NovelToon NovelToon

We Are Stories

Group Chat Of Class

Liburan akhir semester di masa sekolah maupun perkuliahan adalah tetap menjadi hal yang ditunggu tunggu oleh para pengenyam pendidikan. Setelah kurang lebih 6 bulan lamanya bergelut dengan buku pelajaran dan tugas tugas yang tiada akhir. Waktunya untuk mengistirahatkan otak sejenak, yang diisi dengan aktifitas yang menyenangkan dan menenangkan.

Salah satunya Adiba Khairunnisa atau Diba, mahasiswi yang akan memasuki tingkat akhir ini memilih menghabiskan masa liburannya dengan mudik ke kampung tempat ia dilahirkan, lampung.

Kampung halaman asli kedua orang tua Diba adalah Kebumen, Jawa Tengah. Nenek dan Kakeknya lah yang mengawali menjadi transmigran dari tanah Jawa ke tanah Sumatera itu tahun 1960 an silam.

Diba sebagai generasi ketiga transmigran tersebut menjadi sedikit tidak sepenuhnya memahami kebudayaan suku jawanya nya sendiri.

Karena dipaksa mempelajari dan mengimplementasikan kebudayaan lampung. Yang diwarisi keluarganya ialah attitude dan bahasa dengan logat jawa yang bercampur baur dan terdengar kasar, sebagai bahasa sehari hari.

Keluarga Diba bukan berasal dari orang berada. Mata pencarian utamanya adalah bertani, dengan modal tanah warisan maupun hasil jerih payah sendiri. Anak cucu dari kakek neneknya, baik dari pihak bapak atau ibunya.

Hanya Diba yang berhasil mengenyam pendidikan sampai ke bangku kuliah. Ia tidak pernah memaksa keadaan, tapi keadaan malah mendukung mempinya.

Hari hari liburan Diba banyak dihabiskan untuk bermain dan jalan jalan dengan para sepupunya tak ketinggalan reuni wajib dengan teman SD, SMP dan SMA tentunya. Sisanya untuk mengurus rumah seperti bebersih dan memasak serta mengaji di masjid tepat belakang rumahnya pada malam hari.

Tak ada perempuan lain dirumah Diba, ibunya sudah tiada sejak ia duduk dibangku SMP. Ia tinggal dengan sang bapak, Pak Ahmad dan sang kakak, Adit.

Pak Ahmad seorang petani biasa dan mengurus beberapa ekor sapi yang diternaknya. Sedangkan kakaknya Adit sering bekerja diluar kota, bisa berhari hari atau berbulan- bulan tak pulang.

Seperti sekarang ia tinggal berdua dengan Pak Ahmad lantaran kak Adit sudah berangkat bekerja di luar kota 2 hari yang lalu. Ia sempat menghabiskan waktu 2 minggu dirumah setelah 2 bulan merantau, bersamaan dengan waktu Diba pulang.

''Pak, tempe ne arep dimasak opo?. (Pak, tempenya mau dimasak apa?)'' tanya Diba pada Pak Ahmad.

Setiap pagi dan sore hari bila sedang dirumah, ia memang suka memasak lauk yang berbeda. Jika pak Ahmad yang memasak, satu hari penuh lauk yang dimakan sama yang dimasak waktu pagi. Bukan tak suka, tapi ia terkadang bosan.

Diba sudah berada di dapur berlantai tanah itu, dengan memegang satu papan tempe berbungkus daun pisang yang baru dibeli pak Ahmad.

Sambil duduk di dingklik (bangku kecil yang terbuat dari kayu) ia memandang kearah bapaknya menunggu jawaban. Pak Ahmad yang hendak keluar itu akhirnya berhenti dan menghadap ke arah nya dengan raut wajah berpikir.

''Digawe sambel wae nduk. Arep dipindang tapi ra enek kemangi. (Dibuat sambel saja nduk. Mau dibuat pindang tapi gak ada kemangi)'' jawab pak Ahmad akhirnya

''Ora opo opo pak, disambel juga enak kok. (Tidak apa apa pak, dibuat sambel juga enak kok)'' Diba mulai memotong tempe dan menyiapkan bumbu sambal.

