pembukaan:
"Aku menghamili seseorang."
Suara Roxanne terkesiap itu membuat Erekleus panik. Apalagi ibundanya sampai terhuyung, nyaris saja jatuh jika tak buru-buru ditahan.
"Ibunda."
"Kamu melakukan apa?" Roxanne bergumam tak percaya. "Erekleus, kamu seorang Narendra dan kamu ... kamu ...."
"Ibunda, aku tahu Ibunda sangat kecewa tapi bisakah kita masuk dan aku menjelaskannya di depan Ayah juga?"
Erekleus meminta pelayan membawa ibundanya masuk, memberinya waktu tenang sebentar. Sementara itu Erekleus menatap wajah istrinya lagi, siap bahkan kalau dia menangis.
Tapi Ariadne justru tersenyum.
"Anda memiliki alasan, benar? Semua baik-baik saja?" kata wanita muda itu lembut.
"Ya." Erekleus sudah tahu istrinya seperti ini tapi ia benar-benar tak menyangka dia tenang. "Kamu kecewa padaku?"
"Tidak, Tuan Muda. Sedikitpun tidak." Ariadne justru datang, memegang tangannya.
"Anda membawa wanita itu? Apa di helikopter Anda?"
"Ya." Erekleus menoleh ke tempat Mute berada. "Dia tidak tahu tentangmu."
Erekleus tersenyum getir. "Aku tidak mau melukaimu sama sekali."
"Saya tidak terluka sama sekali."
***
Ini adalah hari pertama untuk Tuan Muda Erekleus menjalankan tugasnya di luar. Pria muda berusia dua puluh tahun itu diikuti oleh empat wanita cantik sekretaris profesional, lima pria berpakaian biasa yang merupakan pengawal kelas internasional dan disambut penuh bungkukan oleh sang kepala daerah.
"Padahal sudah kubilang jangan menyambut berlebihan," kata sang Tuan Muda melihat sangat banyak warga berkeliling melihatnya, ditambah jejeran mobil-mobil yang nampaknya siap mengangkut satu per satu dari mereka menuju lokasi.
Sang Tuan Muda datang ke tempat terpencil ini untuk bertugas memakmurkan daerah, bentuk tugasnya sebagai Narendra. Namun sepertinya banyak yang salah paham.
Mereka menyebutnya seperti tuan muda manja dari kastel megah.
"Senang bertemu Anda, Tuan Muda." Kepala Daerah bahkan berkeringat dingin saat tertawa canggung. "Tolong maafkan daerah kami yang kurang nyaman. Sebisa mungkin kami berusaha memberi yang terbaik."
Erekleus tersenyum ramah. "Kenapa—" Kenapa kalian menyiapkan semua ini dan membuang-buang anggaran untuk hal tidak perlu, adalah apa yang mau Erekleus katakan, tapi terhenti oleh sesuatu.
"TERUS CUMA GARA-GARA DIA DATENG, AIR BUAT KITA DIKURANGIN, GITU?!"
Suara yang terlalu kencang dan cempreng itu jelas mengalihkan perhatian Tuan Muda. Erekleus menoleh ke arah seorang gadis berbaju lusuh tengah berteriak-teriak protes pada seseorang tentang air leding di rumahnya mati padahal sudah seminggu lamanya tidak jalan.
Dia bilang dia sudah capek mengangkat air dari sumur ke rumahnya padahal jarak sumur itu jauh.
Erekleus langsung berjalan ke sana, membuat keributan di sana berhenti dan wajah Kepala Daerah pucat. Sementara warga di sekitarnya menatap terpesona pada ketampanan dan kemegahan sang Tuan Muda.
"Ada apa ini?"
Gadis itu langsung melotot. "Bukan urusan kamu, dasar orang sok kaya!"
Empat sekretaris dan lima pengawalnya langsung bereaksi atas sikap gadis itu, tapi Erekleus menahannya. Tidak marah dan tidak tersinggung walau kaget.
"Aku mungkin bisa membantumu, Nona."
