NovelToon NovelToon

Musuhku Kekasihku

Chapter 1

Gadis cantik itu tengah mengikat rambutnya. Menarik tinggi rambutnya lalu mengikatnya dengan pita panjang merah kesayangannya. Kini mencoba merapikan bajunya sekali lagi.

Ok, cantik.

Dia tersenyum. Lalu menoleh ke arah jam dinding di kamarnya. Tersadar bahwa sudah siang, segera disambarnya tas ransel beserta bekal makan yang dibuatnya sedari subuh tadi.

Tolong dicatat, untuk seorang Hanna, ini pencapaian besar. Gadis yang biasanya bangun siang itu menyempatkan waktu untuk bangun sedari subuh demi menyiapkan bekal makan untuk seseorang yang diam-diam sangat disukainya.

Kali ini, gadis dengan pride nomor satu ini akan mengesampingkan egonya, untuk mengakui perasaannya.

Tadinya begitu.

Tapi semuanya berubah saat dia melihat lelaki pujaan hatinya itu tersenyum begitu manis ke arah gadis lain. Sangat manis, hingga sekali lihat pun Hanna bisa langsung tahu bagaimana perasaan lelaki pujaan hatinya itu.

Hanna ganti melirik ke arah gadis di depannya. Gadis itu begitu cantik, dengan rambut hitam tergerai kontras dengan warna kulitnya yang membuatnya semakin terlihat seperti boneka.

Sungguh. Sangat. Cantik.

Hanna menciut, dia bukan apa-apa.

Menyadari kehadirannya, Ken menoleh, lalu tersenyum ramah pada Hanna, saingan sekaligus partnernya di segala bidang di sekolah. Yang lalu dibalas dengan tatapan yang sulit dimengerti bagi Ken. 

"Han?" sapanya separuh bingung. Sedari dulu, Hanna memang cuek, tapi kali ini berbeda. Kehangatan di sorot matanya setiap kali bertemu Ken, kini berganti dengan tatapan kecewa yang Ken juga tak mengerti kenapa. 

Hanna melengos, mengabaikan Ken dan (mungkin) gadisnya yang masih menatapnya aneh.

Kisahnya pun berakhir, bahkan sebelum dia sempat memulainya.

Penderitaan Hanna sepertinya tidak berakhir begitu saja. Bayangkan, setelah adegan patah hati yang dilaluinya di pagi hari, kini dia disuguhkan dengan fakta yang luar biasa. Gadis cantik yang baru ini diketahui Hanna bernama Felline itu, ternyata adalah anak baru di kelasnya. Dibilang fakta luar biasa karena gadis itu benar-benar pacar Ken.

Bukan sesuatu yang mengejutkan sebenarnya, mengingat bagaimana Ken menjaga gadis itu dan mengantarnya sampai ke kelas. Tapi tetap saja mampu membuat hati Hanna mencelos. 

Hanna mencoret-coret halaman belakang bukunya dan memenuhinya dengan tanda tangan -kebiasaannya saat sedang kesal, hingga tiba-tiba dua sejoli itu malah menghampirinya.

“Han, Felline duduk sama lo boleh kan? Kasihan dia kalau duduk paling belakang. Dirga di belakang aja boleh ya, Dir?” Ken berkata dengan entengnya.

Ok, triple kill. 

Dasar cowok gak peka. Bucin. Gak punya hati.

Hanna mengumpat dalam hati.

“Terserah.” Hanna berkata cuek seakan tak peduli. Kini ganti membalik halaman bukunya, pura-pura menulis sesuatu.

“Fel, kamu sama Hanna aja ya,”

Hanna mencibir mendengar perkataan Ken, dalam hati tapi.

“Dia baik kok.”

Baik? Belum tahu aja kalau Hanna berubah jadi singa.

Masih dalam hati.

“Han, nitip ya?” Ken masih bicara. 

Hanna meliriknya malas. “Duh, udahan deh,” sinisnya. 

Yang dilirik malah cengengesan. 