Pak Ahmad memang suka sekali tempe dibuat pindang. Masakan yang biasanya memakai bahan utama ikan itu, dibuat inovasi dengam diganti tempe.

Diba yang sebelum merantau, biasa memasak tempe menjadi berbagai lauk lain. Memandang heran pindang tempe yang dibuat bapaknya, ia belum pernah membuat apalagi mendengar sebelumnya.

Itu adalah momen saat ia pulang setelah 1 tahun merantau. Sekarang ia sudah biasa bahkan memasaknya juga untuk anak kost.

''Nek wes rampung langsung adus nduk. seng nyampu bapak wae mengko. (Kalau sudah selesai langsung mandi nduk. Yang nyapu bapak aja nanti)'' tutur pak Ahmad sebelum berjalan keluar.

''Iyo pak''.

*****

Malam harinya, seusai melaksanakan sholat magrib disambung isya di masjid. Diba memasuki rumah tepat pukul setengah delapan malam.

''Assalamualaikum'' teriak Diba sambil menuju ke arah pak Ahmad, menyalaminya. Pak Ahmad menjawab salamnya sambil meraih uluran tangan Diba, tetap fokus pada tayangan televisi yang ditontonnya seusai ibadah sholat isya dirumah tadi.

''Diba langsung meng kamar yo pak, enek tugas kampus. (Diba langsung ke kamar ya pak, ada tugas kampus)'' langsung dijawab 'iya' oleh pak Ahmad.

Diba memang berniat mengerjakan tugas kampus malam ini. Tugas bersama satu kelasnya lebih tepatnya.

Memasuki semester lima diwajibkan bagi setiap kelas semua jurusan, mengadakan kegiatan Bakti Sosial. Dengan tempat dan pengurusan lainnya dihandle sendiri oleh masing - masing kelas. Jika izin dan spesifikasi sesuai kebijakan kampus pastinya.

Dalam struktur kepanitian Baksos ini Diba ditunjuk sebagai Sekretaris, itu adalah keputusan mutlak semua teman kelasnya tanpa ada pemilihan. Ia tidak berniat menjalani posisi penting itu, melelahkan pikirnya tapi akhinya terpaksa menyetujui. Ia bukan sepenuhnya tak suka, tapi memang dia merasa akan menguras waktu tenaganya dan itu terbukti sekarang.

Disamping menjalani kegiatan bersifat akademik, Diba juga mengikuti organisasi dikampus yakni Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia memang sebagai anggota biasa. Tapi hari hari kedepan akan ada dua kegiatan acara besar yang siap menanti.

Sebelum liburan kemarin, pelantikan kepengurusan periode baru BEM sekaligus kepanitiaan dua acara tersebut telah ditetapkan. Dan ia akan menjadi Sekretaris juga disalah satu acara itu. Ia tak mau terlalu membayangkan sesibuk apa nanti dan pasti melelahkan.

Diba membuka ponselnya. Dia baru mengingat, jika harus ada yang di diskusikan dengan seksi (bagian) konsumsi. Ia memulai dengan menyapa dan menyampaikan maksud di Grup WA kelas.

Diba : 'Maleemmm guyss... Maap nih ganggu waktu istirahatnya. mau discus sedikit sama seksi konsumsi, tapi kalau yang lain mau kasih pendapat sangat dipersilahkan yaaa.'

Ajeng : 'Malem juga dib, it's okey. Lagi nyantai kok.'

Sebagai koordinator seksi konsumsi, Ajeng merespon cepat. Diikuti beberapa anggota dan teman kelas bagian seksi lain, merespon hampir serupa dengan ajeng.

Diba : 'Wedeehhh banyak yang masih melek ternyata.. 😂. Okeh deh next ya biar cepet. Jadi kemarin kan belum fix buat konsumsi maksi peserta baksosnya. Mau pakai ayam atau telur buat menunya terus teknis bawa kelokasinya gimana atau mau beli di rumah makan terdekat aja. Kemarin Sera sama Dev udah ke lokasinya kan, survey rumah makan sekalian enggak nih?'

