NovelToon NovelToon

Mr. Stegen : A Man With Hidden Identity

Pelarian Ludwig Stegen

Tirol Utara, Austria.

Bau kotoran sapi tak lagi membuat Ludwig Stegen merasa mual. Hampir dua bulan, dirinya menjalani hari-hari dengan bekerja di sebuah peternakan dalam masa pelariannya. Di sana, sang pemilik peternakan dan rekan kerja Ludwig mengenal pria itu dengan nama Heinz Lainer.

“Bersihkan dirimu setelah menyelesaikan pekerjaan ini. Tuan Gunther ingin agar kau menghadapnya,” titah seorang pria, yang merupakan mandor di peternakan itu.

Ludwig yang tengah membersihkan kandang, menghentikan sejenak pekerjaannya. Dia menoleh, lalu mengangguk. Seperti biasa, pria tampan dengan warna rambut ash grey tersebut tak banyak bicara. Dia kembali pada pekerjaan yang sedang dilakukan, meski sang mandor masih di sana seakan menunggu jawaban darinya.

“Jangan lupa,” pesan mandor itu lagi, sebelum akhirnya memilih pergi

Sekitar pukul enam sore, Ludwig sudah membersihkan diri. Dengan penampilan seadanya, yaitu kaos singlet putih yang dilapisi kemeja lengan pendek, pria itu masuk ke bangunan utama tempat tinggal sang majikan. Di sana, Gunther Lienhart sudah menunggu kedatangannya.

“Heinz Lainer?” Gunther menyebutkan nama samaran Ludwig, saat pria tampan asal Jerman tersebut sudah berdiri di hadapannya.

“Ya, Tuan,” sahut Ludwig dengan ekspresi yang terlihat biasa saja.

“Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu,” ucap Gunther, yang berbalas anggukan samar dari Ludwig. “Kau tercatat sudah dua bulan bekerja di sini. Namun, aku belum menerima data-data lengkapmu. Aku hanya mendengar bahwa kau berasal dari Jerman. Selebihnya, tak ada yang kuketahui. Menurut Roland, kau selalu menunda-nunda saat dimintai data diri lengkap. Entah bagaimana dirimu bisa langsung bekerja di sini?”

“Aku masuk kemari atas rekomendasi Markus Scalberg,” jawab Ludwig.

“Siapa dia? Aku tidak mengenalnya,” sanggah Gunther.

“Apa yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya Ludwig datar, setelah terdiam beberapa saat.

“Semuanya. Kuharap, kau bukan seorang buronan,” jawab Gunther dengan nada dan tatapan penuh selidik.

Sebisa mungkin, Ludwig menyembunyikan ekspresi tak nyaman atas ucapan sang pemilik peternakan itu. Raut wajahnya yang dingin berubah tegang. Namun, tak berselang lama kembali terlihat biasa. “Jangan khawatir, Tuan. Aku bukan seorang buronan. Aku akan segera menyerahkan data diri lengkap kepada Roland.” Ludwig kembali mengangguk, kemudian berbalik dengan diiringi tatapan penuh curiga dari Gunther.

Ludwig melangkah gagah menyusuri koridor cukup luas, yang menghubungkan ruang kerja Gunther dengan ruangan lain. Di sepanjang koridor itu, terdapat taman yang rindang.

Tepat saat Ludwig melintas di bagian lain taman, dia melihat seorang gadis yang tengah kesulitan mengaitkan tali pot gantung.

Tanpa berpikir panjang, Ludwig segera mendekat. “Biar kubantu,” ucap pria itu seraya meraih tali pot. Postur Ludwig yang tinggi tegap, memudahkannya meraih paku untuk mengaitkan tali tadi.

“Terima kasih,” ucap gadis cantik berambut cokelat tembaga, dengan mata abu-abu yang bersinar. Dia menatap Ludwig dengan sorot teduh penuh kekaguman.

Gadis itu adalah Lilia Lienhart, putri semata wayang Gunther. Lilia memang sudah menaruh perhatian lebih terhadap Ludwig, dari pertama mereka bertemu. Terlebih, karena Lilia kerap memeriksa ke peternakan.

