiku menuju lemari tempat Ibu menyimpan barang - barangku tadi, handuk kumel itu aku bawa serta bersama baju ganti dan peralatan mandiku
“Ayo… Ibu antar ke kamar mandi bersama!” Tutur Ibu mulai melunak kembali ketika melihatku sudah siap untuk mandi, kami berdua lalu keluar dari kamar Ibu itu lalu berjalan menyusuri koridor melewati kamar - kamar pembantu yang lain
“Ini kamar mandinya, Jul! Kamar mandi ini untuk semua pembantu, hanya ada dua kamar yang memiliki kamar mandi di dalam yaitu kamar kepala pelayan dan kepala koki” Jelas Ibu, aku hanya mengangguk - angguk tak antusias karena rasa lelahku yang melanda
“Mandi yang cepat! Tuan dan Nyonya Azhari tak suka menunggu lama, jangan sampai hari pertama bertemu mereka kau sudah memberikan kesan yang tidak baik!” Pesan Ibu, lagi - lagi aku hanya mengangguk dan cepat - cepat masuk ke kamar mandi
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan yang ku masuki itu tampak gemerlapan dan mewah, lantainya berkilau indah dan tanpa sekat, lampu kristal super besar tergantung indah di ruangan yang sangat luas itu, karena terkagum melihat rumah aku tertinggal jauh di belakang Ibu
“July!!!” Pekik Ibu setengah berbisik, aku tahu Ibu kesal padaku karena wajah Ibu memerah dan tangannya mengepal membentuk tinju, Ibu memang selalu gampang marah padaku, bahkan kenanganku di dominasi dengan kemarahan Ibu, Ibu jarang sekali membelaiku atau menatapku dengan kasih sayang meskipun kami sering sekali berjauhan karena Ibu harus bekerja, tapi aku tahu kalau jauh di lubuk hatinya Ibu sayang padaku, aku percaya itu.
Aku menyegerakan langkah, mensejajarkannya dengan Ibu
“Sakit Bu” Rintihku saat Ibu mencubit tanganku cukup keras, berbekas merah.. kebiasan Ibuku memang, memukul atau mencubit ketika aku tak segera menuruti keinginannya
“Dengar Jul, ini bukan rumahmu! Di rumah ini kau tak bisa seenaknya, apalagi menyangkut Tuan dan Nyonya besar! Begitu mereka memanggilmu kau harus segera datang tak peduli apa pun yang sedang kau lakukan, mengerti?!” Bisik Ibu, tak peduli air mataku yang jatuh karena cubitannya barusan, bukan sakitnya yang membuatku menangis tapi bagaimana Ibu menyambut putri yang tak ia temui hampir 3 tahun lamanya, jangankan pelukan sayang.. aku malah menerima perlakuan kasarnya
“Kau mengerti tidak?” Sentak Ibu melihatku bungkam, “Ini apalagi, ngapain kamu nangis - nangis segala?” Cerocos Ibu sambil mengusap air mataku dengan kasar, aku yakin pipiku sedikit memerah sekarang.
“Iya Bu, aku mengerti” Sahutku patuh, obat untuk kemarahan Ibuku, dan benar saja kesalnya Ibuku mereda, bibirnya melengkungkan senyum
Saat pintu besar itu dibuka, suara musik klasik mengalun pelan dan lembut berlomba dengan suara derap sepatu para pelayan yang sedang menyajikan makanan di meja makan panjang, seorang pria paruh baya berkaca mata fokus membolak balik halaman koran di tangannya di kursi ujung meja makan, di seberangnya duduk wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik, dagunya terangkat dengan sebelah tangan memegang cangkir teh, sebelah tangannya lagi mengelus - elus anjing kecil berbulu lebat
Melihat kedatanganku dan Ibu, seorang pelayan wanita dengan setelan seragam yang rapi menoleh sebentar, lalu menghampiri Nyonya yang aku yakini adalah Nyonya Azhari
“Jul, jangan berani - beraninya menatap Tuan dan Nyonya! Itu pamali di rumah ini!” Sengit Ibu mendapati aku yang sedang mempelajari para penghuni rumah, aku sontak tertunduk tak ingin mendapat cubitan yang kedua
“Anakmu sudah datang ternyata Bu Mar?” Suara Nyonya itu terdengar lembut namun sedikit angkuh, sayang sekali aku tak bisa melihat wajahnya ketika berbicara karena aku masih juga menunduk
“Iya Nyonya, baru saja datang” Sahut Ibuku, setelah itu aku merasakan tanganku ditarik Ibu, langkahku cepat mengikuti, tak lama sudut mataku melihat Ibu duduk melantai tak jauh dari tempat kursi Nyonya itu, aku yang masih berdiri ini turut ditarik Ibu untuk duduk di lantai
“Ini July? Dia pernah datang kesini waktu Marco ulang tahun yang ke - 7 bukan?” Suara seorang pria yang aku yakini adalah Tuan Azhari, dia menyebut nama Marco yang tak lain adalah anaknya, pria kecil tampan yang aku ingat samar - samar dulu
“Iya betul Tuan, ini anak saya July” Sahut Ibuku begitu lembut dan sopan, nada bicara yang tak pernah ku dengar seumur hidup
“Wah kau sudah besar, July” Ucap Tuan Azhari, aku menggangguk tapi tetap tertunduk sesuai titah Ibu
“Lihat lawan bicaramu ketika diajak ngomong! Tidak sopan… “ Sambar Nyonya Azhari, Ibu spontak menyikutku
“Ma…. “ Ucap Tuan Azhari, bijak sepertinya, mendapat pertanda dari Ibu aku mendongak pelan - pelan lalu menatap Nyonya dan Tuan Azhari itu bergantian sambil mengangguk sesopan yang aku bisa
Bisa kulihat ekspresi sewot di wajah cantik Nyonya Azhari, namun sebaliknya dengan wajah Tuan Azhari ia begitu tenang