Sera : ' iya dib kemarin udah jadi survey. Jadinya pakai ayam aja. kita beli di rumah makan sekitar, kebetulan ada yang deket dan sesuai budget juga dan ini udah fix sama koor juga setuju'

Diba : 'Oke, noted ya. Next, teknis ngasih ke pesertanya gimana? Biar nanti aku cocokin sama rundown sesi acara.'

Ajeng : 'lihat sikon dib, kalau selesainya molor dari rundown bisa kita anterin aja. Jadi peserta gak perlu ngantri'

Teman lainnya juga ikut memberikan pendapat. Ada yang merespon serius ada yang malah menjawabnya dengan candaan dan banyolan. Diba hanya mesem dan geleng geleng kepala membacanya. Tidak heran dengan tingkah teman kelasnya.

Diba : 'Okehh.. Ada lagi?'

Merasa beberapa menit tidak ada yang merespon lagi. Diba bertanya, bermaksud akan mengakhiri percakapan bila dirasa cukup. Tapi tiba tiba

Erin : ' Kayaknya, lebih baik peserta ngambil sendiri aja maksi nya. Yang penting konsumsi standby jaga. Biar gak makan banyak tenaga juga yang lain.'

Diba : 'Tapi kalau gitu apa gak kasian sama pesertanya. Mereka mohon maaf para penyandang ODGJ, takutnya malah jadi gak kondusif. Lebih baik kita keluar tenaga selain karna tugas kita bersama, juga mereka gak perlu antri panjang'

Erin : 'Ohh. OK'

Setelah dirasa cukup, Diba mengakhiri diskusi. Ia mulai mengerjakan tugas sekretarisnya yang lain yang belum terselesaikan. Seminggu lagi liburan akan berakhir dan waktunya kembali ke tanah rantau. Ia harus menyelesaikannya diwaktu libur sekarang, sebelum menumpuk dengan tugas lain yang menanti.

Erina Maulidina Sofyan

''Kamu sudah ada jawaban atau belum?.'' tanya seorang pria paruh baya kepada putrinya. Suaranya tidak meninggi tapi terdengar cukup tegas sesuai pembawaannya.

''Belum. Yah. Sebenarnya Erin belum siap. Masih ingin melanjutkan kuliah lebih dalu. Merasakan dunia kerja juga. Usia Erin masih muda, masih banyak yang ingin dilakukan. Tapi Erin juga takut bila menolak, malah membuat malu Ayah atau bahkan menjadi gunjingan orang.'' Jawabnya dengan suara pelan. Sambil menunduk dan tangan saling menggenggam, tak berani menatap sang ayah, yang tengah duduk disofa tunggal sebelah kanannya.

Erin terlihat jelas masih merasa bimbang. Takut membuat kecewa banyak orang. Hatinya memang sudah memilih. Ia bahkan sudah sangat yakin setelah ratusan kali menimang dan memikirkannya.

Tapi ia juga tidak bisa memutuskan dan mengungkapkannya secara lantang. Sisi hatinya yang lain ada rasa tak tega juga. Takut menyakiti.

Liburan akhir semester kali ini, Erin memang memilih untuk mudik ke kampung halaman. Angannya bisa melakukan banyak hal yang menyenangkan dan mengobati kerinduan terhadap orangtua dan saudara saudaranya. Tak ingin memikirkan banyak hal seperti ia di tanah rantau. Benar benar ingin bahagia sejenak.

Tapi semua itu harus hancur, kala sehari setelah Erin sampai dirumahmya. Seorang pemuda datang kerumah dengan membawa kedua orangtua dan beberapa kerabatnya. Bermaksud mmeminangnya. Bahkan meminta mereka menikah dalam satu bulan kedepan. Tak mungkin ia tak terkejut.

Erin merasa tak mendapat pemberitahuan sebelumnya. Bahkan firasat sekalipun. Sebelum ia pulang, percakapan dengan orangtuanya bahkan masih normal seperti biasa. Ibunya yang selalu ceria dan berceloteh ria. Dan ayahnya yang berbicara seperlunya tapi penuh keposesifan. Tak ada raut keseriusan atau sesuatu yang ditutupi sekalipun.