"BANTUIN APA?! DENGAN KAMU DATENG KE SINI, ITU UDAH NYUSAHIN!" tuding dia meski warga berusaha menahannya. "Emang ngapain sih orang kaya dateng ke sini? Hah, buat apa?! Sok-sokan mau perbaikin desa! Demi ngasih makan kamu aja bikin kami enggak makan dua hari!"
Erekleus hanya diam.
"Listrik kami mati cuma gara-gara kami buru-buru renovasi rumah buat kamu! Air juga enggak jalan ke kami karena harus disiapin buat kamu! Semuanya kamu yang ambil terus kamu bilang mau perbaikin?! Hah, sana pulang ke istana kamu kalo mau bantuin!"
Erekleus masih diam. Benar-benar menutup mulutnya dan mendengarkan cercaan gadis itu.
"Lagian kamu nih siapa, sih?! Narendra tuh siapa, hah?! Kamu bukan pegawai pemerintah, bukan gubernur, bukan presiden, tapi ngapain juga kamu blusukan di sini?! Pak Presiden di sini baru ada gunanya!"
Orang-orang di sisi Erekleus sudah sangat berang. "Tuan Muda, tolong perintah."
Perintah membunuh gadis bermulut kurang ajar ini, itu yang mereka minta.
Beraninya dia menghina Narendra. Tentu saja Erekleus bukan pegawai pemerintah, bukan pula gubernur atau presiden. Sebab ia Tuan Muda dari pemilik negara ini. Posisi presiden itu seperti anak buah bagi keluarganya. Mereka diberi gaji oleh Narendra.
Namun memang tidak banyak yang tahu sebab hal semacam itu bukanlah gosip publik.
"Perintahku," kata Erekleus akhirnya, "berikan semua yang kalian siapkan untukku pada warga kalian. Tanpa terkecuali."
Semua orang tercengang.
*
INI SEKUEL DARI CERITA ROXANNE ERIS. UNTUK LEBIH PAHAM CERITANYA, BUKA LAPAK Nikah Paksa : Istri Ketiga Belas.
Author minta dukungan kalian semua untuk kemajuan karya. karena yang menentukan lanjutnya karya atau enggak itu respons pembaca. terima kasih 🙏🙏🙂
*
Kepala Daerah tergopoh-gopoh datang seperti tikus yang gelisah setelah menelan racun. "Tuan Muda, mari saya antar saja ke tempat Anda. Biar pegawai kami yang menangani masalah di sini."
"Aku tidak datang ke sini untuk dimanjakan." Erekleus tersenyum lagi.
Tapi detik berikutnya ia menatap dingin pria tua botak itu. "Jual semua mobil yang berjejer itu dan bagikan hasilnya pada warga. Dengan begitu aku memaafkan kalian."
Erekleus berlalu, diikuti oleh orang-orang saja. Ia meninggalkan semua sambutan untuknya dan menemukan seorang anak kecil yang tengah menonton dari kejauhan.
"Halo, Manis. Aku punya permen untukmu. Bisakah kamu mengantarku ke kantor terdekat?"
"Kantor Pak Desa?"
"Ya, apa pun namanya. Bisakah?"
Anak itu mengangguk. Meraih tangan Erekleus dan menariknya untuk pergi.
"Erina, pastikan mereka benar-benar menjual mobilnya," bisik Erekleus diam-diam, yang dijawab anggukan oleh sekretarisnya.
Tersisa tiga sekretaris dan lima pengawal. Mereka mengikuti langkah Erekleus yang santai mengamati pemandangan desa. Pemandangannya terlihat sangat berbeda dari pemandangan Kastel yang Erekleus tahu, tapi tidak benar-benar dalam artian bagus.
Tanah terlihat kering, rumah-rumah juga terlihat tua dan tidak bersih, seluruhnya tidak mewah namun menurut standar Erekleus, ini agak terlalu rendah. Jalanannya juga buruk, padahal sudah bisa dilalui mobil.
Tugasnya adalah memastikan daerah ini sedikit lebih maju. Karena itulah ia datang.
"Kurasa tugasku akan sangat banyak."
Dan yang paling pertama adalah menyuruh mereka paham bahwa ia bukan tuan muda manja yang datang buat disembah.
Erekleus terus berjalan sampai tiba-tiba langkahnya terhenti di depan sebuah rumah sangat tua, terlihat sudah tidak layak ditinggali, tapi nyatanya terlihat ada manusia di dalam sana.