“Pa, apa nanti tidak akan jadi masalah? Kau lihat kan.. dia cantik! Bagaimana kalau Marco… “ Gumam Nyonya Azhari tapi tetap terdengar olehku dan bahkan semua orang disitu, maklumlah jarak kursi Nyonya Azhari dan Tuan Azhari cukup jauh, berseberangan
“Apa Ibumu sudah memberi tahu apa tugasmu disini, July?” Tanya Tuan Azhari mengabaikan pertanyaan istrinya, akumengangguk belum berani membuka suara, Tuan Azhari lalu manggut - manggut setelah itu ia memberi kode pada wanita berseragam rapi tadi, seperti sudah di atur sebelumnya wanita itu meraih sebuah map yang terletak di meja kecil di belakang Tuan Azhari, lalu menyodorkannya pada Tuan Azhari
“Ini adalah berkas - berkas yang kau perlukan untuk masuk sekolah nanti, disitu sudah ada bukti pembayaran yang bisa kau pakai untuk mendapatkan seragam sekolah dan buku - bukumu!” Tutur Tuan Azhari, tangannya terulur menyodorkan map itu padaku, pinggangku lagi - lagi mendapat sikutan Ibu, aku yang masih bingung kenapa Tuan Azhari yang membayar uang sekolahku segera bangkit dan berjalan mendekat meraih map dari tangan Tuan Azhari
“T - Terima kasih Tuan” Ucapku gugup, aku lalu kembali ke sebelah Ibu, melantai seperti tadi, map di tanganku ke pandangi lamat - lamat, dan betapa terkejutnya aku melihat map bernamakan Bintang Pelajar International School, salah satu sekolah swasta termahal yang aku tahu, tapi kenapa Tuan Azhari memberikan map ini padaku? Ah mungkin hanya mapnya saja yang bekas Marco, gumamku dalam hati
“Aku dengar dari Ibumu kalau kau sangat pintar, July.. aku harap kau tak akan membuatku dan Marco malu di sekolah nanti!” Tambah Tuan Azhari, aku semakin dibuat bingung dan penasaran ingin cepat - cepat membuka isi map itu, apa aku memang disekolahkan disana? Kalau iya, kenapa Tuan Azhari sampai repot - repot mengeluarkan uang yang tak sedikit untukku?
“July!” Bisik Ibu menegurku yang tak menyahut omongan Tuan Azhari
“I - Iya Tuan, saya selalu mendekati ranking pertama dari sekolah dasar dulu!” Jawabku
“Bagus! Kalau begitu tak sia - sia kami mengeluarkan uang untuk sekolahmu, ingat July.. kau harus membuat Marco menjadi peringkat pertama, aku tak mau di dikalahkan oleh siapa pun terutama putra keluarga Walton!” Tegas Nyonya Azhari
“Ma, sudah ku bilang kau jangan menganggap keluarga Walton saingan, kau harus ingat siapa mereka!” Kesal Tuan Azhari, Nyonya Azhari menghela napasnya membuang amarahnya yang tersulut
“Ya.. ya… kau sudah bilang berkali - kali Pa! Tapi…. “ Lanjut Nyonya Azhari
“Ma!” Sentak Tuan Azhari membungkam istrinya, alis Nyonya Azhari menukik tajam saking kesalnya, sebelah bibirnya terangkat hendak berucap lagi tapi melihat wajah suaminya yang murka ia urung melanjutkan
Tuan Azhari lanjut menjatuhkan pandangannya pada Ibuku, “Aku rasa kau belum menjelaskan dengan rinci apa tugas July disini Bu Mar! Pergilah, dan jelaskan pada July apa saja kewajibannya menjadi pendamping Marco sebelum kau pulang!” Titah Tuan Azhari
“Baik Tuan, saya permisi” Sahut Ibuku tanpa berargumen apa pun lagi, Ibuku beringsut mundur, lalu bangkit dan berjalan keluar, aku patuh mengikutinya
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Apa maksudnya ini Bu?” Cecarku pada Ibu begitu kami sampai di kamar Ibu dan setelah aku membuka isi map yang ternyata adalah bukti pembayaran uang masuk sekolah mahal itu dan beberapa formulir yang sudah di tanda tangani Tuan Azhari
“Loh kok malah nanya itu maksudnya apa? Itu artinya kamu sekolah disitu Jul!” Sahut Ibu sambil membuka lemari dan mulai mengeluarkan baju - bajunya dari sana, entah untuk apa
“Apa maksud Tuan Azhari dengan menyekolahkanku di tempat mahal Bu? Bukannya Ibu menyuruhku untuk pindah sekolah karena Ibu ingin menyekolahkanku disini agar bisa dekat dengan Ibu? Tapi kenapa justru Tuan Azhari membiayaiku di sekolah mahal?” Cecarku lagi, aku jelas curiga dengan tindakan Tuan Azhari begitu pun tingkah laku Ibu
“Tadi kan Tuan Azhari sudah bilang kalau kau akan jadi pendamping Tuan muda Marco, Jul!” Jawab Ibu tanpa melihatku, tangannya sibuk menata - nata baju - bajunya
“P - pendamping?” Tanyaku, pikiranku berlayar ketika mendengar kata pendamping, melihat wajahku yang kebingunan Ibu tiba - tiba saja tertawa terbahak
“Ahahha… apa yang kau pikirkan July? Apa kau pikir Tuan Azhari akan menikahkanmu dengan Tuan muda Marco begitu? Itu yang ada dalam pemikiranmu tentang pendamping, kan?” Olok Ibuku dengan tawanya yang semakin keras
“Astaga.. July… July… kamu pikir Tuan dan Nyonya mau punya menantu kere seperti kamu? Anak pembantu pula!” Tandas Ibu, kepalanya menggeleng - geleng belum puas dengan olokannya padaku
(Bersambung)…
“Lantas apa maksudnya aku menjadi pendamping Tuan Marco, Bu?” Cecarku lagi, aku tak peduli meskipun kaki Ibu mondar mandir berjalan kesana kesini, memasukkan barang - barangnya ke dalam sebuah koper besar, aku belum fokus kesitu karena dari yang ku ingat aku dijanjikan untuk pindah sekolah dan melanjutkannya disini sambil membantu Ibu, hanya sementara saja sampai aku lulus
