NovelToon NovelToon

Pembalasan Istri Yang Teraniaya

Bab 1 Wanita Lain

Bab 1

Wanita Lain

Note : jangan lupa untuk selalu like dan komen setiap bab ya, karena jejak kalian sangat berharga bagi

Author. Terima kasih 🙏😊

***

Sudah tiga bulan Mas Heru belum pulang lagi ke rumah ini karena banyaknya pekerjaan hingga ia menjadi begitu sibuk, begitu katanya di telpon.

Ku putuskan untuk mengambil cuti tahunan ku minggu depan. Kasihan juga bila selalu Mas Heru yang datang bolak balik ke kota ini. Sesekali aku juga harus mendatanginya di sana. Anggap saja ini kejutan untuknya.

Langkah ku terasa ringan begitu turun dari pesawat. Ku seret koper ini perlahan mencari taxi yang bisa membawaku menuju rumah dinas suamiku. Ini kedua kalinya aku kesini setelah setahun yang lalu. Hati ini berdebar-debar membayangkan saat pertemuan kami yang penuh haru biru nantinya.

Bisa ku bayangkan, betapa terkejutnya Mas Heru kala melihat kedatanganku. Dengan senyum manisnya ia membentangkan ke dua tangannya dan siap memeluk tubuh ini yang sudah 3 bulan tak di sentuh.

Ah, alangkah bahagianya hati.

Rasa lelah tak kurasakan lagi karena akan bertemu sang pujaan hati. Ah, tak sabar rasanya ingin cepat-cepat sampai dan bertemu suamiku.

Rumah bercat putih sudah ada di depanku. Ku lihat di samping rumah baju-baju suamiku berjejer rapi di jemur. Hatiku menjadi pilu, kasihan sekali ia harus mencuci sendiri selama ini. "Sabar ya Mas, sekarang sudah ada aku yang akan meringankan pekerjaanmu," lirihku.

Hari minggu seperti ini Mas Heru pasti ada di rumah. Apalagi kendaraan roda empatnya terparkir memenuhi halaman rumah dinas itu.

"Tok...tok...tok..!"

Aku pun mengetuk pintu tanpa mengucapkan salam, sengaja untuk membuat kejutan karena Mas Heru pasti hafal suaraku jika aku mengucapkan salam.

Tidak ada respon dari dalam sana. Tapi aku tetap bersabar dan menunggu sampai pintu itu terbuka.

"Tok...tok...tok...!"

Sekali lagi aku mengetuk pintu dengan sabar dan dengan hati berdebar-debar. Aku saja seperti ini rindunya, apalagi Mas Heru yang akan menerima kehadiran ku disini, aku yakin Mas Heru lebih berdebar jantungnya melebihi aku.

Terdengar suara sedikit gaduh di dalam sana. Aku dengan setia menunggu di luar untuk di bukakan pintu. Hati ini semakin berdebar-debar menantikan Mas Heru.

"Cklek!" Dan pintu pun terbuka.

"Assalamualaikum Mas..."

Sapa ku mengucapkan salam dengan mata berkaca-kaca haru karena sudah lama tidak bertemu.

"Indah!"

Mas Heru bergumam mungkin terkejut melihatku, sampai ia lupa menjawab salamku.

Tidak ada senyuman manisnya yang menyambut kehadiranku. Yang ada hanya wajah pias yang mematung bagai batu seakan baru saja menjumpai malaikat pencabut nyawa.

Kenapa pucat Mas, harusnya merona bahagia menyambutku, pikirku.

"Siapa sayang...?"

JDEEER!!

Suara wanita terdengar menggelagar di telingaku bagai suara guntur di tengah panas siang itu. Seperti hantaman palu logam di hujamkan ke kepalaku tanpa aku siap menghalau.

Seketika air mata haruku mengering berganti emosi yang mulai menyelimuti diri. Darahku seakan berhenti mengalir hingga napasku terasa tercekat membuat sesak dada ini.

Aku langsung mendorong keras tubuh Mas Heru untuk memberi ku ruang agar bisa masuk ke dalam rumah itu. Aku tidak peduli jika ia mengatakan prilaku ku kasar padanya. Sejatinya diri ini sudah tidak dapat menahan lagi untuk tahu siapa pemilik suara yang mengusik sepinya rumah dinas suamiku.