“Hehe iya, makasih ya,” Ken tersenyum begitu manis, kali ini ke arah Hanna.

Sampai Hanna hampir lupa, senyum itu yang telah meremukkan hatinya.

Diam-diam, gadis yang suka mengikat rambutnya ke atas itu melipir sambil membawa bekalnya ke taman belakang sekolah.

Sayang bun kalau dibuang. Gini-gini bikinnya susah.

Pikirnya.

Lalu kenapa nggak dimakan di kelas?

Yakali, nanti dicengin. Apalagi kalau bekalnya cantik begini.

Jadilah dia memilih ke sini. Tempat escape favorit Hanna. Sepi. Jarang ada orang, karena memang letaknya di belakang gedung.

Agak seram sih sebenarnya. Tapi… Hanna nih bos. Preman sekolah aja dia nggak takut.

“Ngapain lo kayak jomblo.”

Nah itu premannya datang.

Hanna menoleh malas ke arah pemuda super ganteng nan tinggi yang kini membelakanginya.

Ronin. Premannya sekolah. Perawakannya tinggi besar dengan kilat mata tajam bagai elang yang membuat siapapun akan menciut ketika berhadapan dengannya.

Kecuali duo siswa berprestasi sekaligus polisi sekolah yang sering dijuluki sebagai pasangan emas ini, Hanna dan Ken. Apalagi kedudukan mereka sebagai pemegang posisi penting di OSIS, membuat mereka sering memburu pemuda satu ini yang kerap kali membuat masalah.

Tapi tentu, Ronin tidak pernah terintimidasi.

Pemuda ini masih membelakangi Hanna, sambil merogoh bungkus rokok di sakunya, lalu menyalakannya satu sembari menghisapnya perlahan.

Masih Hanna pantau.

“Lo tahu nggak sih kalo nggak boleh ngerokok di sekolah?” Hanna bertanya sarkas.

Ronin malah meliriknya aneh.

“Terus gue peduli gitu?”

“Of course.” Hanna menjawab mantap. “Karena gue yang ngomong,” lanjutnya.

Ronin terperangah. Sebelumnya, dia tak pernah menghadapi Hanna secara langsung. Partner gadis ini yang bagi Ronin sok baik sok ramah sok perfect - sebut saja inisialnya Ken - itu saja sudah cukup menyebalkan. Yang ini malah lebih sombong lagi.

"Lo nggak takut sama gue?" Ronin menantang. Dia makin mengepulkan asap rokoknya seraya mendekat. Tapi yang ditantang malah memandangnya remeh.

"Lah, lo siapa?" balas Hanna sambil tersenyum meremehkan.

Ronin mengerjap. Malah jadi salah tingkah saat Hanna memandangnya lekat-lekat.

"Hmm gue sebenarnya gak suka asap rokok. Tapi gue lagi gak pengen berdebat." Hanna membereskan makanannya, lalu berdiri.

"Tapi inget, gue Hanna," Hanna berdiri tepat di hadapan Ronin. Tingginya hanya sebahu pemuda itu, hingga membuatnya sedikit mendongak, tapi tidak membuatnya gentar sama sekali.

"Gue sama sekali nggak takut sama lo," pungkasnya lalu berbalik meninggalkan Ronin yang masih terpaku.

Tidak lama, hanya sampai Hanna melambaikan tangannya yang ternyata sudah menggenggam bungkus rokok yang SEHARUSNYA ada di tangan pemuda ini.

Loh?

Dia digendam?

Mulut netizen memang luar biasa ya. Baru 3 hari semenjak gadis barbie itu menginjakkan kaki ke sekolah ini, tapi ya ampun yang dibicarakan sudah aneh-aneh.

Yang kasian Hanna ditikung lah.

Yang cintanya Hanna bertepuk sebelah tangan lah.

Yang anak baru dibilang pelakor lah.

Aneh banget seakan Hanna mengumumkan perasaannya pada semua orang. Padahal Hanna tak pernah menceritakannya.

