Arga pemuda lajang berusia 25 tahun dengan perawakan rata-rata pemuda seusianya terlihat sedang berjalan bersama kedua temannya hendak menuju ke Premier Sale sebuah video game yang cukup terkenal.
"Aku sudah tidak sabar ingin segera memainkannya," ucap seorang pemuda botak salah satu teman Arga terlihat bersemangat dan tidak sabar.
"Bayangkan, sudah 10 tahun dan perlu 6 tahun untuk mereka me-remake game itu ke konsol generasi terbaru," sahut pemuda yang lain. Yang berambut cepak berkaca mata.
"Aku sih tidak heran. Game Epic Tale of Noxius itu memang game yang sangat luar biasa." Kali ini Arga yang berucap. "Bayangkan, nyaris 100 lebih karakter yang semuanya harus dirender ke 3D Model. Berapa lama coba?" lanjutnya kemudian.
"Ya, juga sih. Belum lagi subplot dan event story per karakternya," timpal yang berkepala botak setuju dengan Arga.
"Versi originalnya saja harus menggunakan format CD meski itungannya masih 64 bit." Yang berkaca mata menimpali.
"Ya-ya. Tak sabar aku ingin melihat karakter-karakter favoritku dalam bentuk 3D yang super realistik," respon Arga terlihat antusias.
"Tapi ngomong-ngomong soal karakter, aku jadi ga sabar buat lihat wujud dari Argeas Danae," ucap si kacamata sambil menyenggol lengan Arga.
"Sudah diam kalian. Lelucon jadul itu sudah ga cocok lagi dipake sekarang ini," balas Argas terlihat sedikit jengkel.
"Hahaha.... iya. Tapi nostalgia banget. Ngecengi kamu, Ar." Si Kacamata tertawa renyah.
"Lagian bisa pas banget namanya mirip," sahut si botak ikut tertawa kecil.
"Tapi di artwork nya dulu ganteng loh, si Argeas itu," balas Arga seolah mencari pembelaasn.
"Percumah aja kalau cuma jagi penjahat kacangan yang ujung-ujungnya mati. Bahkan belum setengah dari durasi plot utamanya."
"Ya-ya, semoga wujud 3D nya nanti ganteng dan nular ke aku."
"Haha... aku aminin deh..." Kedua teman Arga tertawa nyaris berbarengan.
Dan ketika mereka berhenti di penyeberangan lampu lalu-lintas, anak kecil yang berdiri di sebelah Arga tiba-tiba saja berlari menyeberang jalan meski lampu belum berubah hijau.
Terlihat sebuah mobil Pick-up dengan kecepatan tinggi melaju tanpa memperhatikan sekitar. Dan dapat dipastikan bahwa anak kecil itu akan tertabrak bila tidak dihentikan.
Dengan asumsi seperti itu, Arga pun segera bereaksi untuk menarik anak tersebut. Namun karena tidak akan sempat untuk menghindar, Arga pun sedikit melempar anak itu ke belakang, dan meninggalkan dirinya sendiri yang tidak berdaya di depan laju Pick-up tersebut.
Bahkan tubuhnya yang limbung karena kehilangan keseimbangan itu belum sempat menyentuh aspal, saat kepala dari Pick-up tadi menghantamnya hingga terpelanting jauh.
Rasa nyeri mulai menghampiri ketika tubuh Arga sudah berhenti berguling. Nafasnya terasa sesak. Kepalanya terasa sakit. Dan pandangannya mulai berbayang.
Suara lingkungan mulai terdengar menggema dan kabur, seperti saat ia memasukan telinganya ke dalam air. Beberapa sosok yang ia yakini adalah para sahabatnya terlihat mendekat, saat kemudian semuanya gelap.
Rasa sakit di sekujur tubuh Arga perlahan memudar. Suara mendengung rendah yang entah kenapa membuatnya merasa tenang itu terdengar memenuhi kepalanya. Tubuhnya terasa mengambang di ketiadaan.
'Apa aku sudah mati?' pikir Arga setelah lama dalam sunyi.
'Argas...' Terdengar suara samar memanggil namanya.
'Argaeas... Bangunlah...' Suara itu timbul tenggelam.
'Siap itu?' tanya Arga dalam benak.
"Argeas..." Dan saat suara itu terdengar untuk ketiga kalinya, tubuh Arga mulai terasa menghangat.
Suara-suara lain juga mulai terdengar lebih jelas. Yang seolah memberi persepsi bahwa kini ia berada di suatu tempat.
Dan setelah tiba-tiba saja mendapatkan kekuatan dan kendali atas tubuhnya, Arga mencoba untuk membuka matanya.
"Tuan Argeas? Anda sudah siuman?" Suara berat seorang pria terdengar.
Terlihat sebuah langit-langit berkelambu beludru dalam pandangan samar Arga. 'Kenapa memasang kelambu di langit-langit ruangan?' pikirnya kemudian.
"Panggilkan Viscont cepat! Kabarkan pada beliau, tuan muda sudah siuman."
'Ada dimana sebenarnya aku sekarang?' Tubuh dan kepala Arga sudah tidak lagi terasa sakit. Namun kini ia merasa gerah dan basah oleh keringat.
"Apa yang terjadi?" Arga menatap berkeliling. "Dimana ini?"
"Arga!" Tiba-tiba beberapa orang muncul dari balik pintu di ujung ruangan. Terlihat tatapan dan wajah mereka dipenuhi perasaan lega dan hampir menangis saat melihatnya.
"Akhirnya kau siuman juga."
'Eh? Apa-apaan ini? Siapa mereka? Apa ini semacam prank?'
Namun dengan tiba-tiba saja kepala Arga mulai dibanjiri oleh gambaran-gambaran yang adalah ingatan seseorang selama 14 tahun.
Dan hal tersebut menyebabkan rasa pening yang tidak bisa ditahan lagi olehnya. Arga pun kembali tidak dapat mempertahankan kesadarannya.
"Ar....?! Kau tidak apa-apa?"
Suara-suara panik terdengar timbul tenggelam dibalik kesadaran Arga yang semakin menghilang.
-
...****************...
-
Argeas membuka mata secara perlahan melihat sekeliling. Ia baru saja mendapat ingatan aneh tentang kehidupannya sebagai Arga di dunia modern.
Ia menghembuskan nafas pelan. Mencoba kembali mencerna ingatan aneh yang baru saja muncul itu.
"Bukankah aku terjatuh ke jurang saat sedang berlatih mengendari kuda? Apakah aku selamat? Lalu kapan aku tertabrak Pick-up itu?" Argeas mencoba menelaah ulang apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. "Dan bagaimana aku bisa tahu nama kendaraan itu? Apa ini semacam mimpi karena traumatisku menghadapi kematian?"