Dengan santainya wanita itu keluar dari kamar suamiku. Ku tatap tajam wanita itu yang hanya menutupi tubuhnya dengan selimut. Pikiran ku mulai mencerna apa yang sedang terjadi di rumah ini.

Ku palingkan wajahku memandang Mas Heru dengan tajam. Dan baru kusadari suamiku hanya mengenakan handuk menutup bagian pusaka warisan leluhurnya.

Jantung ku berdetak keras tak menentu. Darahku mendidih naik hingga level tertinggi di ubun-ubun kepalaku. Dadaku terasa sesak oleh emosi yang siap meledak kapan saja.

"Siapa dia Mas? Kenapa main masuk tanpa permisi?!"

Lagi, wanita itu berbicara. Suaranya terdengar lembut namun bagiku seperti belati yang menancap di hati. Dengan napas naik turun yang bergemuruh ku langkahkan kaki ku untuk mendekatinya.

"Indah jangan!!"

Tiba-tiba Mas Heru setengah berteriak berusaha menghentikan langkah ku. Ketika tangan ini mulai terangkat untuk menjambak rambut kecokelatan wanita itu, Mas Heru berlari dan langsung menahanku dengan memelukku dari belakang.

"Lepas Mas!! Biar aku jambak gun*di*k mu ini!! Kalian pasti habis ber*zi*na*h kan?! Iya kan?!"

Aku langsung menuduh karena emosi telah menguasai diri. Mataku pun telah memastikan apa yang mungkin baru saja terjadi pada mereka.

"Indah tenang Indah! Jangan buat keributan. Malu jika di dengar orang." Ujar Mas Heru yang mulai panik.

"Oh, masih ingat malu rupanya?! Kemana rasa malumu saat ber*zi*na*h Mas?Apa sudah putus saat kli*ma*ks mu tersembur?! Lepaskan, biar ku hajar gundik mu ini!" Cerocos ku tanpa menyaring lagi ucapan yang pantas aku keluarkan.

"Hei, jaga bicara mu wanita kurang ajar! Dia siapa sih Mas?"

Gu*n*di*k suamiku berkacak pinggang dengan menatap tidak suka padaku.

Suara kami yang mulai lantang  mengundang tetangga sekitar untuk mengintip dan mencari tahu.

Pas saja pintu itu terbuka lebar, sehingga kami menjadi tontonan gratis bagi para tetangga yang haus akan gosip.

"Tega kamu Mas! Selama ini aku percaya padamu. Nggak sangka kamu begitu tega melukai perasaanku Mas. Kemana hati nuranimu?! Lepaskan aku Mas!"

Aku terus berusaha melepaskan diri dari dekapan Mas Heru. Tangannya begitu kuat mengurung ku hingga aku susah bergerak. Terlintas ide gila di pikiranku untuk sesekali memberikan pelajaran pada Mas Heru sekaligus membuatnya malu. Jangan salahkan aku Mas, kamu yang memaksaku berbuat demikian, batinku.

Ku tarik handuk yang melilit di pinggangnya. Handuk itu pun terlepas dan mempertunjukan pusaka warisan leluhurnya. Spontan ia melepaskan kurungan tangannya di tubuhku untuk menutupi harta karunnya itu. Begitu melihat ada peluang aku pun menarik rambut si gu*n*di*k yang membuatku murka setelah jauh-jauh datang kemari.

Riuh tetangga yang menonton bagai mensorak-sorai pertandingan. Dan aku tidak peduli!

Bagus jika mereka semakin ramai menonton, agar mereka tahu dua makhluk yang sedang aku hajar ini tengah bermesraan di belakangku.

"Awww sakit! Mas tolong aku Mas?! Wanita s*ia*la*n! Lepaskan tanganmu!!" Umpat wanita itu di sela-sela rintihan kesakitannya.

"Ya aku adalah ke*sia*l*an untukmu si wanita mu*ra*ha*n!!" Sarkasku yang sudah naik pitam.

