"Aku mengangap kamu seperti huruf Ba dalam iklab, tapi bagimu aku seperti "nun mati di antara idgham billagunah" ada namun tak dianggap."
**
Cinta merasa wanita yang paling bahagia di hari ini, karena dia akhirnya bisa menikah dengan pria yang telah lama dia cintai.
Rangga, melamar dan meminta Cinta menjadi istrinya. Wanita mana yang akan menolak jika lamaran itu datang dari pria yang diidamkan.
Setelah satu bulan lamaran, pesta pernikahan segera dilangsungkan. Semua biaya akan ditanggung Rangga.
Hari ini di salah satu hotel berbintang, terlihat ramai para tamu undangan. Pernikahan Rangga dan Cinta akan dilangsungkan.
Rangga tampak sangat tampan dengan balutan jasnya. Dihadapan Rangga duduk pria paruh baya, ayah Cinta. Mereka telah berjabat tangan. Akad nikah akan segera diucapkan.
"Rangga ...," panggil Ayahnya Cinta.
"Saya, Pak," jawab Rangga
"Saya nikah dan kawinkan engkau dengan putri kandungku Cinta binti Muhammad Taufik dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas, dibayar Tunai ...," ucap Ayahnya Cinta.
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta binti Muhammad Taufik dengan mas kawin tersebut diatas, di bayar ... Tunai," ucap Rangga dengan sekali tarikan napas.
"Bagaimana ...? SAH ... SAH ... para saksi?" tanya pak penghulu dengan kedua orang saksi.
"Sahhh ...!" jawab saksi serempak.
Rangga menarik napas lega setelah para saksi menyatakan sah. Dari sebuah ruangan tampak Cinta keluar dengan balutan kebaya putih. Dia tampak cantik sekali.
Cinta duduk mendampingi Rangga. Mereka berdua sangat serasi. Pria itu tersenyum sangat manis dengan istrinya, dan dibalas Cinta dengan tersenyum semringah.
Ayah Cinta berdiri dan ingin memberikan suatu nasihat buat Rangga yang telah menjadi suami anaknya.
"Rangga, saya orang pertama yang memeluk Cinta, bukan kamu. Saya adalah orang pertama yang menciumnya, bukan kamu. Saya orang pertama yang mencintainya, bukan kamu," ucap ayah Cinta sambil terlihat menyeka air mata.
"Saya harap kamu adalah orang yang bisa bersama Cinta selamanya. Jika suatu hari kamu tidak mencintainya lagi, jangan katakan itu kepadanya. Sebagai ganti, katakan kepada saya. Saya akan datang dan membawanya pulang," lanjut ayah Cinta.
"Jika suatu saat Cinta berbuat salah beritahu saya, biar saya yang nasehatin. Sampai detik ini saya tak pernah sekalipun memarahinya. Saya tak rela jika ada pria yang memarahi putri kesayangan saya ini. Saya selalu mengharapkan putri kami dijaga dengan baik sama seperti kami menjaga dia. Melindungi martabat, aurat dan akidahnya. Saya titipkan putriku padamu." Itulah nasehat ayah Cinta sebelum kedua pengantin bersanding.
Pesta pernikahan berlangsung hingga malam hari. Cinta dan Rangga selalu tersenyum sepanjang acara.
Hingga jam sebelas malam seluruh tamu undangan dan keluarga akhirnya bubar. Kedua pengantin menuju kamar yang disediakan hotel sebagai bonus.
Cinta mengikuti Rangga masuk ke kamar. Tubuhnya terasa sangat lelah karena seharian melayani tamu undangan.
Rangga langsung masuk ke kamar mandi, Cinta mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Sambil menunggu suaminya selesai mandi, Cinta membaringkan tubuhnya. Rasa lelah membuat wanita itu ketiduran.
Rangga yang baru selesai mandi, melihat istrinya berbaring menjadi geram. Dengan sangat kuat pria itu menarik selimut sehingga Cinta menjadi terkejut dan langsung bangun.
"Mas Rangga sudah selesai mandi?" tanya Cinta. Sebenarnya dia masih kaget dengan perlakuan suaminya tadi.
Bukannya menjawab pertanyaan Cinta, Rangga lalu mendekati Cinta, menarik tangannya hingga terjatuh ke lantai. Hal ini membuat Cinta semakin heran.