Argeas terduduk menyandar di bantalan penahan tempat tidur mewahnya.
"Tapi entah kenapa aku merasa semua ingatan itu tadi sangat nyata." Argeas terlihat masih ragu dengan apa yang baru saja ia alami.
"Apa jangan-jangan aku baru saja membuka ingatan tentang kehidupanku sebelumnya?" Pemuda berwajah rupawan dengan rambut pirang platinum dan mata biru kehijauan itu mencoba menduga-duga.
"Tuan Argeas!" teriak seorang pelayan wanita setengah baya terkejut saat memasuki kamar Argeas dan melihat pemuda itu sudah terduduk di atas tempat tidurnya.
"Ar?!" Kemudian disusul teriakan seorang wanita yang memiliki ciri tubuh serupa Argeas yang berada di belakang pelayan wanita tadi.
"Kurasa akan kupikirkan lagi setelah ini," ucap Argeas saat ia mengenali pelayan pribadi bersama ibunya berada di depan pintu masuk kamarnya.
-
Plak!
Argeas menepuk kedua pipinya dengan dengan kencang.
"Ahsss..." erangnya setelah itu.
Terlihat Argeas berada di depan meja belajarnya sehari kemudian.
"Kalau cuma dipikirkan saja aku akan jadi bertambah ragu," ucap pemuda itu berbicara sendiri.
"Mau dilihat dari mana pun, dunia ini sangat nyata. Tapi semakin ku cari tahu lebih, semakin mirip dengan game Epic Tale of Noxius dari ingatan kehidupanku sebelumnya," lanjutnya lagi.
"Status!" seru Argeas kemudian bersamaan dengan munculnya papan hologram dengan beberapa data terpampang di hadapannya.
"Dan bahkan pengaplikasian sihirnya serupa sistem status dalam game tersebut."
"Sebelumnya aku tidak pernah merasa aneh dengan tampilan status sihir seperti ini." Argeas mengamati dengan cukup detail papan hologram di hadapannya yang dikenali sebagai Jendela Status itu.
"Namun setelah mendapat ingatan masa laluku, persepsiku tentang sistem sihir ini jadi berubah total. Bagaimana bisa sihir yang seharusnya abstrak berbentuk seperti ini? Kalau memang ini buatan, lalu siapa yang membuatnya? Tuhan? Dewa? Atau jangan-jangan dunia ini semacam dunia Metaverse atau VR?" Pemuda berusia 14 tahun itu masih mencoba menduga-duga.
"Administrator!" serunya kemudian. "Sistem Admin. User Admin. Login. Logout," lanjutnya terus mencoba. Namun tidak terjadi apapun.
"Kurasa tidak berhasil. Jadi ini bukan sebuah dunia maya. Atau mungkin aku harus melakukannya di tempat tertentu?"
Argeas menggelengkan kepalanya liar sebelum kembali menepuk kedua pipinya lagi.
"Fokus Ar! Fokus. Ada hal yang lebih penting yang harus segera ditangani," sahutnya kemudian ke diri sendiri.
"Karena kalau memang benar dunia ini serupa dengan Epic Tale of Noxius, itu berarti ada kemungkinan aku akan mati di usiaku ke 17 tahun," keluhnya seraya menyapu sisa keringat dingin di pelipisnya.
"Tapi tidak perlu berkecil hati. Masih ada kemungkinan bahwa alur ceritanya tidak akan sama dengan yang ada di game. Jadi kemungkinan aku masih bisa selamat," lanjutnya mencoba menyemangati diri sendiri.
"Tapi untuk berjaga-jaga atas kemungkinan bahwa alur cerita akan benar-benar mengikuti game nya, maka aku harus menyiapkan rencana untuk menghindari kematianku. Masih ada waktu 3 tahun untuk itu. Kurasa masih cukup."
"Ya! Kau pasti bisa, Ar!" serunya lagi mencoba menyemangati diri sendiri.
Sementara di luar kamar Argeas beberapa pelayan tampak kebingungan mendengar tuan mereka berbicara sendiri ssmbil sesekali berteriak tak jelas di dalam kamar.
-
-
Di usia ke 14 tahun, Argeas yang baru saja selamat dari maut mendapatkan kembali ingatan dari kehidupannya yang lampau.
Dimana ia berusia 25 tahun saat kematian menjemput. Bekerja sebagai karyawan perusahaan perbangkan sebagai analis, hidupnya dihabiskan dalam rutinitas yang monotone.
Anak tunggal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya bekerja, yang menyebabkan ia tumbuh dengan mandiri, dan tidak terlalu dekat dengan mereka.
Hobinya bermain game dan membaca buku. Dan karena cukup total dalam menjalani hobinya tersebut, hingga saat ajal menjemput ia tidak pernah memiliki pacar sama sekali.
Argeas nyaris mendapat seluruh ingatan dari kehidupan masa lalunya. Baik kejadian maupun pengetahuan. Terutama tentang game favorite nya. Dan ia akan menggunakan segala kelebihan dan keunggulan itu untuk menghindar dari kematian, kemudian hidup dengan sepenuh hati.
-
"Apa kau sudah benar-benar sehat, Ar?" Tanya seorang pria setengah baya dari ujung meja makan panjang sehari setelahnya.
Pria itu memiliki pupil mata berwarna biru cerah, dan kumis serta rambut berwarna pirang platinum serupa yang dimiliki Argaes. Wajahnya tegas memancarkan karisma seorang kepala keluarga.
"Sudah yah." Argeas menjawab dari tempat duduknya di sebelah kakak ketiganya, tepat di seberang adik perempuannya.
Tampak seluruh keluarga Argeas hadir dalam makan malam tersebut.
Ayahnya, Geralt Danae adalah seorang Viscount. Bangsawan dengan wilayah kecil di bawah Earl.
Sedang yang duduk di sebelah kanan sang ayah adalah ibunya, Lilia Danae. Seorang perempuan berparas cantik dengan mata hijau kecoklatan dan rambut berwarna kuning terang.
Tak heran Argeas dan saudara-saudaranya dianugrahi wajah-wajah yang cantik dan rupawan.
Kemudian duduk di sebelah kiri sang ayah adalah kakak laki-laki tertuanya, Maximus Danae. Calon penerus keluarga Danae. Usianya sekarang adalah 22 tahun.
Menyambung di sebelah Maximus duduk kakak perempuan tertuanya, Regina Danae. Yang berusia 18 tahun.
Dan tepat di sebelah Argeas, duduk kakak laki-laki keduanya. Anak ketiga keluarga Danae, Raynold Danae. Usianya 16 tahun.
Kemudian tepat di hadapan Argeas duduk adik perempuannya, Luxia Danae. Yang baru berusia 10 tahun.
"Kau harus lebih berhati-hati setelah ini, Ar," ucap sang ibu kemudian. "Bila kau merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhmu, segera beritahu Ibu."