Erin bukannya tak mengenal pemuda tersebut. Ia bahkan pernah sangat sangat dekat dengannya. Pernah melewati suka duka. Lebih tepatnya dia adalah cinta pertama sekaligus kekasih pertamanya. Ia tak pernah lupa kebersamaan mereka dulu. Masa remaja yang selalu ingin mencoba banyak hal.

Seperti halnya Erin pernah membeli dan diam diam menonton sebuah CD drama korea yang tengah populer kala itu. Ia sangat penasaran. Padahal jelas tidak boleh menonton, terlebih membawanya di lingkungan pondok pesantren. Hukuman sudah pasti berlaku, dan ia merasakannya.

Iya Erin adalah santri sebelum akhirnya memilih merantau ke kota pelajar di pulau Jawa. Ia tidak menyesal, bahkan tertantang sekali. Yang ia takuti hanya, sang ayah yang merupakan salah satu diantara jajaran pengurus pondok.

Selain takut mencoreng nama baik ayahnya, tentu amukan tak bisa ia hindari.

Pada saat Erin berpacaran dengan pemuda itu, ayahnya sempat melarang. Tapi tak mengekang akhirnya. Latar belakang sang pemuda ialah salah satu anak konglomerat dan mempunyai nasab keturunan Nabi di kalimantan.

Siapapun orang tua pasti menginginkan menantu dengan background tersebut. Keluarga sang pemuda pun tak mempermasalahkan mereka berpacaran.

Tapi bukan itu yang dihindari ayahnya diawal. Ia merupakan salah satu anak perempuan yang dimilikinya, jelas tak ingin bila berjalan ke arah yang salah. Tapi jiwa muda Erin jelas menentang.

Bukannya Erin tak suka bila pemuda itu meminangnya. Siapa juga yang tak ingin memiliki sesosok suami sepertinya. Bahkan pemuda itu cinta pertamanya pula. Menjadi cinta terakhir, tentu sangat indah bukan bila dibayangkan.

Tapi bila sekarang, Erin benar benar belum siap. Terlebih mereka sudah putus dua tahun lalu, tepat tiga bulan setelah ia memutuskan berkuliah diluar kota.

Pemuda itu yang memutuskan Erin. Dan tak pernah berkomunakasi sekalipun setelahnya.

Bukan karena jarak, bukan. Tapi karena pemuda itu sedang berfokus menghafal Al-qur'an, untuk menjadi seorang Hafidz Quran. Dan tentu itu ditentang bila mereka masih tetap berpacaran dan akan menggangu proses menghafalnya.

Tentang perasaan Erin pada pemuda itu, ia juga tak tau masih sama atau tidak seperti dulu.

Pinangan itupun adalah janji pemuda itu pada Erin sebelum mereka putus. Dia benar benar tulus pada Erin, dan hanya meminta waktu untuk menjadi lebih baik. Erin sebenarnya bangga dengannya.

Meski untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuanya, namun ia tetap berbakti. Sekarang pemuda itu telah mewujudkan harapan orang tua nya itu. Dan juga ingin menunaikan janji pada Erin.

Erin pun tak pernah melirik pemuda lain, meski banyak bertemu dan didekati oleh laki laki dikampusnya. Walaupun dekat dan jalan bersama sudah sering dilakukannya. Tapi itu tak menyentuh hatinya. Apakah diam diam ia juga menunggu janji dari pemuda itu?.

Terlebih bila mengingat pertemuan pertama keduanya yakni di pasar dekat pondoknya.

Saat itu Erin dan teman sekamarnya diam diam menyelinap keluar pondok siang hari. karena ingin membeli CD drama korea terbaru yang diincarnya.

Erin yang tengah berjalan akan memasuki pasar. Melihat sosok remaja laki laki sebayanya yang sedang berjongkok sendirian, tepat disamping jalan masuk. Penampilannya benar benar tak ada kesan rapi sama sekali, bahkan mungkin bila sekilas orang melihatnya benar benar seperti berandalan.

Tapi bukan itu yang menjadi focus utama Erin. Meski cara berpakaiannya sangat berantakan, tapi sorot mata sedih dan raut wajah yang benar benar sangat sendu tak bisa tertutupi.