"Mas Rangga, kenapa? Tanganku sakit Mas ditarik begini," ucap Cinta dengan menahan sakit.
"Aku tidak sudi tidur denganmu. Kau bisa tidur di mana pun kau mau, asal jangan didekatku!" ucap Rangga dengan penuh penekanan.
Cinta menatap wajah Rangga dengan penuh tanda tanya. Kenapa pria yang baru tadi pagi menjadi suaminya, berbuat kasar. Saat melamar dirinya Rangga begitu baik dan sopan.
Cinta berdiri, dan berjalan menjauh dari tempat tidur. Mengambil handuk untuk membersihkan diri.
"Kamu bisa menggantikan pakaianmu di kamar mandi. Jangan dihadapanku. Besok kita langsung pindah ke rumah baru. Di sana kita akan tidur terpisah," ucap Rangga dengan suara lantang.
"Terpisah? Kenapa, Mas? Bukankah kita sudah sah sebagai suami istri. Kenapa kita harus tidur terpisah?" Cinta bertanya karena merasa semua itu sangat aneh.
"Aku belum bisa memenuhi kewajibanku sebagai suami. Aku mau kamu jangan banyak bertanya. Sudah aku nikahi, berarti kamu harus patuh padaku sebagai suamimu!" Rangga bicara dengan suara lantang.
"Apa Mas Rangga menikah denganku karena terpaksa?" Cinta bertanya kembali.
"Aku sudah katakan tadi, jangan banyak bertanya! Apa telinga kamu sudah tidak berfungsi lagi sehingga tidak mendengar ucapanku tadi!" Rangga bicara dengan bentakan.
Cinta terkejut mendengar suara Rangga yang besar. Dia tidak mau mendengarkan lagi ucapan pria itu dan segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Wanita itu menghidupkan keran dan membiarkan air mengalir. Tangisnya pecah.
Cinta yang awalnya sangat bahagia ketika orang tuanya mengatakan jika dirinya akan dilamar Mas Rangga, menjadi sangat kecewa mengetahui kenyataan jika Rangga tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Terbukti dia sangat kasar dengan dirinya.
"Tuhan, katakan jika pertemuan ini hanyalah suatu kebetulan, sehingga aku tak harus berharap terlalu banyak. Aku sadar,tidak semua angan-angan seseorang akan dia dapatkan. Angin berhembus tidak sesuai dengan kehendak perahu layar." Cinta bicara pada dirinya sendiri.
Cinta masih menangis tersedu di dalam kamar mandi. Sementara itu, Rangga telah mengganti pakaiannya dengan piyama dan membaringkan tubuhnya di ranjang pengantin mereka.
"Ketika aku merasakan kebahagiaan mendalam, aku merasa tertampar karena setiap kebahagiaan itu buat aku tersadar bahwa kebahagiaan hanya sementara. Sebenarnya yang menyakitkan itu bukan dia. Tetapi harapanmu terhadap dirinyalah yang terlalu tinggi. Namun, apapun yang terjadi, nikmati hidup ini. Hapus air mata dan berikan senyummu. Kadang senyum terindah datang setelah air mata penuh luka." Cinta berucap sendiri untuk menguatkan hatinya.
Cinta menghapus air matanya. Dia membasuh wajahnya dari riasan. Setelah itu barulah dia mandi. Cinta mengambil wudu untuk melaksanakan solat malam.
Setelah mandi dan menggantikan pakaiannya dengan piyama, Cinta keluar dari kamar mandi. Dia melihat ke arah tempat tidur. Rangga tampak telah terlelap. Suami yang dia harapkan akan memberikan kebahagiaan ternyata memberikan luka.
Pernikahan yang Cinta bayangkan akan menjadi awal kebahagiaan bersama orang yang dicintai, itu hanyalah mimpi. Ternyata tidak selamanya pernikahan itu indah.
...----------------...
Pagi hari yang cerah. Matahari bersinar dengan terik. Cahayanya masuk melalui celah jendela kamar. Rangga mencoba membuka matanya secara perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada Cinta, wanita yang telah sah menjadi istrinya itu.
Rangga turun dari ranjang dan berjalan mendekati Cinta. Ditariknya selimut yang menutupi tubuh istrinya itu dengan sangat keras, sehingga tubuh Cinta ikut terjatuh terjerembab ke lantai.
