Huh huh huh huh
Deru napas terdengar begitu sesak.
Tap Tap Tap tap
Langkah kaki yang berlari terdengar sangat cepat.
Krak krak krak krak
Suara daun kering dan ranting pohon yang diinjak terdengar. Sesekali kepala gadis yang dikejar itu menoleh ke belakang memperhatikan orang-orang yang mengejarnya.
"Hana!" menggelegar suara itu terdengar.
Mata gadis itu membulat dan segera mempercepat langkah kakinya berlari, memindai sisi kiri dan kanan mencoba mencari celah untuk bersembunyi.
"Dimana gadis itu?" suara seseorang yang tak asing kini terdengar, namun siapa Hana tidak bisa mengingatnya.
Hana bahkan menahan napasnya, dadanya terasa sesak karena dia baru saja berlari begitu cepat menghindari orang-orang berpakaian serba hitam dan bertopeng yang mengejarnya sedari sore.
Langit gelap membuat dirinya yang bersembunyi dibelakang tumpukan barang rongsokan tidak terlihat.
"Cari sampai dapat. Hanya dia yang bisa kita gunakan untuk memancing Akira agar keluar dari markas persembunyiannya. Intai cafe-nya agar dia bisa kita tangkap," ucapan itu membuat punggung Hana menegang dan detak jantungnya terpacu takut.
"Ayah tolong anakmu ini Yah, aku benar-benar takut," batin gadis itu sambil mengecilkan badannya dibelakang tumpukan barang-barang itu. Seekor kecoak melintas disamping kakinya membuatnya terpekik pelan. Pelan namun mampu mengundang salah satu pria berbaju hitam berjalan kearahnya.
Dengan badan gemetar gadis itu bangkit berdiri dan segera berlari menghindari orang-orang yang menunggunya.
Berlari sekuat tenaga namun akhirnya dirinya tak lagi sanggup berlari saat butir timah panas menusuk kulit kakinya hingga tembus kedalam daging. Darah segar mengalir perlahan dari luka tersebut.
"Tangkap dan obati lukanya," pria dengan pistol di tangan berujar sambil berlalu meninggalkan menuju mobil.
Rasa sakit di kakinya diikuti rasa lelah karena terus berlari membuat dirinya tak sadarkan diri.
-
Kepala Hana terasa sangat sakit, setelah berusaha dengan cukup keras akhirnya dirinya berhasil bangkit lalu duduk diatas tempat tidur yang sedang ditempati. Menatap sekeliling Hana merasa asing dengan tempat ini, bahkan dunia ini pun terasa asing.
Beberapa lentera terpasang disetiap sudut ruang menerangi ruangan ini. Pintu terbuka.
"Putri Mahkota telah sadar, aku akan memanggil tabib sebentar," ucap seorang gadis yang baru saja masuk.
"Putri?" Hana membatin di hati.
Tak lama gadis tadi masuk lagi bersama seorang wanita berumur.
"Kau tidak apa-apa lagi, hanya tinggal menunggu luka-lukamu kering maka kau sudah bisa beraktifitas seperti biasa," ucap wanita itu ketika membuka selimut yang digunakan oleh Hana.
Kakinya terluka parah sepertinya karena tembakan itu.
"Benarkah tidak apa-apa? Bukannya duri itu sangat beracun?" gadis tadi bertanya pada tabib.
Duri?
"Iya Dayang Jonka racun itu telah hilang, obat-obatan yang aku berikan mampu mengeluarkan racun itu," sahut sang tabib wanita ini.
Racun?
Wajah Hana menampilkan raut bingung, bukankah dirinya tertembak pistol tadi, kenapa sekarang justru duri dan racun.
"Tunggu, kalian musuh ayahku yang berusaha menembakku tadi bukan?" tanyanya akhirnya menghentikan percakapan mereka.
Alis gadis yang dipanggil Dayang Jonka terangkat sebelah.
"Musuh? Apa maksud Putri Mahkota? Kami hanya Dayang dan Tabib kerajaan, tidak mungkin kami mengkhianati kerajaan hingga menjadi musuh,"
Gadis itu terdiam, menyandarkan kepala pada dinding dibelakang tempat tidur berusaha memahami keadaan.
Apa dia bereinkarnasi?
Dia mengenal dua orang ini, tapi kenapa sikap mereka terhadap Hana tidak seperti biasanya.