Mau cerita pada siapa? Hanna tak punya teman dekat disini. Satu-satunya yang terlihat seperti temannya hanya Ken. Itu juga kalau dianggap teman.

Hanna melirik ke teman sebangkunya yang begitu anteng dan manis. Mereka jarang mengobrol. Ditambah dengan gosip yang beredar membuat keduanya jadi semakin canggung.

"Aku perlu pindah kah?" Gadis cantik itu membuka suara. "Sepertinya kamu nggak nyaman?" tanyanya lagi hati-hati sambil meringis lucu.

Hanna mengerjap. Kok gemes? Hanna yang sesama cewek saja terpesona, bagaimana Ken.

Dan apa itu tadi, aku kamu?

"Siapa nggak nyaman?"

"Kamu? Kamu mungkin juga benci sama aku?"

"Ngapain? Nggak lah." Hanna mengibaskan tangannya. Hanna memang harus berjuang setengah mati menetralkan perasaannya setiap kali melihat kemesraan mereka berdua. Tapi ya nggak sampai benci juga. Dia juga tahu kalau gadis ini nggak salah apa-apa.

Percakapan mereka dihentikan oleh keributan yang terdengar dari luar kelas. Beberapa siswa tampak berhamburan keluar untuk menengok apa yang terjadi.

Hanna mengerutkan kening. Merasa ada yang aneh, dirinya segera beranjak keluar mengikuti sumber suara. Diikuti oleh Felline yang berusaha menggandeng tangan gadis itu tapi diurungkannya kembali karena merasa sungkan.

Tapi sesampainya di sana, Hanna malah menghalanginya, mengarahkan tangannya dan membawa Felline ke belakang tubuhnya setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Seorang pemuda dengan kilat mata tajam penuh emosi, sedang menghajar pemuda lain tanpa ampun. Tubuhnya yang kuat menonjok muka pemuda di depannya habis-habisan. Lawannya sudah tak berdaya. Mungkin sebentar lagi akan pingsan jika diteruskan.

"Ronin stop!"

Hanya Hanna yang berani maju. Gadis itu benar-benar tak punya rasa takut.

"Hei, lo bisa bunuh anak orang disini!" Hanna berteriak lagi dengan lantang.

Yang diajak bicara masih tak peduli. Mundur sejenak, mengambil pot bunga yang tergeletak di tanah, mengarahkan ke arah lawannya yang sudah terkapar tak mampu melawan.

Hanna terperangah. Tanpa pikir panjang gadis cantik itu segera berlari mencegah pemuda yang sudah kehilangan kendali ini sebelum benar-benar menghantamnya ke arah lawannya yang mungkin tidak hanya bisa menyebabkan kehilangan kesadaran, tapi juga nyawa.

Tapi dia salah posisi.

Saat akan menarik tangan Ronin, kepalanya justru terkena hantaman keras benda itu. Tidak fatal, tapi cukup mampu membuat Hanna oleng dengan darah mengalir perlahan dari pelipisnya.

Pandangan Hanna mengabur saat dirasakannya tangan seorang gadis yang menangkapnya panik kebingungan.

Semuanya terasa semakin gelap. Tapi dibalik matanya yang sayu dan semakin berat, dilihatnya pemuda yang sangat dicintainya tiba-tiba sudah berada disitu, mendadak memukul habis pemuda yang menyebabkannya begini.

Ken? Ini mimpi kah?

Hanna tidak mampu berpikir lagi.

---

Hai Hai, ini cerita pertamaku disini ya. Smeoga suka 😊

Chapter 2

"Ken…" 

Felline merasa iba memandang gadis di depannya yang belum sadarkan diri dan masih menggumamkan nama kekasihnya. 

Dia baru menyadari bahwa hubungan mereka tidak sesederhana itu. Bukan Hanna yang menyukai kekasihnya secara sepihak, tapi lebih dari itu. 

