“Kecubung Biru, awas!”
“Bapak....”
Hampir saja ada panah yang meluncur mengenai gadis perawan itu. Untung ayahnya sigap. Dia berhasil menangkap panah yang hendak mengenainya. Loloskan maut yang mengancam jiwa sang anak.
Kecubung Biru, si anak gadis itu terdiam. Dia bergetar hebat. Tapi kemudian merayap. Mencari tempat terlindung.
Sementara panah-panah terus menghujani.
Pertarungan besar terjadi.
Pasukan Diponegoro terkepung. Disana musuh menghadang. Sudah banyak yang tewas.
Mereka masuk ke pemukiman penduduk.
Pasukan Keraton dan Kumpeni membabi buta dalam melakukan pembersihan pada para pemberontak. Semua yang ada di situ dibabat. Semua dianggap musuh. Hal ini disebabkan karena pasukan Diponegoro membaur bersama rakyat jelata.
Keadaan ini membuat tak jelas, mana orang desa, mana musuh. Sehingga banyak warga yang tak tahu menahu, ikut di bantai. Mereka ikut dicurigai sebagai pendukung laskar.
Termasuk Kecubung Biru dan ayahnya yang memang tengah berjuang. Dia terjebak diantara para pasukan yang bertikai. Harus ikut mengangkat senjata diantara hati yang ketakutan. Keterpaksaan ini imbas dari bingungnya pemikiran juga. Kalau diam diri, dia tak tega dengan sang ayah, tapi kalau ikut melawan, merasa tak bakalan sanggup, jika mesti menghadapi pasukan yang demikian kuat dan sangat berpengalaman. Juga kalau tinggal di rumah, tak bakalan ada yang membela, andai dia berada dalam tawanan musuh.
Rumah Pulung Jiwo digedor-gedor dengan kasar oleh orang-orang yang mengejarnya. Mereka yakin orang yang tengah diburu berada didalamnya.
Dikepung dari segala penjuru, akan diserbu jika kelihatan.
Tak ada jalan keluar. Melawan tak berani karena jumlah mereka banyak. Tak sebanding dengan orang-orang disini. Lagipula mereka terlatih. Tak mudah untuk menjatuhkannya, bahkan hanya untuk satu orang saja, diantara yang kuat itu.
Hingga kondisinya terjepit, dalam kepungan musuh yang banyak dan sangat rapat. Hampir tak ada celah sedikitpun. Berkelebat sedikit saja sudah langsung terlihat.
Kini apa yang bisa diperbuat. Tak ada.
Bersembunyi juga sia-sia, lama kelamaan pasti ketahuan.
Namun kali ini, hanya itu yang bisa dilakukan. Khususnya untuk sementara waktu.
Aku melihat mereka. Ingin membantu, setidaknya supaya mereka bisa bebas dari pembantaian, tapi tak kuasa. Aku sendiri terjepit. Kalau melihatku, mereka pasti bakalan menangkap, atau bahkan langsung melepaskan tembakannya. Dalam suasana yang serba membingungkan ini, tiap orang yang ada disekitar musuh, tentu akan langsung dicurigai, sebagai pendukung mereka atau anggota lawan. Untuk saling menyapa, tentu tak memungkinkan. Makanya keadaan yang kemungkinan dilakukan, hanya melumpuhkan orang yang dianggap musuh tersebut. Dan akibatnya, tentu fatal. Untung andai cuma menderita luka. Kalau sampai tewas, tentu kemungkinan buruk yang kerap terjadi.
Panah-panah terus menghujani rumah-rumah itu, diantara teriakan-teriakan musuh yang terus terdengar, menyuruh orang-orang untuk menyerah.
Mayat-mayat nampak bergelimpangan. Banyak anak buah Diponegoro yang tewas didalamnya.
Ada yang kena peluru kumpeni, ada yang digorok prajurit keraton, kena panah, kena tusuk tombak juga tertembus keris ampuh.
Kampung di lembah Menoreh, kini membara. Pertempuran sengit hingga menyebabkan pertumpahan darah, terus terjadi. Mereka-mereka terus melakukan pengejaran. Dan laskar enggan menyerah.
Memang, daerah tersebut sangat misterius. Diantara jepitan pegunungan kapur yang kuat. Sebagai benteng alam yang baik sekali untuk bisa berlindung dari penyerangan musuh. Hingga tempat tersebut sangat pas buat pertahanan.
Aku mendekati mereka. Tapi panah yang meluncur benar-benar terlampau rapat. Asal kelihatan sedikit saja, langsung ada panah. Kalau tidak peluru.
Ayah Kecubung Biru hanya bisa menatap. Dia tak berbuat apa-apa. Kecubung Biru berlindung dalam ketakutan.
Panah terus meluncur bagai hujan di tengah musimnya. Aku tak kuasa menghindar. Hingga salah satunya menancap tepat di tubuhku. Aku terluka. Darah mengucur deras. Seketika itu juga. Aku tak kuasa bergerak.