"Putri Mahkota, Yang Mulia Kaisar telah memerintahkan aku untuk mengobatimu hingga sembuh total. Mari berbaring lagi Putri, kuharap kau mau menurut dengan ucapan tabib tua ini,"
Tubuhnya merespon baik saat tangannya menyentuh pundak menuntun agar sang gadis kembali berbaring.
"Istirahatlah Tuan Putri agar obat-obat itu bekerja sempurna,"
-
Matahari mulai muncul di ufuk timur, Hana bangkit dari tempat tidur menuju satu-satunya pintu yang ada di ruangan ini. Dia ingin mandi karena badan ini mulai terasa lengket, entah sudah berapa lama tubuhnya yang sekarang tidak terkena air.
"Putri Mahkota mau kemana?"
Suara yang sudah dia hapal itu terdengar lagi. Menoleh ke kanan dan gadis itu melangkah cepat menghampiri Hana yang hampir terjatuh karena kaki gemetar menahan sakit.
"Aku ingin mandi Jonka," jawabnya.
"Baiklah, sebaiknya Putri kembali ke kamar, hamba akan menyiapkan permintaan Putri," sahutnya sambil memapah tuan putrinya kembali masuk dan duduk di tempat tidur.
Dia keluar dari kamar meninggalkan sang Putri seorang diri yang hanya menatap menerawang pada keadaan.
Bagaimana keadaannya sebelumnya hingga bisa terlempar ke dunia lain seperti ini. Apa dia sudah mati?, batin Hana memikirkan yang terjadi pada kehidupan sebelumnya.
"Putri, airnya sudah siap, ayo," perkataan Jonka membuyarkan lamunannya sejenak.
Dia mengangguk dan menerima tangan dayangnya yang terulur hendak membantu berjalan menuju kamar mandi.
Selesai mandi dan membantu Hana berpakaian Jonka menyerahkan sebuah gulungan kertas.
"Apa ini?" tanya gadis itu menerima gulungan kertas itu, alisnya sedikit mengerut.
"Itu undangan Tuan Putri, undangan pesta perayaan ulang tahun Pangeran Akihiro," sahut Jonka.
Akihiro? Membatin sejenak. Akihiro menjadi Pangeran disini dan dirinya menjadi Putri? Dia benar-benar tak menyangka bisa seperti ini?
Apa ini kehidupan masa lalunya?
Setelah mengetahui isi undangannya dia mengembalikan kertas itu pada Jonka.
"Hamba juga mendapat perintah untuk mengatakan pesan pada Putri," Jonka berkata sambil menyisir rambut Hana.
"Apa?"
"Yang Mulia Kaisar ingin bertemu denganmu jika memang keadaanmu sudah jauh lebih baik,"
"Baik aku akan menemuinya saat sarapan nanti,"
Jonka mengangguk dan izin undur diri saat pekerjaannya membantu sang majikan telah selesai saat ini.
Hana tercenung sejenak.
Jonka adalah teman saat kuliah, sedang tabib yang mengobatinya semalam adalah Suzu yang merupakan dosen pembimbingnya saat skripsi. Lalu Akihiro adalah sepupunya. Apa orang-orang yang ada disekitarnya saat ini adalah orang-orang yang sama dengan kehidupan masa modernnya juga.
Matahari sudah mulai meninggi. Dia berjalan menuju pintu, kakinya terasa sedikit lebih baik setelah terkena air dingin saat mandi tadi. Membuka pintu, Jonka telah berdiri disisi kanan pintu.
"Kau mengejutkanku," katanya pada gadis itu.
"Maaf Tuan Putri, aku baru saja ingin mengetuk pintu dan mengajak Tuan Putri pergi ke ruang makan Paviliun Kaisar,"
"Baiklah,"
Hana melangkah keluar dari tempat tinggalnya kini dan dengan santainya kearah kiri saat sudah sampai diluar.
"Tuan Putri mau ke kandang kuda dulu?" tanya Jonka yang berdiri dibelakang.
"Ah, iya aku ingin melihat keadaan kuda milikku,"
"Tapi Putri tidak memiliki kuda sendiri, karena Putri tidak bisa berkuda,"
Bodoh, makinya didalam hati pada dirinya sendiri.
"Maksudku melihat keadaan kuda-kuda itu, ini milik kerajaan bukan?" dijawab dengan nada ragu.
