Praaanggg!! Kaca sebuah toko yang ada di sisi jalan pecah akibat lemparan batu lalu suara kaca pecah kembali menyusul karena sekelompok anak muda kembali melemparkan batu ke kaca yang lainnya. Suara tawa terdengar begitu juga suara motor yang sangat berisik di jalan itu.
Sekelompok anak muda yang menyebut kelompok mereka sebagai Black Circle lagi-lagi membuat keributan malam itu dan kelompok itu dipimpin oleh seorang anak muda yang bernama Jansen Howard.
Jansen Howard adalah pemuda yang telah membuat banyak masalah di usianya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun. Geng motor itu dia pula yang membentuknya. Jansen mengumpulkan para pemuda berandalan untuk menjadi anggota kelompoknya lalu membuat banyak keributan.
Tidak perlu ditanya sudah berapa banyak, mereka bahkan tidak segan mengganggu orang-orang yang kebetulan lewat. Kelakuan mereka membuat resah banyak orang namun sampai sekarang tidak ada hukum yang bisa menjerat Jansen itu karena kekuasaan yang ayahnya miliki.
Ayah Jansen adalah Bob Howard, dia seorang politikus dan memiliki banyak bisnis serta sebuah universitas yang cukup terkenal di kota London. Di universitas itu pula Jansen menuntut ilmu dan sudah lima kali dia tidak lulus menjadi seorang sarjana karena kelakuan buruknya.
Jansen yang dikenal sebagai anak yang paling membawa masalah, memiliki catatan paling buruk. Dia memacari banyak wanita di kampus, menggoda para dosen wanita bahkan dia tidak ragu mengajak dosen itu untuk bercinta di depan umum. Akibat kelakuannya itu, sang ayah tidak membiarkan Jansen lulus meskipun universitas itu miliknya.
Dia ingin Jansen bisa berubah dan lulus dengan kelakuan baik agar dia bisa berbaur dengan masyarakat namun Jansen semakin membuatnya sakit kepala. Jansen melakukannya karena sakit hati pada sang ayah yang menikah lagi dan membawa seorang istri serta anak laki-laki ke dalam rumah. Rasa sakit hatinya semakin menjadi saat ibunya bunuh diri. Semua yang terjadi pada ibunya akibat kelakuan ayahnya oleh sebab itu, Jansen yang tadinya pemuda baik mulai memberontak.
Setelah memecahkan beberapa kaca toko serta beberapa kamera pengawas, Jansen dan geng motornya memukul beberapa orang yang lewat. Mereka tertawa terbahak-bahak akan aksi yang telah mereka lakukan dan setelah itu mereka pergi dari tempat itu dan mereka akan kembali membuat kekacauan di tempat lainnya.
"Barang siapa yang bisa menang dariku maka akan mendapatkan motorku ini!" teriak Jansen dengan keras.
"Yeah!" semua bersorak mendengar perkataannya.
Jalanan malam yang cukup sepi mendadak menjadi arena balap yang diadakan secara dadakan. Jansen sudah berada di depan dengan beberapa penantang yang menginginkan motor besar miliknya. Suara motor mereka berbunyi dengan nyaring, mengganggu sebagian orang yang ada di sana.
Sorakan para pendukung terdengar serta para wanita cantik memenuhi jalan. Taruhan pun terjadi secara besar-besaran. Sebagian mempertaruhkan uangnya untuk Jansen karena mereka yakin pemuda itu akan memenangkan balapan. Itu karena belum ada yang mengalahkan dirinya sampai saat ini.
"Jansen... Jansen!" para pendukung mulai bersorak, sedangkan seorang wanita cantik sudah berada tengah-tengah serta sebuah bendera berada di tangan.
Jansen menutup kaca penutup helmnya dan menatap lurus ke depan, dia tidak tahu akan sampai kapan berbuat seperti itu yang pasti hidupnya sangat membosankan. Mungkin dia akan berhenti sampai ayahnya meminta maaf padanya karena sampai sekarang, ayahnya tidak pernah meminta maaf bahkan lebih peduli pada anak orang lain yang dia bawa pulang.
Para pendukungnya mulai menghitung dan begitu angka tiga sudah terucap, Jansen membawa motornya dengan kecepatan tinggi. Pemuda itu tidak memiliki rasa takut, dia tidak takut tertangkap bahkan dia tidak takut mengalami kecelakaan. Dia hanya ingin membuat ayahnya menyesal.