Untung ada paman Ronggo Pekik. Dia yang menyeret ku menghindarkan dari keadaan buruk yang akan menimpa. Lalu melemparkan tombak ke arah musuh. Satu prajurit lawan langsung terguling akibat lontaran keras itu.
Pertempuran terus berlanjut. Paman Pulung Jiwo mengamuk. Setelah mengetahui anaknya aman, dia membabat dua Kumpeni dan dua prajurit keraton dengan pusaka ampuhnya itu.
Sepak terjangnya mengerikan.
Paman Ronggo Pekik juga demikian. Dia tak mau kalah. Tombak yang dipegangnya terus menderu, mengobrak- abrik barisan musuh.
Dia yang bekas prajurit, sangat berpengalaman dalam bertarung. Kini menggabungkan diri dengan laskar pemberontak dan sangat berarti buat kekuatan Diponegoro. Apalagi dia sangat paham dengan kekuatan para prajurit, yang dulu merupakan teman-temannya. Makanya, sekali babat, tiga prajurit terkapar. Dan orang Kumpeni yang matanya rabun itu hampir tak ada kekuatan, selain mengandalkan senjatanya.
Paman Ronggo Pekik yang menyeret ku lolos dari maut. Dia dulu juga orang keraton. Dia prajurit. Tapi setelah pasukan Diponegoro sering menang perang, dia mundur. Menggabungkan diri dengan pasukan pemberontak yang jumlahnya ratusan ribu. Mereka sama-sama berjuang mengusir kumpeni, juga merebut keraton.
Banyak dari mereka yang bergabung. Bekas-bekas prajurit keraton dan rakyat yang tak ada bekal pendidikan keprajuritan. Sama-sama berjuang.
Kami keluar dari kampung. Mungkin mau ke Selarong. Atau ke sisi lain dari pegunungan Menoreh ini. Disini banyak pasukan Diponegoro. Terutama setelah Tegalrejo bedah.
Padahal rumah Kanjeng Pangeran Diponegoro dijaga oleh prajurit dan laskar yang jumlahnya sangat banyak. Hampir dua ratus ribu. Tapi kepungan 23 ribu pasukan kumpeni dengan ratusan ribu prajurit keraton, mampu memukul mundur pasukan Diponegoro.
Untung pangeran bisa lolos. Dengan menjebol belakang rumahnya. Dan kini tengah berada di tempat tersembunyi. Dengan lokasi yang berbeda-beda. Guna menghimpun kekuatan dan bakalan melakukan serangan terbuka secara besar-besaran lagi.
Mereka pelan-pelan pergi meninggalkan rumah. Aku dipapah paman Ronggo Pekik. Dia yang kini ada di rumah sebelah melihat rumah Kecubung Biru lagi diserbu. Mungkin sebentar lagi rumahnya yang bakal menjadi karang abang. Dia paham dengan orang-orang yang menyerang. Bekas teman-temannya.
Kalau orang Kumpeni terlihat dari kulitnya. Jadi kita tak mengenal sama sekali. Mereka didatangkan langsung dari Batavia. Kali ini besar-besaran. Untuk meredam pemberontakan Jawa.
Kini kita mencari pasukan Diponegoro yang memberontak untuk meminta bantuan.
Pulung Jiwo, Ayah Kecubung Biru terlalu konsentrasi melihat anaknya. Sama seperti Ronggo Pekik. Dia juga prajurit yang membelot. Mungkin sejak kejadian ini. Dia sebenarnya ingin hidup tenang di kampung. Jauh dari peperangan. Ingin jadi petani mengasuh Kecubung Biru. Apalagi setelah kematian istrinya, yang meninggalnya seperti ibuku. Karena pendarahan hebat kala melahirkan Kecubung Biru, membuat dia ingin mengasingkan diri.
Tapi peristiwa kacau ini, kembali menyeretnya pada kebencian. Untuk terus berusaha melindungi anaknya. Juga mencari kemuliaan andai berhasil melampaui perang besar ini.
Aku kali ini juga terkepung. Banyak musuh berseliweran.
Ayahku juga prajurit keraton. Dia tewas oleh pasukan Diponegoro, saat terjadi pertempuran. Aku jadi kebingungan. Sendirian, tanpa keluarga. Mau menjadi prajurit belum boleh. Masih 16 tahun. Mungkin setahun atau dua tahun lagi baru diijinkan. Saat itulah, aku sering main ke rumah Kecubung Biru, tetangga. Hingga akhirnya terseret pada petualangan yang mengerikan ini. Dikejar oleh teman-teman ayahku, yang mengira, aku jadi kelompok ini.
Perang ini benar-benar menyedihkan. Sedih harus pergi jauh meninggalkan rumah, keluarga, bahkan jabatan. Semua demi perang. Kemenangan. Jika menang, maka jabatan akan kembali. Harta bertambah. Karena menerima hasil jarahan dari pihak yang kalah. Disayang atasan, bahkan bisa mendapat yang diinginkan. Tapi sejauh ini belum tampak hasilnya.
