Sebuah mobil BMW Hurricane warna hitam tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol arah masuk ibu kota. Di bawah rintik hujan yang turun begitu lebatnya, tampak seorang laki-laki fokus mengendarai mobil itu dengan begitu hati-hati karena derasnya air hujan yang membasahi kaca depan mobilnya. Atensi laki-laki itu, tiba-tiba tertuju pada sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan tol tersebut.
Dari kejauhan, tampak sesosok wanita berdiri di samping mobil dengan kap mobil yang terbuka. Merasa kasihan, laki-laki itu pun memperlambat mobilnya, tentunya dia tidak tega melihat wanita yang terlihat tak berdaya itu. Terjebak di tengah jalan tol dalam kondisi mobil yang mogok, dan juga hujan lebat, pasti bukan hal yang mudah, sekaligus juga membahayakan bagi seorang wanita, begitu yang ada dalam benaknya. Setelah menghentikan laju mobilnya, laki-laki itu mengambil sebuah payung di dalam laci dasboard lalu turun dari mobil dan mendekat pada wanita itu.
Di bawah guyuran rintik hujan, kedua manik mata itu bertemu pada satu titik, dada keduanya bergemuruh, rasa rindu, sakit, dan emosi bergumul di dalam hati. Sejenak mereka terpaku dalam diam, diantara gejolak hati yang begitu menggebu, namun tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya, kebekuan diantaranya pun memudar, manakala bibir keduanya mulai bergerak, dan mengucap sebuah nama.
"Kiara..."
"Arron..." ucap mereka dengan bibir bergetar. Beberapa saat, keduanya kembali terdiam dalam rinai hujan yang beradu dengan suara gemuruh kilat dan petir yang sesekali menggelegar, dalam pekatnya suasana malam. Tubuh mereka seakan kembali membeku.
Gemuruh langit malam ini, seolah sama dengan apa yang mereka rasakan, begitu hebat mengoyak kalbu, mengingatkan kembali pada kisah masa lalu. Sebuah kisah yang seharusnya telah usai. Tujuh tahun memang telah berlalu, tetapi kisah itu seakan masih membekas di dalam hati keduanya, Kiara, dan Arron yang harus terpisah saat usia pernikahan mereka hanya dalam hitungan bulan saja.
Perlahan, langkah kaki Arron pun mendekat, sedangkan Kiara hanya bisa diam terpaku. Ingin rasanya dia berlari, tapi tubuh itu terasa begitu kaku. Hingga akhirnya, dia merasakan rintik hujan itu tak lagi jatuh ke atas kepala dan tubunya saat sebuah payung yang dipegang oleh Arron, kini melindungi tubuh keduanya dari derasnya air hujan. "Lama tak bertemu," sapa Arron. Kiara hanya tersenyum kecut. "Maafkan aku, Kiara. Aku tahu kalau kata maaf ini terlambat, seharusnya tujuh tahun yang lalu aku mengatakan ini padamu."
"Cukup Mas, lebih baik kau pergi sekarang, kisah kita sudah usai."
"Tapi rasa cinta ini belum usai, Ara."
"Itu menurutmu, tapi tidak denganku. Kisah ini sudah usai ketika suamiku mengusirku saat dia berfikir aku telah berselingkuh di belakangnya. Rasa cintaku juga sudah habis saat dulu suamiku lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh orang lain dibandingkan diriku. Padahal, dia mengenalku bukan satu, dua, atau tiga hari, tetapi dia sudah bertahun-tahun mengenalku. Namun, semua itu ternyata sia-sia. Jadi, lebih baik kau pergi sekarang, dan anggap kita tidak perah bertemu lagi."
"Aku tahu kesalahanku begitu besar padamu. Silahkan kalau kau tidak mau memaafkan aku, kau berhak melakukan itu, Kiara. Tetapi, tolong malam ini ijinkan aku untuk menolongmu. Tolong jangan pedulikan siapa yang sedang menolongmu, anggap saja aku orang asing bagimu, anggap kau tak mengenalku. Tapi tolong, terima pertolongan dariku, setidaknya demi orang-orang yang masih menyayangimu, dan menunggu kepulanganmu. Kiara, ini sudah malam, sangat berbahaya di sini, aku yakin di saat seperti ini tidak ada petugas yang berkeliling, sedangkan pintu tol masihsangat jauh. Jadi, tolong ikut denganku. Sejenak Kiara pun terdiam dan tampak berfikir. "Kiara.."