"Baiklah Tuan Putri, tapi sebentar lagi waktunya sarapan lebih baik kita melihat kuda setelah makan saja," Jonka tampak tidak memedulikan perkataan sang Putri.
Setelah mengangguk lalu mengikuti langkahnya yang ternyata sangat berlawanan arah dengan langkah awal tadi.
"Yang Mulia Putri Mahkota telah tiba," seorang Kasim berseru saat melihat kedatangan Putri Mahkota kekaisaran itu.
Membuka tirai kain itu dirinya melangkah masuk seorang diri, sedang Jonka bertahan diluar, dirinya akan pergi sarapan di ruangan lain.
"Bagaimana keadaan kakimu Putri Hana?" tanya Akihiro saat dia duduk di kursi sebelahnya.
"Sudah sedikit lebih baik," jawabnya.
Yah dan benar, orang-orang yang ada disini adalah orang yang sangat dikenalnya.
Yang Mulia Kaisar Akira adalah ayahnya.
Pangeran Akio adalah pamannya yang merupakan adik ayah.
Putri Harumi adalah adik kandungnya.
Dan Pangeran Akihiro adalah sepupunya.
Namun ada beberapa orang yang sangat tidak dikenalnya. Entah apa hubungan mereka dengannya.
...TBC...
Selesai sarapan dan yang lain mulai bubar meninggalkan meja makan, tersisa Hana dan Yang Mulia Kaisar Akira serta Pangeran Akihiro didalam ruangan ini.
"Kudengar kakimu telah membaik, Putri Mahkota," Kaisar berujar membuka percakapan.
"Ya Yang Mulia, kaki hamba sudah baik-baik saja," sahut Hana.
"Kau tidak akan kabur lagi menghadapi perjodohan ini bukan," pernyataan itu membuat sang gadis mengerjap. Perjodohan apa? "Kau diam berarti sudah memikirkan ini dengan baik. Tidakkah kau sadar bahwa kau terluka terkena duri beracun itu adalah teguran karena kau menentang keinginan orang tuamu," sambung Kaisar. Matanya menyipit memperhatikan sang anak yang nampak diam.
"Maaf Yang Mulia, perjodohan apa yang Anda maksud?" tanya Hana. Gadis itu sama sekali tidak mengerti maksud sang Kaisar.
"Kau melupakan acara perjodohan ini?"
Sebelah alisnya terangkat. "Aku bahkan tidak mengerti,"
"Kau hilang ingatan. Aku akan meminta Tabib Suzu untuk memeriksamu," ucap Yang Mulia. Hana terpana mendengar ucapannya.
"Aku permisi dulu Yang Mulia," kata Pangeran Akihiro.
Kaisar mengangguk. Hanya tertinggal ayah dan anak yang jiwanya telah berganti itu berdua di ruang makan ini.
"Hana kembali ke paviliunmu, Ayah akan kesana nanti,"
"Baik Yang Mulia,"
-
Melihat tuannya telah tiba Jonka bergegas mendekati lalu memberi hormat. Hana hanya mengangguk setelahnya.
"Aku ingin memakan biskuit manis, apa ada?" tanya sang gadis padanya yang beriringan langkah.
"Ada Putri Mahkota, sebentar," Jonka berjalan meninggalkannya menuju dapur, sementara dirinya meneruskan langkah menuju kamar.
Jonka datang membawa nampan berisi satu keranjang biskuit, satu teko teh dan sebuah cangkir.
Membuka kain penutup keranjang itu Hana hanya melihat tumpukan biskuit biasa.
"Tidak ada chocochip ya?" ucap Hana tanpa sadar sambil memakan biskuit itu.
"Apa? Kip apa Putri?" Jonka bertanya dengan raut wajah bingung.
"Ah, bukan apa-apa Jonka, oh iya bisa kamu siapkan gula halus, susu bubuk, dan coklat bubuk di dapur, aku ingin memasak," pintanya.
"Tuan Putri ingin apa, biar aku yang membuatkannya,"
Gadis berambut hitam itu hanya menggeleng agar dayangnya segera mengerjakan yang dia pinta.
Jonka keluar dari ruangan dan pergi entah kemana untuk mencari keperluan sang Putri.
Satu jam menunggu dia kembali masuk kedalam kamar setelah mengetuk pintu.