Setelah melihat sendiri bagaimana Ken dengan emosi memukuli pemuda yang membuat temannya jadi seperti ini. Dan bagaimana gadis ini berulang kali menggumamkan nama Ken di alam bawah sadarnya, Felline menyadari bahwa hubungan mereka lebih dari sekedar yang dibicarakan. 

Dia yakin bahwa kekasihnya itu memang mencintainya, tapi dia juga tahu bahwa kekasihnya itu juga menyayangi dan sangat peduli pada gadis itu. Entah sebagai apa. 

Dan Hanna, sudah tidak perlu ditanya bagaimana perasaannya. Kenyataannya perasaannya memang terlihat jelas di balik mata dan sikapnya.

Felline jadi merasa kalau dia yang justru memisahkan mereka berdua. 

Jemari tangan Hanna bergerak membuat Felline tersadar. Gadis itu perlahan membuka mata. Perlahan kesadarannya juga mulai kembali. 

"Lo… tolongin gue?" tanyanya lemah setelah melihat Felline yang duduk anteng di dekat tempat tidurnya sambil tersenyum. Ia melihat ke sekitar, Hanna mengenali tempat ini. UKS sekolahnya, menunjukkan bahwa luka Hanna tidak terlalu parah sehingga tak perlu ke rumah sakit. 

"Ken yang bawa kamu kesini," jawab Felline tak menutup-nutupi. Dirinya mulai bercerita tentang Ken yang tiba-tiba datang, marah besar karena pemuda yang katanya preman sekolah itu melukai Hanna, memukulinya sebentar. Lalu tersadar kalau Hanna harus segera ditangani, dirinya lalu menghampiri Hanna yang masih dalam dekapan Felline, menggendongnya dan membawanya ke UKS. 

Hanna merasa aneh. Bagaimana mungkin Ken menggendongnya saat di tempat itu juga ada pacarnya sendiri? Ken pasti menyakiti perasaan gadis ini. 

"Aku nggak papa, kamu yang lebih penting." Felline seperti menjawab pertanyaan dalam hati Hanna. "Oh ya, Ken sama…" Felline berpikir sejenak. 

"Ronin?"

"Iya dia, mereka berdua tadi di ruang BK, soalnya sudah terlanjur ada guru yang lihat. Terus anak yang tadi sudah dibawa ke rumah sakit, lukanya lumayan parah." Felline meneruskan ceritanya. 

Hanna menghembuskan napasnya pelan. Merasa bersalah karena membawa dua sejoli ini dalam situasi seperti ini. 

"Mending lo nyamperin Ken. Mungkin dia terluka juga." Hanna menyarankan.

Felline sekilas melihat ke arah jam dinding, mungkin sebenarnya dia juga khawatir pada pacarnya, tentu saja. "Tapi kamu…"

"Gue nggak papa," sambar Hanna.

Felline terdiam sesaat, menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. 

"Ya udah, tapi kalau ada apa-apa kamu harus segera hubungi aku." Felline akhirnya memutuskan setelah sekian lama terdiam. 

"Gue nggak punya nomor lo."

Felline lalu meraih handphonenya, menekan sesuatu, hingga handphone Hanna yang masih berada di saku roknya bergetar. Hanna mengernyit aneh melihat ada nomor baru yang menelponnya.

"Kok lo tahu nomor gue?" tanyanya bingung. 

"Dikasih sama Ken." Felline tersenyum. "Katanya, kalau ada apa-apa dan kalau Ken sedang dalam kondisi nggak bisa bantu, ke Hanna aja, Hanna baik kok, gitu katanya," lanjutnya menirukan ucapan Ken. "Dan ya nggak salah, kamu beneran baik banget." Felline kembali tersenyum penuh arti. 

Hanna jadi salah tingkah disenyumi dan dipuji seperti itu. "Apaan sih," balasnya berusaha menutupi salah tingkahnya. "Yaudah sana buruan."

Felline terkekeh. "Yaudah Hanna, jangan lupa, hubungi aku kalau ada apa-apa, nanti aku balik kesini lagi sama Ken." Felline berlari keluar meninggalkan Hanna yang kini sendirian. 