"Baiklah."
Segurat senyum pun tersungging di bibir Arron. "Ayo masuk ke mobilku, biar anak buahku yang membawa mobil ini ke bengkel." Kiara pun mengangguk, lalu berjalan mengikuti laki-laki bertubuh tegap yang berjalan di depannya. "Baju kamu basah, pakai ini saja," ujar Arron sambil memberikkan jas yang dikenakan olehnya saat mereka sudah sampai di mobil Arron. Kiara hanya menatap jas itu. "Kenapa? Tolong pake, Ara. Lihat tubuhmu sudah menggigil seperti ini."
Perlahan, Kiara pun mengambil jas tersebut, lalu dia kenakan di luar kemeja basahnya. Tetapi, tetap saja tidak bisa mengurangi rasa dingin yang rasanya sudah begitu menusuk ke dalam tulang. "Ara!" panggil Arron. Wanita itu tak menyahut, yang terdengar hanya suara gemerletuk giginya disertai tubuh yang tampak kian menggigil. Melihat keadaan itu, Arron pun kian mempercepat laju mobilnya. Dalam benak laki-laki itu, dia harus membawa Kiara ke sebuah tempat untuk menghangatkan tubuhnya.
"Ara, bertahan ya!" Tak berapa lama, mobil itu pun keluar dari pintu tol. Lebih tepatnya, sebuah pintu tol yang jaraknya masih puluhan kilo meter dari ibu kota. "Kita mau kemana, Mas?"
"Ara, lihat tubuhmu. Menggigil seperti itu, jarak ke Jakarta masih jauh, Ara. Sebaiknya kita cari tempat dulu sampai kondisi tubuhmu jauh lebih baik."
Dalam hati Kiara, sebenarnya dia menolak ajakan dari Arron, dia sadar siapa laki-laki itu, Arron hanyalah sebatas mantan suami yang seharusnya dia lupakan, dan dia tak mau hanyut dalam kenangan masa lalu itu. "Ara, aku nggak ada niat buruk sama kamu. Percaya sama aku."
"Jangan lama-lama, aku ada urusan penting di Jakarta."
"Iya," sahut Arron, sambil melajukan mobilnya ke sebuah hotel yang lokasinya tak jauh dari pintu keluar tol itu. Setelah melakukan reservasi dan masuk ke dalam kamar, Arron menyuruh Kiara untuk mengganti bajunya dengan bathrobe sambil menunggu pelayan yang diperintahkan olehnya untuk membelikan baju datang ke kamar itu.
"Kamu istirahat dulu, tidurlah. Nanti kalau bajunya sudah datang kau kuberi tahu."
"Iya," jawab Kiara singkat, dia memang tak ingin banyak berbicara pada Arron, karena baginya, hanya akan semakin memperdalam luka di hatinya. Laki-laki itu pun memilih untuk pergi ke ruangan di samping kamar, dia ingn menepati janjinya untuk tidak mengganggu Kiara, meskipun harus menahan rasa rindu yang begitu menggebu. Rindu yang telah dia tahan selama bertahun-tahun. Lebih tepatnya, sebuah rindu yang terbingkai dalam penyesalan. Arron pun hanya bisa menghela napas sepenuh dada, hingga lamunannya tersentak saat terdengar bel di pintu kamar itu.
TET TET
Sedangkan di sisi lain ruangan, tubuh Kiara yang sudah terbungkus oleh sebuah selimut, tetap saja merasa kedinginan, bahkan tubuh itu terlihat semakin mengigil. Arron yang baru saja mendekat ke arah ranjang Kiara, spontan membelalakkan matanya saat melihat wanita itu tampak begitu kedinginan. Detik itu juga, Arron baru menyadari jika Kiara sedang terserang hipotermia.
"Kiara!" panggil Arron, seraya mendekat ke arah Kirana, dan melemparkan begitu saja pakaian yang dibawakan oleh petugas hotel tersebut. Arron pun masuk ke dalam selimut, lalu mendekap dan memberikan kehangatan pada tubuh Kiara.