"Tuan Putri semua sudah siap di dapur,"
Hana mengangguk dan bangkit membiarkan Jonka merapikan meja kecil tempatnya makan biskuit tadi.
Sampai di dapur sudah ada beberapa mangkok berisi bubuk yang diinginkan. Dua bubuk berwarna putih satu berwarna coklat. Hana mencicip yang berwarna putih agar bisa membedakannya.
"Yang sebelah kanan susu Putri," ucap Jonka sambil menyimpan sisa biskuit yang tidak termakan dibelakangnya.
"Iya," sahutnya yang telah mencicip mangkok sebelah kiri dan yang terasa adalah gula.
Matanya bergerak mencari barang yang diperlukan. Dia mengambil mangkok dan sendok lalu meminta Jonka untuk mengambil air hangat.
"Ini Putri,"
Memasukkan susu bubuk dan gula halus Hana mengaduk meratakannya perlahan, lalu menambahkan dengan coklat bubuk. Setelah semua rata baru dia memegang gelas air itu dan merasakan suhunya.
"Bisa tambahkan sedikit lagi air hangatnya? Ini masih dingin," ucapnya.
Jonka mengangguk dan mengambil air panas lagi dan mengisinya sedikit kedalam gelas.
"Cukup," ucapnya.
Menuang air perlahan menggunakan sendok dan mengaduknya hingga tercampur sempurna, cara membuat chocochip telah Hana hapal diluar kepala karena setiap hari harus membuatnya sebagai pelengkap menu makanan di cafe.
"Boleh minta selembar kain bersih dan selembar kertas minyak?" tanya Hana pada Jonka.
"Kenapa Putri meminta padaku, semua barang di dapur ini adalah milik Putri," ucapnya sambil mengambilkan apa yang diingankan oleh sang Tuan Putri.
Gadis itu hanya tersenyum. Mengambil sebuah baki dan menghamparkan kain yang diberikan Jonka, lalu melipat kertas minyak menjadi seperti kertas segitiga. Sebenarnya itu tidak terlalu cocok, tapi untuk saat ini dirinya belum melihat kantong plastik kemana pun melangkah sehingga dia takut Jonka tidak mengerti dengan yang ia pinta.
Kertas segitiga dari kertas minyak telah siap, memasukkan adonan kedalam kertas segitiga darurat yang dibuat barusan. Benar saja air itu menyerap sedikit demi sedikit, tapi dia berusaha kerja secepat mungkin agar adonan chocochip tidak kering didalam. Tangannya sedikit belepotan dengan coklat.
Beres sudah choco chip yang dibuat tinggal menunggu kering dan mengeras maka dia bisa meminta Jonka untuk membuatkan chocochip cookie, itu adalah kue kering favoritnya.
"Taruh ini ditempat aman, jangan sampai dihampiri semut, besok bikinkan aku biskuit adonannya tambahkan itu agar lebih enak," ucapnya pada Jonka.
"Baik Putri," sahutnya.
-
Sore ini didalam kamar Hana menatap taman dari jendela. Pikirannya melayang pada kehidupan yang sebelumnya. Apa yang terjadi malam itu? Apa tubuhnya mati tak mampu bertahan sehingga jiwanya pergi ke masa ini. Dia benar-benar ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya.
"Yang Mulia Permaisuri Azusa dan Yang Mulia Tuan Putri Azuzi telah tiba," tiba-tiba terdengar suara kasim memberi tahu jika ada yang datang. Hana keluar dan menyambut mereka.
"Ada apa Permaisuri dan Putri Azuzi datang kemari?" Hana bertanya setelah mereka duduk di kursi kayu jati ruang tamu ini.
"Tidak Putri Hana kami hanya ingin menjengukmu, kami melihat sejak sarapan kemarin kakimu telah baik-baik saja," kata Permaisuri Azusa menyahut pertanyaannya.
Jonka datang membawa nampan berisi teh dan biskuit yang adonannya telah tercampur dengan chocochip, lalu meletakkannya di meja tamu.
"Silakan dinikmati," kata Hana. "Kakiku telah baik-baik saja Permaisuri, obat yang diberikan oleh tabib Suzu begitu manjur," imbuh Hana menanggapi perkataan sebelumnya.
"Ah, aku sempat berbicara dengan Yang Mulia katanya kau hilang ingatan, apa itu benar?"
"Aku tidak tau, hanya saja sepertinya ada beberapa kejadian yang tidak kuingat walau pernah kualami," sahutnya.