"Sudahlah Bu. Dia sudah 14 tahun. Hal seperti ini harusnya sudah bisa ia atasi sendiri." Raynold menjawab dari samping Argeas.
"Tapi dia nyaris tidak selamat, Ray," sahut sang ibu cemas.
"Jangan terlalu memanjakannya, Bu." Kali ini Maximus yang menambahi. Setuju dengan ucapan sang adik, Raynold.
"Ar rasa apa yang dikatakan Kak Ray, dan Kak Max benar. Ibu tidak perlu kuatir. Ar akan memberi tahu ibu bila memang memerlukan sesuatu," jawab Argeas membenarkan ucapan kakak-kakaknya.
"Sebentar... kau mengakuinya?" Raynold terlihat cukup terkejut seraya menoleh menatap ke arah Argeas.
"Apa kepalamu terbentur sangat keras hingga kau berubah seperti ini?" tanya pemuda berusia 16 tahun itu seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Sepertinya ia masih terkejut dengan kejadian itu." Sang kakak perempuan berucap. Sependapat bahwa ada yang salah dengan adik keduanya itu.
"Bisa jadi. Aku memang masih merasa sedikit lemas," balas Argeas yang mulai terlihat bingung dengan respon dari kakak-kakaknya.
"Mengejutkan sekali kau tidak marah-marah." Kembali Raynold seolah tidak percaya melihat adiknya itu.
"Benar. Jadi aneh rasanya." Maximus menambahi.
"Berhenti kalian. Jangan goda adik kalian seperti itu." Sang ibu segera memotong.
"Kalau kau memang belum sehat benar, kau bisa beristirahat di kamarmu. Kau boleh melewatkan makan malam bersama. Ayah akan minta Brigite membawakan makananmu ke kamar," ucap sang ayah kemudian.
"Kurasa tidak perlu, yah. Ar tidak terlalu lemah sampai harus makan di dalam kamar," balas Argeas sambil melanjutkan acara makannya.
"Woh, dia benar-benar berubah. Apa kau benar-benar Argeas?" Raynold kembali bereaksi. Yang dengan cepat dihardik oleh tatapan tajam dari sang ibu.
-
-
"Ya, aku memang sudah berubah. Karena aku harus bisa selamat melewati usia ke 17 tahunku," ucap Argeas saat ia sudah kembali berada dalam kamarnya.
"Apa karena ingatan dari kehidupan lamaku yang membuatku jadi merasa lebih dewasa?" Argeas bertanya-tanya dari tempat duduk di depan meja belajarnya.
"Kalau diingat-ingat memang kelakuanku selama ini sangat kekanak-kanakan dan egois."
"Tapi mulai sekarang semuanya harus berubah. Karena sekarang aku punya target untuk dicapai." Argeas mengangguk-angguk mencoba menyemangati dirinya sendiri.
"Pertama, aku harus mulai membuat rencana," ucapnya seraya mengeluarkan sebuah buku dan pena dari laci mejanya.
"Status!" Argeas mulai memeriksa kembali statusnya.
Dan kemudian muncul di hadapannya hologram Jendela Status. Sebuah papan berwarna biru gelap memanjang selebar 2 jengkal tangan dengan tulisan di atasnya.
.
[Argeas Danae] [14] [Laki-laki]
[ArcMage] [Lv 8]
HP 8.050
MP 16.880
Stamina [Fresh]
Title [Putra ke 4 Keluarga Danae]
.
[Skill Status]
[Combat Skills]
Horse Ride [E]
. ++++++++++++++++++++++ .
[Magic Skills]
Incarnation Magic [AA]
Accuration Magic [A]
Speed Cast [B+]
-
[Attribute Magic]
Fire [A]
Water [A]
Wind [A]
Earth [A]
.
[Ability Status]
[Combat Moves]
-Active-
None
-Pasive-
|Horse Riding| [B]
. ++++++++++++++++++++++ .
[Magic Spells]
-Active-
Fire Ball [A]
Earth Wall [A]
Ice Shard [A]
-Pasive-
None
. ++++++++++++++++++++++ .
[Non-Combat Ability]
Conjuration [B]
••Aura Detection
••Rune Write
. ++++++++++++++++++++++ .
[Special Ability]
None
[Ultimate Skills]
None
[Unique Skills]
• Divine Fate
• World Perception
.
"Hm... Tak kusangka aku memiliki Magic Point sebesar ini. Dua kali lipat dari Heath Point." Agreas terlihat mengangguk kecil.
"Sebelumnya aku tidak pernah memperdulikan angka-angka itu. Yang kuperdulikan hanya Ability Magic Spells."
Pemuda itu mulai membuka buku di hadapannya dan mulai mencatat sesuatu di atasnya.
"Tapi tidak mengherankan juga melihat Class ku yang memang [Arcmage]. Yang cenderung langka dimiliki oleh seseorang sejak lahir."
"Kalau tidak salah ingat, biasanya orang di dunia ini lahir dengan class dasar, antara [Mage], [Vigor], [Erudite], atau [Dweller]." Tangan pemuda itu masih terlihat sibuk melakukan coretan-coretan di atas buku kecil tersebut.
"Jelas [Mage] lebih unggul di sisi Magic. Dan [Vigor] lebih unggul di sisi Combat. Sementara [Erudite] lebih unggul di sisi Non-Combat. Kemudian yang terakhir [Dweller] yang rata dan tidak menonjol di segala sisi. Biasanya kalau dalam game, NPC yang memiliki status ini," ucapnya seperti tengah merinci sesuatu.
"Sebelum mendapat ingatan dari kehidupan lampau ini, aku merasa bahwa class [Arcmage] ini sangat luar biasa. Hingga aku tidak perlu bersusah payah untuk berlatih."
"Tapi setelah mengetahui apa yang akan terjadi, kurasa aku harus mulai serius berlatih. Atau aku tidak akan selamat."
Kemudian Argeas meletakan penanya di atas meja dan menyandar pada kursi seraya menengadahkan kepalanya menatap Jendela Status nya yang masih terpajang di udara di hadapannya. Seolah sedang mencari-cari inspirasi.
"Mungkin aku bisa memperdalam Combat Skills juga mulai sekarang. Kurasa class [Battle Arcmage] adalah pilihan yang menjanjikan untuk kenaikan class ku nantinya," ucapnya masih menatap Jendela Statusnya.
"Kemudian Unique Skills : [Divine Fate] dan [World Perception]. Aku tidak ingat pernah memilikinya. Dan aku juga tidak ingat jenis skill ini di dalam game."
"Skill apa ini sebenarnya? Apa dampak karena ingatan masa laluku yang terbuka? Kenapa tidak ada keterangan lebih tentang skill ini? Apa ini skill aktif, atau skill pasif? Atau hanya sekedar julukan?"