Cinta terkejut dan langsung terbangun. Tubuhnya terasa sakit. Dia menatap ke arah Rangga.
"Kenapa ...? Tidak terima aku bangunkan!" teriak Rangga.
Cinta berdiri dan duduk di sofa tempat dia tidur tadi malam. Wanita itu menarik napas dalam sebelum akhirnya bicara.
"Aku bukannya tidak terima Mas bangunkan, tapi aku terkejut dengan caranya Mas bangunkan tadi. Mas bisa melakukan semua dengan lembut 'kan? Tanpa harus dengan kekerasan." Cinta bicara dengan lembutnya.
Bukannya merasa bersalah, Rangga justru menarik rambut Cinta. Wanita itu meringis merasakan sakit di kulit kepalanya.
"Apa aku harus membangunkan kamu seperti ini?" tanya Rangga masih dengan tangan yang menarik rambut istrinya itu.
Cinta memegang pergelangan tangan pria itu. Menahan agar tidak menarik lebih keras lagi. Terlihat air keluar dari sudut matanya.
"Mas, sakit. Aku mohon lepaskan tanganmu! Aku janji tidak akan ketiduran lagi," ucap Cinta dengan memohon.
Rangga melepaskan tangannya dan masuk ke kamar mandi. Tangisan Cinta akhirnya pecah. Dia tidak mungkin mundur dari pernikahan yang baru berjalan satu hari ini. Cinta berharap semua ini hanya mimpi. Tidak mungkin Rangga sekasar ini. Pasti karena kelelahan, ucap Cinta dalam hatinya.
Setelah Rangga mandi, pria itu sepertinya memesan sarapan. Cinta masuk ke kamar mandi. Kembali tangisnya pecah.
"Aku tidak akan membiarkan kau hidup bahagia, Cinta. Kau telah membunuh Rafael. Aku akan membalas sakit hati adikku dengan membuatmu seperti hidup dalam neraka," gumam Rangga pada dirinya sendiri.
Pria itu melihat ke arah Cinta saat dia keluar dari kamar mandi. Wanita itu tidak berani mendekati Rangga. Dia kembali duduk di sofa.
"Kenapa kau masih saja duduk. Cepat sarapan! Setelah ini kita akan kembali ke rumahku. Orang tua kamu tadi telah pamit dan mereka telah kembali ke kampung." Rangga menjelaskan tanpa melihat atau menatap ke arah Cinta.
Cinta dengan tergesa berdiri. Ketika dia akan duduk di kursi yang ada dihadapan Rangga kembali wanita itu dikejutkan dengan bentakan pria itu.
"Siapa yang meminta kamu duduk di situ? Kau bisa menghilangkan selera makanku saja!" ucap Rangga dengan suara tinggi.
Cinta jadi gemetar karena takut. Dia mengambil sarapan dan berjalan kembali ke sofa tadi.
Baru setengah sarapannya dimakan, dia melihat Rangga berdiri dengan berkacak pinggang.
"Cepat kau selesaikan makanmu! Kita harus segera tinggalkan hotel ini. Bereskan semua barang. Setengah jam lagi aku kembali. Jangan sampai aku melihat kamu belum siap!" Kembali Rangga berucap dengan suara tinggi.
Seperti yang Rangga katakan tadi, setengah jam kemudian dia kembali ke hotel. Pria itu heran melihat semua barang telah selesai dibereskan Cinta. Dalam hatinya bertanya, bagaimana bisa wanita itu membersihkan secepat ini. Padahal tadinya dia berharap semua belum siap, agar dia bisa memarahi Cinta.
"Angkat semua. Kita ke rumahku. Jangan sampai ada ketinggalan! Kepalamu gantinya!" ucap Rangga dengan angkuhnya.
Rangga mengajak Cinta, pindah ke rumah yang pria itu beli dua tahun lalu.
Suami Cinta itu selama ini hanya tinggal sendirian di rumah yang akan mereka tempat.
Satu jam perjalanan sampai mereka di rumah yang di tuju. Cinta dan Rangga keluar dari mobil. Wanita itu hanya mengikuti langkah kaki suaminya.
Rangga membuka pintu rumah. Baru beberapa langkah masuk, pria itu bersuara.
"Aku akan tempati kamar utama. Kamu tempati kamar tamu!" Dia lalu menunjuk kamar yang akan Cinta tempati.