Tanganku semakin kuat menambak rambutnya. Satu tangan lagi aku berusaha melepaskan lilitan selimut di tumbuhnya. Ia cukup kewalahan menghadapi aku. Bahkan Mas Heru yang mencoba melepaskan jambakan ku pun kebingungan antara mau melepaskan tangan di rambut atau tangan di selimut. Beruntung ia selamat dari amukan ku setelah beberapa lelaki datang dan langsung masuk ke dalam rumah ini.

Bersambung...

Bab 2 Memilih Pergi

Bab 2

Memilih Pergi

"Ada apa ini? Mohon untuk tenang semuanya. Kita bicarakan baik-baik."

"Pak Rt..." Ucap Mas Heru gantung.

Rupanya lelaki yang hampir memasuki usia paruh baya itu adalah RT setempat.

Mau tidak mau aku terpaksa melepaskan cekeramanku terhadap rambut si gundik.

Napasku masih tersengal-sengal sesak menahan emosi yang masih menyelimuti diri.

Aku di tahan untuk tidak melanjutkan aksiku oleh Pak RT dan beberapa warga setempat. Suami ku dan gundiknya pun diminta berpakaian dulu untuk membicarakan masalah ini.

"Jadi ini Pak, Bu... ini ada apa sebenarnya?" Tanya Pak Rt setelah memastikan kondisi tenang dan aman terkendali.

"Dia datang entah dari mana langsung menyerang kami Pak." Sarkas wanita itu menunjukku dengan tatapan nyalang.

"Apa Ibu tahu, mendatangi rumah orang lain dan melakukan tindak kekerasan bisa terancam pidana?" Tanya Pak Rt kepadaku.

"Ini bukan rumah orang lain Pak, tapi ini rumah suami saya!" Ucapku tegas.

"Apa, suaminya? Bukannya Bu Wina itu isterinya Pak Heru ya?"

Bisik salah seorang ibu-ibu yang menyaksikan terdengar di telingaku.

"Udah jeng, simak aja dulu. Kayak nya bakalan seru ini. Kita lihat siapa yang pelakor disini."

Seorang lagi ibu-ibu berkomentar yang sepertinya menyukai urusan orang lain.

Bisik-bisik tetangga mulai terdengar dari satu ke lainnya. Hingga akhirnya orang yang di panggil Pak RT itu berbicara kembali.

"Jadi Ibu ini isterinya Pak Heru juga?"

"Juga? Saya isterinya di mata hukum dan agama. Entah kalau dia!"

Aku menunjuk wanita itu dengan daguku lalu mengalihkan pandangan ku tak sudi melihat mereka duduk dekat bersama, saling menggenggam jemari seolah mereka adalah korban.

"Pak Heru, bisa tolong jelaskan? Jika di dalam rumah ini telah terjadi perzinahan maka saya akan bertindak tegas menyikapi masalah ini." Ujar Pak Rt.

"Benar, Ibu Indah ini adalah isteri sah saya. Dan Wina adalah isteri siri saya." Tutur Mas Heru.

"Wuuu...ini dia pelakornya!"

"Iya, gayanya sombong bukan main. Rupanya-rupanya cuma pelakor."

"Wuuuu....!!"

"Tenang ibu-ibu, mohon tenang...!" Ujar Pak Rt mencoba meredam situasi agar tenang kembali.

"Mas, aku tidak mau kita pisah. Aku sangat mencintaimu Mas..." Rengek wanita yang bernama Wina itu.

"Wuuu...! Tidak tahu malu!"

"Saya kira wanita berkelas, tidak tahunya wanita remahan rengginang!"

Kembali suara ibu-ibu itu menyoraki gundik Mas Heru. Dalam hati ini ada rasa terhibur oleh ibu-ibu itu. Mereka seakan mengerti apa yang aku rasakan walau mereka tidak merasakannya secara langsung.

Memang tidak tahu malu, wanita yang bernama Wina itu menangis di pelukan suamiku. Mas Heru pun sama, dengan tidak tahu malunya ia mencium pucuk kepala Wina menandakan dirinya begitu menyayangi wanita itu.

