NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahimu

kereta api

Anak perempuan itu erat memegang tangan ibunya, dengan wajah masih di penuhi kantuk ia berjalan turun dari kereta api yang mereka tumpangi.

" Bunda.. kita masih lama ya sampainya?" tanya anak perempuan yang masih berusia enam tahun itu.

" Sebentar lagi sayang.. kita tunggu pak dhe Yudi menjemput kita ya?" jawab si ibu sembari tersenyum.

Sudah hampir tujuh tahun kota ini ia tinggalkan.

Masih saja panas dan macet dimana mana.

" Ran?!" panggil seorang laki laki yang tingginya sekitar seratus tujuh puluh senti itu, kulitnya bersih dan berkaos biru langit, ia berjalan mendekat ke arah ibu muda dan seorang putrinya yang terlihat memang sedang menunggu kedatangannya.

" Wes suwe?" tanya laki laki itu ketika sudah berhadapan,

" tidak mas, aku dan Tia juga baru saja turun.."

" baguslah, nah.. kita pulang ya?" Yudi jongkok, menyapa gadis kecil yang sedari tadi menatapnya.

" Salim sayang.. Ini pak dhe Yudi, kakak bunda.."

Mendengar kata kata bundanya, tia meraih tangan Yudi dan menciumnya.

Melihat itu Yudi tersenyum, senyum yang mengandung kesedihan jug kebahagiaan.

" Gendong pak dhe ya?" tanya Yudi lembut,

Tia mendongak ke atas, melihat ibunya,

" Kita beli kue dan mainan nanti di jalan.. Oke?" imbuh Yudi tidak menginginkan penolakan.

Mendengar tawaran Yudi, tanpa menunggu persetujuan ibunya Tia mengangguk dengan cepat.

Melihat itu tentu saja Yudi langsung tersenyum dan segera menggendong keponakannya itu.

Disepanjang jalan, mata Tia terus memperhatikan jalan,

Begitu pula dengan ibunya.

Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar, mungkin saja sudah banyak yang berubah dikota tempat kelahirannya ini.

" Surabaya banyak berubah ya mas.. banyak bangunan bangunan tinggi sekarang.." ujar perempuan itu,

" dari dulu juga sudah banyak.." jawab Yudi sembari menyetir.

" memang, tapi sekarang jauh lebih banyak.. Kendaraan Pun sungguh padat.."

" memangnya di kota yang kau tinggali tidak padat?"

" pinggiran kota, cukup ramai.. Namun masih banyak lahan lahan kosong..

Hanya di musim liburan seperti ini saja situasi padat, penuh dengan bis bis di jalanan, karena perkembangan pariwisata disana cukup baik..",

" Kapan kapan aku akan mengajak mbak mu kesana Ran..

Tapi kau harus mengajak kami keliling.."

" tentu saja mas, asal musim liburan ya..

tau sendiri adik mas ini harus kerja sembari mengurus anak..".

Mendengar itu Yudi menghela nafas berat,

" kenapa kau tidak pindah saja kesini bersama kami,

Setidaknya ada aku dan mbakmu yang bisa membantu merawat Tia.." ujar Yudi terdengar berhati hati, ia tidak mau membangkitkan luka adiknya.

" Tidak mas.. Aku dan Tiara sudah nyaman hidup disana, jauh dari keramaian dan keruwetan..

Toh ada mak Dar yang masih kuat menjaga Tiara.."

mendengar itu Yudi diam, meski banyak yang ingin di ucapkannya, tapi dia lebih memilih diam dan tidak mau lagi memperpanjang pembicaraannya.

Mobil minibus hitam milik Yudi berhenti di depan rumah,

Rumah bercat putih dan berjendela besar,

Rumah dimana masa kecil sampai usia remaja di habiskan disana.

" Kirani..!" sambut sang kakak ipar keluar dari dalam rumah.

" Mbak Rinta..!" keduanya saling memanggil, dan saling berpelukan.