Hanna menghela napas pelan. Menyadari betapa barbie nya gadis yang barusan bersamanya ini. Cantik, baik, dan perhatian. Pantas Ken suka. 

Sedangkan Hanna? Siapa Hanna? 

Hanna bukan apa-apa.

Tapi… kenapa Ken rela menghajar orang yang melukai Hanna, dan menggendong gadis itu, kalau memang Hanna bukan siapa-siapa? 

Siapa Hanna di mata Ken? Sepenting itu kah? Atau Ken memang selalu sebaik itu? 

Buntu memikirkan pertanyaan-pertanyaan rumit di kepalanya, Hanna memutuskan mengambil air di nakas dekat tempat tidurnya yang sepertinya sudah Felline siapkan. Baru seteguk air yang telah membasahi kerongkongannya, tiba-tiba pintu UKS terbuka diiringi dengan masuknya seorang pemuda bermata elang. 

Dia lagi.

Ronin. Pemuda bermata elang itu masuk setelah menutup pintunya kembali. Hanna yang menyadarinya kembali meletakkan gelasnya di meja, lalu menyandarkan tubuhnya separuh berbaring. 

"Mau apa?" Singkat, tegas. Tak ada tanda-tanda terintimidasi meskipun pemuda itu yang membuatnya jadi seperti ini. 

Malah jadi Ronin yang salah tingkah. "Mau istirahat lah, emang lo doang yang boleh kesini?" Ia lalu berjalan ke arah bed yang berada tepat di sebelah kiri bed Hanna. Lalu duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana seperti tanpa dosa. 

Hanna masih memantaunya. 

"Lo nggak ada sesuatu yang pengen lo omongin?" tanya Hanna separuh menyindir. Sudah bikin sakit, tapi nggak minta maaf. Siapakah itu?

Tapi yang bersangkutan hanya mengedikkan bahu cuek. "Lo kayaknya gapapa. Lagian bukan salah gue juga. Lo yang tiba-tiba datang." 

Masih Hanna pantau. 

Pemuda itu mengusap sudut bibirnya yang perlahan masih sedikit mengeluarkan darah. Sepertinya tonjokan Ken terlalu keras, membuat pemuda tinggi ini semakin berantakan dengan lukanya yang dibiarkan terbuka. 

Hanna jadi risih. Dirinya mendecak sebal lalu beranjak perlahan dari tempat tidurnya. Sedikit oleng, tapi Hanna bisa kembali menguasai diri dan mulai berjalan ke arah lemari dan mengambil kotak P3K disana. Menghampiri Ronin masih dengan wajah sebalnya. 

Ya. Hanna tetaplah Hanna. Dengan wajah sebalnya itu pun dia tetap tergerak untuk mengobati pemuda yang bahkan tadi sudah membuatnya pingsan ini. 

"Lo itu kalau memang sedoyan itu tawuran, harusnya belajar juga cara melindungi diri sendiri, termasuk rawat luka." Hanna mendecak sambil membuka kotaknya. 

Ronin tak mampu bersuara. Dirinya tertegun, tak siap tiba-tiba tangan gadis itu menyentuh wajahnya. 

Tidak. Seharusnya tak begini. Ronin tak mampu bergerak. Seperti ada sengatan listrik yang mengaliri tubuhnya. 

"Lo… ngapain?" Ronin bersusah payah mengatakan itu. 

"Lo nggak lihat gue ngapain?" Dan Hanna tetaplah Hanna. Saat seperti ini pun masih bisa galak. 

Ronin memejamkan mata. Tak habis pikir dengan perlakuan gadis ini. Tapi tetap menerima sentuhan gadis itu yang perlahan mengobati wajahnya. 

Aneh sekali. Siapa gadis ini sebenarnya. Setelah tadi sok jago berusaha menolong pemuda yang entah dikenal atau tidak oleh gadis ini, hingga menjadi korban, kenapa malah sekarang mengobati pemuda yang sudah tanpa sengaja melukainya? Memangnya dia dewi? Malaikat? 