“Pendamping itu artinya kau melayani Tuan Marco di sekolah, posisimu tetap pembantu tapi tempatnya di sekolah, Jul! Kau harus pastikan semua kebutuhan Tuan Marco di sekolah terpenuhi, termasuk urusan tugas sekolah dan nilai sekolahnya!” Sahut Ibu tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun meskipun melihat aku yang sudah terduduk lesu
“Ini tak seperti yang Ibu janjikan padaku, Bu!” Ucapku lirih, aku meremas map di tanganku, setetes dua tetes air mata mulai membasahi map itu, membuatnya semakin lecek
“July!!!!” Sentak Ibu sambil merebut map itu dari tanganku, “Kau harusnya bersyukur bisa sekolah di tempat mahal seperti Jul! Tidak semua orang punya kesempatan seperti kamu!” Sengit Ibu sambil merapi - rapikan map, lalu mengeluarkan isinya memastikan tak ada yang rusak
“Aku tak mau, Bu! Untuk apa aku sekolah kalau nantinya semua jerih payahku malah untuk prestasi orang lain?!” Tegasku, aku lalu mendekati Ibu dan memegang tangannya, aku yakin saat itu wajahku sudah memelas, “Tolong Bu, sekolahkan aku di tempat biasa saja, yang sangat sederhana pun ga apa - apa Bu, yang penting aku bisa menimba ilmu agar bisa memperbaiki kehidupan kita Bu, aku mohon” Pintaku mengiba
Ibu dengan kasar menepis tangannya, “Kau pikir uang yang Tuan dan Nyonya Azhari keluarkan untuk sekolahmu itu bisa kembali, hah? Lantas kalau mereka minta ganti rugi pada kita bagaimana Jul?! Biaya sekolah disana sangat mahal, entah Ibu harus bekerja berapa tahun untuk menggantinya! Apa kau tega pada Ibu, Jul?!” Giliran Ibu yang memasang wajah memelas
“Aku akan bekerja Bu, aku akan mencicil kerugiannya!” Janjiku antusias, aku berdiri di depan Ibu menatapnya penuh keseriusan
“July!” Sentak Ibu, aku sampai menciut di uatnya, “Apa salahnya kalau kau berkorban sedikit membalas jasa Ibu? Bertahun - tahun Ibu bekerja untuk menghidupimu di kampung, apa kau tak ingin berbakti sebentar saja untuk Ibu?” Mata Ibu membolat sempurna dan mulai memerah, aku menunduk menyembunyikan ketakutanku karena biasanya kalau sudah begitu akan ada tamparan atau pukulan untukku
Dan benar saja, plak…
Ibu menghantam pipiku dengan telapak tangannya, aku terhuyung mundur memegangi pipiku yang panas dan perih, aku tak berniat untuk menangis lagi sungguh, tapi air mataku jatuh berderai
“Kau memang seperti Ayahmu, kalian sama - sama tidak bertanggung jawab! Kalian hanya memanfaatkanku untuk kesenangan kalian, begitu aku yang butuh kalian angkat tangan, berengsek!!” Tambah Ibu, lalu kembali melayangkan tamparan padaku di pipi yang satunya
Aku tak kuat, kedua pipiku sangat sakit terutama hatiku, alhasil aku duduk terjerembab di lantai. Aku yakin kalau aku tampak mengenaskan, tapi itu tak membuat Ibu iba.. selesai meluapkan amarahnya, Ibu kembali pada kegiatannya tadi, memasukkan sisa barang - barangnya yang tinggal sedikit ke dalam koper, lantas Ibu menutup kopernya itu dan menggeretnya
“Bu, kau mau kemana?” Tuturku yang kaget Ibu tiba - tiba saja hendak pergi
“Aku akan pulang kampung, dan kau tinggal disini July! aku tak akan lama, hanya beberapa hari saja untuk istirahat!” Sahut Ibu masih sewot
“Tapi Bu, a… “
“July!!!!” Aku belum menyelesaikan kalimatku tapi Ibu sudah membentakku penuh murka, aku menelan salivaku beberapa kali dan refleks menutupi mukaku lagi, aku takut kalau Ibu akan kembali menamparku
“Aku pergi!” Ucap Ibu, lalu terdengar suara roda koper yang ia geret, sedang aku masih bersembunyi dibalik tanganku tak berani menatap Ibu
Braaak..
Suara pintu ditutup kasar pertanda Ibu telah keluar kamar, aku pasrah ditinggal Ibu untuk beberapa hari ini, mungkin Ibu memang butuh istirahat, aku akan bertahan disini dan sepulang Ibu nanti aku akan memohon pada Ibu agar membatalkan perjanjiannya dengan Tuan Azhari.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suara ketukan pintu membangunkan tidurku, samar aku melihat jam di dinding yang baru menunjukkan jam 4 pagi, aku bangkit lalu berjalan gontai menuju pintu, seorang wanita paruh baya rapi berseragam terlihat begitu aku membuka pintu
“July?” Tanyanya kaku, satu tangannya menenteng baju seragam sepertinya yang digantung
“I - iya” sahutku sekaku Ibu itu
“Bersiaplah, kau harus mempersiapkan keperluan Tuan muda Marco sebelum dia bangun, nanti ada Sari yang akan memberi tahumu apa saja yang perlu kau siapkan, selesai bersiap kau temui Sari di dapur!” Tutur Ibu itu, aku meraih seragam pelayan yang ia sodorkan
“Baik Bu” sahutku sopan, Ibu itu lalu tersenyum singkat dan hendak beranjak, namun baru mau ku tutup pintu Ibu itu berbalik lagi
“July, sabarlah dengan Tuan muda Marco nanti, jangan mencari masalah dengannya, kau mengerti?” Pesannya
“I - iya Bu” Jawabku gugup, membayangkan seperti apa Marco sekarang, pemuda kecil yang begitu mempesona dulu
****
Tak memakan waktu lama untukku bersiap - siap, dalam waktu setengah jam aku selesai melakukan semua rutinitas pagiku, sejak dulu aku memang sudah terbiasa bangun pagi dan menyiapkan semuanya sendiri, hidup seorang diri di rumah membuatku mandiri.