" Benar benar kau ya Ran.. Akhirnya aku melihatmu juga setelah enam tahun..!" omel Rinta,

" Kan aku sering vidio call mbak.." Kirani tersenyum,

" aduh vidio call tidak bisa mengalahkan pertemuan!".

Tia yang berada di gendongan Yudi hanya menatap saja, ia terlihat bingung melihat ibu dan budhenya ber bicang.

" Lhooo?! Tiara sayang??! Sini gendong budhe, pasti sudah lapar? Kita makan ya?!" Rinta berpindah pada Tiara, ingin mengambil Tiara dari gendongan Yudi, namun Yudi rupanya tidak rela.

" Biarkan ku gendong lebih lama, aku rindu padanya, kau siapkan makanan saja.. Mereka sudah lapar.." ujar Yudi membuat istrinya itu mengangguk,

" Ya sudah, ayo masuk masuk, sudah kusiapkan kamar untuk kalian..!" Rinta menarik tangan adik iparnya yang biasa, di panggil Rani itu dengan semangat.

Rani memasuki Kamarnya, kamar semasa ia masih kecil dan masih gadis,

Semua masih sama,

Tempat tidur yang berukuran sedang, dan lemari kayu berpintu dua dan terdapat kaca yang lebar di salah satu pintunya.

Di taruh travel bag nya, dan berjalan kearah jendela,

Di bukanya kelambu berwarna putih itu,

Sehingga terlihat bunga bunga yang sengaja di tanam Rinta disamping rumah.

Rani tiba tiba menghela nafas, ingatan ingatan lamanya tiba tiba saja datang menyerbu dan membuat dadanya sesak.

" Genta tidak ada nduk.. dia.. Dia lari.." masih begitu segar di ingatannya, kalimat demi kalimat ibu genta.

Ia juga masih ingat benar, betapa marahnya Yudi saat itu, ia mengamuk sejadi jadinya, bahkan hampir membawa Rani pergi dari kediaman keluarga genta dengan memakai kebaya pengantin lengkap.

Bagaimana tidak..

Akad nikah akan di laksanakan satu jam lagi, semua tamu undangan sudah duduk dan berjajar rapi di tenda panjang yang sudah di sediakan,

Tapi pengantin laki lakinya malah tiba tiba tidak ada.

Hilang begitu saja di telan bumi.

" Untuk menghindari malu, dan anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawab kami padamu,

tolong biarkan Hangga yang menggantikan Genta nduk.. Biar Hangga yang mengambil tanggung jawab ini..",

Ucap ibu Genta saat semua orang sudah frustasi dan buntu.

Begitu pula dengan Rani, ia seperti tubuh yang kosong, perasaannya benar benar hancur, sampai sampai air mata tak menitik setetes pun.

Herannya, Hangga yang pendiam dan terbiasa acuh tak acuh kepadanya itu tiba tiba saja menjadi sosok penolong, ia menggantikan kakaknya dengan rela, meski terlihat jelas kebingungan dan keterkejutan di matanya, namun segera di usir kebingungan itu demi menjaga nama baik orang tuanya.

Semua di laksanakan dengan buru buru oleh Hangga, hingga akad berjalan dengan sukses.

Cukup sukses dan lancar untuk ukuran orang yang baru saja menghafal kalimat ijab qobul.

Rani bahkan lupa, kapan Hangga memasangkan cincin di tangannya, karena semua terjadi begitu cepat, seperti mengapung di udara begitu saja.

Dan entah kapan pula Rani berjalan ke kursi dekor pengantin, tau tau dia sudah duduk saja berdampingan dengan Hangga.

" Apa yang sedang kau lamun kan?" suara Yudi memecah keheningan di kamar, membuat lamunan Rani buyar.

" Ah, tidak mas.. rindu saja dengan kamar ini.." jawab Rani tersenyum sesegera mungkin.