Ludwig mengangguk samar. Dia langsung membalikkan badan. Namun, baru satu langkah dirinya berjalan, pria tampan tersebut kembali berbalik. “Apa kau tahu bahwa malam ini adalah malam bulan purnama?” tanya Ludwig. Kata-kata serta tatapannya menyiratkan banyak hal, yang terlihat lain di mata Lilia.

“Iyakah?” Lilia balik bertanya.

“Ya,” jawab Ludwig. Walaupun tanpa senyuman atau kata-kata rayuan, tetapi bahasa tubuh pria itu sudah berhasil memikat Lilia. Sehingga saat malam telah datang, gadis itu keluar diam-diam. Dia pergi ke dekat lumbung, di mana Ludwig biasa berada. Di sana, pria tampan tersebut sudah berdiri gagah seakan tengah menunggu kehadirannya.

“Lihatlah,” tunjuk Ludwig ke langit.

“Indah sekali,” ucap Lilia diiringi tatapan kagum. Dia memandang bulan purnama sesaat, sebelum dirinya menoleh kepada Ludwig yang tentu saja jauh lebih menyenangkan untuk dilihat.

“Padahal, kami sudah menyediakan mess untuk para pekerja. Kenapa kau lebih memilih tidur di sini? Di dalam sana tak ada apapun selain jerami.” Lilia yang selama ini tak pernah bercakap-cakap secara langsung dengan Ludwig, seakan ingin menuntaskan segala rasa penasarannya.

“Di sini jauh lebih tenang. Aku tidak suka suasana yang terlalu berisik,” jawab Ludwig. Dia menoleh kepada Lilia yang masih menatap ke arahnya.

“Walaupun di sana hanya ada tumpukan jerami, tapi rasanya sangat nyaman. Kau yang terbiasa berada di rumah megah dengan segala fasilitas memadai, pasti tak akan percaya jika aku mengatakan hal itu.” Tatapan Ludwig kembali terlihat tak biasa.

“Aku memang tidak tahu, karena hampir tak pernah masuk ke sana,” ujar Lilia. Gadis itu mengembuskan napas pelan, lalu menunduk malu karena Ludwig terus memandangnya.

Ludwig tak langsung menanggapi. Beberapa saat, kebisuan menggelayuti mereka. “Aku bersedia menunjukkannya padamu,” ucap Ludwig kemudian.

Lilia mengangkat wajah, lalu tersenyum manis. Tak ada kata-kata penolakan dari gadis cantik yang selalu berpenampilan anggun dan berkelas itu. Dia mengikuti Ludwig masuk ke lumbung dengan ukuran cukup luas.

Di dalam sana, memang hanya ada tumpukan jerami yang sudah dibentuk kotak dan disusun rapi. Namun, ada juga yang sengaja ditata di bawah membentuk matras berlapis selembar kain. Itulah yang menjadi tempat tidur Ludwig. Mungkin juga akan menjadi tempat di mana kedua sejoli tadi menuntaskan hasrat mereka, setelah keduanya berciuman dengan sangat mesra.

Lilia tak pernah menyangka bahwa pria yang dikenal dengan nama Heinz tersebut, akan menjawab segala kekaguman yang selama ini dirinya tunjukkan tapi tak pernah diungkapkan. Rasanya seperti mimpi, ketika dia mendapat perlakuan tak biasa dari pria tampan tersebut.

Lilia tidak sedang berbaring di tempat tidurnya yang mewah. Namun, di atas jerami berlapis kain itu, dia justru merasakan kenyamanan luar biasa yang tak pernah gadis itu dapatkan sebelumnya

“Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Ludwig membantu Lilia bangkit.

“Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri,” tolak Lilia sambil merapikan bagian bawah roknya. Dia juga mengancingkan bagian atas dress yang terbuka.

“Kau yakin tidak apa-apa?” tanya Ludwig, dengan tatapan lekat kepada gadis berambut panjang tadi

“Iya,” jawab Lilia. Dia berdiri sesaat sambil memandang Ludwig. “Apa yang sudah kita lakukan?” tanyanya tak percaya. Namun, keresahan yang terpancar dari sorot gadis itu perlahan memudar, ketika Ludwig kembali menciumnya.