"Lo siapa sih?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Ronin. Masih tak habis pikir.

"Lo nggak tahu? Gue Hanna." Hanna menjawab cuek sambil beralih ke lengan Ronin yang juga terluka. "Luka lo banyak banget." Hanna mengomel. Namun tetap sabar mengobatinya. 

"Serius. Lo emang anaknya Yi Sun Shin?" Ronin bertanya random. Masih keheranan dengan tingkah gadis di depannya ini yang sering kali bertingkah bak pahlawan. 

Ganti Hanna yang meliriknya tak percaya. "Lo tahu Yi Sun Shin?" tanyanya merasa aneh. Ronin, preman sekolah yang seperti menganggap sekolah bagaikan neraka, tahu Yi Sun Shin, pahlawan nasional Korea? Really?

"Emang lo pikir gue sebego itu sampai lo tanya gitu?"

Hanna nyengir. Seakan menemukan hidden gem, Ronin bisa melihat senyum gadis yang terkenal super jutek dan galak di sekolahnya ini. 

Ternyata memang secantik itu. 

Ronin serasa lupa bernapas. 

"Nggak gitu, lo emang kpopers ya?" tanya Hanna sambil masih tersenyum geli. 

Ronin langsung mengelak. Merasa harga dirinya jatuh jika dianggap seperti itu. "Nggak lah. Gue user Yi Sun Shin." 

"ML? Elo user YSS? Seriusan?" Malah jadi Hanna yang semangat saat Ronin menyebutkan salah satu hero game mobile legend, game yang juga ia mainkan. 

Wait a minute. Sebentar. Hanna tahu game juga? Seorang Hanna, siswi berprestasi dan paling berpengaruh di sekolah, tahu tentang game juga?

Apa sih yang nggak dia tahu? 

"Emang kenapa?"

"Miripan juga Hanzo," jawab Hanna diplomatis.

Ronin malah mengerutkan keningnya, merasa tersinggung. “Lo mau bilang gue iblis gitu?” tanyanya kesal, menyadari Hanzo yang dimaksud, memelihara iblis dalam pedangnya, mungkin juga di dalam dirinya.

“Nggak lah.” Hanna mengibaskan tangannya. Jeda sejenak. Gadis berpita merah itu sibuk memeriksa luka-luka di tubuh Ronin. Memastikan semuanya telah diobati. Lalu menutup kembali kotak P3K nya. Kini berganti memandang pemuda di depannya lekat-lekat. “Mata elangnya Hanzo, sama kayak yang lo punya.”

Lagi-lagi.

Ronin tidak mampu berkata-kata. 

Chapter 3

Semenjak kejadian di UKS, hubungan Hanna dengan Felline mulai membaik. 

Memang benar apa kata Ken. Meskipun jutek, galak, dan kelihatan garang, tapi Hanna tipikal orang yang sangat baik. Keras hanya terlihat dari luarnya, tapi Hanna cukup lembut. Dia juga sama sekali tidak memusuhi Felline meskipun yaaa mungkin mereka mencintai orang yang sama. 

Sedangkan bagi Hanna, Felline benar-benar memancarkan aura dewi yang sesungguhnya. Sampai sekarang pun Hanna masih sering terpesona dengan kecantikannya. Tapi kecantikan itu tidak membuat gadis itu menjadi sombong. Justru ramah, baik dan perhatian. 

Memang kita tidak boleh menilai orang dari luarnya. 

Tapi ya tetap, Hanna masih harus membiasakan diri jika bertemu mereka. Ken itu dasarnya memang charming. Sama Hanna yang juteknya setengah mati aja dia baik banget, apalagi sama pacarnya sendiri yang sifatnya berkebalikan dengan Hanna. 

Tentu, sudah bisa dibayangkan akan sebaik apa dia, dan bagaimana interaksi mereka berdua. Membuat Hanna harus sering-sering melipir ke tempat lain jika pasangan lovey dovey ini sudah bersama. 