"Kiara! Ada aku di sini, kamu pasti baik-baik aja, aku nggak bakalan biarin kamu kenapa-kenapa, Kiara," ujar Arron, tangannya pun menjelajah dan menggesek seluruh lekuk bagian tubuh Kiara hingga hampir satu jam lamanya keadaan Kiara pun tampak lebih membaik.
Arron yang telah begitu telaten merawat Kiara akhirnya menghembusakan napas dengan lega. "Sekarang udah jauh lebih baik, kan?" Kiara pun menganggukkan kepalanya. "Aku ke samping dulu ya," pamit Arron. Tetapi saat dia akan beranjak dari ranjang itu, tiba-tiba Kiara mencekal tangannya. "Jangan pergi, temani aku sebentar," ucapnya dengan begitu lirih, bahkan hampir saja tak terdengar.
Meskipun dipenuhi perasaan yang begitu campur aduk, pada akhirnya Arron pun mengikuti keiginan Kiara. Dia merebahkan tubuhnya di samping Kiara, lalu mendekap tubuh itu. Awalnya Kiara menolak dekapan hangat itu karena dia hanya ingin Arron menemani di sampingnya, bukan untuk bermesraan dengannya.
Tetapi dekapan Arron yang kian kencang, membuatanya tak mampu lagi mengelak, apalagi tubuhnya kini masih terasa begitu lemah. Di tengah suasana malam dengan derasnya hujan yang begitu syahdu, keduanya seakan tak mampu lagi membendung rasa cinta dan hasrat yang begitu bergumul di dalam dada.
"I love you, Kiara. I love you, we together."
"Ingat istri dan anakmu, Mas."
"Kau pikir aku bahagia dengan pernikahanku?"
"Itu bukan urusanku karena di mataku, kau laki-laki yang sudah memiliki keluarga, dan tidak sepantasnya kau bersikap seperti ini, Mas." Arron terdiam, menahan rasa sesak yang bergumul di dada, entah mengapa mendengar kata keluarga terucap dari bibir wanita yang saat sampai saat ini masih dia cintai, terasa begitu menyesakkan dada.
"You need to know, if I only love you, we always together," bisik Arron, tepat di telinga Kiara, lalu mengecup telinga itu. Seketika, butiran kristal pun lolos begitu saja dari kedua sudut mata Kiara. "Kenapa kamu nangis? Kamu juga masih sayang sama aku kan, Ara?" Kiara terdiam, matanya terpejam, hatinya pun terasa sesak saat Arron berulang kali mengucap kata cinta tepat di telinganya, dengan bisikan yang begitu lirih tapi rasanya menghujam ke relung hati. "Kita bisa apa kalau nyatanya rasa ini sulit untuk dilupakan? Kita hanya bisa menjalani alur ini dengan kegilaan, Ara."
"Apa maksud kamu, Mas? Kegilaan apa yang kau maksud? Bagaimana kalau takdir tidak pernah mengijinkan kita untuk bersatu? Karena takdir cinta ini, mungkin hanya sebatas tersimpan di dalam hati, bukan untuk saling memiliki."
"Tapi, kita bisa apa kalau nyatanya rasa ini sulit untuk dilupakan? Kita hanya bisa menjalani alur yang rumit ini dengan kegilaan untuk mempertahankan kewarasan."
"Jangan gila kamu, Mas."
"Kamu yang membuatku hampir gila. Selama tujuh tahun, aku hampir gila karena kehilanganmu, dan sekarang saat aku bertemu lagi denganmu, kau pikir aku akan melepasmu?"
"Apa kau sudah lupa siapa yang membuat kita harus berrpisah? Lalu, kenapa seolah-olah aku harus mengikuti kegilaanmu itu? Apa kau sudah lupa pada janjimu saat tadi kita bertemu, kau berjanji tidak akan mengusikku kan? Lagi pula, kau harus ingat statusmu, Mas."
"Kau menolakku? Apa kau masih marah padaku? Aku minta maaf, saat itu aku memang begitu bodoh. Ara, aku yakin, saat ini adalah kesempatan kita untuk memulai kembali dan memperbaiki yang telah berlalu."
"Sudah terlambat, Mas. Sampai kapanpun, aku nggak bisa. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Dan aku nggak mau jadi manusia bodoh seperti dulu lagi, melanjutkan hubungan ini sangatlah mustahil, lagi pula orang tua kita juga tidak pernah merestui hubungan ini. Jadi, melanjutkan hubungan adalah sebuah kebodohan bagiku. Ingat satu hal Mas, kamu udah nikah sama Queen!"