" yang lalu biarlah berlalu, sekarang makanlah, mbak mu sudah menunggu.." ujar Yudi kemudian berlalu.

6 bulan

Hal yang tidak pernah Rani bayangkan seumur hidupnya,

Ia berada satu kamar dengan laki laki yang sesungguhnya akan menjadi adik iparnya itu.

Namun karena perbuatan Genta yang tidak bertanggung jawab,

Situasi berubah,

Calon adik iparnya itu kini menjadi suaminya.

Dada Rani di penuhi sesak, di liriknya laki laki yang sedang sibuk melepas baju pengantinnya itu, lirikan yang canggung bercampur takut.

Laki laki bernama Hangga itu hampir tak pernah menyapanya meski Genta sering membawa Rani berkunjung kerumah.

Laki laki itu selalu tampak dingin dan acuh, semua keluarga bahkan mengakui kalau hangga adalah anak yang paling pendiam, jauh berbeda dengan Genta yang lembut dan hangat,

Dengan Hanum yang raman dan periang.

Rani melirik lagi, sembari menggenggam tangannya yang gemetar.

Namun rupanya yang di lirik merasa, masih sibuk melepas jarik nya, ia menatap Rani sekilas.

" Jangan takut, aku akan tidur di kamarku sendiri," suara Hangga tenang.

Rani diam tertunduk.

" Aku akan memanggil Hanum supaya membantu melepas baju dan sanggul mu,

Setelah itu tidurlah," ujar Hangga lagi saat semua jarik sudah terlepas dan hanya tersisa celana pendek dan kaos dalamnya saja.

Tanpa menunggu jawaban Rani, laki laki itu pergi,

Dan lima menit kemudian muncullah Hanum, anak bungsu keluarga ini.

Hanum yang biasanya ceria itu, kini tiba tiba menjadi seorang pendiam.

" Ku bantu ya mbak.." katanya hati hati memegang sanggul Rani.

Rani mengangguk, namun entah kenapa, di tengah anggukannya itu air matanya tiba tiba turun begitu saja,

Air mata yang sudah ia tahan selama berjam jam di hadapan banyak orang.

Awalnya hanya tangisan kecil,

Tapi saat hanum memeluknya, tangis itu menjadi isakan isakan yang luar biasa menyakitkannya, hingga bahu Rani berguncang hebat.

Melihat Rani seperti itu, Hanum turut menyesal hingga turut menangis.

Ia sungguh sungguh menyesalkan perbuatan kakak tertuanya yang tidak bertanggung jawab.

" Maafkan kami ya mbak...??" ucap Hanum dengan suara menyedihkan,

" kami tidak mengawasi mas Genta dengan baik sehingga hal semacam ini menimpamu..?? Maafkan kami mbak...??" pinta Hanum masih memeluk Rani yang belum berhenti menangis.

Dan begitulah, malam pengantin itu berlalu dengan di penuhi air mata.

Rani terbaring menyedihkan sendirian di atas ranjang pengantinnya.

Sesekali matanya menatap rangkaian bunga yang menghiasi ujung ujung ruangan, rangkaian bunga yang indah itu malah membuat air matanya jatuh kembali, betapa menyedihkannya dirinya, di tinggalkan begitu saja tanpa tau sebab dan salahnya apa,

Dan sekarang, ia sudah terlanjur menikah dengan adik Genta, entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Keesokan hari, ketika suasana sudah menjadi lebih tenang, semua keluarga berkumpul untuk bicara dengan serius.

Rani, dan Hangga duduk berjauhan meski keduanya sudah menjadi suami istri.

Hanum yang peka, duduk disamping Rani dan tidak henti mengelus lengan kakak iparnya itu.

" Nasi sudah menjadi bubur Ran, semuanya terjadi begitu cepat.. sekarang semua terserah kau dan Hangga saja..

Kalian mau tetap tinggal disini, atau mencari rumah yang jauh dari sini.." suara mertua laki lakinya kalem, tampak pula penyesalan di dalamnya.