Erin lagi lagi penasaran dan ingin tau apa yang sedang dialami oleh remaja laki laki tersebut.

Erin memberanikan diri untuk mendekati remaja laki lakiitu. Teman temannya sudah melarang. Tapi rasa penasarannya tentu harus benar benar dituntaskan. Ia sudah didepan pemuda itu yang langsung mendongakkan kepalanya setelah menyadari kehadirannya.

''Hai''. Itu adalah kata yang Erin fikirkan sebelum merasa kebingungan beberapa menit.

''Kenapa?'' tanya remaja laki laki itu heran. Kebingungan terlihat jelas di raut wajahnya.

''Enggak, aku cuma penasaran kenapa kamu sendirian. Temen-temen kamu yang lain mana? Atau kamu mau beli sesuatu disini?'' sambung Erin.

''Aku memang sendirian. Gak tau temenku pada kemana.'' remaja itu menjawab dengan menunduk sedih. Bahkan matanya sudah memanas.

''Oo gitu. Aku mau ngobrol sama kamu. Boleh enggak?'' tanya Erin yang tatapannya terus lurus ke arah remaja itu.

Erin sudah ditinggal teman teman yang bersamanya tadi. Ia menyuruh mereka masuk lebih dulu, dan bilang akan menyusul nanti. Tapi sesuatu yang didepannya ini masih menarik perhatiannya. Terdengar remaja itu menjawab dengan lirih 'boleh', tetap menunduk.

Percakapan mereka terus berlanjut sampai mereka akhirnya berpisah menjelang waktu maghrib.

Rasa penasaran Erin sudah tertuntaskan. Raut sendu yang ditampilkan pemuda itu ternyata karena sehabis dimarahi orang tuanya.

Merupakan laki laki satu satunya dikeluarga. Dia dituntut banyak hal. Menjadi terbaik, menjadi kuat dan menjadi lainnya yang lebih.

Kekayaan yang dimiliki kedua orang tuanya tak lantas membuat dia bahagia. Mereka sibuk bekerja sedangkan dia, harus berjuang sendiri dan menjadi mandiri sedini mungkin.

Jelas dia tak terima dan berontak. Mereka tak mencurahkan kasih sayang sepenuhnya tapi menuntut banyak hal darinya.

Dia merasa tak sekuat itu.

Sering bolos sekolah, merokok, tawuran apapun yang sekiranya bisa menarik perhatian kedua orang tuanya. Termasuk cara berpakaiannya yang sangat tidak mencerminkan citra keluarganya.

Hari hari berikutnya mereka tetap bercakap, baik via ponsel yang dilakukan diam diam karena Erin di Pondok. Atau mereka sepakat bertemu.

Remaja laki laki itu semakin nyaman dengan Erin. Membuatnya juga termotivasi merubah diri.

Dia akhirnya mengikuti saran Erin dengan menjadi santri juga. Ia selalu teringat dengan kata sederhana Erin, Buktikan pada mereka kalau kamu bisa menjadi baik tanpa mereka. Hanya itu, tapi sangat berarti baginya.

Kedekatan mereka berakhir sepakat menjalin hubungan. Bahkan hingga enam tahun berjalan sampai terjadi perpisahan itu. Itu sangat membekas bagi Erin. Mungkin akan selamanya.

''Iya tidak apa apa bila kamu belum siap. Jangan fikirkan bagaimana nanti. Ayah tidak apa apa. Ayah pun sebenarnya belum siap melepasmu. Kamu masih kecil bagi ayah, masih 20 tahun. Perlu banyak hal yang harus kamu pahami dulu. Menikah juga tidak mudah. Lanjutkan saja kuliahmu bila perlu sampai selesai S2. Ayah dukung.'' ujar Ayahnya.

Sedikit menyadarkan Erin dari lamunan sejenak. Entah mengapa perkataan ayahnya terdengar ada kelegaan. Sedikit menenangkan hatinya juga.

''Iya. Yah. Nanti Erin fikirkan matang matang kembali. Erin pun tak mau salah langkah juga. Masih ada waktu dua hari lagi sebelum keluarganya datang menagih jawaban Erin. Erin akan menyiapkan jawaban terbaik. Sebisa mungkin tidak menyakiti kedua belah pihak'' jawab Erin. Benar benar hatinya sedikit tenang.