Wanita bernama Sari itu ternyata lebih muda dibanding Ibuku, perawakannya tinggi besar, wajahnya manis dan senyumnya bersahabat, wanita yang selanjutnya aku panggil dengan ‘Kak’ itu terlihat antusias menyambutku
“July?” Sapanya, aku menggangguk sopan, “Ikut aku!” Titahnya, aku manut berjalan di belakangnya yang melangkah tergesa. Sepanjang jalan menuju lantai 2 kamar tempat Tuan Marco berada Kak Sari memberi tahu apa saja yang harus aku persiapkan untuk Tuan Marco, Kak Sari memintaku mencatat di buku kecil yang ternyata sudah ada di saku depan seragam yang aku pakai
“July, Tuan Marco biasanya belum bangun jam segini, tapi kamu tetep harus mempersiapkan semua keperluan sebelum Tuan Marco bangun!” Tutur Kak Sari tepat di depan kamar Tuan Marco, “Jadi kamu harus masuk ke kamarnya sepelan mungkin, buka sepatu kamu di depan agar suaranya tak mengganggu Tuan Marco” Tambah Kak Sari, aku patuh ikut membuka sepatuku setelah Kak Sari
Kak Sari pelan memutar kenop pintu besar itu, mendorongnya ke dalam sepelan mungkin, “Perhatikan yang aku lakukan baik - baik Jul, karena di dalam kita ga boleh bersuara sama sekali, kamu cukup ingat - ingat apa yang ku lakukan!” Ucap Kak Sari sebelum kami masuk ke dalam
Kamar sangat besar itu cahayanya remang - remang, bau maskulin dan udara dingin langsung menyambut kami, sayup ku dengar suara TV dengan volume sedang, aku tak dapat melihat dengan begitu jelas isi kamar karena cahanya yang temaram
Aku ikut berhenti saat Kak Sari berhenti, memperhatikan saat Kak Sari memunguti baju - baju yang berserakan di lantai, jaket, kaus, celana panjang, dan celana dalam… tunggu, pria ini tidur tanpa mengenakan apa pun? Aku bergidik membayangkan harus masuk sendirian menghampiri pria yang sedang tidur telanjang
Kak Sari melanjutkan langkahnya memasuki ruangan lebih dalam, hingga tampak kamar tidur super besar, aku bisa melihat bed cover menggulung yang aku yakini ada Tuan Marco di bawahnya
“Ehhhmmm.. bau apa ini?” Gumamku refleks sambil menutup hidung ketika bau tajam itu menusuk hidung, Kak Sari di depanku langsung menoleh ke belakang dan menempelkan jarinya di bibir, aku sigap menutup mulutku
Kak Sari melanjutkan langkahnya yang pelan tak bersuara melewati tempat tidur king size itu, aku berusaha mengikuti Kak Sari secepat dan sehening mungkin hingga kami sampai di ruangan berisi sekat - sekat yang aku ketahui bernama walk in closet, di ruangan itu dipenuhi banyak sekali baju dengan merk ternama yang tergantung rapi sesuai warna, di sisi lain ada sekat - sekat lain yang berisi tas - tas, di sebelahnya sepatu berjejeran entah berapa puluh pasang, di tengah walk in closet ada meja panjang dengan laci - laci berisi jam tangan berbagai macam warna dan bentuk
“Jul, perhatikan!” Bisik Kak Sari saat ia dengan cekatan akan meraih sehelai kaus, lalu celana, dan terakhir ****** *****. Aku mengingat - ingat betul letak - letak barang Tuan Marco, sesuai dengan yang Kak Sari tunjukkan
Terakhir Kak Sari meletakkan semua barang Tuan Marco di meja depan pintu kamar mandi, menyusunnya sedemikian rapi. Memastikan semuanya sudah tersedia, Kak Sari lalu keluar diikuti olehku.
“Kau sudah ingat semua kan, Jul?” Tanya Kak Sari saat kami sudah berada di luar kamar Tuan Marco
“Sudah Kak” Sahutku, “Yang tadi, maaf ya Mba.. aku ga tahan sama baunya!” Ucapku menyinggung bau yang ku cium dalam kamar Tuan Marco
“Kamu harus membiasakan diri, Jul! Tuan muda Marco memang sering minum, terus pulangnya pagi! Biasanya Tuan Azhari marah kalau Tuan muda Marco minum, tapi mungkin karena lagi libur sekolah makanya dibiarin sama Tuan Azhari” Tutur Kak Sari, aku menggangguk mengerti.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hampir jam 9 ketika aku diajak Kak Sari untuk menyantap sarapan setelah tadi aku mulai membantu menyiapkan sarapan untuk Tuan dan Nyonya Azhari, hanya menyiapkan saja karena yang menyajikan adalah para pembantu senior.