Argeas mengetukan penanya berulang kali ke atas meja sembari berpikir.
"Tapi harusnya sih, tidak. Karena bahkan Title biasa saja masih memiliki sedikit efek pada statusku.
"Ah, ku cari tahu nanti saja. Sekarang saatnya untuk membuat rencana," ucapnya seraya kembali menundukan kepala melakukan pencatatan.
.
Coretan pada buku Argeas :
(X) langkah pertama ~> harus kuat untuk menghadapi hero nantinya. | setidaknya lvl 50 ke atas.
(X) langkah selanjutnya ~> menjauhi Alexa si Cleric. Kalau bisa jangan berurusan dgn nya sama sekali.
(X) langkah terakhir ~> mulai merubah timeline (?)
.
"Hm... setidaknya dengan rencana ini, yang aku perlu adalah kekuatan yang lebih lagi." Pemuda itu mengamati kembali tulisannya.
"Sebentar, seingatku dulu ada skill yang bisa dipelajari melalui [Grimore] dan benda-benda tertentu," ucapnya kemudian berusaha mengingat-ingat.
"Ya, sepertinya aku harus mulai membuat daftar dan coba untuk membuat rencana berdasarkan daftar tersebut."
Dan Argeas pun mulai kembali menulis. Kali ini sedikit lebih rinci. Kebiasaan dari kehidupan lampaunya yang merupakan seorang analis saat harus mencari solusi sebuah masalah.
"Kurasa aku juga harus mulai mencari tahu tentang situasi yang sedang terjadi di luar sana. Dengan begitu aku mungkin bisa memperkirakan dimana posisiku sekarang dalam alur cerita utama game nya," ucapnya lagi seolah baru saja teringat.
-
Hari berikutnya Argeas mulai berkeliling kediamannya untuk mengumpulkan informasi. Sekaligus melakukan beberapa percobaan terhadap lingkungan sekitar.
"Meski aku sudah cukup hafal dengan seluk beluk kediaman ini, namun sebelum ini aku tidak pernah terlalu memperhatikan segala hal. Dan hanya perduli dengan apa yang ku anggap menarik kala itu," ucap Argeas menarasikan pemikirannya saat berjalan di koridor menuju halaman belakang.
Pemuda itu terlihat berjalan dengan perhatian lebih ke sekelilingnya. Dan ditambah dengan ingatan serta informasi dari masa lalunya, Argeas mulai mencari tahu dan melakukan pengamatan dengan lebih detail lagi.
Semua orang di kediaman keluarga Danae terlihat kebingungan mendapati perubahan yang cukup kentara dari tuan muda keempat mereka itu.
Setelah itu Argeas mendatangi tempat latihan para prajurit yang berada tak jauh dari kediamannya.
Memang keluarga Danae memiliki prajurit pribadi seperti layaknya bangsawan lain setara Viscont ke atas yang difungsikan sebagai penjaga wilayah mereka. Hanya saja tidak banyak dan tidak terlalu kuat dibanding prajurit tempur kerajaan.
"Ya, aku tahu kalian terkejut aku kemari," ucap Argeas kepada diri sendiri merespon pandangan kaget dan penasaran dari para prajurit juga pekerja yang melihatnya memasuki tempat latihan tersebut.
"Memang sebelum ini aku merasa bahwa class [Arcmage] ku itu sesuatu yang luar biasa yang bisa mengalahkan apapun yang ada di dunia ini. Hingga aku meremehkan pengguna Combat Skill," ucap Argeas yang kini seperti tengah menarasikan pemikirannya kepada orang lain. Yang nyatanya ia masih berbicara sendiri.
Kebiasaannya berbicara sendiri itu adalah kebiasaan dari masa lalunya yang tanpa sadar mulai terbawa. Kebiasaan yang terbentuk karena seringnya ia berada di rumah sendirian tanpa teman semenjak ia kecil hingga dewasa.
"Ada yang bisa saya bantu tuan Argeas?" Kepala tempat latihan itu menghampiri Argeas setelah melihatnya kebingungan mencari-cari sesuatu.
"Oh, Carl. Dimana aku bisa mendapatkan senjata?" tanya Argeas yang merasa terbantu dengan hadirnya Carl menawarkan diri.
"Senjata, tuan Argeas?" Pria dengan seragam prajurit bersimbol keluarga bangsawan Danae itu mengulang ucapan Argeas untuk memastikan.
"Benar." Argeas mengangguk cepat.
"Oh, baiklah. Lewat sini."
Dan Carl pun mengantar Argeas menuju ruang belakang tempat latihan tersebut.
Setelah diantar ke ruang penyimpanan senjata, Argeas pun ditinggal sendiri oleh Carl.
Kemudian Argeas mulai mengambil salah satu pedang dari raknya yang menggantung di dinding ruangan.
"Baiklah, saatnya mencari tahu," ucap bocah 14 tahun itu seraya mencengkeram gagang pedangnya dengan sedikit canggung.
Karena baik di kehidupan ini maupun di kehidupannya yang lalu, ia belum pernah benar-benar menggenggam atau bahkan menggunakan sebuah pedang.
Kemudian bocah 14 tahun itu melakukan tebasan kecil.
"Oh, benar ternyata. Hanya dengan melakukan tebasan menggunakan pedang saja sudah muncul [Sword Stance] pada status Combat Skills ku. Meski tingkatannya hanya E saja," ucap Argeas setelah memeriksa kembali jendela statusnya.
"Itu berarti aku tinggal melakukan latihan seperti ini untuk meningkatkannya," ucapnya mengambil kesimpulan.
Dan setelah itu Argeas kembali mencoba beberapa kali ayunan sebelum mengganti senjatanya dengan yang lain.
Meski hal itu membingungkan orang-orang yang melihatnya, namun tak ada seorang pun yang coba untuk mencegah atau melarang Argeas.
Dan di penghujung hari ia sudah mendapat beberapa Combat Skill dan Combat Moves. Seperti halnya : [Spear Stance], [Slashing], serta [Trusting].
-
-
Argeas kembali duduk di depan meja belajarnya dengan pena siap di tangan.
"Setidaknya di luar sihir dan sistemnya, seluruh aspek dalam dunia ini serupa dengan duniaku sebelumnya. Baik secara hukum alam, dan bahkan pengetahuan umumnya."
Pemuda itu mengetukan penanya ke atas meja. Kebiasaan lain yang juga mulai terbawa semenjak ingatannya terbuka.
"Jadi sekarang yang jadi masalah adalah sihirnya. Bagaimana sebenarnya sistem sihir ini bekerja?" Pertanyaan yang biasa ia tanyakan saat mencoba mengurai suatu masalah.