"Hei, Adik Kecil, rumah siapa ini?"
"Rumahnya Kak Mute, yang tadi marah-marah sama Kakak."
"Oh, benarkah?" Erekleus menjadi sangat tertarik. "Dia tinggal di sini?"
"Iya. Sama Nenek Iyem."
Bahkan kandung kuda kami jauh lebih baik daripada ini, pikir Erekleus.
"Kalian," katanya pada pengawal, "pergi dan berkelilinglah. Ambil gambar dan catat semua rumah yang tidak layak huni."
"Baik, Tuan Muda."
"Lalu, Yohana, pergilah lebih dulu ke kantor desa bersama anak ini dan dapatkan catatan keuangan mereka. Ada sesuatu yang mau kulakukan."
"Ya, Tuan Muda."
Erekleus merogoh kantongnya, mengeluarkan kantong kain berpita emas tempat di mana ia menyimpan cokelat berkualitas.
Cokelat ini hanya dibuat oleh koki Narendra dan Erekleus mengantonginya sebab ia pemberian adiknya.
"Terima ini, Anak Manis." Erekleus mengusap-usap kepalanya. "Temani temanku ini pergi."
"Oke! Makasih, Kakak Ganteng!"
"Tentu saja. Datanglah padaku kalau ingin lagi."
Setelah mereka pergi, hanya tersisa Erekleus dan dua sekretarisnya. Mereka yang melihat Erekleus berdiri di depan rumah itu paham siapa yang Tuan Muda mereka tunggu.
Gadis bernama Mute itu datang tak lama dengan mata memerah, seolah habis menangis.
"Mau ngapain kamu di sini?" katanya ketus.
"Aku ingin bicara denganmu, Nona."
"Saya bukan Nona! Saya enggak pake kancing emas kayak kamu! Jadi mending sekarang kamu pergi!" usir dia kasar.
Erekleus memiringkan wajah. "Kenapa kamu justru terlihat semakin marah? Aku sudah mengembalikan air dan apa pun yang kamu butuhkan."
Dia justru terbelalak marah. "Kamu kira segalanya bisa selesai cuma karena kamu jual mobil?!"
"Kalau begitu biarkan aku tinggal denganmu."
Bukan cuma Mute, sekretaris Erekleus juga terbelalak kaget. Beliau, sang Tuan Muda, memang bukanlah pria manja yang menolak makan kecuali diberi daging berkualitas.
Tapi beliau tidaklah pantas tinggal di rumah yang bahkan lebih mirip kandang lusuh ini!
Begitu pikir mereka tapi Erekleus hanya fokus pada Mute.
"Jika aku terlihat sangat menyusahkan di matamu, Nona, maka biarkan aku tinggal di sini bersamamu. Merasakan kehidupanmu agar aku mengerti bahwa aku besar kepala."
"Tuan Muda—"
"Oke!" Mute semakin melotot. "Tapi kamu enggak boleh bawa orang lain! Dan inget, kamu enggak dilayanin sama siapa-siapa!"
Erekleus tetap tersenyum. "Aku bermaksud begitu, Nona."
*
Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺
Dan buka juga karya-karya Candradimuka lainnya, terima kasih 🙏🙏
"Tuan Muda, Anda harus tetap mengingat status Anda." Sekretasinya langsung mengingatkan begitu Mute beranjak masuk duluan. "Tidak layak seorang Narendra tinggal di tempat ini. Tolong pikirkan sekali lagi."
Erekleus tersenyum. "Aku tidak tinggal, hanya menginap beberapa hari."
"Tapi Tuan Muda—"
"Aku tahu bahwa aku seorang Narendra dan harga diriku jauh lebih tinggi daripada mereka." Erekleus menoleh ke rumah kecil itu. "Tapi Ayah mengirimku ke dini untuk menyelesaikan masalah mereka."
"...."
"Kurasa itu pun masalah jika seorang gadis kecil berusaha berjuang karena sikap tidak adil. Lagipula, aku ingin mereka semua paham bahwa aku tidak butuh dilayani oleh mereka. Jadi kalian hanya perlu memastikan mereka tidak memperlakukan aku terlalu istimewa."