Rani tertegun cukup lama, tak pernah ada rencana apapun dalam pikirannya setelah hal menyedihkan ini terjadi padanya.

Apalagi untuk hidup berdua dengan Hangga,

Yah hangga,

sosok yang sering ia lihat bersliweran di hadapannya saat berdua dengan Genta,

Namun tak pernah ia kenal dengan sungguh sungguh seperti Hanum.

Rumah tangga macam apa yang akan ia jalani??

Bersuamikan laki laki yang sosoknya dingin dan kaku,

Kenyataan yang lebih mengerikan adalah keduanya tidak saling mencintai,

Bagaimana caranya hidup berdampingan dalam satu atap rumah??.

Rani kebingungan menjawab, matanya terus menatap lantai.

" Sepertinya Rani kebingungan pa.. tentu saja dia masih kaget.." ibu mertua Rani membaca kebingungan itu dan menyela.

Mendengar itu Papa Hangga mengalihkan pandangan pada putra keduanya.

" Kalau kau bagaimana ngga? rencana ke depanmu bagaimana dengan Rani," tanya papanya,

Hangga jug diam, ia hanya terdengar menghela nafas.

" kuharap kalian berdua bisa menerima kondisi dengan bijaksana,

Meski suatu ketika Genta kembali, situasi ini sudah tidak bisa di ubah,

Dan papa berharap, tidak ada perceraian di dalam rumah tangga anak anak papa, entah apapun alasannya..

Belajarlah kalian saling menerima,

Hiduplah bersama dengan baik..

Jika tidak bisa memulainya sebagai pasangan,

Mulailah dulu sebagai teman untuk berbagi segala hal..

Papa tidak bicara asal saja,

Dulu papa dan mamamu juga tidak melewati proses pacaran,

Kami di jodohkan oleh orang tua kami,

Tapi kalian lihat..

Kami berhasil membangun rumah tangga ini dengan baik..

jadi papa yakin..

Kalian pasti bisa saling menerima, meski segalanya di awali dengan keterpaksaan..".

Setelah lama diam dan berpikir, akhirnya Hangga mulai bicara,

" Bagaimana jika mas Genta kembali?" tanya Hangga,

" Sudah tidak ada tempat lagi untuknya dirumah ini," jawab papanya cepat.

" papa akan mengusirnya?"

" di berhak hidup di luar sana karena sudah mengecewakan bahkan mengkhianati keluarganya." jawab papanya tegas.

" Bagaimana kalau suatu ketika aku di salahkan pa?"

" selama papa masih hidup, tidak akan ada seorangpun yang berani menyalahkan mu, jadi mantapkan langkahmu ke depan."

Mendengar itu Hangga lagi lagi menghela nafas.

" Ya sudah, kalau papa sudah bicara begitu, aku tidak punya alasan lagi,

Aku akan tinggal di luar saja,

Kurasa itu lebih nyaman." ujar Hangga tanpa menatap atau melirik Rani.

Keputusan itu murni ia buat demi kenyamanan keduanya, lepas dari Rani setuju atau tidak.

Seminggu berlalu, keduanya sudah pindah ke suatu rumah, letaknya di tengah perumahan, jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari rumah Rani.

Hangga memilih rumah itu agar Rani leluasa untuk mengunjungi kakaknya, karena Hangga cukup jarang dirumah dan hanya sesekali bicara pada Rani, seperlunya saja.

Keduanya tidak pernah saling menganggu dan tidur di kamar masing masing.

Hangga memperkerjakan asisten rumah tangga, sehingga ia tidak mengharuskan Rani untuk memasak dan meladeninya,

Hangga merasa hal itu yang paling baik untuk Rani.

Hal itu berlangsung hingga berbulan bulan lamanya,

Hingga di bulan kelima di pernikahan mereka yang tenang, terdengar sebuah kabar, bahwa Genta sudah kembali,

Namun ia tidak kembali sendiri, ia membawa seorang wanita bersamanya.