Cinta masuk ke kamar tamu dan membersihkan isi kamar yang berantakan. Setelah tampak bersih barulah dia keluar dari kamar, tujuan utamanya adalah dapur.
Cinta membersihkan dapur dan meletakan barang-barang pada tempatnya. Selesai dapur dibersihkan, Cinta membuat jus jeruk buat suaminya Rangga. Dia tadi melihat pria itu sedang menonton televisi di ruang keluarga. Dua gelas jus jeruk Cinta bawa dengan napan kehadapan sang suami.
"Silakan di minum, Mas," ucap Cinta. Cinta lalu meletakkan jus jeruk itu di meja, berhadapan dengan Rangga. Wanita itu memilih duduk sedikit menjauh, menjaga jarak agar suaminya tidak marah lagi.
"Aku akan mempekerjakan seseorang untuk membantu kamu di dapur dan seorang tukang kebun sekalian supir jika kamu butuhkan."
"Aku rasa nggak perlu, Mas. Aku bisa mengerjakan sendiri. Jika hanya untuk kita berdua, aku masih sanggup memasaknya."
"Nanti ibumu dan ibuku mengira aku pelit, nggak mau menggaji seseorang buat membantu pekerjaanmu. Lagi pula aku nggak mau berhutang budi karena kamu telah membantu dan melayaniku. Aku juga belum tentu ada selera jika kamu yang memasak. Geli, jijik aku." Rangga berucap dengan raut wajah yang tampak sekali tidak sukanya.
"Itu bukan hutang budi, Mas. Semua itu kewajibanku sebagai seorang istri untuk melayani kamu dan melakukan pekerjaan rumah," ucap Cinta dengan tersenyum, tapi Rangga hanya diam tidak membalasnya.
"Pernikahan hanya di atas kertas, Cinta. Jangan pura-pura baik, ingin menjadi istri yang berbakti. Aku juga tidak akan menunaikan kewajibanku untuk memberi kamu naskah batin!" ucap Rangga.
"Walau pernikahan kita ini hanya di atas kertas, tapi itu sah menurut agama maupun negara. Sebagai baktiku, aku nggak akan keberatan melakukan semuanya walau Mas Rangga belum bisa melaksanakan kewajiban sebagai suami."
Cinta telah bertekat akan menjalani rumah tangga ini, apa pun yang akan terjadi dengan pernikahannya nanti. Bukankah Rangga adalah pilihannya.
"Jangan bersikap sebagai istri yang baik, karena aku nggak akan pernah terenyuh. Aku telah berencana menikah setahun lagi dengan kekasihku. Jadi pernikahan kita hanya sampai segitu. Jangan melibatkan hati dan perasaan agar saat kita harus berpisah tidak ada luka."
Rangga berdiri dari duduknya. Tanpa menyentuh minuman yang Cinta sediakan, pria itu masuk ke ruang kerjanya.
Cinta menarik napas dan memegang dadanya yang terasa sesak, tapi dia telah bertekat tidak akan menangis dan menyerah pada kenyataan ini. Dia akan buktikan pada Rangga jika dirinya juga pantas dicintai. Wanita itu ikut masuk ke kamar tamu.
...----------------...
Pagi hari ini Cinta membuat sarapan roti bakar. Segelas kopi dan sepiring roti telah selesai dihidangkan.
Cinta melangkah menuju kamar suaminya. Diketuk pintu beberapa kali, tidak juga ada sahutan.Dia mencoba memutar gagang pintu. Ternyata tidak di kunci. Wanita itu melangkah masuk dan menghidupkan lampu kamar.
Tampak Rangga yang masih terlelap di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Wanita itu mendekati tempat tidur dan mencoba membangunkan pria itu dengan mengguncang lengannya pelan.
"Mas, bangun. Sudah jam tujuh. Apa Mas tidak kerja?" Cinta masih berusaha membangunkan Rangga. Hingga akhirnya pria itu membuka mata.
Rangga melihat Cinta dengan pandangan tajam, seperti ingin membunuh. Dia tidak berpikir jika wanita ini berani masuk ke kamar dan membangunkan dirinya.
"Siapa yang mengizinkan kau masuk ke kamar ini?" Rangga bertanya dengan suara keras dan lantang. Cinta langsung mundur, takut jika pria itu melakukan kekerasan lagi pada dirinya.