Setelah menegaskan keputusannya, Erekleus melangkah masuk ke halaman rumah kayu dengan dinding luar berlumut itu. Dilepaskan sepatunya di dekat sandal Mute, melangkah masuk ke kediaman kumuh itu.
Erekleus mengerutkan kening detik itu juga. Hidungnya mencium aroma tak sedap yang aneh, lalu matanya disuguhi pemandangan rumah berantakan, barang-barang yang tersusun tak rapi—setidaknya menurut standar seorang Narendra.
"Siapa namamu, Nona?" tanya Erekleus sembari meneruskan langkahnya ke dalam.
Yang mengejutkan ruangan dalam adalah ruangan terakhir. Di sana ada dapur berasap, abu dari kayu yang dipakai, kamar mandi super mini tanpa pintu kayu, dan Mute yang berjongkok di dekat setumpuk cucian kotor.
Erekleus baru pertama kali melihat seseorang bisa hidup di rumah sekecil ini.
"Mutia," jawab Mute ogah-ogahan. "Nama kamu siapa, Tuan Muda?" balas dia bertanya, lengkap dengan cibiran di gelar tuan mudanta.
"Erekleus."
Mute menoleh. "Hah?"
"Erekleus. Namaku Erekleus." Sang Tuan Muda tersenyum. "Senang bertemu denganmu, Mutia. Kenapa mereka memanggilmu Mute?"
"Nama kamu Ere—Erekel?"
"Erekleus." Pria itu memiringkan wajah. "Apa sulit menyebutnya? Jauh lebih sulit nama saudariku, Eusebia. Jadi aku lebih sering menyebutnya Ese."
Mute bengong sampai dia dikejutkan oleh semburan air keran di baskomnya yang sejak tadi menunggu air. Gadis itu mau tak mau fokus lagi pada cuciannya.
"Kenapa enggak sekalian erupsi gunung?" gumam dia.
"Jangan menghina namaku, Nona. Itu nama pemberian orang tuaku," peringat Erekleus tegas.
Untuk satu itu, ia serius.
"Kami Narendra memang memiliki nama yang berbeda. Tapi sebenarnya tidak seberbeda itu. Hanya, kalian yang tidak terbiasa menganggapnya aneh."
".... Terserah."
"Sungguh Nona Muda yang tidak ramah."
Erekleus menoleh ke sekitaran untuk melihat adakah tempat duduk. Tapi karena menemukannya tidak ada, Erekleus mau tak mau membuka jas yang ia pakai, menjadikannya pengalas.
"Rumahmu sangat kecil, Nona."
"Enggak semua orang itu kaya, Tuan Muda." Mute mendelik. "Dan lantai saya bersih, yah! Enggak usah pake pelapis."
Di mata Erekleus itu kotor.
"Siapa penanggung jawab rumah tangga di sini? Ayahmu? Kakakmu? Di mana mereka?"
"...."
"Aku bertanya sungguh-sungguh jadi kuharap kamu menjawabnya."
"Enggak semua orang punya bapak becus!" Dia membalas sangat agresif. "Bisa diem enggak, sih? Atau kenapa enggak sekalian kamu bantuin saya karena kamu bilang mau bantuin?!"
Erekleus mengamati wajah gadis itu. "Aku bertanya baik-baik untuk memahami kehidupan kalian," katanya. "Tapi sikapmu selalu agresif seakan aku yang menghancurkan hidupmu, Nona. Itu bukan sikap baik."
"Saya enggak punya waktu ngasih kamu perhatian!"
"Aku tidak minta perhatianmu, Mutia. Aku butuh jawaban jujurmu tentang kondisi desa tapi kamu hanya terus melampiaskannya padaku."
Erekleus beranjak tanpa mengambil jasnya. "Aku akan kembali nanti, setelah memastikan hal lain."
Erekleus tidak marah kalau dia protes pada sesuatu, tapi kalau dia melampiaskannya pada Erekleus padahal ia sudah berusaha membantu, itu membuatnya sedikit tersinggung.
*
Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺
Dan buka juga karya-karya Candradimuka lainnya, terima kasih 🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!