Jijik rasanya melihat keromantisan yang mereka pertunjukan di keramaian begini. Dan tentu sakit rasanya hati ini hingga tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan tubuh ini sejak tadi sudah gemetar hebat. Emosi dan sakit hati entah mana yang lebih mendominasi.

Tidak pernah terpikirkan oleh ku aku akan di perlukan seperti ini oleh Mas Heru. Aku tidak mau di madu. Apalagi tidur dengan berbagi suami.

Tidak ingin menyaksikan pemandangan yang terus menyiksa hati, aku putuskan ingin segera meninggalkan tempat ini.

"Aku tunggu surat cerai dari mu Mas, segera!" Ucap ku lalu bangun dari dudukku dan melangkah pergi meninggalkan keramaian itu dengan luka hati yang menganga.

"Indah! Tunggu Indah!"

"Mas, jangan tinggalkan aku Mas! Kamu sudah janji ingin menikahi aku secara sah di mata hukum..."

Tak ku hiraukan lagi Mas Heru yang terus memanggil namaku. Ia berusaha mengejarku namun isteri siri nya menahan lengannya untuk tetap bersamanya. Sakit sekali melihat mereka seperti itu. Apalagi mendengar Mas Heru menjanjikan pernikahan mereka sah di mata hukum. Itu berarti Mas Heru sudah memiliki niat untuk bercerai denganku. Lalu untuk apa kamu masih berusaha mengejarku Mas?

Aku tidak menyangka Mas Heru akan tega menduakan diriku. Padahal selama ini aku juga berusaha untuk setia dan hanya memikirkan Mas Heru seorang. Namun hari ini begitu besar luka yang Mas Heru torehkan. Aku ingin teriak, aku ingin marah, dan rasanya ingin melemparnya apa saja untuk membalaskan rasa sakit ini.

Aku kecewa, tidak menyangka hati ini akan di lukai olehnya. Begitu perih mata ini memandang kemesraan mereka berdua.

Air mata lolos begitu saja dan mulai membasahi pipi. Tak ku hiraukan supir taksi yang menatapku penuh tanda tanya dibalik kaca spionnya saat mengantarku pergi.

"Maaf, tujuannya kemana ya Bu?" Tanya supir taksi.

"Ke Hotel saja Pak, yang tidak jauh dari bandara kalau ada."

"Baik Bu."

Mobil taksi yang aku tumpangi pun perlahan sedikit melaju ke tujuan yang aku harapkan. Aku tidak peduli lagi Pak supir memandangku dengan tatapan iba. Air mata ini tidak ku tahan lagi begitu ingin tumpah.

Wanita mana yang mau berbagi suami dan tahan melihat kemesraan mereka. Hati ini sakit mengetahui orang yang begitu di cintai tega mengkhianatiku. Kemana kata cinta dan sayang yang selalu ia ucapkan setiap kali menyapaku dari jarak jauh.

Mata ini kembali mengembun mana kala teringat janji manis yang selalu terucap tiap kali kami melepas rindu melalui telepon genggam. Mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah kami lewati bersama ketika raga tidak berjarak.

Harusnya waktu itu aku percaya dengan nasehat sahabatku. Mungkin saja dia sudah curiga, namun tidak tega mematahkan hatiku. Hanya aku yang terlalu percaya akan buaian Mas Heru. Hanya aku yang terlalu bodoh begitu yakin Mas Heru tidak akan bermain di luar sana. Hanya aku yang di butakan oleh yang namanya cinta.

Aku jadi teringat obrolan kala itu dengan sahabatku yang bernama Rara.

Flash Back On

"Kamu sering komunikasi dengan suamimu kan?" Tanya Rara.

"Iya lah... "

"Hebat kalian, mampu bertahan dengan jarak jauh seperti ini. Kalau aku, pasti ku susul atau ikut pindah juga kesana."

"Mau bagaimana lagi, sudah cinta."

"Apa kamu tidak pernah curiga dia disana gimana?"

"Kenapa harus curiga? Toh, kami tidak pernah putus komunikasi, dari cara dan sikapnya dia tidak berubah dan menurut ku tetap setia."