...----------------...
Jika istri yang telah disakiti dan dilukai berkali-kali tapi memilih memaafkan kamu, bukan karena dia bodoh. Hatinya hanya tak mampu melukai orang yang dia cintai.
Aku tidak bisa menggenggam kedua tanganmu, karena akan sulit untukmu berjalan menatap masa depan. Biarlah ku ikhlaskan satu tanganmu di dalam genggamannya, untuk kita jalan bertiga menuju ridhonya.
**
Rangga menatap Cinta dengan mata melotot. Rahangnya tampak menonjol karena menahan amarah. Dia bangun dari tidurnya dan mendorong tubuh Cinta.
"Siapa yang mengizinkan kau masuk ke kamar ini?" Rangga bertanya dengan suara keras dan lantang. Cinta langsung mundur, takut jika pria itu melakukan kekerasan lagi pada dirinya.
"Maaf, Mas. Aku tidak tahu. Jika memang tidak diizinkan, aku akan keluar dan tidak akan pernah masuk lagi."
Cinta berjalan tergesa meninggalkan kamar, sebelum pria itu melakukan sesuatu. Dia lalu membuatkan sarapan roti bakar dan segelas kopi untuk suaminya.
Setelah mandi, Rangga yang telah berpakaian rapi keluar kamar. Dia langsung berjalan menuju meja makan. Pria itu duduk dihadapan sarapan yang disediakan Cinta.
Rangga mengambil kopi dan menyicipnya. Dia langsung menyemburkan kopi yang sempat diminumnya. Pria itu lalu melempar gelas berisi kopi itu ke lantai. Cinta yang sedang mencuci pakaian menjadi kaget. Dia lalu menghampiri suaminya.
"Ada apa, Mas? Kenapa dengan kopinya?" tanya Cinta dengan ketakutan. Dia melihat gelas yang pecah dan kacanya berserakan di lantai.
"Apa kau ingin membunuhku? Kau sengaja membuat kopi dengan gula yang banyak agar aku menderita penyakit diabetes?" tanya Rangga dengan suara sangat tinggi.
Cinta ketakutan hingga tubuhnya gemetar. Dia memang belum tahu kebiasaan suaminya itu. Apakah suka kopi dengan gula yang banyak atau sedikit? Seharusnya dia bertanya dulu, pikir Cinta dalam hatinya.
"Maaf, Mas. Lain kali aku akan kurangi gulanya. Biasanya Mas minum kopi, gulanya berapa sendok?" tanya Cinta dengan hati-hati.
Rangga berdiri dari duduknya. Mengambil tas kerja yang ada di atas meja makan. Pria itu menatap Cinta dengan mata tajam.
"Aku tidak ingin kau buatkan sarapan lagi. Dari pada aku mati kau racun!" ucap Rangga. Dia lalu berjalan meninggalkan Cinta.
Baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar Cinta memanggil namanya. Namun, Rangga mengabaikan dan tetap berjalan. Cinta sedikit berlari untuk mengejar suaminya itu. Ketika sampai dihadapan suaminya, Cinta meraih tangan Rangga.
"Selamat bekerja, Mas. Semoga semua berjalan lancar. Hati-hati di jalan." Cinta lalu menyalami dan mencium tangan suaminya itu.
Rangga sempat tertegun sejenak melihat istri yang tadi dibentaknya masih menghormati dirinya. Namun, dia kembali menepisnya.
"Jangan tertipu dengan sikap manisnya. Dia sengaja ingin menjeratku agar jatuh cinta, dan setelah itu barulah dia memperlihatkan siapa dirinya. Rafael saja bisa dia buat bunuh diri, begitu kejamnya dia," gumam Rangga dalam hatinya.
Rangga menarik tangannya, dan langsung pergi tanpa pamit dengan Cinta. Wanita itu menatap kepergian suaminya hingga mobil itu hilang dari pandangan matanya.
Cinta menarik napas dalam. Rasanya tidak percaya jika Rangga bisa berbuat kasar. Dulu dia mengenal pria itu sangat lembut dan ramah. Ada apa dengan suaminya? Mengapa sifatnya saat ini berubah? Cinta masih terus bertanya dalam hatinya.