"Apa kamu juga udah nikah, Ara?" Kiara terdiam sambil menundukkan kepalanya, retina wanita itu tampak mulai berembun. "Tolong jawab aku Ara, apa kamu udah nikah lagi?"
"Ini bukan urusanmu, Mas. Kau sudah punya Queen dan seorang putra."
"Lalu, apa kau sudah menikah lagi?" Kiara membuang pandangannya, seolah ingin menghindar dari tatapan mata Arron yang begitu mengintimidasi. Arron kemudian mencengkam rahang Kiara, agar wanita itu kembali menatapnya. "Kiara jawab aku!"
"Aku hanya pernah sekali menikah, dan itu hanya denganmu!" Arron memincingkan senyumnya, mendengar perkataan Kiara hatinya merasa begitu lega. "Kiara dengarkan aku, apa kau sudah lupa siapa yang menyebabkan kita berpisah? Mereka yang mempermainkan pernikahan kita, Kiara. Lalu, kenapa kita tidak melakukan seperti yang mereka lakukan pada kita? Tidak ada yang salah dengan rasa cinta ini, karena sejak awal mereka lah yang mempermainkan kita terlebih dulu."
Kiara hanya terdiam mendengar perkataan Arron, dalam hati terdalamnya, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu. Perpisahannya dengan Arron begitu menyakitkan baginya, dan semua itu terjadi karena sebuah fitnah kejam dari orang-orang yang tak menyukai pernikahan mereka. "Kiara, aku minta maaf atas semua kesalahanku. Aku mohon terima cintaku kembali, Ara. Meskipun semua ini terlihat jahat, tetapi apa salahnya kita bersikap egois setelah kita menjadi korban keegoisan mereka?"
Kiara menghela napas, lalu menatap wajah Arron yang penuh harap. Tanpa menunggu persetujuan dari Kiara, Arron pun kembali memeluk tubuh wanita itu dengan pelukan yang begitu hangat, seolah ingin menumpahkan rasa rindu yang begitu membuncah di dada. "Ara, kita mulai dari awal lagi." Kiara masih terdiam, sebenarnya dia tak ingin menjalin hubungan itu, karena sama saja dia menyakiti hati wanita lain sekaligus jiwa polos yang tak berdosa. Tetapi, dia tak mampu lagi menahan gejolak yang kian bergemuruh di dalam dada.
Setelah cukup lama berpelukan, Kiara mengurai pelukannya, lalu menatap wajah Arron. Melihat tatapan sendu Kiara, pria itu pun menempelkan bibirnya pada bibir Kiara, memagut bibir itu dengan begitu mendesak disertai ******* yang kuat.
Ada sebuah rasa rindu yang ingin dia sampaikan melalui sentuhannya pada wanita itu, wanita yang sangat dia cintai, dan begitu dia rindukan. Sontak, Kiara pun membuka bibirnya, dan Arron kembali ******* belahan bibirnya secara bergantian atas dan bawah.
"Mas...."
***
Ini sudah malam, Mas. Pulanglah!" perintah Kiara sambil memainkan jemarinya di dada Arron, tubuh telanjang keduanya hanya tertutup selimut. Kulit mereka saling menempel, menimbulkan sensasi hangat dan nyaman yang sudah lama tidak mereka rasakan.
"Kamu berapa hari di sini Jakarta, Ara?"
"Satu minggu, Mas."
"Aku ikut, aku akan menginap di apartemen yang kau sewa, bersamamu selama satu minggu. Emh, bagaimana kalau sebaiknya aku membelikan rumah untukmu, Ara. Jadi, kamu bisa tempati rumah itu kalau kamu lagi ke Jakarta. Bagaimana, hm?" Spontan Kiara pun terbelalak, wanita itu pun mencibit perut Arron hingga membuat laki-laki itu meringis.
"Aduh Ara, kok malah cubit, kamu mau aku geliin lagi?" ledek Arron sambil mengerlingkan matanya. "Jangan gila, Mas. Ada anak dan istrimu yang menunggu di rumah. Nggak usah konyol deh, apalagi sampai beliin rumah, nggak etis!" Arron tersenyum kecut, laki-laki itu mengecup puncak kepala Kiara sambil mengeratkan pelukannya. "Mas!"