''Iya.. Ya sudah kalau begitu. Ayo siap siap sholat maghrib.'' ucap Ayahnya sambil berdiri dan mulai melangkah pergi masuk.

''Iya. Yah.'' jawab Erin

Percakapan ayah dan anak itu berakhir dan Erin masuk ke kamarnya.

*****

Erin sedang merebahkan diri di ranjangnya, yang bercover salah satu kartun kesukaannya itu, doraemon. Ia baru selesai melaksanakan sholat isya. Memohon petunjuk kembali, melalui doa doa yang dipanjatkan.

Niat Erin setelah itu ingin mengalihkan pikirannya sejenak dari beban yang dipikulnya. Sangat berat buatnya. Dengan menonton drama korea yang sedang digemarinya, itu sudah cukup menenangkan.

Hingga ia cukup terganggu dengam rentetan bunyi ringtone dari ponselnya yang menandakan adanya pesan di Group WA. 'Group apaan sih yang ribut ribut malem gini' lirihnya dalam hati dan sedikit jengkel karena cukup mengganggu aktivitas menontonnya yang sedang asik asiknya itu.

Tapi ia masih belum berniat membuka aplikasi pesan itu. Masih tetap fokus karena sebentar lagi akan menuju adegan scene terakhir. Yang paling ia tunggu tunggu. Tidak, bukan dia saja tapi semua orang. Yahh you know that lah. (Ya kamu tau itu lah)

Hingga akhirnya selesai sudah aktivitas menonton Erin. Dengan senyum yang masih mengembang karena mengingat adegan ending drama itu. Erin pun akhirnya membuka pesan yang tadi masih muncul sebelum akhirnya hening.

Perlahan ia menggulir ponsel dan membaca percakapan group chat WA, yang ternyata group kelasnya itu. Dengan pesan terakhir yang berbunyi

Okehh. Ada lagi?

Itu adalah pertanyaan yang dirim oleh Diba, sahabatnya. Erin sudah memahami inti pembahasan dari percakapan itu.

Merasa paham akan topik itu dan ingin mengutarakan pendapatnya.

Ia mengetiknya yang kemudian dikirimkan ke group. Tak menunggu lama ternyata ada balasan, dan itu dari Diba langsung.

Diba : 'Tapi kalau gitu apa gak kasian sama pesertanya. Mereka mohon maaf para penyandang ODGJ, takutnya malah jadi gak kondusif. Lebih baik kita keluar tenaga selain karna tugas kita bersama, juga mereka gak perlu antri panjang'

Erin menyerngit membaca pesan itu. Merasa heran dan sedikit kaget dengan balasan Diba. Entahlah ia juga bingung dengan apa yang dirasakannya. Yang pasti ia sedikit tak terima.

Erin bahkan membaca kembali pesan darinya dan membandingkan dengan pesan berisi pendapat teman temannya. Tak ada yang salah. Pikirnya.

Pendapat teman kelasnya yang lain itu, tak ditanggapi oleh Diba. Dan diyakini Erin, bahwa artinya diterima.

Tapi mengapa hanya pendapatnya saja yang dianggap salah.

Tiba tiba ia merasa sedikit dongkol. Tapi tak mungkin ia menunjukkan di grup. Tak berani.

Akhirnya ia hanya membalas, ''Ohh, OK''. Untuk mengakhiri itu.

Apa aku ada melakukan sesuatu. Pikir Erin yang masih memikirkan hal tersebut. Ah enggak, mungkin aku aja yang lagi sensitif. Pikirnya lagi yang kemudian ia coba lupakan. Melanjutkan lagi sesi menonton drama koreanya ke episode berikutnya.

Back To Reality

Diba sudah selesai mengemasi barang barangnya yang akan ia bawa ke tanah rantau. Hanya beberapa pakaian saja. Karena sebagian ia tinggal. Bukan karena terlalu banyak, tapi memang ia berniat mengisinya dengan yang baru.

Malam itu adalah malam terakhir Diba dirumah. Besok pagi pukul 11.00 WIB, dengan menaiki bis ia berangkat kembali untuk merantau.