Mendengar itu, Rani yang sesungguhnya sudah menerima kenyataan, ternyata masih saja kecewa, beberapa malam ia menangis,

Ia menangis bukan karena ingin kembali pada Genta,

Tapi ia menangis karena luka yang ia rasakan masih begitu segar, luka pengkhianatan yang mungkin seumur hidupnya tidak akan hilang.

Saat ia tenggelam dalam tangisnya yang pilu itu, Hangga tiba tiba masuk ke dalam kamarnya,

dengan tergesa gesa di hapus air matanya,

" Ada apa?" tanya Ranu dengan suara serak,

" Ada mbak Rinta mencari mu, aku sudah memanggilmu berkali kali tapi kau tidak membalas, karena itu aku membuka pintu kamarmu," jelas Hangga yang sepertinya baru saja pulang dari tempat kerjanya.

" oh, terimakasih, aku akan segera keluar.." ujar Rani.

Mendengar itu Hangga segera berlalu pergi.

Malamnya, saat Rani sedang duduk di depan TV, Hangga yang biasanya tidak pernah nonton TV itu, tiba tiba saja duduk tak jauh dari Rani.

Meski sudah tinggal seatap selama lima bulan, tapi keduanya tidak pernah duduk berdekatan atau bahkan berbincang, hal itu membuat Rani merasa canggung.

" Duduklah kembali, aku ingin bicara," suara Hangga tenang, ia mencegah Rani yang sudah bangkit dari duduknya itu agar tidak pergi.

" Ada apa?" tanya Rani pelan, ia memberanikan diri menatap Hangga yang selama ini tidak pernah di tatapnya.

Laki laki yang tidak kalah gantengnya dengan Kakak kandungnya itu menyandarkan punggungnya di sofa, seperti ini terlihat lebih rileks.

" Seperti kau tau, pernikahan kita sudah berjalan selama lima bulan..",

Mendengar itu Rani mengangguk,

" minggu depan memasuki bulan ke enam.." Rani menambahkan.

" Kau benar, lalu bagaimana menurutmu pernikahan kita?" tanya Hangga menatap Rani serius,

" Pernikahan kita?" tanya Rani bingung,

" ya, sesungguhnya aku penasaran, bagaimana kita ke depannya, apalagi setelah mas Genta kembali,"

" Maksudmu bagaimana?" Rani gelagapan,

" Kau tentunya tidak bisa melupakan mas Genta sampai sekarang kan?" pertanyaan Hangga yang tiba tiba itu sungguh menusuk hati Rani.

" Lihatlah.. dengan aku menyebut nama mas Genta saja, wajahmu sudah sesedih itu,

Apalagi sekarang mas Genta sudah kembali." ucap Hangga teliti menatap Rani yang tertunduk dalam.

Rani tak menjawab, namun air matanya mulai menetes, dan Hangga melihat air mata itu jatuh dengan jelas di depan matanya.

kedatangan Genta

Setelah perbincangan hari itu entah kenapa sikap Hangga semakin kaku saja, ia memang jarang bicara, tapi sikapnya seperti sedang kesal pada seseorang.

Hingga suatu hari, hal yang tidak menyenangkan terjadi.

Hangga baru saja pulang dari tempat kerjanya, ia bahkan baru saja melepas sepatunya saat mobil Genta tiba tiba saja berhenti di depan pagar rumahnya.

" Ada apa mas?" tanya Hangga berusaha biasa saja meski hatinya tidak begitu senang melihat kakak kandungnya itu.

" Ijinkan aku bicara dengan Kirani, kalau tidak sekarang, entah kapan aku akan mendapat kesempatan untuk meminta maaf.." ujar Genta dengan wajah serius.

Hangga terdiam cukup lama, entah apa yang ia pikirkan, namun karena tidak ada pilihan, dan ia harus bersikap bijaksana sebagai adik, ia menyuruh Genta masuk ke dalam rumahnya.