"Hmmm.. Apa? Aku lagi kangen sama kamu, Ara."
"Jangan gila, Mas. Setelan ini kamu harus pulang, nggak usah tinggal bareng sama aku!" tolak Kiara, manik mata hitam itu menatap tajam, menunjukkan sikap protes pada laki-laki itu. Tetapi, Arron malah terkekeh melihat ekspresi Kiara yang tampak menggemaskan baginya. "Aku bisa alasen kalau aku lagi ada urusan kantor," sahut Arron seakan tanpa beban. "Tapi Mas."
"Tidak ada tapi-tapian Ara, mereka bisa bersamaku kapanpun mereka mau, tapi nggak dengan kamu. Iya kan?" Kiara pun terdiam, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Arron, jika laki-laki itu bisa saja berkumpul dengan anak dan istrinya, tapi tidak dengan dirinya yang hanya bisa bertemu dengan Arron jika ada kesempatan saja.
"Sekarang kita tidur dulu, besok pagi kita lanjutkan perjalanan kita ke Jakarta, Ara." Kiara pun menganggukkan kepalanya, malam ini rasanya tubuhnya pun sangat lelah. Kejadian di jalan tol sudah begitu menguras tenaga, ditambah lagi sesi bercintanya dengan Arron. Wanita itu pun memejamkan matanya, sedangkan Arron kian mengeratkan pelukannya, seakan belum puas menumpahkan rindu yang akhirnya tersampaikan selama tujuh tahun lamanya.
"I love you deeply, stay by my side, Honey." Dengan mata terpejam, Kiara pun mengangguk, sebelum akhirnya terlelap ke alam mimpi.
Arron membuka matanya saat mendengar suara ponselnya yang berbunyi. Spontan, dia pun bangun, mendudukkan tubuhnya di atas ranjang lalu mengambil ponsel itu dan melihat nama istrinya, Queen yang meneleponnya.
[Halo...]
[Halo Pa, kamu nggak jadi pulang sekarang?] sahut sebuah suara di ujung sambungan telepon.
[Maafkan aku, meeting dengan Tuan Hamada selesai larut malam, jadi aku memutuskan untuk menginap kembali di Bandung. Apalagi cuaca tadi malam juga tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah.]
[Ya udah, gapapa deh. Nih, ada yang kangen sama kamu.] jawab Queen kembali, lalu menampilkan sosok bayi yang berumur satu setengah tahun di layar ponsel itu. Melihat wajah polos di layar ponsel miliknya, senyum pun mengembang di bibir Arron.
[Helooooo Derel, do you miss me?]
[Pa... pa..] celotehnya hingga membuat Arron tertawa terbahak-bahak. Bocah itu memang selalu membuatnya merasa bahagia, dan dia pun begitu menyayanginya dengan sepenuh hati. Meskipun, sampai saat ini dia belum pernah mencintai Queen, tetapi dia sangat menyayangi putra mereka, dan itulah yang membuatnya bertahan dalam rumah tangga itu, meskipun hatinya begitu hampa menjalani sebuah rumah tangga tanpa cinta.
Setelah cukup lama berbincang dengan panggilan video call, akhirnya Queen menutup panggilan telepon itu karena harus membuatkan sarapan untuk Darel. Sedangkan Arron, tampak menghembuskan napas panjangnya.
"Untungnya Queen tidak curiga," gumamnya. Detik berikutnya, Arron mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan hotel, dan tak melihat ada Kiara. Seketika, laki-laki itu pun panik dan mencari Kiara ke seluruh ruangan kamar. Tetapi, laki-laki itu tak menemukan keberadaan mantan istrinya itu, hanya ada sebuan kertas yang dia letakkan di atas nakas.
"Maaf Mas, aku tidak bisa memulai hubungan yang salah. Apa yang kita lakukan tadi malam adalah sebuah kesalahan. Kembalilah pada anak dan istrimu."
"Sial! Dia sudah pergi, aku memang bodoh seharusnya aku berjaga semalaman agar tidak kehilangan jejaknya!" geram Arron. Dia pun mengusap wajahnya dengan kasar, merasa kecolongan karena lagi-lagi harus kehilangan Kiara. Raut wajahnya tampak begitu frustrasi. Bertemu dengan Kiara setelah tujuh tahun lamanya terpisah adalah suatu anugerah baginya, dan dia menyia-nyiakan kesempatan itu. Tetapi, dia bisa apa? Wanita itu sekarang telah pergi.