Malam yang cukup menyebalkan bagi pengguna jalan akibat balap liar yang mereka lakukan sehingga para polisi membubarkan balap liar itu. Para berandalan melarikan diri, geng motor Black Circle juga lari namun naas bagi Jansen, dia tertangkap karena motor yang dia bawa tergelincir. Itu bukan hal yang baru karena para polisi sudah mengenalnya.
Mereka bahkan hanya bisa menggeleng, lagi-lagi berandalan itu lagi dan lagi. Jansen cuek saja saat dibawa ke kantor polisi karena dia tahu akan terjadi apa. Sesungguhnya dia sangat berharap ayahnya datang untuknya tapi yang datang hanya sang asisten. Sudah dia duga, ayahnya tidak pernah ada untuknya.
"Ini sudah yang ke 17 kali Tuan Muda, apa Tuan Muda tidak merasa lelah melakukannya?" tanya asisten ayahnya. Mereka sedang di perjalanan pulang saat itu.
"Tidak!" jawab Jansen. Mau 17 kali, dua puluh kali, dia akan tetap melakukannya.
"Aku harap Tuan Muda memikirkan posisi Tuan Howard, dia adalah politikus dan dia harus memiliki pamor yang baik di depan publik!"
"Pamornya itu!" Jansen mengambil sebotol air yang ada lalu mencengkeramnya dengan erat, "Akan aku hancurkan dengan kedua tanganku ini!" ucapnya lagi.
"Tuan Muda, usiamu sudah tidak muda. Sebaiknya tidak melakukan hal yang sia-sia jika tidak mau menyesal di kemudian hari!"
"Tidak perlu menceramahi. Kau tidak tahu apa pun!"
Sang asisten hanya bisa menghela napas, dia memang tidak tahu apa pun tapi dia tahu apa yang sedang Jansen lakukan pasti memiliki alasan. Jansen membanting pintu mobil dengan keras saat mereka sudah tiba. Ternyata ayahnya sudah menunggu bersama dengan istrinya, Anne Howard serta putra yang sangat dia banggakan Richard Howard yang memiliki perbedaan usia empat tahun darinya itu.
Ibu dan kakak tirinya itu berdiri di belakang ayahnya. Ibu tirinya terlihat angkuh dan kakak tirinya terlihat mencemooh dirinya. Sang ayah menatapnya dengan tatapan galak, dia sungguh kecewa dengan Jansen yang tak henti membuat ulah. Jansen melihat mereka dengan sinis, itulah keluarga yang sempurna.
"Apa sudah puas?" ayahnya mengucapkan perkataan itu dengan sinis.
"Tidak!" Jansen menjawab dengan santai.
"Kau benar-benar mengecewakan kami semua, Jansen!" ucap Richard.
"Siapa kau? Tidak perlu sok kecewa karena kau bukan siapa-siapa bagiku!"
"Diam kau, Jansen!" teriak ayahnya lantang.
"Ibunya bunuh diri dan sekarang putranya membuat malu tiada henti. Ibu dan anak sama saja telah membuatmu malu, Bob!" ibu tirinya menatapnya dengan tatapan angkuh.
"Jangan pernah coba-coba menghina ibuku. Aku akan merobek mulut ja*ang itu!" ancam Jansen.
"Cukup.. Cukup!" teriak Bob murka sambil memijit pelipis. Apa yang sebenarnya Jansen inginkan? Sepertinya dia harus mencari tahu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Jansen?" tanyanya.
"Aku ingin ayahku kembali seperti dulu dan tendang kedua pecundang itu keluar!" pinta Jansen tanpa ragu.
"Tidak bisa, mereka ibu dan kakakmu!" ayahnya pun menolak permintaannya.
"Sungguh lucu, aku hanya memiliki seorang ibu dan yang aku tahu, ibuku hanya memiliki aku saja jadi mereka hanya orang asing yang kau bawa masuk dan menghancurkan semuanya!"
"Tutup mulutmu, Jansen!" teriak ibu tirinya, "Aku diam bukan berarti kau boleh berbicara sesuka hatimu!" teriaknya lagi.
"Jika begitu nikmati saja hidupmu dan jangan campuri urusanku dan ingat perkataanku ini, Dad. Selama kau tidak menendang mereka keluar dari rumah ini, maka aku tidak akan berhenti melakukan apa pun yang aku inginkan!" setelah berkata demikian, Jansen melangkah pergi.