Dia berjalan masuk, dan mulai membersihkan rumah. Banyak perabot yang tidak ditempatkan semestinya. Sebelum membersihkan semuanya, dia terlebih dahulu membersihkan dapur dari pecahan kaca.
***
Cinta melihat jam dinding, telah menunjukkan pukul delapan malam, tapi suaminya belum juga pulang. Cinta menjadi gelisah. Ingin rasanya menghubungi Rangga, tapi dia takut nanti dimarahi.
Wanita itu berjalan mondar mandir dalam rumah, menunggu kepulangan suaminya. Saat terdengar suara mesin mobil, Cinta menjadi lega. Dia yakin itu suara mobil suaminya.
Cinta berlari ke luar rumah untuk menyambut kehilangan suaminya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Rangga berjalan dengan memeluk pinggang seorang wanita.
Dada Cinta terasa sesak. Tenggorokannya rasa tercekat. Apa lagi yang akan dibuat suaminya? Tidak cukupkah kemarahan dan perlakuan kasarnya.
Rangga berjalan masuk ke dalam rumah masih dengan memeluk pinggang wanita itu. Dia mengabaikan kehadiran Cinta.
Rangga sengaja membawa kekasihnya Arimbi untuk membuat Cinta sakit hati dan cemburu. Dia hanya ingin menyiksa istrinya itu.
Wanita yang bersama Rangga itu duduk di sofa sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Darah Cinta terasa mendidih, tapi dia mencoba menahan rasa amarah yang ingin memuncak.
"Hai kamu ... sini!" panggil wanita itu.
Cinta tetap berdiri ditempatnya. Mengacuhkan panggilan wanita itu. Dia lalu berjalan menuju dapur. Baru kakinya ingin menginjak lantai dapur namanya dipanggil dengan lantang oleh Rangga.
"Cinta ...," teriak Rangga. "Apa telinga kamu memang sudah tidak berfungsi? Arimbi memanggil, tapi kamu mengabaikannya! Kesini kau!" teriak Rangga.
Cinta berjalan kembali ke ruang keluarga, tempat kedua orang itu duduk. Dia berdiri dihadapan Rangga dengan menunduk.
"Sepertinya telinga kamu perlu diperiksa," ujar Rangga.
Cinta tidak berani berucap, karena setiap yang dia katakan selalu salah. Wanita itu lebih memilih diam
"Sayang, aku mau dibuatkan jus pokat dan nasi goreng. Tapi aku tak mau pakai lama," ucap cewek yang dipanggil Arimbi itu.
"Kamu dengar itu. Buatkan segera apa yang Arimbi minta. Aku tidak mau nanti dia sakit karena lapar. Segera!" perintah Rangga dengan suara lantang.
Cinta berjalan dengan terpaksa menuju dapur. Setengah jam kemudian dia telah selesai membuatkan apa yang diminta Arimbi.
Saat Cinta berjalan menuju ruang keluarga, dia mendengar suara tawa suami dan wanita itu dari kamar suaminya. Jantung Cinta berpacu lebih cepat. Tidak percaya jika suaminya tega membawa wanita lain masuk ke kamar dia. Sedangkan dia istri sahnya saja tidak diizinkan.
"Ya Tuhan, izinkan aku untuk menangis sebentar, bukan aku tidak ikhlas atas takdirmu. Tetapi biarkan aku lumpuhkan segala kelelahan yang aku rasakan sebentar saja. Terlihat kuat bukan berarti aku tidak pernah meneteskan air mataku. Dalam kondisi ini aku bersyukur atas ujian, karenanya aku menjadi lebih kuat. Semoga aku bisa bersabar ketika diberikan ujian lagi."
Tubuh Cinta terasa lemah. Dia meletakan makanan ke meja. Badannya jatuh ke lantai. Rasanya tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya.
"Aku menangis, bukan karena aku tak bisa meluapkan emosiku. Akan tetapi aku menangis karena betapa luar biasanya rasa yang aku dapat saat aku berusaha menahan segalanya untuk bersabar dan ikhlas, saat amarahku diatas puncak, kesedihan yang paling sedih adalah kesedihan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata sedikitpun."
...----------------...
Selamat Pagi. Mama mohon dukungannya. Novel ini ikut event air mata pernikahan dengan tema KDRT. Jadi mungkin di awal akan banyak konflik. Sekali lagi mama mohon dukungannya. 🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!