"Gak menjamin! Apalagi kamu dan dia hanya menyapa dari jauh. Kamu kan gak mantau kegiatannya langsung. Coba sesekali datanglah kesana, lihat bagaimana kehidupannya ketika jauh darimu. Bersyukur jika ia memang lelaki yang setia. Aku hanya tidak ingin kamu sakit hati di kemudian hari dengan penuh penyesalan."

Flash Back Off

Sahabatku mulai mengacaukan pikiran dan hatiku yang ku pertahankan selama ini hari itu. Memang benar apa katanya dan itu pasti pernah, malah sering terlintas di hati dan pikiranku.

LDR, Long Distance Relationship. Hubungan jarak jauh, di mana dengan kemajuan teknologi dan informasi sekarang membuat kita mudah terhubung satu sama lain.

Ini berat, hatiku tak sanggup rasanya. Tapi mau bagaimana lagi, aku sendiri memiliki pekerjaan yang tidak mungkin aku tinggalkan. Dari awal menikah kami tidak mempermasalahkan mengenai pekerjaan masing-masing. LDR menjadi pilihan saat salah satu di antara kami tidak ada yang ingin melepaskan pekerjaan. Kami pun berkomitmen untuk saling menjaga hati dan tetap berkomunikasi sesering mungkin. Suamiku akan pulang 3 bulan sekali, kadang bila pekerjaannya tidak banyak, ia akan pulang 1 atau dua bulan sekali selama seminggu.

Kami belum di karunia anak meski usia pernikahan sudah jalan 2 tahun. Mungkin karena intensitas pertemuan yang kurang atau memang belum waktunya di beri kepercayaan oleh Yang Maha Kuasa. Aku pun tetap bersabar dan terus berdoa di setiap sujudku.

Namun hari ini aku tahu maksud Tuhan belum memberiku anak. Mataku di buka dengan di beri cobaan yang menguras air mata dan perasaan dengan mendapati suami ku yang berselingkuh di rumah dinasnya.

Andaikan kami sudah memiliki anak, tentu akan susah bagiku untuk mengambil keputusan, mengingat dampak dari sebuah perceraian bisa berakibat buruk bagi psikologis seorang anak.

Segala sesuatu ada hikmahnya. Setiap hari pasti ada kebaikan yang di dapat meski itu hari yang buruk untuk di lalui.

Entah bagaimana tanggapan keluarga kami dengan adanya masalah rumah tangga ini. Tapi jika di minta untuk tetap bersama, maka pilihanku adalah tidak. Sesuatu yang telah pecah mau di kembalikan bagaimana pun seperti semula, hasilnya tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.

Mau Mas Heru memilih dia atau aku, aku tetap memilih untuk meninggalkan Mas Heru. Bagiku sebuah kepercayaan yang sudah hancur tidak akan bisa di perbaiki lagi. Mungkin aku bisa memaafkan, tapi aku tidak akan pernah bisa menerimanya kembali.

Hari ini aku mengalami sesuatu hal yang buruk, namun aku percaya akan ada hal baik yang menantiku kelak jika aku lebih bersabar lagi.

Bersambung...

Note : jangan lupa untuk selalu like dan komen setiap bab ya, karena jejak kalian sangat berharga bagi Author. Terima kasih 🙏😊

Bab 3 Tidak Tahu Diri

Bab 3

Tidak Tahu Diri

Sebuah Hotel menjadi pilihan tempatku berlabuh malam ini. Menumpahkan segala kesedihan hatiku seorang diri. Menangis, meraung tersedu-sedu tak juga meredakan rasa sakit yang kian mendera hati.

Tega sekali suamiku sampai menikah lagi tanpa ijin dariku. Mengkhianati cinta kami yang telah di bina selama 3 tahun ini.

Terlintas kenangan saat kami belum menikah dulu. Aku hanyalah seorang wanita biasa yang bekerja di sebuah perusahan swasta. Bertemu dengan Mas Heru secara kebetulan di sebuah rumah makan pada jam istirahat yang sama. Karena sering bertemu tanpa sengaja, kami mulai jatuh cinta dalam setiap menatap mata.