“Aku harus pulang, sebelum ayah menyadari bahwa diriku tidak ada di kamar pada jam seperti ini.” Lilia bergegas keluar dari lumbung.

“Kau yakin tidak ingin kuantar?” tanya Ludwig lagi.

Lilia tertegun, lalu menoleh. Gadis cantik tersebut menggeleng pelan diiringi senyuman manis. Setelah itu, dia bergegas pergi dari sana. Lilia tak menghiraukan rasa tidak nyaman pada bagian inti tubuhnya. Dia hanya memikirkan harus segera berada di kamar, sebelum sang ayah mengetahui ketidakberadaannya di sana.

Setelah berada di dalam rumah, Lilia langsung melangkah cepat menuju kamar. Dia melepas sepatu, agar suara derap kakinya tak terdengar. Lilia dapat bernapas lega, karena suasana rumah sudah sangat sepi. Sebagian besar lampu-lampu utama telah dimatikan.

“Terima kasih, Tuhan,” gumam gadis itu teramat pelan. Dia mengembuskan napas lega sambil memutar gagang pintu perlahan. Lilia masuk, lalu menyalakan lampu. Sontak, gadis itu terkejut saat melihat Gunther yang tengah duduk tenang di tepian ranjang.

Bukan Perawan

“A-ayah? Ka-kau di sini?” Lilia gelagapan. Gadis itu memainkan jemari yang saling bertaut, demi mengurangi rasa gugup. Terlebih, setelah apa yang telah dilakukan bersama Ludwig di lumbung.

“Kau dari mana, Lilia?” tanya Gunther seraya beranjak dari tepian ranjang. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan putri tunggalnya tersebut. Gunther menatap lekat Lilia, seakan tengah menganalisa bahasa tubuh gadis itu.

“A-aku dari luar … mencari angin. Lagi pula, malam ini bulan purnamanya sangat indah. Aku tidak ingin melewatkan ….” Lilia tak melanjutkan kata-katanya. Dia menatap balik sang ayah. Gadis itu berusaha menyembunyikan rasa gugup yang sedari tadi menggelayuti.

“Beristirahatlah. Tuan Wolfgang Clemens dan putranya Franklin akan datang kemari besok siang. Kau harus terlihat segar dan cantik.” Gunther menyentuh pipi Lilia, yang lagi-lagi tak dapat menghindar dari rasa gugup.

“Ayah, aku ….”

“Selamat malam, Nak.” Belum sempat Lilia melanjutkan kata-katanya, Gunther telah lebih dulu mencium kening gadis itu. Dia langsung berlalu dari kamar, meninggalkan putrinya seorang diri.

Sepeninggal sang ayah, Lilia tampak gelisah dan kebingungan. Gadis cantik berambut cokelat tembaga tersebut duduk di tepian tempat tidur.

Lilia, mere•mas sprei yang menutupi pinggiran ranjang. Kali ini, dia benar-benar dalam masalah. “Astaga, aku harus bagaimana?” gumam Lilia bingung. Dia berkali-kali mengembuskan napas panjang penuh keluhan.

Sementara, Ludwig terpaku menatap bercak darah di kain yang melapisi jerami tempat tidurnya. Dia baru saja mengambil kegadisan Lilia, putri dari sang majikan. Walaupun bagi Ludwig bukan hal aneh lagi saat menikmati tubuh banyak wanita, tapi dirinya tak pernah bermain-main dengan seorang perawan.

Ludwig cukup lama terdiam. Beberapa saat kemudian, pria tampan bermata cokelat madu tersebut menyunggingkan senyuman sinis penuh kemenangan. Dia merebahkan tubuh tegapnya di atas tumpukan jerami, yang menjadi saksi percintaan panas dengan Lilia.

Keesokan harinya, Lilia terlihat tidak berseri sama sekali. Dia masih merasa was-was. Terlebih, saat kedua tamu yang ditunggu telah tiba di kediaman Gunther.

Wolfgang Clemens, pria kaya yang memiliki pengaruh sangat besar. Dia datang ke rumah peternakan milik Gunther, karena putranya yang bernama Franklin telah jatuh cinta dan bermaksud ingin meminang Lilia.