Sepertinya gadis yang lebih muda darinya ini tertarik melihat biskuit yang dihidangkan oleh Jonka mi. Hana mencomot sekeping sebelum mencelupnya kedalam cangkir teh.
"Silakan dimakan Permaisuri, Putri Azuzi, " ucapnya.
Gadis itu mengangguk dan mengambil sekeping biskuit lainnya dan mengikuti cara sang Putri Mahkota yang mencelup biskuitnya kedalam teh.
Siku kiri Permaisuri bergoyang menyenggol siku kanan sang anak.
"Ah, tidak apa-apa Permaisuri, aku juga menyukai mencelup biskuit seperti itu," ucapnya saat dia melihat sikap Permaisuri Azusa barusan.
"Bukan begitu Putri Mahkota, hanya saja saya kurang menyukai tingkah seperti itu," dirinya menyahut.
Hana tersenyum. Ternyata dugaannya benar, disini lebih ketat aturan tata kramanya. Dulu jika dia berkunjung ke kantor tempat Akihiro barulah ada aturan itu, namun saat di dunia ini hanya menghadapi tamu yang datang pun tingkah ini dianggap tidak sopan.
"Kalau begitu aku minta maaf Permaisuri telah membuat Putri Azuzi mengikuti tingkah lakuku yang kurang sopan," kata Hana.
"Mungkin ini faktor hilang ingatan Putri Hana, Putriku yang tidak sopan karena melakukan ini di tempat tinggal orang lain" ungkap Permaisuri Azusa. "Ah iya, aku datang kesini untuk mengantar gaun ini, kenakanlah nanti malam, itu gaun yang dipesan Kaisar terkhusus untuk acara malam ini," imbuhnya.
Kening Hana mengerut, "acara?" tanya gadis itu dengan alis terangkat sebelah.
"Sepertinya Putri Mahkota benar-benar kehilangan ingatannya Ibunda," ucap Putri Azuzi.
"Putri Mahkota, malam ini adalah acara pertunanganmu dengan Pangeran Akihiro," ucap sang Permaisuri.
Mata lavender itu mengerjap perlahan memikirkan respon yang baik setelah mendengar ucapan sang ibu sambung.
"Sebaiknya kau bicarakan dulu dengan Kaisar sebelum acara itu benar-benar digelar, seharusnya kau sadar Putri Mahkota taman paviliunmu dihias seindah mungkin sejak kemarin tentu bukan tanpa sebab," imbuhnya.
Tetap diam responsnya. Mengapa Yang Mulia tetap melaksanakan acara ini, jika memang tahu seharusnya dia memberi tahu sejak pertemuan kemarin.
"Aku akan menemui Yang Mulia Kaisar setelah ini," akhirnya suara itu kembali.
"Baiklah jika memang begitu,"
Kedua tamu akhirnya bangkit. Setelah keduanya pergi dia langsung masuk dan mencari Jonka.
"Ada apa Tuan Putri mencariku?" dia bertanya saat telah berdiri didepan Hana.
"Kenapa kau tidak memberi tahuku perihal ini Jonka. Bukankah sudah jelas aku tidak mengetahui ini?" bertanya dengan suara nyaris berteriak menahan murka.
"Maaf Tuan Putri, Yang Mulia Kaisar melarang siapa pun memberi tahu Tuan Putri masalah ini, bahkan setahu hamba Yang Mulia Permaisuri dan Putri Azuzi pun dilarang hingga acara selesai dilaksanakan," ucapnya sambil berlutut.
Hana hanya mengusap wajah kasar dan melangkah pergi meninggalkan kediamannya.
...TBC...
"Tuan Putri hendak kemana?" tanya salah satu penjaga gerbang.
"Ada yang ingin aku cari untuk keperluan acara nanti malam," jawab Hana.
"Kami tidak bisa mengizinkan, Putri. Yang Mulai Kaisar memberi mandat untuk tidak mengizinkan Putri keluar apapun alasannya tanpa sepengetahuan Yang Mulia Kaisar," ucap salah satu mereka tegas.
"Aku telah mendapat izin itu," sahutnya lagi.
"Tidak bisa Tuan Putri," ucap salah satu dari mereka.
"Aku Tuan Putri kalian, kenapa kalian bisa bersikap seperti ini kepadaku," tidak mau kalah Hana sudah cukup jengkel saat ini.