Berawal dari keberaniannya untuk menyapaku dan meminta ijin untuk duduk semeja denganku. Perlahan kami mulai dekat dan mengenal satu sama lain. Hingga suatu hari lamaran datang padaku. Betapa bahagianya aku akan menjadi seorang isteri dari kekasih hati yang selalu bersamaku selama hampir 6 bulan lamanya.

Mas Heru bekerja sebagai PNS di sebuah instansi pemerintah. Dan karena itu orang tuaku langsung menerima lamarannya pada saat itu. Terkesan matre itu benar, tapi bagiku bukan pekerjaan Mas Heru yang membuat aku jatuh cinta padanya. Tapi dari cara dia yang memperlakukan aku dengan penuh perhatian dan kasih sayang, membuat aku terbuai akan cinta yang dia miliki.

Terdengar kumandang adzan menggema membelah langit membuyarkan lamunanku. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 18.55 menandakan sudah masuk sholat Isya'. Lekas ku bangkit untuk membersihkan diri dan bersimpuh pada sang Ilahi.

Kembali air mata ini menganak bagai sungai ketika doa-doa mulai aku lantunkan. Berserah diri terhadap keputusan terbaik Allah atas kehidupanku setelah ini.

Dering gawaiku sedari tadi tak berhenti berbunyi, puluhan panggilan tak terjawab dan deretan pesan dari Mas Heru memenuhi layar gawaiku, ketika aku meraih benda pipih itu selesai menunaikan kewajibanku.

[Indah kamu dimana?]

Untuk apa dia mencoba menghubungi ku kembali?

Kubaca satu persatu isi pesan Mas Heru tanpa berniat untuk membalasnya.

[Indah maafkan Mas yang tidak berani jujur padamu. Mas salah, mas begitu karena tidak ingin kehilangan kamu Indah]

Sekali pun kamu jujur kamu tetap akan kehilangan aku Mas. Aku tak ingin dimadu, batin ku kecewa.

[Indah kamu dimana sayang, Mas janji setelah membujuk Wina, Mas akan pulang selama 2 minggu ke rumah kita]

Bukankah kata-kataku sudah jelas, bahwa aku menunggu surat perceraian kami. Untuk apa dia kembali ke rumah setelah menorehkan sejuta luka di hati.

Gawaiku langsung kumatikan. Tak sanggup lagi membaca pesannya yang terus mengucap kata maaf tapi tidak berani bersikap tegas.

Aku berencana langsung pulang ke Kalimantan esok pagi. Biar lah malam ini kamar sunyi dan sepi ini menemani hati yang tersakiti.

Tidak terasa waktu terus bergulir. Kepalaku terasa berat ketika kumandang adzan subuh mulai terdengar. Tidak sedetik pun mata ini dapat terpejam memikirkan pengkhianatan Mas Heru kepadaku.

Kembali air mata ini menganak sungai dalam doa subuhku. Hanya kepada Allah aku menumpahkan segala sesak di dada ini. Tak sanggup rasanya mengatakan apa yang menimpa rumah tanggaku kepada Ayah dan Ibu di kampung. Biarlah luka ini ku coba obati sendiri dengan bersandar kepada Yang Maha Kuasa.

Kepala ku yang semakin berat dan pusing tak menghentikan langkahku. Aku tetap memaksakan diri untuk segera pulang pagi itu juga.

Koper ku tarik kembali meninggalkan Hotel menuju bandara. Sampai di bandara kepalaku semakin terasa berat dan terus berputar hingga akhirnya pandangan mulai gelap dan aku ambruk tidak sadarkan diri.

***

Ruang berwarna cat putih menyapaku saat mata ini terbuka. "Dimana aku?" Gumam ku.

"Indah, kamu sudah sadar?"

Mas Heru! Dan dimana ini? Batinku bertanya-tanya.

Entah bagaimana dia bisa ada disini, aku masih bingung. Terakhir yang aku ingat aku sedang berada di bandara dan bersiap untuk cek in.

"Ough...!"

Aku memegang kepalaku yang masih terasa berat dan pusing.

"Jangan banyak bergerak dulu Indah, tensi darahmu tadi rendah. Asam lambungmu naik, sepertinya kamu tidak makan kemarin."