Gunther yang mengetahui hal itu, merasa tak ada masalah. Terlebih, karena pengaruh yang dimiliki Wolfgang sangat besar, sehingga pasti akan memberikan keuntungan tersendiri bagi perkembangan bisnisnya.

“Di mana putri Anda, Tuan Lienhart?” tanya Wolfgang, yang tak melihat keberadaan Lilia.

“Dia akan segera turun, Tuan Clemens,” sahut Gunther, bersamaan dengan hadirnya Lilia di ruang tamu. Gadis itu berjalan dengan wajah tertunduk, lalu duduk di dekat sang ayah.

Sementara, Franklin tersenyum penuh arti saat melihat Lilia. Dia sudah tak sabar untuk memiliki gadis yang telah lama dirinya idamkan. “Bolehkah kuajak Lilia berjalan-jalan di sekitar peternakan, Tuan Lienhart?” tanya Franklin penuh harap.

“Oh, tentu,” sahut Gunther setuju. Dia mengalihkan perhatian kepada sang putri yang masih diam dan menunduk. “Temanilah Franklin berjalan-jalan. Kau sangat mengenal seluk-beluk peternakan kita. Barangkali, ada sesuatu yang bisa membuat dia tertarik,” bisik pria paruh baya tersebut.

Lilia tak berani menolak. Gadis itu mengangguk, lalu mengangkat wajahnya. “Mari,” ajak Lilia seraya berdiri.

Franklin penuh semangat mengikuti langkah gemulai Lilia yang memiliki tubuh indah, meski hanya dilihat dari belakang. “Kau sangat cantik,” sanjung putra Wolfgang Clemens tersebut. Pria berambut pirang itu berjalan dengan menyejajari langkah si gadis.

“Terima kasih,” balas Lilia pelan.

“Kenapa kau sangat pemalu, Sayang?”

“Kau ingin aku seperti apa?” Lilia menghentikan langkah, ketika dia melihat lumbung tempat semalam dirinya bercinta dengan Ludwig alias Heinz Lainer

“Bersikap biasa saja. Lagi pula, tak lama lagi kau akan menjadi istriku,” jawab Franklin seraya menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Lilia, yang tidak pernah tertarik untuk dipersunting pria itu. “Tidak apa-apa. Aku suka wanita yang agresif,” ucap Franklin lagi mulai menggoda.

“Apa maksudmu?” Lilia melayangkan tatapan protes atas ucapan Franklin.

“Seharusnya, kau mengerti kenapa aku mengajakmu keluar,” ucap Franklin seraya berjalan semakin mendekat. Tanpa canggung, dia menyentuh pipi kemerahan Lilia. “Aku ingin sekali menciummu. Namun, pasti tak akan leluasa jika dilakukan di hadapan Tuan Lienhart.” Franklin semakin mendekatkan wajahnya. Dia sudah bersiap mencium bibir gadis itu.

Akan tetapi, dengan segera Lilia memalingkan wajah. Dia menolak perlakuan Franklin. Gadis cantik itu bahkan langsung berlalu dari hadapan si pria yang terlihat kecewa. Terlebih, karena putri tunggal Gunther tersebut meninggalkannya begitu saja.

“Hey, Lilia! Tunggu!” seru Franklin. Pria yang memiliki postur sama dengan Ludwig itu bergegas menyusul Lilia. “Kau kenapa? Aku hanya meminta ciuman darimu. Apakah terlalu berdosa? Lagi pula, kita akan segera menikah.” Franklin meraih lengan Lilia, sehingga membuat gadis itu menghentikan langkah. “Kenapa kau selalu jual mahal di hadapanku?” protesnya tak suka.

“Aku minta maaf, Franklin. Aku tidak akan menikah denganmu,” ujar Lilia tegas.

“Apa? Coba kau ulangi!” Raut wajah Franklin yang tegas dan cukup sangar, seketika menegang. Dia menatap tajam gadis cantik di hadapannya.

“Kau ingin mendengarnya lebih jelas? Aku tidak akan menikah denganmu!” ulang Lilia tegas.

“Jangan bermain-main, Lilia!” sentak Franklin, yang seketika membuat Lilia bergerak mundur. Gadis itu sadar, bahwa dia telah membuat si pria marah dan mungkin akan berakibat buruk bagi dirinya.