Hangga berjalan ke kamar Rani, membuka pintu kamar yang tidak terkunci itu.

Disana Rani sedang merapikan baju bajunya di lemari.

" Kenapa mas? Mau makanannya di hangatkan? Biar aku yang hangatkan, soalnya mbak Nur ijin pulang cepat tadi.." ujar Rani buru buru menutup Pintu lemarinya.

" Keluarlah," suara Hangga terdengar serius,

" ada tamu untukmu," imbuhnya.

" Siapa?? Mas Yudi dan mbak Rinta?" tanya Rani, karena hanya Yudi dan Rinta lah yang langganan menjenguknya.

" Bukan, itu mas Genta,"

Langkah Rani terhenti, ia mematung di tempatnya.

Melihat itu Hangga mendekat,

" Aku sendiri sesungguhnya tidak nyaman dengan kehadirannya, meski aku adik kandungnya, tapi apa yang sudah dia lakukan tidak bisa ku tolelir.

Tapi sampai kapan masalah ini berakhir jika kau terus menghindar?

Selesaikanlah." Raut Hangga serius.

" Dia sudah ada di ruang tamu, buatkan dia minum, aku akan mandi sebentar lalu menemanimu." Hangga berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Rani yang masih mematung.

Lima belas menit berlalu, Hangga yang baru saja selesai mandi dengan buru buru memakai kaos dan celana santainya.

Setelah menyisir rambutnya ia segera berjalan keluar kamar, niat hati ingin menemani istrinya, entah hanya untuk duduk disampingnya atau apa.

Namun langkahnya dari ruang tengah tiba tiba terhenti,

" Maafkan aku Ran.. Aku menyesali apa yang ku perbuat kepadamu, andai saja saat itu aku jujur.. Jauh di dalam lubuk hatiku masih ada dirimu meski aku sudah bersama perempuan lain.."

Apa yang Genta lakukan sekarang sungguh melukai perasaan Hangga sebagai seorang laki laki dan seorang suami,

Bagaimana bisa kakak kandungnya itu memeluk istrinya sembari merengek begitu,

Di dalam rumahnya.

" Mas!!" suara lantang Hangga pada kakaknya di sertai langkahnya yang cepat.

Melihat Hangga mendekat Genta dengan segera melepaskan pelukannya. Namun Hangga yang biasanya acuh itu kini sudah terlanjur tersinggung dengan sikap kakaknya,

Di hantamnya wajah Genta sekali hingga Genta terjatuh di atas sofa.

" Apa apaan kau Ngga?!" Genta bangkit dan memegang wajahnya yang sakit.

" Kau yang apa apaan?! Kau tidak memandangku?! wanita siapa yang kau peluk dan rayu?!" Hangga di kuasai ketersinggungan, ia merasa di remehkan.

" Di bukan lagi kekasihmu mas! Dia istriku!" tentu saja Hangga sakit hati, ia selama ini sangat berhati hati, menyentuh tangan Rani pun tidak demi menjaga perasaan Rani, tapi kenapa..

Genta, ia yang sudah sejahat itu pada Rani, berani beraninya menyentuh Rani.

" Aku tau! Tapi kalian menikah karena terpaksa? Jangan sok perduli Ngga?!

Saat aku masih berpacaran dengannya kau perduli pun tidak, menyapa pun tidak,

Lalu kenapa sekarang kau berpura pura menjadi suami yang amat mencintainya?" balas Genta membuat Hangga semakin geram.

" Brengsek memang kau ini!" Hangga mendekat, tangannya terkepal sekali lagi, namun Rani memegangi tangan itu,

" Jangan mas?? Kumohon jangan??" pinta Rani dengan pandangan memohon.

" Kalian?!!" geram Hangga sembari menatap istri dan kakaknya bergantian.