Para punggawa yang dekat dengan patih Danurejo begitu nyaman. Dia piawai dalam segala hal. Sangat cekatan mendekati orang dan akhirnya mereka hidup enak. Keluarga juga nyaman. Dan menduduki posisi penting. Mendapat senjata dari para Kompeni yang mengharap kemenangan. Untuk lebih menstabilkan posisi dalam menduduki Tanah Jawa. Khususnya, daerah Mataram ini.
Sejak pasukan Diponegoro terdesak, sudah tak ada lagi tempat untuk hidup enak.
Mereka hanya mengandalkan warga yang setia mendukung perjuangan. Menerima hasil bumi yang diberikan cuma-cuma sebagai tanda bakti kesetiaan hanya untuk perjuangan buat junjungan yang begitu dicintai, dikasihi. Supaya dalam perjuangannya tak kelaparan, kekurangan makan dan bisa memberi perlindungan nantinya.
Kini keadaan mulai berbalik. Laskar terdesak. Tak mampu melawan pasukan bersenjata lebih lengkap. Dan kekuatannya seakan tak pernah habis. Mendapat bantuan terus menerus dari daerah yang dikuasainya. Para Kumpeni juga banyak mendapat suplai persenjataan. Yang semakin maju dan canggih. Terutama jika dibandingkan dengan persenjataan para laskar yang seadanya itu. Batavia selalu memperbanyak senjata. Juga didatangkan langsung dari negerinya.
Lain dengan laskar, yang banyak bergerilya. Karena bergerilya itulah jadi berpencar. Jelajahnya luas. Menjangkau daerah mancanegara. Dimana kemungkinan buruk seringkali terjadi. Ada yang terkena penyakit. Ada yang kena jebakan. Atau terjatuh ke jurang. Makanya banyak yang tewas.
Semua mengharap kemenangan. Belum paham pada akhir di esok harinya. Sang penguasa wilayah Diponegoro mendapat dukungan dari sebagian masyarakat. Juga sebagian besar bangsawan. Serta menjangkau wilayah Surakarta yang turut berjuang.
Sedangkan keraton, mendapat kekuatan utama dari Kumpeni. Mereka mendukung dengan sepenuh jiwa. Tak tanggung-tanggung. Segala biaya dikerahkan besar-besaran. Mereka menganggap pusat Jawa ini begitu penting untuk dikuasai. Apalagi, luar daerah juga banyak terjadi pemberontakan. Baik Sumatera, Belgia, juga wilayah lain, mulai terpengaruh pada perjuangan Jawa yang gigih.
Kekuatan berimbang. Dari sisi jumlah. Meskipun lebih banyak para laskar berasal dari kelompok rakyat jelata. Dari mereka yang tak khawatir pada kehidupan. Sebab banyak yang tak mempunyai tanah, keluarga dan harta yang mesti dipertahankan. Mungkin hanya Kanjeng Pangeran Diponegoro dan para bangsawan saja yang punya tanah.
Yang menyedihkan Kanjeng Pangeran mesti tinggal berpindah-pindah. Dalam goa atau tempat lain yang kurang layak buat sang bangsawan sebagai anak tertua raja.
Mungkin sebentar lagi perang bakalan berakhir. Jawa tenang. Jogja kembali pulih. Itu harapan, yang entah kapan menjadi kenyataan. Yang terang sekarang mesti berjuang. Menggapai segala upaya, agar kemenangan benar-benar bisa tercapai. Sebab kalau hanya berdiam diri, apalah artinya. Hanya akan menunggu kedatangan musuh yang setiap saat bakalan merenggut nyawa.
Kecubung Biru adalah seorang perawan yang kali ini tengah beranjak dewasa. Mungkin usianya menjelang 16 tahun. Tak jauh beda denganku. Dia harus turut merasakan kesedihan akibat ikut larut dalam petualangan yang tak semestinya.
“Aku jenuh dengan semua ini,” kata Ronggo Pekik. “Mungkin sebaiknya aku menyerah. Lalu kembali ke keraton.”
“Itu terserah padamu,” kata Pulung Jiwo. Dia seakan tak hendak mencegah keinginan rekannya yang sudah seperti saudara itu. Bagaimana lagi. Perjuangan memang berat, belum tentu berakhir menyenangkan. Kalau memang sudah tak ingin melanjutkan, bisa berhenti, hidup tenang, dan mencari penghidupan layak. Itu kalau musuh masih mau menerimanya. Kalau tak mau palingan juga hanya akan menjadi tawanan perang.
“Kamu bagaimana?”
kata Pulung Jiwo. “Mungkin masih ingin terus bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Entah sampai kapan. Mudah-mudahan berakhir dengan kemenangan.”
Lalu kata Ronggo Pekik, “Ayo sekarang juga kita berangkat menuju Selarong kalau keinginannya memang begitu. Kita jangan menunggu lebih lama lagi.”
“Berangkatlah dulu, biar aku dan putriku mencari jalan lain. Barangkali di barat Progo masih banyak kawan yang menunggu kita,” jelas Pulung Jiwo.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!