Melewati 24 jam lebih diperjalanan. Setelah kurang lebih 3 minggu menghabiskan masa liburannya dirumah.

Saatnya kembali menjalani realita, ia sebagai pelajar. Bergumul dengan berbagai tugas, baik sisi akademik atau yang lain.

Diba mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di DI Yogyakarta. Merupakan dari salah satu Akademi Manajemen Administrasi se-Yogyakarta. Lokasinya cukup strategis masih dalam kabupaten kota Yogyakarta, meski berada diujung selatannya berbatasan dengan kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Perguruan tinggi dengan satu program studi dan tiga jurusan itu mengharuskan mahasiswa/i nya menyelesaikan perkulihan selama 6 semester atau 3 tahun. Agar dikatakan benar benar lulus dan siap memasuki dunia kerja.

Memasuki semester baru nanti, Diba menginjak semester ke lima di kampus tersebut. Yang artinya kurang lebih dua tahun sudah lamanya ia merantau ke Jogja. Dan kurang satu tahun kedepan ia sudah menyelesaikan pendidikannya.

Diba sudah berani bila bolak-balik mudik sendiri.

Bahkan ia merasa lebih nyaman. Ketimbang jika ada teman bersamanya.

Dan Pada dasarnya ia memang lebih suka berdiam diri menikmati pemandangan jalan diluar, daripada mengobrol terus menerus diperjalanan. Jikapun ada disituasi itu, Diba lebih banyak mendengarkan.

Teringat pertama kali Diba merantau. Itupun juga pertama kalinya ia pergi jauh dari rumah yang akan dalam jangka waktu yang lama.

Ia belum berani bila pergi sendiri kala itu. Jadilah Pak Ahmad, sang bapak mengantarkannya langsung ke Jogja. Padahal Diba tidak memaksa untuk diantar. Melainkan ketidak tegaan Pak Ahmad, bila ia pergi sendiri.

Hingga seminggu penuh Pak Ahmad menemani Diba dari mencari kost kostan sampai mengenali lingkungan sekitar. Sebelum akhirnya melepaskan Diba untuk hidup mandiri.

''Wes rampung nduk?. (Sudah selesai nduk?'' suara Pak Ahmad yang tiba tiba muncul dari arah pintu kamar Diba. Langsung membuat Diba terlonjak kaget, tangannya reflek memegangi dadanya. Jantungnya berdegup sangat kencang.

''Astaghfirullah... Bapak... Ngopo mesti ngageti sii...(Astaghfirullah... Bapak... Kenapa mesti ngagetin sii...)'' seru Diba sedikit berteriak, karena sangat merasa terkejut. Apakah bapaknya ini sedang bercosplay menjadi hantu, pikirnya. Karena tak mendengar langkah kaki mendekat pun, tapi suaranya muncul tiba tiba.

Diba memang mudah kaget jantung bila menyangkut hal hal spontan yang mengejutkannya. Terlebih bila ia sedang focus mengerjakan sesuatu atau sekedar berdiam sambil memikirkan sesuatu. Akan sangat mudah terkejut mendengar sesuatu yang spontan.

Benar benar merasa jantungnya memompa berkali lipat lebih cepat dari biasanya.

Itu adalah pembawaannya sejak lahir dan bersyukurnya hal itu tak sampai membuatnya latah atau gagap berbicara.

''Opo to, wong nang jero umah kok kaget. (Apa sih, orang didalam rumah kok kaget)'' sahut heran Pak Ahmad, yang merupakan jawaban khas bila berada di situasi itu.

''Yo tetep ae.. Wes reti anak e kagetan juga. (Ya tetap saja.. Sudah tau anaknya kagetan juga '' dengus Diba, yang masih mengontrol nafas dan degup jantungnya agar normal kembali.

Sambil melanjutkan aktivitasnya yang sempat terjeda, menata koper dan kardus oleh oleh yang sudah terisi didekat lemari.

Perlahan Pak Ahmad terlihat mendekati Diba, berdiri disampingnya. Diba sedang posisi menunduk dengan tangannya sibuk menata. Yang sesaat kemudian menegakkan tubuhnya, merasa bapaknya itu akan menyampaikan sesuatu. Ia menoleh kesamping memandang bapaknya.