Kali ini atap gedung sekolah menjadi tujuan Hanna. Seharusnya tidak ada yang akan mengganggu Hanna disini. Karena pemuda bermata elang itu kabarnya masih menjalani hukuman setelah kejadian waktu itu. 

"Lo demen banget sendirian."

Atau mungkin Hanna salah menghitung hari? 

Hanna melirik malas ke arah pemuda tinggi nan rupawan di pojok pagar tembok tempat Hanna berdiri menikmati pemandangan sekolah. 

Ok. Trouble maker sudah kembali. Itu artinya Hanna harus kembali bekerja keras untuk membereskan kekacauan-kekacauan yang mungkin akan pemuda ini perbuat. 

"Mana cowok lo?" Dia bertanya sambil berdiri di samping Hanna. Kali ini tidak sambil merokok. Mungkin takut rokoknya diambil Hanna lagi? 

"Siapa?"

"Ituu cowok sok perfect sok iye yang selalu belain lo. Oh sekarang dia punya pacar baru ya?" Ronin mencibir. Bibirnya mencebik seperti menunjukkan rasa kasihan. 

Ingin rasanya Hanna menarik mulut pedasnya yang menyebalkan itu. 

"Imej tukang gosip kayaknya nggak cocok sama lo deh."

Pandangan Hanna teralihkan saat matanya menangkap dua sejoli yang setengah mati ia hindari itu. Di taman bawah sana tampak mereka berdua sedang duduk bersenda gurau, sambil sesekali tangan Ken mengelus rambut Felline dengan sayang. 

Hanna tidak bisa melihat ini. Berapa kali pun Hanna mencoba untuk terbiasa, tetapi ada sesak di dadanya yang tak bisa ia abaikan. 

"Lo sesuka itu sama dia?"

Tak ada jawaban. Pandangan Hanna kosong. Rasa sakitnya menjalar sampai ke ulu hati, menyadari bahwa bukan dia yang Ken cintai. 

"Ternyata memang sesuka itu." Ronin bergumam sendiri, menyadari gadis itu terlalu sibuk menyiksa diri dengan melihat pemandangan yang menyakiti hatinya. 

Hanna memejamkan mata. Entah kenapa ia jadi lebih emosional.

Tahan Hanna tahan. 

Hanna seperti merapalkan mantera dalam hati. Menahan diri agar tak ada setetespun air mata yang jatuh di pipinya. Tidak saat dia bersama dengan orang lain.

Tapi ternyata Hanna tak sekuat itu. Terutama saat dirasakannya tangan pemuda itu menepuk puncak bahunya pelan. Hanna jadi semakin emosional.

“Ehm..” gadis ini berdehem. Menahan sesak di dadanya. “Gue kayaknya harus pergi,” nadanya sedikit bergetar. 

Hanna sudah bersiap berbalik saat tiba-tiba tangan kekar pemuda itu menarik lengannya. Membawa dia ke dalam pelukan pemuda dengan dada bidang ini. Ronin menepuk puncak kepala Hanna perlahan. 

“Take a breath. Lo nggak harus jadi selalu sempurna. Lo bisa nangis kalau lo pengen.”

Pada akhirnya, kata-kata pemuda ini menghancurkan pertahanan Hanna selama ini. Menghancurkan benteng kokoh, kuat dan tegar yang selalu Hanna ciptakan. 

Kenyataannya, Hanna hanyalah gadis biasa yang bisa merasa sedih. Hanya gadis biasa yang bisa menangis. Hanya gadis biasa yang membutuhkan sandaran yang bisa membuatnya aman dan nyaman untuk menumpahkan segala yang ia rasakan. 

Pada akhirnya, pemuda tinggi kekar dengan mata elang itu membiarkan gadis berpita merah ini menumpahkan segala sesak di dadanya, selama yang ia mau.  

Hanna merutuki dirinya yang begitu bodoh dan lepas kendali.