"Atribut Magic atau jenis sihir di dunia ini ada 11 secara total. Dibagi menjadi 4 kategori. Yaitu;
"Elemental Magic, yang terdiri dari 4 sihir elemen. Seperti Fire, Water, Wind, dan Earth.
"Kemudian Aether Magic, yang terdiri dari 3 sihir. Spatial, Spirit, dan Mind.
"Setelah itu Karma Magic yang terdiri dari 2 sihir yang saling bertolak belakang. Holy dan Dark.
"Dan yang terakhir sihir turunan. Yang berupa penggabungan dari tiga atribut atau lebih."
"Lalu dari latihan fisik, hanya akan meningkatkan nilai dari HP dan stamina statusku saja. Sedang untuk meningkatkan nilai MP aku hanya perlu berlatih pengaturan Aura." Argeas menjedah ucapannya dengan melakukan beberapa ketukan pena ke atas meja.
"Ya, Aura yang merupakan bentuk dari kekuatan sihir abstrak. Mungkin ini seperti Mana dalam istilah game pada umumnya. Epic Tale of Noxius memang tidak pernah menyebutkannya." Kembali bocah 14 tahun itu menjedah.
"Nah, sekarang giliran cara agar aku bisa mendapat atribut sihir dasar? Terutama yang di luar class ku? Apa aku masih harus menggunakan semacam [Grimore] atau [Scroll] tertentu?"
"Seingatku di dalam gamenya, untuk memperoleh Magic Skill dan Magic Spell player hanya perlu meng-equip-kan item-item tertentu sesuai dengan kebutuhan. Tapi dalam kenyataannya sekarang, tidak ada pilihan equip sama sekali." Argeas menyandarkan tubuhnya ke penahan kursi.
"Apa aku hanya perlu melakukan sesuatu menggunakan item-item tersebut sama seperti caraku mendapatkan Combat Skill?" ucapnya menduga-duga. "Sepertinya kucoba saja besok pagi," lanjut pemuda itu kemudian.
-
-
-
Dan tidak menunggu lebih lama, jadwal Argeas di keesokan harinya adalah mencari petunjuk di perpustakaan keluarga.
Terlihat sang adik sudah berada dalam perpustakaan itu saat Argeas tiba. Beberapa jam setelah sarapan.
"Oh, kau ada di sini Lux?" Argeas terlihat sedikit terkejut.
Sosok dari adik perempuan Argeas ini seperti versi mungil dari ibunya. Matanya juga berwarna biru kecoklatan, dengan rahang yang meruncing.
"Benar. Aku sedang membaca buku dongeng," jawab gadis 10 tahun itu tanpa menarik pandangan dari buku bacaannya.
Sebelumnya Argeas memang tidak terlalu perduli dengan saudaranya yang lain. Hingga ia samar mengingat kalau adiknya itu memang sangat suka membaca. Bahkan sejak usianya baru menginjak 8 tahun.
"Kau membaca dongeng sendiri?" Argeas yang terpengaruh oleh ingatan masa lalunya yang selalu mendambakan sebuah keluarga yang utuh itu terlihat bersemangat dan segera menghampiri sang adik.
Namun sang adik, Luxia, malah terlihat kebingungan seraya menatap Argeas.
"Apa yang sedang kakak lakukan di tempat ini?" tanyanya seolah berusaha untuk mencegah Argeas mendekat.
'Ah, anak kecil yang sudah berada dalam dunianya sendiri," batin Argeas menghentikan langkahnya mendekati Luxia.
"Kakak sedang mencari [Grimore] di perpustakaan ini. Apa kau tahu tempatnya?" tanya Argeas yang sadar bahwa ini kali pertama ia memasuki perpustakaan dengan tujuan untuk membaca sesuatu.
Ia tidak tahu apapun tentang seluk beluk perpustakaan tersebut.
"Kumpulan buku sihir ada di rak ujung sebelah selatan." Luxia memberi arahan.
"Terima kasih, Lux," ucap Argeas yang kemudian bersiap untuk menuju ke rak di ujung ruangan.
Sedangkan mendengar ucapan Argeas barusan membuat Luxia segera mendongakkan wajahnya menatap dengan penasaran ke arah kakak laki-lakinya itu.
"Kenapa?" Argeas yang terkejut bertanya.
"Bukan apa-apa," balas Luxia kemudian sebelum kembali menundukan kepalanya menghadap buku yang ada di atas pangkuannya.
'Apa dia benar-benar gadis berusia 10 tahun? Pembawaannya suram dan dewasa sekali," batin Argeas seraya berajalan ke ujung ruangan.
Dan setelah itu Argeas mulai melakukan percobaan dengan segala jenis buku sihir dan juga [Grimore] yang tersimpan dalam rak tersebut.
"Sepertinya memang beginilah cara mendapat Attribute Magic dan Magic Spell," ucap Argeas yang kini baru saja mendapat Attribute Magic baru [Mind], dan Magic Spell baru [Mental Focus].
Kemudian sisa hari itu Argeas habiskan dengan membaca serta melakukan percobaan lain di dalam perpustakaan tersebut.
-
Beberapa hari kemudian Argeas bertemu dengan ibunya di koridor ruang tengah saat ia memang berencana untuk menemuinya.
"Kau terlihat sibuk melakukan banyak hal belakang ini, Ar?" tanya sang ibu yang tampak tidak keberatan Argeas melakukan hal tersebut.
"Benar, bu. Ar sedang mencoba hal baru." Argeas menjawab.
"Baguslah kalau memang begitu."
"Oh, maaf bu. Apakah Ar boleh meminta sesuatu?" ucap Argeas mengungkap maksud awalnya hendak menemui sang ibu.
"Ya, apa?"
"Bisakah ibu mengembalikan jadwal pelajaran privat Ar yang sebelumnya," ucap bocah 14 tahun itu mengajukan permintaannya.
Karena Argeas masih ingat betul ia sempat menolak mentah-mentah saat diminta untuk melakukan pelajaran privat tentang bidang-bidang umum sebelum ini. Karena merasa hal itu tidak berguna untuknya yang seorang penyihir.
"Maksudmu pelajaran privat di bidang umum itu?" Sang ibu memastikan.
"Benar, bu," jawab Argeas cepat.
Sang ibu terlihat sedikit terkejut mendengar permintaan Argeas tersebut.
"Syukurlah. Akhirnya kau mau juga belajar tentang hal-hal seperti itu," ucapnya kemudian yang kini terlihat sangat gembira.
"Kau tak perlu kuatir, ibu akan segera mengabari tuan Barnes untuk menjadwalkan diri untukmu," lanjut sang ibu dengan sedikit antusias.
"Tapi..." Argeas berucap lagi. Sedikit ragu kali ini.