Bagaimana aku bisa menelan makanan Mas, jika hatiku hancur tak berkeping oleh perbuatan mu.

"Jangan sentuh aku Mas!"

Perintahku ketika Mas Heru ingin menggenggam tanganku dan aku menepisnya.

"Kamu masih isteriku Indah, dan kamu sedang sakit. Wajar jika aku khawatir."

Oh Tuhan, aku baru saja sadar dan ia mengajak ku untuk berdebat. Belum jelaskah ucapanku kemarin itu?!

Aku berusaha mengumpulkan hati dan tenaga untuk berlawan kata-kata dengan Mas Heru.

"Kenapa kamu tidak khawatir saat berniat menikah lagi Mas? Bukankah sudah pasti hal seperti ini bakal terjadi?" Sarkasku.

"Maafkan aku Indah, aku pikir kamu wanita yang kuat. Bahkan aku tinggal beberapa bulan pun kamu masih sanggup menahan."

Enteng sekali jawabnya. Apa dia pikir aku wanita super?! Aku juga punya keterbatasan meski aku berusaha untuk tetap menjadi wanita tangguh di mata orang-orang.

"Menahan apa Mas? Kamu jangan berasumsi sendiri sedangkan kamu tidak tahu apa yang aku rasakan." Kataku yang menatap Mas Heru dengan penuh kekecewaan.

"Aku tahu aku salah Indah, tapi mengerti lah, ini semua sudah terjadi. Apa salahnya kita mencoba untuk tinggal bersama-sama? Aku janji, aku akan bersikap adil padamu dan juga Wina."

Wajah Mas Heru tampak yakin dan memelas.

"Mudah bagimu berbicara Mas, karena kesenangan dan kebahagian hanya kamu yang merasakan. Tapi aku, aku terluka Mas! Sakit hati ini dan menderita atas kebahagiaanmu! Dari sini kamu sudah tidak adil kepadaku, apalagi seterusnya."

Ku keluarkan isi hatiku yang kecewa atas prilaku Mas Heru.

Mas Heru tampak menghela napas.

"Maafkan aku Indah, aku punya alasan kenapa menikah lagi."

Terus saja Mas Heru mengucapkan kata maaf dari mulutnya. Tetapi aku merasa muak mendengarkannya. Mungkin karena hati ini terlalu sakit hingga mulai mengikis rasa cinta yang dulu ada untuk Mas Heru.

"Apapun alasanmu tidak dibenarkan jika menikah lagi tanpa ijin isterimu terlebih dahulu Mas. Sudahlah, tinggalkan aku. Bukankah aku sudah meminta surat cerai darimu? Persiapkanlah dari sekarang!" Ucap ku dengan nada sedikit keras karena ingin menyudahi pembicaraan ini.

Aku ingin ia segera meninggalkan ruangan ini, karena hatiku sakit setiap kali melihat wajahnya.

"Tidak mudah menjalani kehidupan sebagai janda Indah, sebaiknya kamu pikirkan lagi."

"Tidak mudah jika hidup bersandar sama orang lain Mas. Tidak mudah jika tidak menjaga prilaku dan sikap di kehidupan bermasyarakat. Tapi tidak untukku Mas. Berjauhan dari mu aku tetap menjaga sikap dan prilaku ku. Aku juga punya pekerjaan. Lalu apa bedanya saat kita LDR dan saat kita berpisah kelak. Hanya status yang membedakan bukan?"

"Keras kepala!" Sarkasnya.

"Iya aku keras kepala, dan itu karena kamu Mas! Selama ini aku nurut saja apa katamu. Tapi sekarang tidak lagi, karena aku sudah kecewa padamu!"

Aku berusaha menahan air mata agar tidak tumpah karena telah berembun di pelupuk mata.

Semakin banyak bicara semakin kata-kata kasar yang ku lontarkan padanya.

Hati ini terlalu sakit untuk memaafkan perbuatan Mas Heru. Aku paling tidak terima pengkhianatan dan juga KDRT bila itu sampai terjadi.

Bersambung...

Note : jangan lupa untuk selalu like dan komen setiap bab ya, karena jejak kalian sangat berharga bagi Author. Terima kasih 🙏😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!