Apa itu tadi? Bagaimana bisa dia menangis di pelukan seorang pemuda yang yaampunn, dimana harga diri Hanna saat ini? Bagaimana kalau mereka bertemu lagi, apa yang harus dia lakukan?

“Sebuah kehormatan buat gue, seorang Hanna yang judes, sombong, dan galak, baru aja nangis di pelukan gue.” 

Masih terngiang-ngiang di telinga Hanna saat mulut pedas pemuda itu mengejeknya.

Benar-benar ya, padahal dirinya sendiri yang menawarkan, kenapa setelahnya malah mengejek seperti itu? 

“Han?”

“Apa?” Hanna tersentak sendiri menyadari jawabannya yang kelewat ngegas. Dirinya mendongak memandangi Ken yang menatapnya seakan khawatir. “Eh, sorry,” Hanna berdehem. Salah tingkah. 

“Lo sakit?” tanya Ken sambil meletakkan punggung tangannya di kening Hanna.

Wait a moment. 

Ini apa lagi?

Hanna merasakan pipinya sudah seperti kepiting rebus karena gerakan Ken yang tiba-tiba ini. Dirinya lalu melirik ke arah Felline yang sekarang sudah duduk di sebelahnya. Gadis ini memandangnya tanpa ekspresi. Mungkin kaget juga dengan apa yang Ken lakukan?

Dasar Ken super nggak peka. Apa-apaan ini?

“Ken lo apaan sih?” Hanna menyingkirkan tangan Ken di dahinya. Tapi Ken tetap tak beranjak dan memandangnya khawatir.

“Seriusan, lo sakit? Mata lo sayu gitu.” Kali ini dia duduk di bangku tepat di depan Hanna. “Lo mau gue antar pulang?” tanyanya polos. Tidak peduli mungkin gadisnya akan merasa aneh dengan perhatiannya pada seseorang yang katanya temannya ini.

Tapi wait, sayu? Hanna segera meraih cermin kecilnya, lalu kaget melihat matanya sendiri yang kini membengkak. Pasti gara-gara tadi. Matilah. Hanna mendecak. Kini jadi memandang Felline tanpa sadar. Gadis itu juga tengah memandangnya dengan tatapan iba.

“Ken, itu Hanna ngantuk, bukan sakit,” sambar Felline dengan tenang. 

“Iya kah?” Pemuda tampan itu masih tidak percaya. “Tapi lo kelihatannya pucet, Han?” tanyanya masih penuh selidik.

Aduh, Hanna jadi pusing.

“Mungkin Hanna capek. Mending kamu balik kelas, bentar lagi masuk.” Gadis itu lagi-lagi yang menjawab pertanyaan Ken.

Hanna jadi ikut mengibas-ngibaskan tangannya. “Iya, mending lo balik kelas deh, makin pusing gue denger pertanyaan lo yang aneh-aneh,” usirnya. 

Pemuda itu akhirnya pergi setelah dua gadis ini mengusirnya dengan paksa. 

Tak lama setelah sosok Ken menghilang di balik pintu, gadis berkulit putih dengan rambut panjang terurai ini memandangi Hanna sambil tersenyum. “Are you ok?” tanyanya lembut. Menyadari bahwa penyebab mata sayu Hanna bukanlah yang tadi ia sebutkan, tapi karena menangis. Dan mungkin Hanna akan merasa tidak nyaman jika ada yang menyadarinya.

“Nggak papa. Makasih ya. Cowok lo bikin gue pusing.” Hanna menjawab sambil merapikan rambutnya, mengambil sedikit poninya yang mulai memanjang agar matanya sedikit tertutupi oleh poni panjangnya. 

“Perhatian aja dia ke kamu.” Felline nyengir. Lalu menepuk bahu Hanna pelan. “Kamu kalau ada apa-apa, cerita aja nggak papa.” Pandangannya menenangkan. 

Gadis itu masih tak menyadari, siapa yang menyebabkan Hanna begini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!