Bob hanya bisa memijit pelipisnya, Anne Howard dan putranya tersenyum dengan licik. Semakin Jansen berbuat ulah semakin jalan mereka terbuka lebar untuk memiliki semua yang dimiliki oleh Bob. Jansen yang memberontak karena kecewa dan sakit hati benar-benar tidak tahu jika apa yang dia lakukan justru semakin membuatnya jauh dari ayahnya dan akan membuatnya semakin dibenci oleh ayahnya. Dengan begini, siapa yang akan menang nantinya? Sudah pasti jawabannya adalah Richard.
Kelakuan buruknya di jalanan sudah biasa didengar dan kini, Jansen akan kembali berulah di kampus. Dia tidak peduli dengan perkataan orang-orang tentang dirinya karena yang malu sudah pasti ayahnya. Sebagian dari mahasiswa dan mahasiswi membicarakan dirinya apalagi sifat play boy Jansen yang membuat sebagian dari mereka tidak tahan.
Entah sudah berapa kali Jansen merebut kekasih orang lain, entah sudah berapa kali pula dia berkelahi dengan para mahasiswa yang marah akan kelakuannya tapi Jansen tidak juga berhenti. Dia bahkan tidak ragu menggoda guru Uks dan bermesraan dengan beberapa gadis tempat itu. Kelakuan buruknya membuat semua orang geleng kepala bahkan para dosen sudah menyerah dan tidak peduli lagi.
Jansen sedang memeluk dua gadis yang berjalan di sisi kanan dan kirinya saat hendak masuk ke dalam kelas. Tidak saja dua wanita itu, dua wanita lain pun berjalan di belakangnya. Tentu saja mereka seperti itu karena ada yang mereka inginkan dan Jansen pasti akan memberikannya pada mereka. Jansen yang memiliki banyak uang menjadi incaran para gadis yang membutuhkan. Tinggal merayu Jansen maka mereka akan mendapatkannya.
Dari arah yang berlawanan, seorang wanita cantik memakai seragam putih dan rok hitam ketat sedang melangkah menuju ke arahnya sambil melihat-lihat ruangan yang dia lewati. Wanita itu adalah Elena Jackson. Dia datang ke kampus itu karena ini hari pertamanya menjadi dosen di sana.
Elena baru berusia 22 tahun, dia lulus lebih cepat dengan gelar yang memuaskan. Elena adalah anak kedua dari Edward Jackson dan Amanda Jackson. Mereka adalah penguasa di Colorado, Amerika. Mereka adalah mafia yang disegani di sana namun Elena memilih keluar dari zona nyamannya serta dari nama besar keluarganya dengan menjadi dosen di universitas itu. Dia sengaja menjadi dosen di kota London agar dia bisa hidup mandiri.
Elena melihat sesuatu yang tertempel di papan pengumuman yang berada di tidak jauh dari sebuah ruangan. Dia tidak berniat menghalangi siapa pun atau apa pun apalagi dia tidak sedang berdiri di tengah jalan namun keberadaan dirinya justru menghalangi langkah Jansen.
"Minggir!'' perkataan Jansen membuat Elena berpaling melihat ke arah pemuda yang suka mencari masalah itu. Bukannya menyingkir, Elena justru melihat sekitarnya karena dia tidak merasa menghalangi pemuda itu
"Apa kau tuli? Menyingkir dari jalanku!" ucap Jansen lagi dengan sinis.
"Aku?" tanya Elena sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ya, kau! Apa kau murid baru sehingga tidak tahu siapa aku? Apa kau ingin aku gantung dengan posisi terbalik baru kau bisa paham dengan siapa kau sedang berbicara?"
"Oh, maaf sudah menghalangi langkah Tuan Muda," Elena tersenyum lalu menyingkir. Sungguh mahasiswa yang sangat angkuh.
"Cih, jangan sampai aku bertemu denganmu lagi!" ucap Jansen seraya melangkah pergi. Para wanita yang mengikuti juga terlihat angkuh tapi salah satu dari mereka menyadari siapa Elena.
"Hei, aku dengar akan ada dosen baru yang akan mengambil alih peran tua bangka itu!" ucap salah satu wanita itu. Pria tua yang dia maksud sudah pasti dosen yang membimbing mereka dalam jurusan bisnis.
"Oh, tidak. Bukankah setelah ini kita harus bertemu dengan pria tua itu?" seorang wanita berkata demikian.
"Jadi wanita tadi yang akan menggantikan pria tua itu?" tanya Jansen pula.