"Apa? Kau tidak suka dengan tuan Barnes? Kita bisa cari pengajar lainnya," balas sang ibu dengan cepat. Sebelum sang putra mencoba merubah pikirannya.
"Bukan begitu. Tapi kalau memungkinkan bisakah Ar mendapat pengajar yang berbeda untuk setiap bidangnya?" Argeas mengajukan permintaan lain.
"Maksudmu?"
"Bila hanya satu pengajar yang mengajarkan banyak bidang secara sekaligus, pasti pengajar tersebut tidaklah terlalu ahli."
"Maksudmu kau ingin pengajar khusus yang cukup ahli di bidang masing-masing? Yang berarti enam pengajar?" Sang ibu kembali bertanya untuk memastikan.
"Bila tidak terlalu merepotkan," jawab Argeas dengan sedikit ragu.
"Merepotkan? Apa yang sedang kau pikirkan belakangan ini, Ar? Jelas tidak. Ibu akan siapkan ke enam pengajar yang ahli di bidang tersebut dengan segera," sahut sang ibu dengan penuh suka cita.
"Terima kasih bu," balas Argeas kemudian.
"Oh?" Sang ibu kembali terlihat terkejut.
"Kenapa?" Argeas terlihat sedikit bingung.
"Baru kali ini ibu mendengarmu berterima kasih. Ibu bahagia sekali," ucap sang ibu yang nyaris saja menangis haru.
"Kalau memang kata orang-orang itu benar bahwa kau telah berubah, maka ibu bersyukur kau berubah ke arah yang lebih baik." Dan kemudian perempuan bangsawan itu memeluk tubuh Argeas dengan erat.
Sedang Argeas hanya bisa memeluk sang ibu balik tanpa tahu harus menjawab apa.
-
-
"Apa kau benar akan memulai pelajaran privat mu, Ar?" Ayah Argeas bertanya di tengah makan malam mereka.
"Benar, Yah," jawab Argeas seraya mengangguk.
"Bahkan Ar meminta pengajar khusus untuk setiap bidangnya. Ibu senang sekali mendengarnya." Sang ibu segera menimpali dengan wajah berseri-seri.
"Enam pengajar untuk enam bidang umum? Kuharap kau tidak memberi hasil yang mengecewakan, Ar," sahut Maximus menanggapi.
"Maxim! Jangan jatuhkan niatan adikmu seperti itu. Harusnya kau senang Ar mau belajar tentang hal-hal tersebut," potong sang ibu dengan cepat. Yang tidak terlalu diperdulikan oleh si putra sulung.
"Ar hanya ingin mencari tahu dan mempelajari hal baru saja, kak," jawab Argeas.
"Bagus buatmu, Ar, bersiap sebelum memasuki Akademi nanti." Kali ini kakak perempuannya yang berucap.
'Oh, benar. Aku harus memasuki Akademi di usia 16 tahun nanti. Dan pertemuan dengan Alexa, juga tokoh utama hanya tinggal hitungan hari saja,' batin Argeas kemudian.
"Setidaknya tidak seperti Ray yang harus mati-matian hanya untuk lolos seleksi masuk saja," lanjut si kakak perempuan Argeas, Regina, menggoda adiknya yang lain.
"Berhenti membahas tentang hal itu, kak!" teriak Raynold tidak terima.
"Sudah-sudah, kalian semua tenang. Jangan bertengkar di meja makan." Sang ibu segera merelai.
"Bicara tentang akademi, apa kau sudah bersiap, Gi? Lusa kau harus kembali ke asrama, bukan? Liburan musim panas tinggal seminggu lagi," tanya sang ibu kepada putri pertamanya.
"Ya, bu. Regina sudah berkemas. Hanya tinggal barang sehari-hari saja yang belum," balas Regina menjawab.
"Apa kau juga sudah berkemas, Ray? Seminggu lagi giliranmu berangkat ke Akademi," lanjut sang ibu bertanya pada Raynold.
"Masih seminggu lagi, bu. Ray akan berkemas di akhir pekan nanti." Raynold terlihat sedikit kesal sang ibu harus mengingatkannya tentang hal tersebut.
Dan setelah hening sesaat sang ayah kembali berucap.
"Kuperhatikan akhir-akhir ini kau sering berada di tempat latihan, Ar?"
"Benar, Yah."
"Apa kau juga tertarik berlatih pedang atau mempelajari Combat Moves dan sejenisnya?" lanjut sang ayah dengan pertanyaan.
"Ya, kurang lebih," jawab Argeas.
"Bukankah kau diberkahi dengan Magic Point tinggi dan beberapa Magic Spell? Kenapa tidak kau optimalkan saja bidang itu. Kenapa harus kau bagi dengan melatih fisik?" Maximus bertanya.
"Benar. Penyihir-penyihir, Kesaria-kesatria. Seperti pada umumnya saja," lanjut Regina membenarkan ucapan kakaknya.
"Apa karena kau pikir sudah ada 2 Kesatria dan 2 Penyihir dalam penerus keluarga ini, sehingga kau ingin menjadi Kesatria sekaligus Penyihir untuk melengkapi?" Kali ini Raynold yang berucap menanggapi.
Rata-rata class dari keturunan keluarga Danae memang adalah seorang [Mage] untuk perempuan dan [Vigor] untuk laki-laki. Kecuali Argeas.
"Itu karena rencananya Ar akan mengambil pekerjaan sebagai [Battlemage] di Kerajaan ketika sudah lulus akademi nanti. Jadi Ar juga harus memperkuat fisik dan mempelajari Combat Moves," jawab Argeas setengah jujur.
"Wah, kau berambisi sekali ternyata," sahut Raynold.
"Harusnya kau juga seperti itu, Ray. Tentukan apa yang kau inginkan di kedepannya nanti." Sang ibu menimpali.
"Menjadi [Battlemage]? Mengapa kau bersusah payah memilih pekerjaan seperti itu?" Maximus kembali bertanya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran adik ke tiganya itu.
"Jadilah seorang penyihir secara penuh. Dan serahkan masalah fisik itu kepada para kesatria," lanjut sang kakak lagi.
"Kau tahu kan Max, Argeas memang orangnya seperti itu dari dulu. Keras kepala," ucap sang ibu mencoba membela Argeas.
"Kalau kau memang ingin berlatih seni berpedang atau Combat Moves, aku akan memberi tahu Carl untuk menjadwalkanmu dengan para pelatih di tempat itu," ucap sang ayah kemudian.
"Oh, benarkah? Terima kasih, yah." Argeas terlihat sangat gembira.
Namun dengan cepat semua orang yang berada di meja makan itu menatap ke arah Argeas dengan tatapan terkejut dan tidak percaya.
"Aku sudah berubah sekarang. Jadi biasakanlah kalian," jawab Argeas dengan senyum canggungnya ke semua orang.