Apa yang Lilia pikirkan memang benar. Franklin langsung mencekal kencang kedua lengan gadis tersebut. “Berani sekali kau mengatakan hal itu padaku!” bentaknya dengan nada tinggi.

“Itu kenyataannya. Aku memang tidak menyetujui rencana pernikahan ini! Aku tidak pernah menyukai apalagi jatuh cinta padamu!” tegas Lilia.

“Kau!” Franklin tak kuasa lagi menahan amarah karena penolakan Lilia. Dia merasa terhina. “Kau sudah merendahkan harga diriku! Beruntung karena aku sangat menyukaimu, sehingga kau tidak langsung kuhabisi!” Ucapan pria itu terdengar semakin menakutkan.

Lilia meringis. Dia berusaha melepaskan cengkraman tangan Franklin dari lengannya. “Tinggalkan aku, Franklin!”

“Meninggalkanmu?” cibir Franklin sinis. “Tidak mungkin, Sayang. Apa yang kuinginkan harus kudapatkan. Begitu juga dengan dirimu. Kita akan tetap menikah. Entah dirimu setuju atau tidak,” tegas pria itu.

“Aku tidak mau!” balas Lilia. “Aku tidak bersedia menikah denganmu, karena ….”

“Karena apa?” Tatapan tajam Franklin kian menjadi, seakan hendak membunuh lalu menguliti Lilia.

“Kau akan kecewa saat mengetahui yang sebenarnya,” ucap Lilia dengan intonasi yang mulai rendah dan melunak. “Kau tidak akan menyukai, jika mengetahui bahwa aku bukan perawan lagi. Aku sudah bercinta dengan pria lain,” ungkap Lilia terdengar sangat puas.

“Apa?” Nada pertanyaan Franklin penuh penekanan.

“Ya. Aku sudah bercinta dengan pria lain,” tegas Lilia diiringi senyum puas. Dia tak tahu apa yang akan diterimanya setelah mengungkapkan hal itu.

Franklin tak menanggapi. Dia menatap tajam Lilia. Napas pria itu pun kian memburu, seiring dengan amarah yang semakin memuncak dan menguasai akal sehat.

Franklin tak memedulikan apapun lagi. Dia menyeret kasar Lilia, kembali ke rumah. “Wanita tidak tahu malu!” umpatnya. Cengkraman tangan Franklin bertambah kencang, saat menarik tubuh ramping Lilia ke dalam.

Setibanya di sana, Franklin mengempaskan tubuh Lilia ke hadapan Gunther yang tengah berbincang santai dengan Wolfgang. “Putrimu sudah ditiduri pria lain. Aku tak sudi menikahinya!”

Identitas Tersembunyi

“Apa-apaan ini?” Gunther langsung berdiri, melihat Lilia diperlakukan secara kasar oleh Franklin. “Kau tidak berhak bersikap seperti ini kepada putriku!” protesnya tegas.

“Tanyakan sendiri kepada putrimu!” balas Franklin tak kalah tegas, seraya menunjuk Lilia yang sudah dibantu berdiri oleh Gunther. “Wanita ja•lang yang akan kau nikahkan denganku ini telah mengakui, bahwa dirinya sudah tidak perawan! Dia ditiduri pria lain sebelum kunikahi! Jika tahu akan akan seperti ini, untuk apa aku menunggu hingga waktu pernikahan tiba?”

“Kau!” tunjuk Gunther tak terima. “Jadi, kau ingin menikahi putriku hanya untuk dijadikan sebagai pemuas? Kurang ajar!” Amarah Gunther tak terelakkan lagi. Dia hampir menampar Franklin, andai Wolfgang tak segera menghalangi.

“Sedikit saja kau menyentuh kulit putraku, akan kuhancurkan seluruh peternakanmu!” gertak Wolfgang penuh penekanan.

“Aku tidak takut!” balas Gunther. Nada bicaranya tak jauh berbeda dari Wolfgang. “Aku tidak akan pernah menolerir, siapa pun yang berani berlaku kasar kepada Lilia! Tidak juga putramu, Tuan Clemens! Aku tak takut meski kau adalah orang yang sangat berpengaruh, dan memiliki kuasa besar di daerah ini!”