"KIARA!" teriaknya putus asa.
Ketika Arron akan melangkahkan kakinya keluar dari kamar hotel tersebut, langkahnya tertahan saat kakinya menginjak bathrobe yang dikenakan oleh Kiara. "Sembarangan sekali, sejak dulu, selalu saja seperti ini, dasar manja," gumam Arron. Dia pun mengambil bathrobe tersebut, lalu menaruhnya pada sebuah kursi di dekat ranjang, namun di saat itu juga atensinya tertuju pada sebuah benda yang terjatuh dari bathrobe tersebut.
"Foto?" ujar Arron, sambil mengambil foto yang jatuh tersebut. Dia pun menatap foto itu, foto Kiara bersama seorang gadis kecil yang berusia sekitar lima atau enam tahun.
"Apa ini putrimu? Pantas saja kau tak mau kembali bersamaku, ternyata kau juga sudah berkeluarga lagi, dan memiliki seorang anak sebesar ini? Apa kau sudah benar-benar melupakan aku, Kiara?"
***
Baru saja Arron turun dari mobil sedan hitam mewahnya, tampak Queen dan putra mereka, Darrel sudah berjalan keluar dari rumah untuk menyambutnya. Namun, entah mengapa melihat wanita itu, justru membuatnya merasa tidak bersemangat. Padahal mereka sudah menikah selama tiga tahun lamanya, tetapi rasa cinta itu tidak pernah ada di dalam hatinya.
Bagi Arron, pernikahan itu hanyalah sebatas keterpaksaan. Dia melakukan itu, karena saat itu mamanya, Inez sedang sakit dan meminta Arron untuk menikah dengan Queen. Kehidupan pernikahan itu pun berjalan dengan dingin dan sangat datar, hingga suatu hari karena tidak pernah memberikan nafkah batin, Queen menangis dan mengiba agar Arron mau menyentuhnya, serta memberikan nafkah batin padanya.
Akhirnya, di malam itulah untuk pertama kalinya Arron menyentuh Queen hingga di dalam rahim Queen tertanam benih Arron. Namun, meskipun sudah melahirkan darah daging Arron, nyatanya laki-laki itu tetap begitu cuek pada Queen.
Arron pun sebenarnya sangat jarang menyentuh Queen, mungkin bisa sampai 2 bulan sekali mereka berhubungan suami istri. Seperti saat ini, ketika Arron baru saja pulang dari luar kota, Queen berhambur memeluk Arron, dan memberikan kode dengan tatapan nakal, tapi laki-laki itu tetap bersikap dingin. Dia bahkan hanya membalas pelukan Queen sekadarnya, lalu membopong putra mereka masuk ke dalam rumah dan melewati Queen. Tentu saja, hal tersebut membuat Queen merasa begitu kesal, dia bergegas menjejeri langkah Arron, tetapi laki-laki itu tetap saja tidak menganggap kehadirannya di sampingnya. Arron hanya meledek Darel, dan menghiraukan keberadaan Queen.
"Papa, kamu kan baru pulang, apa kamu nggak kangen sama aku?" Arron hanya tersenyum kecut. "Maaf Queen, aku lelah, nanti siang aku ada pertemuan dengan rekan bisnisku, perusahaan yang akan membangun proyek terbaruku. Jadi, aku hanya pulang sebentar untuk beristirahat dan berganti pakaian, setelah itu aku harus pergi lagi," balas Arron datar.
Setelah itu, dia memberikan Darel pada pengasuhnya. Queen hanya berdiri mematung disertai rasa kesal di dada saat melihat tubuh Arron masuk ke dalam kamarnya.
"Brengsek, selalu saja seperti ini! Sudah 3 tahun kami menikah dan Arron tetap saja bersikap dingin padaku, dia pikir aku apa? Kenapa sulit sekali membuatnya jatuh cinta padaku! Kupikir setelah berhasil menyingkirkan Kiara dalam hidupnya, aku bisa mendapatkan hatinya dengan mudah. Tapi ternyata aku salah, meskipun saat kami menikah dia masih membenci Kiara, tapi kenapa sampai saat ini aku tetap saja tidak bisa merebut hatinya dari wanita bodoh itu!" geram Queen.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!