"Sepertinya, aku mendengar akan ada dosen baru jadi aku rasa wanita tadi adalah dosennya!"
"Bagus, saatnya memberikan sambutan untuk dosen baru yang sudah menghalangi jalanku! Dia harus tahu siapa penguasa di kampus ini!" Jansen tersenyum dengan ekspresi licik, dia akan mengganggu sang dosen sampai wanita itu menangis dan lari pulang.
Elena yang tidak tahu apa pun masuk ke dalam ruangan seorang rektor karena ada yang hendak dia bahas sebelum dia memulai hari pertamanya memberikan materi pada para mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kelasnya nanti. Rasanya sudah tidak sabar, dia bahkan sudah membayangkan akan berteman baik dengan para mahasiswi yang ada di sana.
"Selamat siang, aku Elena Jackson," Alena membungkuk di hadapan seorang pria tua yang adalah rektor dari kampus itu.
"Tidak perlu terlalu sopan, silakan duduk. Ada beberapa poin penting yang harus aku sampaikan padamu sebelum kau memulai!"
"Terima kasih, Sir," Elena duduk dengan sopan.
"Aku hanya ingin memberitahu jika dikelas yang akan kau bimbing nanti memiliki anak-anak yang bermasalah terutama Jansen Howard. Aku ingin kau menghindarinya dan jangan cari perkara dengannya. Dia yang paling harus dihindari karena dia bisa menggerakkan anak-anak nakal lainnya untuk melakukan apa pun!" ini adalah peringatan untuk Elena karena sudah banyak dosen wanita yang berhenti karena sudah tidak tahan dengan kelakuan Jansen.
"Terima kasih sudah mengingatkan aku, Sir. Selain dirinya, apa ada yang lainnya yang harus aku waspadai?" ini informasi yang sangat bagus karena dia bisa menghindari mahasiswa nakal itu karena dia tidak mau mencari masalah dengan siapa pun. Dia harus menunjukkan pada keluarganya jika dia mampu dan dia harus membuat mereka bangga. Ini jalan yang dia pilih jadi harus dia tempuh tanpa melibatkan keluarganya.
"Tidak, kau bisa melihat data milik pemuda itu!" sang rektor memberikan data milik Jansen. Elena mengambilnya dan mempelajarinya. Lima tahun tidak lulus, wow! Rasanya tidak ingin percaya namun perkataan Wow harus kembali dia ucapkan karena pemuda itu putra dari pemilik universitas. Sungguh bagus, pantas saja pemuda itu tidak bisa diberhentikan meski sudah membuat begitu banyak kesalahan. Dia bisa menebak betapa repotnya menangani anak bermasalah seperti Jansen dan sialnya anak bermasalah seperti itu harus berada di kelasnya tapi tidak apa-apa, anggap dia sedang berada di arena adu banteng. Yang harus dia lakukan hanya menghindarinya saja.
"Terima kasih, Sir. Aku akan mempelajarinya dan menjauhi Jansen Howard untuk menghindari masalah," ucap Elena. Jangan sampai hanya karena satu pemuda bermasalah dia jadi menyerah apalagi tidak ada kata menyerah dalam hidupnya.
"Bagus, aku tidak mau citra kampus ini semakin buruk karena lagi-lagi ada dosen yang berhenti dengan alasan dianiaya atau apa pun!"
"Aku akan berusaha, terima kasih!" Elena membungkuk sebelum keluar dari ruangan sang rektor. Napas ditarik sejenak sebelum dia melangkah menuju kelas di mana dia akan memulai harinya. Elena tersenyum setiap kali dia berpapasan dengan beberapa murid yang kebetulan lewat.
Baiklah, dia sudah tiba di medan perang. Ruangan yang super berisik dengan tawa para mahasiswa. Elena kembali menarik napas sebelum membuka pintu dan setelah itu, pintu di dorong dengan perlahan namun tanpa dia duga, tiba-tiba saja air super bau menyiram dari atas dan membasahi dirinya. Elena terkejut, langkahnya bahkan terhenti.
"Ha.. Ha... Ha... Ha..!" tawa para mahasiswa yang menertawakan dirinya terdengar memenuhi ruangan.
Elena memejamkan kedua mata, sambutan yang kekanak-kanakan. Pandangannya tertuju pada pemuda yang melihatnya dengan tatapan mengejek, satu jari tengahnya pun terangkat yang ditujukan untuk Elena. Jansen terlihat sangat puas, itu adalah awal karena dosen baru itu akan dia buat mengundurkan diri seperti yang sudah-sudah.