Gunther mengalihkan tatapannya kepada Franklin. “Kau! Aku juga tak sudi memiliki menantu sepertimu! Pergi kalian dari sini!” usir pemilik peternakan sapi tersebut kasar.

Wolfgang menatap Gunther beberapa saat. Sorot matanya terlihat aneh. Setelah itu, dia mengalihkan perhatian kepada Franklin yang terlihat menahan amarah. “Mari kita pergi dari sini, Nak,” ajaknya. Wolfgang langsung berbalik tanpa menunggu jawaban Franklin. Dia juga tak berpamitan kepada sang tuan rumah.

“Gadis murahan tak tahu diri!” umpat Franklin, sebelum berbalik mengikuti Wolfgang yang sudah lebih dulu berlalu dari ruangan itu.

Sepeninggal Wolfgang dan Franklin, Gunther langsung mengajak Lilia duduk. Pria paruh baya tersebut mengembuskan napas dalam-dalam. Dia sadar atas apa yang dilakukannya. Gunther telah menempatkan diri dalam masalah besar, dengan menantang Wolfgang Clemens.

“Kau tidak apa-apa? Kuharap, dia tidak menyakitimu saat di luar.” Gunther memperhatikan Lilia yang hanya menggeleng.

“Dengar, Nak,” ucap Gunther seraya meraih, lalu menggenggam tangan sang putri. “Jika memang kau tidak menyukai rencana pernikahanmu dengan Franklin, kenapa tidak bersikap jujur sejak awal?”

“Aku tidak ingin mengecewakanmu, Ayah,” sahut Lilia pelan.

“Bukan begini caranya, Nak. Aku tidak akan merasa bahagia jika kau tersiksa. Apa yang harus kukatakan kepada mendiang ibumu, sebagai tanda pertanggungjawaban padanya? Dia sudah menitipkanmu padaku. Aku akan sangat berdosa, jika sampai membuat kau merasa sengsara.” Gunther berbicara dengan lebih lembut kepada Lilia. Pria itu kembali mengembuskan napas dalam-dalam.

“Lagi pula, kau tak seharusnya membuat alasan yang dapat merendahkan martabatmu sebagai wanita. Kenapa kau mengatakan bahwa dirimu sudah tidak perawan lagi? Bukankah kau bisa mencari alasan lain?” Gunther menaikkan sebelah alisnya.

Lilia tidak segera menjawab. Dia menatap sang ayah dengan sorot mata yang tampak sayu. Sesaat kemudian, gadis cantik berambut cokelat tembaga itu menyunggingkan senyuman kecil. “Aku mengatakan demikian, karena memang begitulah kenyataannya. Maafkan aku, Ayah,” ucap gadis cantik tersebut lirih.

“Lilia?” Gunther menatap tak percaya.

Sementara, Lilia kembali menunduk. “Siapa pria itu?” tanya Gunther penuh penekanan. “Katakan siapa pria itu?” Nada bicara sang pemilik peternakan sapi perah tersebut tiba-tiba meninggi. Membuat Lilia beringsut menjauh dari Gunther. “Katakan siapa nama pria yang telah menodaimu?” desak pria paruh baya itu lagi kian tegas.

“Heinz. Heinz Lainer, Ayah,” jawab Lilia seraya mengarahkan pandangan kepada pria di sebelahnya.

Tanpa banyak bicara, Gunther beranjak dari tempat duduknya. Dia berlalu meninggalkan Lilia yang langsung dilanda rasa was-was. Lilia pun bergegas mengikuti langkah ayahnya yang terlihat penuh amarah. Gunther terus berjalan gagah menuju ke peternakan, di mana Ludwig biasa berada.

Saat itu, Ludwig baru selesai memberi makan sapi. Dia seakan sudah tahu dengan apa yang akan dihadapinya, ketika menatap raut wajah tak bersahabat dari sang pemilik peternakan. Terlebih, karena dia juga melihat Lilia yang menyusul dengan ekspresi cemas. Ludwig yang hanya mengenakan singlet putih dan celana jeans berlapis sepatu boots, tetap terlihat tenang hingga Gunther berdiri tepat di hadapannya.