-
-
"Baiklah, setelah ini kita akan buat jadwal untuk mewujudkannya!" Argeas sudah kembali di depan meja belajarnya seusai makan malam.
"Ayo, kita mulai berlatih dan mempersiapkan diri sebelum memasuki akademi!" serunya yang lagi-lagi mengejutkan para pelayan yang mendengarnya dari luar kamar.
Dan setelah itu Argeas pun memulai jadwal latihan rutinnya dalam seminggu :
• Senin
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 09.00 - Pelajaran Politik (3 jam)
• 14.00 - Latihan memanah (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
• Selasa
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 09.00 - Pelajaran Budaya (3 jam)
• 14.00 - Latihan berkuda (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
• Rabu
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 09.00 - Pelajaran Ekonomi (3 jam)
• 14.00 - Latihan berpedang (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
• Kamis
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 09.00 - Pelajaran Sejarah (3 jam)
• 14.00 - Latihan memanah (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
• Jumat
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 09.00 - Pelajaran Aritmatika (3 jam)
• 14.00 - Latihan berkuda (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
• Sabtu
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 09.00 - Pelajaran Militer (3 jam)
• 14.00 - Latihan berpedang (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
• Minggu
• 04.00 - Latihan fisik (2 jam)
• 20.00 - Latihan Aura dan sihir (Sampai sebelum Tidur)
-
Dan semenjak hari itu, Argeas menjalankan jadwal latihannya dengan rutin dan tanpa terlewat sama sekali.
Kendati mengejutkan banyak orang dalam kediaman keluarga Danae, namun mereka tetap bersyukur karena perubahan Argeas kini membuatnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik.
- - -
Dan 2 bulan pun berlalu.
.
"Status," ucap Argeas.
Dan Jendela Status pun muncul di hadapannya.
.
-----------------------------------------------
[Argeas Danae] [14] [Laki-laki]
[ArcMage] [Lv 10]
HP 15.800
MP 21.500
Stamina [Fresh]
Title [Putra ke 4 Keluarga Danae]
.
---------------------------------------------
[Skill Status]
---------------------------------------------
[Combat Skills]
Sword Stance [B]
Archer Stance [B+]
Spear Stance [B-]
Horse Ride [A]
. ++++++++++++++++++++++ .
[Magic Skills]
Incarnation Magic [AAA]
Accuration Magic [AA]
Speed Cast [A+]
-
[Attribute Magic]
Fire [A+]
Water [A+]
Wind [A]
Earth [A+]
Mind [B+]
.
---------------------------------------------
[Ability Status]
--------------------------------------------
[Combat Moves]
-Active-
Slashing [A-]
Trusting [B]
Mark Shooting [A+]
-Pasive-
|Dash| [A+]
|Parry| [D]
|Dodge| [B]
|Evade| [B+]
|Horse Riding| [AA]
. ++++++++++++++++++++++ .
[Magic Spells]
-Active-
Fire Ball [AA]
Earth Wall [AA]
Ice Shard [AA]
Mental Focus [A]
-Pasive-
|Mental Resistance| [A]
. ++++++++++++++++++++++ .
[Non-Combat Ability]
Conjuration [A]
••Aura Detection
••Rune Write
Search [B]
••Aura Searching
. ++++++++++++++++++++++ .
[Special Ability]
None
----------------------------------------------
----------------------------------------------
[Ultimate Skills]
None
----------------------------------------------
[Unique Skills]
• Divine Fate • World Perception
----------------------------------------------
----------------------------------------------
.
"Cukup banyak juga perkembangan HP dan MP yang ku dapat selama 2 bulan ini," ucap Argeas menatap Jendela Statusnya dengan kurang bersemangat.
"Tapi masih terhitung lambat. Naik 2 level dalam 2 bulan? Sepertinya cara ini sudah bukan pilihan lagi," lanjutnya kemudian.
"Aku harus buru-buru jadi kuat. Karena di dalam Game keberadaanku baru diceritakan setelah berada di akademi. Bahkan latar belakangku juga hanya di tulis secara singkat dan garis besarnya saja. Jadi akan sulit mengantisipasi apa yang akan terjadi di saat ini."
Argeas menutup Jendela Statusnya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Tapi harusnya sih tidak akan ada kejadian besar selama satu setengah tahun sebelum aku masuk akademi. Jadi aku akan mengandalkan ingatan dan informasi dari diriku yang sekarang untuk dasar pembuatan rencana," ucap Argeas seraya menatap langit-langit kamarnya.
Kemudian terdengar pintu kamar Argeas diketuk dari luar.
"Tuan Muda Ar, Viscont memanggil anda untuk makan malam." Suara pria setengah baya terdengar dari balik pintu.
"Ya, Will. Katakan aku akan kesana sebentar lagi," jawab Argeas dengan sedikit lantang agar terdengar dari luar.
"Baik, Tuan Muda."
-
Hanya terlihat 5 orang saja di depan meja makan kali ini. Karena sejak dari 2 bulan sebelumnya, anggota keluarga yang mengikuti makan malam telah berkurang dua orang. Yaitu Regina dan Raynold yang sekarang berada di asrama akademi.
"Ar, tiga bulan lagi kau akan genap berusia 15 tahun," ucap sang ayah dari ujung meja makan membuka perbincangan.
'Oh benar, sebentar lagi ulang tahun ke 15 ku,' batin Argeas.
"Berarti sudah saatnya untuk memperkenalkanmu secara resmi ke lingkungan bangsawan," lanjut sang ayah kemudian.
'Oh, ini juga. Semacam penampilan pertama dalam lingkungan masyarakat. Aku sampai lupa,' batin Argeas lagi.
'Padahal sebelum kecelakaan pemikiranku hanya dipenuhi dengan hal ini. Aku benar-benar tidak sabar untuk muncul ke masyarakat dengan keberadaan class bawaanku yang tergolong langka itu.' Argeas masih membatin.
"Ada gala yang digelar tahunan oleh kerajaan sebagai ajang perkenalan putra-putri keluarga bangsawan untuk pertama kalinya," tambah sang ayah menjelaskan.
"Jadi dari sekarang mulailah mempersiapkan diri dengan mempelajari segala aturan dan etika yang diperlukan untuk itu," perintahnya kemudian.
"Ar mengerti, Yah." Argeas menjawab dengan cepat.
Meskipun sekarang pemikiran Argeas sudah jauh lebih dewasa, namun ketertarikannya tentang acara tersebut masih tetap besar mempengaruhi.
"Kau juga harus belajar berdansa dan bersosialisasi dengan orang lain. Jangan hanya berlatihan dan belajar saja. Meski ibu senang kau seperti itu," ucap sang ibu menambahi.
"Baik, bu. Ar akan mengusahakannya."