Elena berusaha tersenyum meski mendapatkan sambutan yang tidak menyenangkan. Kini dia melihat ember yang ada di atas pintu. Gelak tawa yang menertawakan dirinya masih saja terdengar. Cibiran demi cibiran pedas pun tak terhindarkan karena mereka mengira Elena akan langsung menyerah setelah mendapatkan sambutan yang sangat memalukan itu. Jansen pun terlihat semakin puas saja. Akhirnya dapat dia balas wanita yang menghalangi jalannya. Tapi sangat tidak menyenangkan jika dosen baru itu menyerah begitu saja. Dia justru berkarap Elena bertahan agar dapat dia permainkan seperti yang lainnya. Para mahasisa masih tertawa namun tawa mereka terhenti ketika Elena mengambil kursi lalu meletakkannya di depan pintu karena dia ingin mengambil ember yang ada di atas pintu. Elena melihat air bau yang tersisa sedikit, sekarang saatnya membuat pelaku merasakan air bau itu.
"Sekarang katakan padaku siapa yang menaruh ember itu di atas pintu?" teriak Elena dengan lantang setelah dia berdiri di hadapan para murid,
Semua diam, tidak ada yang berani menjawab karena mereka semua takut dengan Jansen. Mereka tahu risikonya jika ada yang mengatakan siapa pelakunya. Elena menunggu tapi tidak ada yang menjawab.
"Apa tidak ada yang berani menjawab aku?" Dia kembali bertanya namun suasana hening. Elena memandangi mereka satu persatu dan dia curiga dengan satu orang yang harus dia hindari.
"Cih, cara yang sangat kekanak-kanakan dan aku bisa menebak siapa pelakunya!" kini Elena melangkah maju dan menaiki anak tangga satu persatu. Elena melangkah mendekati pemuda yang baru saja menunjukkan jari tengahnya dengan kurang ajarnya.
"Aku tahu itu sambutan darimu, Jansen Howard!" Elena sudah berdiri dengan angkuh di hadapan Jansen.
"Lalu kau mau apa?" Jansen justru balik menantang. Dia tidak akan membantah karena dia ingin membuat Elena tahu agar tidak boleh mencari masalah dengannya.
"Jadi benar kau?" Elena bertanya untuk memastikan.
"Memang aku. Memangnya apa yang mau kau lakukan? Ingin membalas aku? Coba saja jika kau berani, wanita!" Jansen masih menantang karena dia pikir Elena tidak akan berani membalas dirinya namun pemuda itu terkejut saat Elena menyiramkan air bau yang masih tersisa di dalam ember ke atas kepalanya. Tidak saja Jansen yang terkejut, seluruh mahasiswa pun terkejut dengan apa yang Elena lakukan.
"Bagaimana rasanya disiram dengan air bau itu? Apa menyenangkan?" tanya Elena dengan ekspresi puas.
"Beraninya kau!" teriak Jansen. Amarah memenuhi hati. Beraninya Dosen baru itu menyiramnya dengan air bau itu?
"Kenapa? Apa kau kira aku takut denganmu?!" dia adalah putri seorang mafia, bagaimana mungkin dia takut hanya pada seorang pemuda labil yang memiliki reputasi buruk itu? Dia bahkan tidak takut dikeluarkan hari itu juga karena dia tidak akan membiarkan seseorang menindas dirinya apalagi tanpa sebab yang jelas. Hanya seorang pemuda, melawannya dengan tangan kosong pun dia mampu.
"Sepertinya kau tidak tahu siapa aku?!" Jansen sudah berdiri dari tempat duduk dengan emosi meluap di hati. Beraninya wanita itu menyiramnya dengan air super bau itu? Air itu bahkan menetes dari rambutnya dann membasahi wajahnya yang tampan.
"Tentu saja aku tahu. Jansen Howard, putra pemilik universitas ini namun memiliki reputasi paling buruk sekampus. Lima tahun tidak lulus, jangan katakan kau akan berkuliah di universitas milik ayahmu ini sampai kau menjadi tua bangka lalu mati di kampus dan di makamkan di depan kelas!" cibir Elena. Sebagian mahasiswa yang ada di ruangan itu menahan tawa, hal itu tentu saja membuat Jansen semakin murka
"Beraninya kau menghina aku?!" teriak Jansen dengan lantang.