Tanpa diduga, Gunther langsung mengangkat tangan. Ayahanda Lilia tersebut bermaksud hendak menampar Ludwig. Akan tetapi, sang pemilik peternakan tersebut tak mengenal siapa Ludwig Stegen yang sebenarnya.

Secepat kilat, Ludwig menahan tangan Gunther yang terarah ke wajahnya. Dia mencengkram erat pergelangan pria paruh baya tersebut. Ludwig adalah seorang yang terlalu tangguh, untuk menghadapi satu tamparan tak berarti dari pria tua yang bukan lawannya. “Apa masalah Anda, Tuan?” tanya pria itu dingin. Sorot matanya tajam tertuju kepada Gunther.

“Berani-beraninya kau menodai putriku!” desis Gunther penuh penekanan.

Tersungging senyuman sinis di sudut bibir Ludwig. “Menodai? Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Bukankah begitu, Lilia?” Tatapan Ludwig beralih kepada gadis cantik bermata abu-abu, yang tengah memandang ke arahnya. Namun, Lilia tidak menjawab. Dia langsung menunduk, karena tak kuasa melawan tatapan Ludwig yang seakan menguliti seluruh keberaniannya.

“Aku bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah diriku lakukan. Itu juga jika Anda tidak keberatan,” ujar Ludwig enteng.

“Kau mengambil kesempatan dalam hal ini!” desis Gunther dengan tatapan penuh kemarahan kepada Ludwig.

“Mengambil kesempatan atau tidak, keputusan ada di tangan Anda.” Ludwig sempat mengarahkan tatapan lagi kepada Lilia, yang mencuri-curi pandang terhadapnya.

“Kutunggu kau di ruang kerjaku!” Gunther yang masih diliputi kemarahan, segera membalikkan badan. Dia berlalu dari hadapan Ludwig sambil meraih tangan Lilia. Pria paruh baya tersebut menuntun putrinya pergi dari sana, meski dengan sedikit memaksa.

Sementara, Ludwig hanya tersenyum simpul. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia segera menghadap kepada Gunther yang sudah menunggu di ruang kerja.

“Katakan apa yang kau inginkan?” tanya Gunther. Dia beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan ke hadapan Ludwig. “Aku tahu bahwa kau pasti bukan orang sembarangan. Siapa kau sebenarnya, Heinz Lainer?”

Ludwig tak segera menjawab. Dia menatap lekat pria di hadapannya. “Siapa aku? Aku adalah Heinz Lainer. Aku akan menikahi putrimu, bukan karena ingin kedudukan atau harta. Diriku hanya membutuhkan suaka di sini,” jelas Ludwig penuh penekanan.

“Kau mencari suaka padaku? Kenapa?” tanya Gunther seraya memicingkan mata. “Kau pasti orang yang bermasalah. Aku tak akan menikahkan Lilia dengan pria tidak jelas sepertimu!” tolaknya tegas.

“Begitukah?” Ludwig menaikkan sebelah alisnya. “Anda yakin, Tuan Lienhart?” tanya pria tampan asal Jerman tersebut seakan menantang Gunther. “Tanyakan kepada putrimu, seberapa hangat sikapnya padaku malam itu. Sebagai seorang pria, aku tahu jika dia ….

“Tutup mulutmu!” sergah Gunther. Telunjuknya lurus tertuju ke wajah Ludwig. “Cukup berbasa-basi! Katakan siapa kau sebenarnya!” sentak pria paruh baya itu.

“Aku hanya seorang miskin yang mencari suaka ke Austria, Tuan. Sudah tak tersisa apapun di Jerman. Bisnisku bangkrut dan pihak bank tak lagi memberikan kepercayaan untuk memberikan pinjaman,” dalih Ludwig. “Austria adalah satu-satunya tempat yang ada dalam pikiranku."

Gunther memperhatikan raut wajah Ludwig. Dia seakan mencari kebohongan di sana. Namun, Gunther hanya dapat menarik napas panjang. Ayahanda Lilia tersebut, berpikir bahawa Ludwig berkata jujur. “Baiklah. Jika memang benar kalian berdua saling jatuh cinta, aku akan menikahkan putriku denganmu tiga hari dari sekarang,” putus Gunther.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!