“July, Tuan muda Marco sudah bangun! Dia mencarimu, cepat!” Ucap seorang pembantu yang tergupuh datang saat aku hendak menyuapkan roti ke dalam mulutku untuk mengisi perut yang sudah keroncongan
“July, bergegaslah! Turuti saja apa maunya Tuan muda Marco, kau tak boleh membantahnya, mengerti Jul?!” Pesan Kak Sari, aku bergegas bangun dari dudukku untuk segera melayani Tuan Marco, sejak di kultuskan sebagai pembantu pribadi Tuan Marco aku memang harus siap kapan pun ketika Tuan Marco membutuhkanku
“Ah i - iya Kak….. “ Sahutku, setengah berlari aku menuju lantai 2, tempat di kamar Tuan Marco berada, aku membenar - benarkan seragamku sebelum mengetuk pintu besar itu, tak ada sahutan seperti pesan dari Kak Sari tadi aku merangsek masuk ke dalam dan berjalan sepan mungkin, sayang salah satu tanganku menyenggol guci di meja kecil
Praaak…
Guci itu pecah berderai, aku gugup terbayang akan seberapa marahnya Tuan Marco
“Fuuuuck!!!! Siapa itu??!!! Suara itu menggelegar membuat lututku semakin gemetaran, tapi mau tak mau aku harus menghadap Tuan Marco, kakiku ku seret mendekati tempat tidur Tuan Marco dengan hati berdebar tak karuan, kepalaku ku tundukan dalam - dalam
“S - saya Tuan” Sahutku sambil tertunduk begitu aku sampai tepat di depan tempat tidur itu, bau minuman masih menguar tajam
“Lihat wajahku kalau bicara!” Sahut Tuan Marco, aku menelan salivaku berkali - kali lalu mendongak pelan - pelan
Pria di depanku ini bertelanjang dada, otot mudanya sudah mulai terbentuk sempurna, rambutnya yang berantakan sedikit gondrong dan ikal, wajahnya putih bersih, matanya sayu dengan manik kehijauan, bulu matanya lentik, alisnya tebal rapi beriringan, entah apa yang terjadi pada hatiku tapi aku menjadi salah tingkah, aku tak sanggup lagi menatapnya, hanya otakku yang bekerja keras mencocokkan wajah Tuan Marco yang 11 tahun yang lalu dengan yang sekarang
Sialnya Tuan Marco justru sebaliknya, matanya memicing menatapku lekat - lekat, lalu ia menggelengkan kepalanya, sepertinya efek mabuknya masih terasa, ia lalu menarik bed cover menutupi bagian bawah tubuhnya, setelah itu ia turun dari tempat tidur, sedikit sempoyongan ketika berjalan menghampiriku, bed cover tebal itu ia turut seret
Napasku seketika sesak ketika Tuan Marco yang berperawakan tinggi itu menyodorkan wajahnya tepat di depanku, menelisik wajahku
“Kau… kau baru?” Tanyanya, tenggorokanku tercekat aku mendadak bisu
“Jawab!” Titahnya
“I - Iya Tuan” Sahutku mungkin nyaris tak terdengar
“Namamu?” Tanyanya
“July” Jawabku cepat, Tuan Marco lalu menarik wajahnya dan menyeimbangkan tubuhnya
“July! Heeemmm…. “ Gumamnya lalu tersenyum, sumpah demi apa pun senyumnya membuatku kikuk, “Baiklah Jul, siapkan air hangat untukku di bath up, aku ingin mandi!” Ucapnya lalu berbalik memunggungiku dan berjalan kembali ke tempat tidurnya, aku terpaku sesaat sambil memegangi dadaku yang berdebar kencang, sadar akan tugasku aku bergegas menuju kamar mandi yang sekilas sempat ku lihat tadi bersama Kak Sari
“Ya ampun bagaimana caranya ini?” Gumamku frustasi saat aku tak juga berhasil mengeluarkan air panas dari kran yang berjejer banyak itu, padahal sudah cukup lama aku di kamar mandi, Tuan Marco pasti sudah menungguku
“Begini caranya!” Suara itu bersamaan dengan tangannya yang menumpu di atas tanganku, aku menoleh dan mendapati Tuan Marco tepat di belakang mengukungku, aku bisa melihat wajahnya yang tampan dari sisi samping, tanganku yang gemetaran aku tarik segera setelah air panas mulai keluar
“Maaf Tuan, saya belum mempelajari ini” Ucapku sopan
“Keluarlah!” Ucapnya dingin, tak seramah tadi.. mungkin dia tidak suka memiliki pembantu yang tak cakap, membuka kran air panas saja tidak bisa, saat itu aku benar - benar malu pada diriku sendiri
Aku mengangguk sopan, lalu melangkah hendak keluar kamar mandi
“Hei kamu! Minta Sari untuk menyiapkan sarapanku pagi ini, aku tak mau kamu yang menyiapkan sampai kamu benar - benar bisa kerja!” Ucap Tuan Marco kesal, aku semakin tak enak hati saja
“Baik, Tuan” Sahutku cepat, lalu keluar dari kamar mandi, dan berjalan terus hingga aku sampai di pecahan guci tadi berniat untuk membereskannya, tapi sayang pecahannya terlalu kecil, butuh sapu dan kain pel untuk membersihkannya, aku lalu keluar dari kamar Tuan Marco untuk melaporkan apa yang terjadi pada Kak Sari sekalian mengambil sapu dan kain pel untuk membereskan kekacauan yang ku buat
”Duh, mana aku belum sempet buat minta maaf soal gucinya lagi sama Tuan Marco” rutukku, mengingat Tuan Marco hatiku kembali berdebar, perasaanku tak karuan, apa aku jatuh cinta?