"Maaf Tuan Putri, tapi kami benar-benar tidak bisa mengizinkan Putri pergi dari istana apapun alasannya karena kami yang akan mendapat hukumannya nanti,"
"Ada apa?" tiba-tiba ada suara seseorang dibelakangnya. Hana menolehkan kepala dan melihat Pangeran Akihiro berdiri melihat para penjaga itu.
"Hormat kami Pangeran Akihiro, maaf kami tidak menyadari kehadiran Pangeran," pria itu hanya mengibaskan tangannya menandakan dia tidak mempermasalakannya.
"Maaf Pangeran, Putri Mahkota ingin keluar dari istana saat ini, tapi Yang Mulia Kaisar telah memberi mandat kepada kami untuk tidak mengizinkan Putri Mahkota keluar," kata salah satu dari mereka pada Pangeran Akihiro.
"Ada yang ingin kau cari Putri Mahkota? Biar para pengawal saja yang mencari, atau bila perlu aku yang akan pergi mencari," Pangeran Akihiro memutar badannya menghadap gadis itu sebelum berbicara.
"Ah, hanya keperluan seorang gadis Pangeran, kurasa Pangeran tidak mengetahuinya," katanya mencoba memancing sikap pria itu padanya.
"Tidak baik bagi seorang gadis berjalan sendiri disaat hari sudah mau malam, kuharap kau tidak pergi karena Yang Mulia Kaisar tidak mungkin melarangmu jika bukan karena demi kebaikanmu. Sebaiknya kau kembali ke paviliunmu,"
"Aku mencari sesuatu untuk perlengkapan acara pertunangan ini Pangeran Akihiro,"
Mata pemuda itu terbelalak mendengar ucapannya.
"Apa yang hendak kau cari Tuan Putri? Semua kebutuhan telah tersedia dan jika memang ada yang kurang sebaiknya pinta pengawal atau dayang saja yang mencari,"
"Baiklah aku tidak jadi pergi," Hana berujar lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Pangeran Akihiro dan para penjaga gerbang istana.
Baiklah sepertinya dia tidak bisa menghindari pertunangan ini, tapi akan dicarinya cara agar bisa membatalkannya nanti Hana yakin pemilik asli tubuh ini juga tidak menginginkan sesuatu seperti ini terjadi.
"Tuan Putri baru datang darimana?" Jonka berlari tergopoh menghampirinya. Gadis itu yakin dia mencarinya hendak memintanya untuk segera bersiap.
"Aku hanya jalan-jalan di taman istana. Sore ini cukup pengap udaranya," ucapnya.
Tanpa menjawab ucapan sang Putri lagi dia menuntun majikannya masuk kedalam paviliun dan membawa langkah menuju ruang pakaian. Pakaian yang tadi diberikan Permaisuri tergantung rapi disisi dinding kosong ruang ini.
Setelah duduk sang dayang mulai memoles wajah Hana. Entah berapa waktu berlalu hingga akhirnya semua selesai, Hana menatap cermin dihadapannya. Semua nampak sempurna, sekilas dia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri.
"Jonka, apa Yang Mulia Putri Mahkota telah siap?" tanya seseorang didepan pintu kamar diiringi suara ketukan pintu.
"Sebentar lagi," jawabnya sambil membantu mengikat tali hanfu yang terakhir.
"Bergegaslah acara inti sudah hampir waktunya,"
"Iya," jawabnya lagi, singkat. "Ayo Putri,"
Mereka bangkit dan berjalan menuju taman paviliun milik Putri Hana. Beberapa dayang dan kasim telah berbaris rapi dari pintu paviliun menjadi pagar disisi karpet merah yang terhampar sepanjang jalan menuju gazebo taman. Kaisar mengambil tangannya yang sebelumnya digenggam Jonka.
"Ayo Putri Hana," ucap pria yang merupakan ayah dari pemilik asli tubuh ini.
Hana mengagguk dan ikut melangkah bersamanya menuju gazebo itu.
Satu hal yang membuatnya terpana. Kenapa acara ini tidak seperti pertunangan dalam pikirannya.
-
Benar dugaannya. Ini bukan acara pertunangan, melainkan pernikahan.