''Ati ati mengko nang dalan (Hati hati nanti di jalan) '' ucap Pak Ahmad terdengar sendu dan berat. Tangannya sambil menepuk punggung Diba.

Matanya memandangi barang bawaan putrinya. Tak berani menatap Diba langsung.

''Nek wes tekan kono, ojo lali langsung telfon bapak. (Kalau sudah sampai sana, jangan lupa telfon bapak)'' sambung Pak Ahmad lagi, kemudian mengelus kepala putrinya sesaat dan beranjak keluar dari kamar Diba.

Meninggalkan Diba yang masih berdiri itu, memandangi punggung bapaknya perlahan menghilang dari balik pintu.

Diba tak sempat menjawab. Ia bahkan belum sepenuhnya mencerna perkataan bapaknya. Tapi yang iya yakini itu adalah bentuk doa dan pesan dari bapaknya.

Membuatnya menarik senyum tipis, senang akan kekhawatiran dan perhatian yang secara tak langsung ditunjukkannya itu.

Pak Ahmad memang jarang sekali bahkan hampir tak pernah berbicara panjang. Tak seperti orang tua lain yang mesti berbicara panjang lebar baik itu berisi nasihat, omelan atau lainnya.

Bapak Diba itu hanya melontarkan kata seperlunya saja tapi tersirat banyak makna. Lebih memilih menunjukkannya langsung dalam bentuk tindakan.

Tapi mengingat jika ia harus meninggalkan bapaknya sendirian, tiba tiba matanya memanas.

Diba menjadi tak bisa membantu bapaknya mengurus rumah.

Mengingat bapaknya harus memasak, bebersih, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lain yang biasa dilakukan perempuan itu, dilakukan sendiri oleh bapaknya.

Air matanya perlahan melaju deras dengan suara yang ditahannya. Dadanya menjadi sesak.

Jujur Diba terkadang marah pada takdir. Mengapa harus sejahat itu sampai membuat bapaknya menjadi Duda. Disaat masih membutuhkan sosok seorang istri yang dicintainya, menemani dan melewati suka duka mengurus anak anak mereka.

Diba memang sangat merasa kehilangan. Tapi jelas bapaknya itu pasti lebih lebih merasa sakit dan kehilangan.

Bapaknya itu sangat mencintai ibunya, bahkan sampai sekarang setelah hampir 10 tahun masih bertahan sendiri. Tak ada keinginan menikah kembali.

Setiap ditanya mengapa, jawabannya pasti 'selalu teringat ibu' itu terus. Yang mungkin artinya tetap menjadikan ibu satu satunya istri, meski sudah berbeda alam.

Inhale, Exhale...

Diba perlahan mengatur nafas setelah beberapa saat terus menangis.

Tidak, dia tidak boleh melemah. Dia harus tetap kuat.

Ini adalah keinginan dan cita citanya. Bapaknya bahkan selalu mendukungnya dan tak pernah mengeluh atau menuntut apapun. Menjadi sukses terdidik adalah harapannya, yang akan ia persembahkan untuk bapaknya kelak. Jadi ia harus tahan banting, termasuk juga hatinya.

Diba menghapus air mata dipipinya. Tangannya ia kepalkan didepan dada.

Aku pasti bisa.

Menyemangati diri sendiri bahwa ia bisa melewati apapaun yang dihadapi dedepan. Tak akan ia menyerah sekarang, meski selalu berat meninggalkan bapaknya sendirian.

Besok Diba akan pergi ke tempat pemberangkatan bis dengan diantar Pak Ahmad. Matanya tak boleh sembab dan tetap menunjukkan raut wajah ceria dan antusias didepan bapaknya.

Perasaan sedih harus ia sembunyikan, tak boleh sama sekali terlihat. Agar bapaknya pun tak berat melepasnya pergi.

...----------------...

Terima kasih yang sudah bersedia membaca novel pertama meymey ini.. semoga suka ya. terus ikutin kelanjutannya.

Boleh follow IG meymey @meyginia

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!