(Bersambung)
Atas insiden pecahnya guci di kamar Marco, kepala pelayan marah besar pada July, beruntung mengingat itu adalah hari pertama July bekerja tak ada hukuman yang diberikan. Tapi mendengar pengakuan July kalau Marco kesal padanya akibat tak bisa membuka kran air panas di kamar mandi, kepala pelayan memanggil Sari dan memarahinya habis - habisan karena tidak mengajari semua yang perlu July lakukan, alhasil Sari di hukum tidak mendapat jam istirahat, sedang July di training langsung oleh kepala pelayan, dari mulai cara bersikap, pekerjaan apa saja yang harus di lakukan, sampai buku apa saja yang harus July baca, persiapannya untuk menjadi pelayan pendamping Marco
Dua minggu berturut - turut July di gembleng habis oleh kepala pelayan, menghabiskan sisa waktu liburan sekolahnya, selama dua minggu itu pula July hanya melihat Marco sebentar - sebentar, mencuri pandang dalam diam, dan melepaskan rasa sukanya pada Marco bertumbuh subur
“Jul” Panggil kepala pelayan saat melihat perhatian July teralihkan oleh sosok Marco yang melintas sebentar saat July dan kepala pelayan hendak menuju perpustakaan, tempat July belajar
“Iya Bu” Sahut July segera memfokuskan dirinya lagi pada kepala pelayan
“Jangan jatuh cinta pada Tuan muda Marco, kalian berbeda kasta! Camkan itu baik - baik dalam hatimu Jul!” Tandas kepala pelayan itu tegas
Hati July bak di koyak sadar akan kenyataan, cinta pertamanya patah bahkan ketika baru saja tumbuh, menutupi rasa sedihnya senyum July mengembang, “Saya akan ingat pesan dari Ibu” sahut July tenang, memang harus seperti itu sikapnya, July di training untuk tidak menunjukkan rasa sedih, sakit, lelah, atau marahnya di rumah itu, July harus selalu bersikap profesional. July masih bersyukur rasa sakitnya tak akan berlangsung lama, hanya butuh melewati 1 tahun memendam rasa cintanya pada Marco, setelah itu July benar - benar bisa move on ketika dia keluar dari rumah itu
Kepala pelayan melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan, July mengekor patuh di belakangnya, sampai disana setumpuk buku sudah menanti July
“Baca dan pelajari buku - buku ini! Sebagai pendamping Tuan Marco kamu harus menguasai berbagai bahasa, ensiklopedia, dan juga literatur - literatur bisnis, ini juga akan berguna untukmu ketika kamu mendampingi Tuan Marco di kampus nanti!” Tangan kepala pelayan itu menggeser buku tebal - tebal ke arah July
“Maaf Bu, tapi sepertinya Ibu salah paham. Saya hanya akan mendampingi Tuan Marco sampai kelulusan kelas 3 saja, setelah itu saya akan berhenti bekerja dan kuliah di tempat lain” ucap July
Alis kepala pelayan terangkat sebelah, keningnya berkerut - kerut, “Apa maksudmu, Jul? Sepertinya kamu yang salah paham, atau Ibumu belum memberi tahumu?”
July yang tak mengerti ikut mengerutkan keningnya, “Memberi tahu soal apa ya Bu?”
Kepala pelayan itu menghela napas, “Ck.. si Maria itu, apa ga bisa kalau dia sendiri yang memberi tahu anaknya?” Gumamnya kesal, “Kamu mulai pelajari saja buku - bukunya, ini jauh lebih penting dibanding urusanmu, kamu boleh berhenti saat jam makan siang nanti, kamu mengerti Jul?”
July menerbitkan senyumnya, mengangguk dengan elegan, “Saya mengerti Bu” sahutnya
Setelah itu kepala pelayan keluar dari perpustakan, meninggalkan July dengan berbagai pertanyaan, apa sebenarnya maksud kepala pelayan tadi? Apa yang tak diberitahukan Ibunya padanya? Apa ini ada hubungannya dengan Ibunya yang tak bisa dihubungi sampai sekarang?
Puas menerka - nerka, July memfokuskan diri membaca buku - buku di depannya, memang dasarnya senang membaca buku dan otaknya pun cerdas, sebagian buku berhasil di selesaikan July hingga waktu makan siang
Menyenderkan sebentar punggungnya yang kaku, July langsung duduk tegak kembali begitu kepala pelayan masuk
“Baca ini Jul!” Titah kepala pelayan itu, lagi - lagi menyodorkan kertas - kertas meskipun kali ini tak setebal tadi, mata July yang sudah blur dan kepala keleyengan dipaksa - paksakan membaca kembali
“Surat perjanjian” gumam July membaca tulisan paling atas dengan huruf yang ditebalkan, mata July cepat memindai kalimat per kalimat karena penasaran, beberapa kali matanya kembali ke tulisan bagian atas memastikan ia tak salah baca
“Bu, ini.. ini apa maksudnya?” Tanya July panik
“Loh kamu baca semuanya kan? Gini… Intinya Ibu kamu dan Tuan Azhari membuat perjanjian bahwa sejak 2 minggu yang lalu kamu di rekrut oleh Tuan Azhari untuk bekerja menjadi pendamping Tuan muda Marco hingga lulus kuliah nanti! Sebagai bayarannya selain menanggung uang sekolah dan kuliah kamu nanti, Ibu kamu juga dapet uang kompensasi! Kamu baca di bagian bawah surat perjanjiannya kan Ibu kamu dapet berapa dari Tuan Azhari?!”
“250 juta” gumam July lesu, sampai hendak menetes air matanya
“Ibumu mintanya lebih waktu itu, kalau ga salah denger sekitar 500 juta! Tapi Nyonya Azhari keberatan, Nyonya bilang kamu udah dapet banyak dengan di sekolahin di tempat mahal dan nanti kuliah bareng Tuan muda Marco di tempat mahal juga, akhirnya Ibu kamu nerima dikasih 250 juta!” Tutur kepala pelayan itu, nadanya bercerita ringan seolah itu hanya obrolan biasa, ia mungkin tak tahu bagaimana perasaan July yang menyadari kalau dirinya di gadai Ibunya sendiri
July mengusap pipinya yang basah, lantas memasang ekspresi tenang kembali, “Terima kasih atas penjelasannya Bu, nanti akan saya bicarakan dengan Ibu setelah dia kembali kesini” tuturnya sopan
“Hah? Kembali? Astaga apa si Maria itu juga ga bilang sama kamu kalau dia mengundurkan diri? Dia ga akan balik lagi ke rumah ini, Jul!” Tandas kepala pelayan itu, hati July terasa di bogem mentah, duduk July tanpa sadar melorot tak setegak tadi, wajahnya memerah padam menahan amarah dan sakit dalam waktu bersamaan, kepala pelayan itu menatap July prihatin, tangannya terulur mengusap punggung July yang bergetar hebat
“Sudahlah Jul! Nasib orang seperti kita memang di tangan orang - orang besar seperti Tuan dan Nyonya Azhari! Kamu masih beruntung Jul, kamu bisa sekolah dan lalu kuliah.. setelah itu Tuan Azhari mungkin akan mengangkatmu sebagai asisten Tuan muda Marco, masa depanmu sudah terlihat, Jul!”