Rentetan acara ceremonial ini begitu kental akan tradisi. Setelah upacara pernikahan yang tidak sempat ia pikirkan sebelumnya usai dirinya pun kembali ke tempat tinggalnya dan masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
Hana harus mulai membuat beberapa benda yang sekiranya bisa membantunya, seperti sekarang dia memerlukan penunjuk waktu yang akurat seperti jam. Langit malam yang begitu pekat dia memperkirakan sekarang tidak kurang pukul sepuluh malam. Pantas badannya terasa sangat lelah ditambah dengan sedikit acara kecil seperti tadi.
Jonka masuk kedalam kamarnya. "Perlu aku bantu Tuan Putri?" dia bertanya.
"Ah ya, aku sangat lelah jika harus melepas semuanya sendiri," ujarnya menjawab.
Sang dayang mengangguk dan mulai membantu melepas pakaian ini satu per satu.
"Tuan Putri ingin mandi? Akan aku siapkan air hangat setelah ini," ucapannya terjeda sejenak menatap sang Putri yang hanya mengangguk.
Ketika yang tersisa dari pakaiannya hanyalah lapisan terakhir Jonka pun memasangkan mantel mandi padanya. Keluar dari kamar itu beberapa waktu sebelum akhirnya kembali lagi untuk mengabarkan air hangat untuk mandi telah siap.
Gadis yang baru saja menikah itu mengangguk dan berjalan menuju ruang mandi, lalu masuk kedalam bak mandi yang berada didalam ruangan itu.
Setelah melepaskan mantel mandi dan pakaian terakhir dia duduk didalamnya dengan bersandar pada pinggiran bak, Jonka mendekat dan mulai memijat bahunya agar lebih santai.
Tangan Jonka berhenti memijat sebentar sebelum akhirnya dia melanjutkan lagi pijatannya.
Tunggu sebentar. Pijatannya terasa berbeda, tapi biarlah mungkin memang begini cara dia memijat.
Sebuah bibir terasa menempel di tengkuk, Hana beringsut ke kiri hendak melihat kelakuan siapa itu.
"Pa-pangeran Akihiro, apa yang kau lakukan di kamar mandiku?" Hana tergagap karena terkejut. Matanya memutar mencari keberadaan Jonka. Dimana gadis itu?
"Kau kenapa Putri Mahkota Hinata? Kenapa kau takut melihat suamimu sendiri?"
Dia mengerjapkan mata mendengar jawaban yang diberikan pria dihadapannya ini. Pria itu bangkit dari bangkunya dan berjalan ikut masuk kedalam bak mandi yang sedang ditempatinya kini.
"Aku bukan takut Pangeran, aku hanya terkejut karena merasa aneh saja jika Jonka tiba-tiba mencium punggung leherku," katanya menatap lututnya yang berada didalam air.
"Itu karena kau belum pernah disentuh sama sekali Putri, kau gadis murni," ucapnya mendongakkan kepala ke langit-langit.
Gadis tersenyum. Ada satu hal yang dia tangkap dari ucapan. Tangannya berusaha menggapai mantel mandinya yang berada tak jauh dari bak mandi ini.
"Kau sudah selesai?" dia bertanya menatap istri yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu.
Hana mengangguk. "Pangeran?" panggilnya.
"Hm," dia hanya menggumam dengan mata yang masih menatap dengan tatapan yang sedikit mesum?
"Bisa aku minta satu hal?" tanya gadis itu.
"Apa itu?"
"Aku tidak ingin melakukannya malam ini,"
Mendengar ucapannya pria itu terdiam.
"Aku tahu ini berat untukmu Pangeran, tapi aku belum siap,"
"Baiklah Putri Mahkota, aku tidak akan memaksamu karena sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa tidak akan berakhir baik," ujarnya menjawab permintaan sang istri.
Hana mengangguk dan memakai mantel mandinya dengan segera. Diluar kamar mandi Jonka berdiri dengan pakaian yang terletak diatas nampan ditangannya.
"Pakaian apa itu?" tanya Hana, menatapnya.
"Ini, pakaian ini diberi oleh Permaisuri untuk malam pertama Putri dan Pangeran,"
Dia menghembuskan napas kesal mendengar jawaban Jonka.
Permaisuri satu ini benar-benar... Tunggu kau!, geramnya.
"Taruh saja di meja kamar aku ingin mengenakan pakaian normal, tubuhku lelah malam ini," katanya yang hanya diikuti anggukan kepala oleh Dayang kesayangan Putri Hana ini.
...TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!