" Pergi mas! Pergi dari rumahku sebelum aku memukulmu lagi!" tegas Hangga, kemarahannya pada Genta tidak main main.

Waktu sudah menunjukkan setengah satu malam, namun Rani masih belum bisa memejamkan matanya.

Ia membolak balikkan tubuhnya, ia takut..

takut dengan kemarahan Hangga, selama enam bulan mereka menikah, tak pernah sekalipun ia melihat kemarahan Hangga.

Selain takut, ia juga merasa bersalah, ia bodoh karena membiarkan Genta memeluk dirinya.

Tapi apalah daya, dirinya yang dihinggapi rasa kecewa dan sedih itu tiba tiba saja di peluk dengan erat,

tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar, dan saat ia ingin mendorong Genta menjauh, tau tau Hangga berteriak keras dan langsung memukul kakaknya itu.

Rani sungguh takut, dan bingung ia ingin menjelaskan pada Hangga, tapi ia tidak tau harus bicara mulai dari mana.

Rani bangkit, berjalan keluar kamarnya dan menuju ke dapur.

Mengambil segelas air dingin dan meminumnya sampai habis, ia berharap kegelisahannya segera hilang.

Namun saat Rani akan kembali ke kamarnya, ia melihat Hangga sedang duduk di tengah cahaya remang di ruang tengah.

Rani yang bimbang memberanikan diri, ia berjalan mendekati Hangga.

" Mas.. Belum tidur mas..?"

Panggilnya pada laki laki yang usianya lebih tua empat tahun itu darinya.

Hangga tak menjawab, namun ia menoleh kearah Rani, tatapannya ganjil, tak seperti biasanya.

" aku, aku mau minta maaf.." ujar Rani,

Tapi bukan mendapat jawaban, Hangga malah berdiri dan mendekat.

Sikap yang tidak biasanya menurut Rani begitu juga dengan tatapan nya yang seakan ingin menelan Kirani hidup hidup.

" Mas?" panggil Rani lagi, namun lagi lagi bukan menjawab, Hangga malah mengangkat tubuh Rani,

" Mas?! Ada apa ini?!" tanya kirani cemas dan bingung karena tubuhnya tiba tiba saja di gendong di pundak.

Hangga tidak menjawab, namun langkahnya cepat menuju kamarnya.

Setelah sampai di kamar, di lemparnya Rani ke atas tempat tidur.

Melihat perlakuan Hangga Rani memberingsut, ia menjauh ke bagian lain dari tempat tidur.

Namun Hangga menarik kaki Rani dengan cepat sehingga perempuan ini kembali di bawah kendalinya.

" Apa maksudnya semua ini? Mari kita bicara baik baik?!" pinta Rani,

" Apa yang perlu di bicarakan? Kau istriku, aku berhak atas dirimu.." desis Hangga,

" Aku selama ini menahan diriku, karena aku tidak mau melukai perasaanmu, tapi apa yang kau lakukan?

Kau biarkan dirimu di sentuh laki laki lain seenaknya..!" tegas Hangga lalu menyergap bibir Rani.

Rani yang kalah besar tentu saja tidak bisa lepas, meski dirinya mendorong tubuh Hangga dengan sekuat tenaga.

Malam itu, Hangga berhasil menguasai tubuh Rani sebagai seorang laki laki, sebagai seorang suami, yang sakit hati.

Ia tidak perduli, meski Rani menangis di bawah tubuhnya,

Yang ia tau hanyalah dirinya lebih berhak menyentuh Rani dari pada pria manapun.

Entah berapa kali Hangga melampiaskan nafsu yang berbaur dengan emosi itu, yang jelas ia baru saja terlelap sampai menjelang subuh.

Bahu yang lebar dan tangan yang kuat itu tetap merengkuh Rani dalam tidur, seakan dalam tidurpun Rani tidak boleh lepas dalam dirinya.

Rani berusaha melepaskan diri, tapi semaki berusaha Rani lepas, rengkuhan itu semakin erat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!