Penghiburan kepala pelayan itu, mungkin dia lupa kalau artinya July terperangkap sebagai pembantu pribadi Marco seumur hidup, karena mengundurkan diri pun tak mungkin, July harus ganti rugi tak kurang dari 1 milyar seperti yang tercantum di surat perjanjian
“Kamu boleh makan siang, Jul! Setelah itu kamu lanjutkan belajar disini!” Tambah kepala pelayan itu tak ingin membahas lebih lanjut, mungkin karena melihat wajah July yang tertekan
July tak menggunakan waktu istirahatnya untuk makan siang, ia lebih memilih masuk ke kamar dan berkutat dengan ponsel butut miliknya, July berkali - kali menghubungi nomor ponsel Ibunya tapi tetap saja Ibunya itu tak bisa dihubungi, July bergerak gelisah, lalu membaringkan diri di kasur
Tak lama air matanya turun deras membasahi seprai lusuh pembungkus tempat tidurnya yang sudah keras, dalam otak July mencari - cari jawaban kenapa Ibunya sampai tega menggadaikan lalu meninggalkannya begitu saja? Apa benar Ibunya memang tak menyayanginya seperti yang dibisikkan tetangga - tetangga July di kampung, bahwa July adalah anak hasil hubungan terlarang dengan majikan Ibu dulu saat Ibu bekerja di luar negeri?
Ada yang bilang di Italia tapi ada juga yang bilang di Perancis, yang mana yang benar sampai sekarang July tak tahu dan tak mau tahu, baginya Ibunya saja sudah cukup tapi sekarang Ibunya malah membuangnya begitu saja
Hampir selesai jam makan siangnya, July mencuci muka sebentar, merapi - rapikan dirinya dulu sebelum ia keluar kamar untuk melanjutkan pekerjaannya, July memasang ekpresi profesionalnya untuk menutupi kesedihan, seperti yang sudah di wanti - wanti kepala pelayan, tutupi semua yang dirasakan dengan sikap elegan
Seiring dengan langkah sepatu heelsnya yang tinggi, July menguat - nguatkan hatinya menerima nasib sebagai orang yang harus berbakti di rumah itu sampai ia bisa menemukan jalan keluar yang rasanya mustahil untuk ia dapat, 1 milyar… jangankan untuk memilikinya, melihatnya pun July tak pernah
“Selamat siang Tuan dan Nyonya” July berhenti melangkah, dengan sikap sempurna July mengangguk sopan dan tersenyum begitu berpapasan dengan Tuan dan Nyonya besar yang sedang jalan bergandengan, baru pulang dari luar kota
“Selamat siang July, kau sudah makan?” Tanya Tuan Azhari ramah, disebelahnya Nyonya Azhari ikut tersenyum manis, ramah tak seperti pertama melihat July
“Sudah Tuan, terima kasih” Jawab July bohong, pun ia memang sedang tak berselera makan
“Heeemm.. bagus kalau gitu!” Tuan besar itu mengangguk senang, lantas matanya berkeliling menyapu seluruh ruangan mencari sosok Marco
“Marco dimana? Apa dia sudah makan siang?” Tanya Tuan Azhari, tak tahu kalau July belum ada interaksi apa pun lagi dengan Marco akibat kesalahannya,
“Ma - maaf Tuan, saya…”
“Tuan muda Marco sudah makan siang di kamarnya Tuan, Nyonya” sahut kepala pelayan yang tergupuh datang menyelamatkan July, jalannya tergesa.. gugup karena telat menyambut junjungannya
“Anak itu… apa tidak ada kegiatan lain selain di kamar?” Ucap Tuan Azhari tampak kesal
“Pa, sudahlah… dia kan masih libur sekolah, biarkan dia santai - santai lah! Jangan terlalu keras sama anak!” Rayu Nyonya Azhari, Tuan Azhari menoleh pada istrinya di samping, wajahnya bertambah kesal
“Ini salah Mama, selalu saja memanjakannya! Dia itu calon penerusku Ma, mau bagaimana memimpin perusahaan kalau dia males - malesan begitu!” Timpal Tuan Azhari dengan suara agak meninggi, Nyonya Azhari melepas gandengan mereka matanya membuka sempurna, melotot tajam
“Oh jadi Papa berani membentakku sekarang? Iyaaaa?” Sengit suara Nyonya Azhari tak kalah tinggi, Tuan Azhari mulai berubah ekspresinya, sekarang tampak lemah, apalagi ketika Nyonya Azhari pergi dengan melengos
“Loh.. loh bukan begitu Ma!” Ucap Tuan Azhari lalu mengejar istrinya itu, July masih berdiri tenang dengan sikap sempurna di tempatnya semula
Kepala pelayan berdiri serba salah, “Ah Jul, sebaiknya kamu ke kamar Tuan muda Marco, beritahu kalau Tuan dan Nyonya Azhari sudah pulang, sana!” Titahnya sambil gupuh menyusul Tuan dan Nyonya Azhari
“Baik Bu” sanggup July dengan senyum profesionalnya, seolah ia tak habis menangis tadi
Rumah itu sangat besar, untuk menuju kamar Marco di lantai 2, July harus melewati berbagai ruangan, lalu menaiki tangga yang meliuk - liuk dengan pembatas berbahan kaca, setelah itu masih ada lorong panjang sampai akhirnya July sampai di depan pintu kamar Marco, July takut - takut untuk mengetuk, khawatir jika rasa sukanya kambuh dan takut jika ia melakukan kesalahan lagi
Setelah mengetuk beberapa kali, July langsung masuk seperti pesan dari Kak Sari, karena kemungkinan Tuan muda Marco sedang main game atau ketiduran, berjalan terus dengan heelsnya mendekati kasur besar mencari - cari keberadaan Marco, kali ini July bisa melihat jelas isi kamar Marco, kamar bercat warna biru tua itu tampak mewah dan modern.