"Aku bahkan berani melakukan yang lainnya!" Elena memutar langkahnya dan menuruni anak tangga, "Sepuluh menit lagi semuanya sudah harus bersih jika tidak, semua yang ada di sini akan aku kurangi poinnya!" ancam Elena.
"Apa? Kenapa kami yang kena?" mahasiswa lain mulia protes.
"Tidak perlu protes karena kalian semua tertawa jadi cepat bersihkan!" Elena keluar dari ruangan. Sial, hari pertama yang sengat kacau. Tidak pernah dia bertemu dengan pemuda super menyebalkan seperti itu. Elena kembali ke dalam ruangan di mana pada dosen berada. Mereka terkejut melihat keadaan Elena yang basah bahkan mengeluarkan bau tidak sedap. Kemeja putih Elena bahkan kotor akibat air bau yang super bau. Sang Rektor yang kebetulan berada di sana juga terkejut. Tidak perlu bertanya karena mereka semua tahu siapa yang melakukan hal itu. Hanya satu pemuda saja yang berani dan sepertinya tidak ada yang bisa merubah pemuda itu apalagi Bon Boward tidak pernah peduli.
"Sorry, Sir. Aku baru saja menyiram pemuda itu jadi kau bisa mengeluarkan aku sekarang!" ucap Elena pada sang rektor. Pekerjaan pertama kandas, itu yang dia pikirkan tapi nyatanya, dia justru mendapatkan banyak tepuk tangan dari para dosen bahkan sang rektor pun bertepuk tangan untuknya karena baru kali ini ada yang berani melawan Jansen Howard.
"Ke-kenapa kalian bertepuk tangan seperti itu?" tanya Elena dengan ekspresi heran. Apa keadaannya begitu menyesihkan sampai harus diberi tepuk tangan?
"Tidak ada apa-apa, sekarang pergilah bersihkan diri dan ganti pakaianmu tapi hanya ada baju olahraga saja," seorang dosen wanita mengajaknya untuk berganti pakaian.
"Jadi aku tidak dipecat?" tanya Elena memastikan dan dia harap tidak.
"Tidak, tentu saja tidak. Kau dosen pertama yang berani melawannya dan ini sangat bagus. Biasanya tidak ada yang berani setelah tahu siapa Jansen karena mereka takut dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Tuan Howard tapi kau, tidak takut akan hal itu. Ini sangat bagus, dosen pemberani seperti dirimu memang sangat diperlukan."
"Terima kasih, Sir. Pekerjaan ini sangat berarti bagiku dan aku tidak akan mengecewakan."
"Bagus, bersihkan dirimu dan kembali mengajar!" semoga saja Elena Jackson bisa merubah pemuda pembawa masalah itu meski rasanya sangat mustahil.
"Baik, Sir!" Elena yang tadinya sudah tidak bersemangat kembali bersemangat karena dia tidak dipecat akibat perbuatannya pada penguasa kampus itu. Ternyata banyak yang mendukung jadi dia tidak boleh menyerah begitu saja.
Elena mengikuti dosen tadi yang mengajaknya untuk membersihkan diri. Walau harus menggunakan seragam olahraga karena hanya itu yang ada tapi tidak jadi soal karena yang penting badan dan rambutnya sudah tidak bau lagi.
Jansen yang mendapatkan balasan dari Elena pun tidak terima. Jangan panggil dia Jansen Howard jika dia tidak bisa membalas perbuatan Elena. Hanya seorang wanita saja, dia tidak mungkin tidak bisa. Lagi pula reputasinya akan hancur jika dia tidak bisa membalas apa yang Elena lakukan padanya. Seorang wanita mengalahkan dirinya? Jangan sampai seluruh kampus menertawakan dirinya.
Elena yang sudah selesai kembali ke kelas untuk memberikan materi. Semua sudah bersih, air dan bau busuk pun sudah tidak ada. Elena mengira Jansen Howard tidak akan berada di dalam kelas lagi tapi ternyata pemuda itu masih di sana dan menatapnya dengan tajam serta api permusuhan memenuhi hatinya.
Elena tidak mau mempedulikan pemuda itu namun mendadak dia merasa curiga dengan sikap Jansen yang diam saja. Tunggu, instingnya berkata jika pemuda itu telah merencanakan sesuatu. Entah apa, Elena bahkan melihat sekitar dan semakin curiga dengan kelas yang tenang. Sebaiknya dia waspada agar dia tidak masuk ke dalam jebakan Jansen Howard.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!