"Perubahan sifatmu itu benar-benar seperti keajaiban, Ar." Maximus berucap. "Apa pengalaman di ambang kematian itu begitu kuatnya sampai bisa merubah seseorang secara total seperti ini?" tambahnya kemudian.
"Bukan hanya sifat. Dalam 2 bulan ini semua pengajar memuji kemampuan Ar dalam menyerap dan memahami pelajaran. Terutama Aritmatika," ucap sang ibu yang terlihat sangat bangga dengan hal tersebut.
'Ya, pada dasarnya aritmatika sama dengan matematika dan fisika dasar, sih. Jadi bukan hal yang luar biasa juga,' ujar Argeas dalam hati.
"Aku tidak tahu kau juga diberkati kemampuan seorang [Erudite]?" Maximus baru pertama mendengar hal tersebut. Ia terlihat sedikit terkesan dengan kemampuan adiknya itu.
"Argeasku memang luar biasa." Sang ibu kembali membanggakan Argeas dengan wajah berseri-seri.
Sedang Argeas hanya tersenyum tanpa menjawab.
-
-
-
Argeas menatap Jendela Statusnya saat berada di dalam kamar beberapa hari kemudian.
"Karena sudah tidak ada pergerakan level sama sekali, ku rasa sudah saatnya untuk melakukan leveling di luar," ucapnya seraya kembali duduk di meja belajar.
"Latihan saja sudah tidak lagi memberikan <exp> yang cukup untuk menaikan level sekarang," lanjut bocah 14 tahun itu seraya mengambil buku dan penanya.
"Berarti aku harus segera mencari perlengkapan."
Dan kemudian Argeas mulai menulis sesuatu di atas bukunya.
.
List persiapan leveling :
- Elixir ^8 Perak
- Potion ^1 Perak
- Scroll berisi Skill Trap Search ^120 Perak
- Spatial Map ^100 Perak
- Spatial Storage ^8.000 Perak
- Grimore Alchemy ^5.000 Perak
.
"Kurasa Storage nya lah yang paling mahal. Lebih dari 3 keping Platinum Emas," ujar Argeas setelah mengamati kembali catatan kecil yang baru saja ia buat itu.
Pemuda itu mengetahui harga peralatan-peralatan tersebut dari bertanya ke beberapa pelayan dan pekerja di waktu senggangnya selama beberapa minggu terakhir.
Sebelum ini Argeas bahkan tidak pernah memikirkan untuk memiliki peralatan sihir sama sekali. Karena disamping ia hanyalah seorang bocah berusia 14 tahun, juga karena ia merasa terlalu percaya diri.
Namun sekarang dengan kelebihan dan pengalamannya dalam meningkatkan level dari Game sebelumnya, Argeas mulai mempersiapkan segala keperluannya dengan efektif dan efisien.
"Untungnya uang tabungan ku selama 8 bulan ini cukup untuk membelinya. Aku punya 240 keping Emas yang berarti setara dengan 12.000 keping Perak, atau sekitar 4 keping lebih Platinum Emas." Argeas melakukan penghitungan bayangan.
"Ditambah uang saku ku bulan ini. Jadi kurasa cukup." Pemuda itu terlihat puas.
"Untuk [Grimore] Alchemy, lebih baik aku minta sebagai hadiah ulang tahunku pada Ayah atau Ibu," rencananya kemudian.
"Dan juga aku perlu membeli tambahan beberapa botol Potion dan Elixir untuk berjaga-jaga."
Setiap bulannya, anak-anak dari keluarga Danae mendapat uang saku dari ayah mereka, yang tidak sama jumlahnya satu dengan yang lain.
Untuk Argeas sendiri, ia mendapat 30 keping Emas tiap bulannya. Yang tidak pernah ia gunakan karena ia tidak terlalu perduli. Argeas selalu meminta apapun yang ia inginkan kepada kedua orang tuanya. Dan terutama sang ibu pasti akan memberikannya. Apapun itu.
Sudah menjadi hal umum mengetahui sang ibu sangat memanjakan Argeas lebih dari anak-anaknya yang lain.
Semua itu karena Argeas yang terlahir dengan class dasar [Arcmage], yang kemudian mengangkat martabat serta harga diri Keluarga Danae, telah dianggap sebagai penyelamat keluarga oleh sang ibu.
Dan itulah alasan kenapa ibu Argeas sangat memperdulikannya melebihi anak-anaknya yang lain.
Sedang kali ini Argeas tidak ingin meminta langsung dan alih-alih menggunakan tabungannya karena ia memang tidak ingin orang tuanya tahu ia membeli peralatan tersebut.
Orang tuanya pasti akan melarangnya bila ia memberi tahu akan melakukan leveling di luar kediaman.
-
-
-
Beberapa hari kemudian, Argeas pun ikut keluar dari kediamaannya bersama sang ayah dan kakak pertamanya yang hendak menuju tempat kerja mereka di pusat kota.
"Tumben sekali kau mau ikut bersama kami, Ar?" Sang ayah bertanya saat mereka berada di dalam kereta kuda menuju pusat kota.
"Setelah belajar tentang struktur pemerintahan dalam kerajaan pusat ini, Ar jadi ingin melihat seperti apa tempat kerja ayah dan kak Max," jawab Argeas jujur. "Sekalian ada yang ingin Ar beli juga di pusat kota."
"Kau mau membeli sesuatu sendiri? Dari uang tabunganmu?" Sang ayah bertanya. Terlihat wajahnya sedikit terkejut sedikit bangga.
Argeas hanya tersenyum kecil. "Ar hanya ingin mencoba untuk mandiri."
"Perkataanmu itu selalu saja mengejutkanku setiap harinya, Ar." Maximus berucap seraya menggeleng pelan.
"Itu hal yang bagus, Ar. Tapi tak perlu memaksakan diri. Kau masih bisa meminta sesuatu kepada kami seperti sebelum-sebelumnya." Sang ayah berucap. Terdengar sedikit senang dan sedikit kuatir.
"Baik, Yah. Ar mengerti." Dan kemudian dengan ragu-ragu bocah 14 tahun itu kembali berucap. "Bagaimana kalau hadiah ulang tahun Ar nanti adalah [Grimore] Alchemy?"
"Oh, sekarang kau tertarik dengan hal itu?" Sang ayah kembali dibuat terkejut dengan ucapan anak laki-laki termudanya itu.
"Kurang lebih," jawab Argeas dengan senyum lebarnya.
"Kau benar-benar ingin belajar segala hal tentang [Erudite] sekarang?" Maximus bertanya lagi.
Sedang Argeas hanya tersenyum tidak menjawab.
Tak lama kemudian kereta kuda mereka pun berhenti di sebuah gedung tak jauh dari alun-alun kota. Itu adalah gedung Pemerintahan Kota. Tempat ayah dan kakak sulung Argeas bekerja.
-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!