Kaki July terhenti ketika menemukan Marco di sofa besar, bulu matanya yang lentik dan hidung mancung menjulang terlihat jelas dari samping, pemuda itu memakai headset dan fokus pada game, sementara jantung gadis itu berdebar - debar, tak sanggup menahan rasa sukanya
“Selamat siang, Tuan” Sapa July, senyumnya ramah meski hatinya meletup - letup gundah, Marco tak mendengar atau menyadari kehadiran July, ia masih berjibaku dengan stik play stationnya
July bergerak sebentar, memunguti baju Marco yang berserakan lalu menempatkannya di keranjang kotor, selesai dengan itu, July meletakkan piring bekas makan Marco di nampan, beserta gelas bekas jusnya, buku - buku yang ada di atas tempat tidur July susun rapi berdasarkan judul dan volume terbitnya, July melakukannya dengan tertib dan tenang tak ingin menganggu Tuannya.
“Kamu sudah bisa kerja?” Tegur Marco yang sudah berdiri di belakang July dengan tangan bersedekap, July terhenyak lalu lekas mengubah ekspresinya menjadi senyum sempurna
“Selamat siang, Tuan” Sahut July profesional
“Kamu sudah bisa kerja?” Ulang Marco lalu meneliti July dari atas sampai bawah
“Maaf?” Jawab July polos
“Heeemm.. sudahlah” Marco mengacak - acak rambutnya lalu kembali ke sofa
“Maaf Tuan muda, Tuan dan Nyonya besar sudah pulang” info July
“What?!” Marco terlonjak, melihat July dengan mata membulat, July terhibur melihat wajah panik pemuda idamannya itu, menggemaskan
“Oh ****, mana aku belum mandi!” Umpatnya sambil melepas kaus yang ia pakai dan melemparkannya sembarangan, July patuh memunguti kaus Marco di lantai, lalu bergerak mengekori Marco
Gadis itu tangkas menyiapkan keperluan Marco, memilihkan kaus yang akan dipakai, lalu ****** *****, dan celana santainya. Mandi Marco tak lama, terburu - buru… hingga ia masih basah kuyup keluar dari kamar mandi menggunakan handuk dari pinggang ke bawahnya, July sigap memberikan handuk yang lain dan ****** ***** beserta celana santai pada Marco, lalu berbalik badan.
“Sudah” ucap Marco, paham kalau July ternyata sudah cakap melaksanakan tugasnya, setelah itu July berbalik dan membantu Marco memakai kausnya, jantung July berdebar tak karuan saat jarak mereka sangat dekat, July bahkan bisa menghirup aroma sabun di kulit Marco
Selesai dengan urusan baju, Marco berjalan ke arah meja rias, masih berdiri.. Marco lalu membungkukkan badan, mensejajarkan kepalanya dengan tinggi July, July dengan senyum ramahnya pelan menyisiri rambut Marco, hati - hati karena rambut Marco yang agak gondrong dan sedikit ikal, setelah itu July lanjut memakaikan serum ke wajah Marco dengan tangan bergetar - getar
“Kamu grogi ya?” Tanya Marco merasakan jari jemari July gemetaran
July menarik jarinya, “Maaf” ucapnya sopan
”Ga apa - apa, lanjutin aja” Marco meletakkan kembali jari July di wajahnya, July lanjut meratakan serum di wajah tampan Marco
“Kamu tahu Jul? Kamu sangat cantik!” Ceplos Marco, pipi July bersemu merah, bibirnya bergerak - gerak tapi tak mampu berucap
Marco tersenyum senang melihat wajah cantik di depannya, wajah July putih, matanya besar dengan manik mata warna cokelat terang, hidungnya kecil tapi bangir, bibirnya penuh sensual berwarna pink muda
“Kamu blasteran ya?” Tanya Marco, “Soalnya kulit kamu putih dan rambut kamu agak pirang” tambahnya, July hanya tersenyum santun tak menjawab, ia pun tak tahu asal usul yang tak pernah diceritakan Ibunya itu
“Hmmmm” gumam Marco bosan tak mendapat jawaban dari July
“Oh ya, aku dengar dari Papa kamu ranking pertama terus dari SD, apa benar?” Tanya Marco ganti topik, July tersenyum santun
“Iya Tuan” sahutnya singkat, tangannya cekatan merapikan bekas - bekas dandan Marco ke tempatnya, Marco lanjut duduk di kursi rias
“Baguslah, artinya kamu ga akan malu - maluin aku nanti, ga seperti pendampingku yang kemarin! Nilaiku malah anjlok gara - gara dia ga kompeten, makanya Papa pecat!” Terang Marco, July menanggapi cepat
“Baik Tuan” sahutnya, Marco tersenyum bangga optimis gadis di depannya ini bisa mendobrak prestasinya lagi, apalagi melihat wajah cantik July, Marco tambah cengengesan saja
Merasa diperhatikan dari ujung kaki ke ujung kepala, July refleks mengikutinya, memperhatikan kalau - kalau ada yang salah dari penampilannya, “Ya Tuan?” Tanyanya
“Cantik” Gumam Marco
“Maaf?” July tak terlalu mendengar
“Ga ada, udah kamu lanjut kerja sana.. aku mau nemuin Papa sama Mama!” Titah Marco lalu bangun dan berjalan santai keluar kamar
Ditinggal Marco, July membereskan bekas - bekas mandi Tuannya, mengumpulkan handuk basah dan baju - baju kotor Marco untuk nanti dibawa menuju ruang laundry
July meremas dadanya yang berdebar dari tadi, mengulang pujian Marco di kepalanya yang campur aduk dengan pikiran tentang Ibunya, pemuda itu berhasil mencuri cinta pertama July.
(Bersambung)…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!