NovelToon NovelToon

Secret Admirer; In The Land Of Fairies

01. Tanah Peri

Tersesat.

Itulah yang terpatri dalam benak sang putri saat kaki tanpa alasnya yang terluka mulai memasuki bayang-bayang pepohonan yang semakin lama semakin rapat. Hanya ada sedikit cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah kecil rerimbunan dedaunan yang tengah menjadi kanopi jauh di atas kepalanya. Anehnya, kini tanah yang diinjaknya terasa lembut, batang pohon yang disentuhnya terasa halus, bahkan suasana hutan terasa hangat, tak menyeramkan dan tak mencekam seperti beberapa saat yang lalu.

"Pangeran, kau di mana?"

Bibir kemerahan sang putri melantunkan tanya. Suaranya terdengar sedih. Sorot mata sang putri menatap sayu keremangan di sekitar. Pada akhirnya ia tidak lagi mampu menahan lelah dan lara, sehingga tubuhnya kehilangan kendali atas kedua kakinya.

Sang putri jatuh terduduk di antara rerumputan lembut dengan bunga-bunga mungil di sekitarnya.

"Pangeran…"

Tak ada sahutan. Seseorang yang dicarinya nyatanya tidak ada di hutan yang aneh ini. Benar, aneh. Bagaimana tidak jika di dalam kegelapan hutan seperti ini tiba-tiba bermunculan cahaya-cahaya kecil dengan warna berbeda-beda yang jumlahnya semakin banyak?

Bahkan salah satu di antaranya, seiring dengan pendarnya yang semakin besar, cahaya yang berwarna keemasan beringsut mendekati sang putri.

Dari cahaya yang telah berhenti di hadapannya itulah kemudian terdengar suara yang begitu ia rindukan.

"Tuan Putri, ini aku. Pangeranmu."

Figur laki-laki rupawan dengan telinga lancip dan sayap keemasan yang indah lantas terlihat begitu cahaya di hadapannya memudar. Laki-laki itu bergerak turun untuk berlutut dan menghadap sang putri yang masih terduduk di bawah sana.

Namun, ketika sang putri berusaha meraih laki-laki itu, entah kenapa, jemarinya hanya dapat meraup udara kosong. Bahkan ketika ia ingin mengucapkan sebuah kata untuk sang pangeran, suaranya tak mampu untuk keluar. Apa yang tersisa hanya linang air mata di pipi kemerahan sang putri yang lantas berusaha ditepis lembut oleh tangan sang pangeran. Akan tetapi, sama halnya dengan dirinya, pangeran pun tidak bisa menyentuhnya.

"Aku berjanji akan menjemputmu, dan kita akan kembali bersama," ucap sang pangeran dengan tatapan sendu. "Apa kau mau menungguku, Tuan Putri?"

Sang putri mengangguk, membuat senyum sang pangeran tercipta.

Kala bunyi lonceng terdengar bersama angin dingin yang terembus, cahaya keemasan di sekitar pangeran perlahan tenggelam dimakan asap kehitaman yang tiba-tiba menyeruak dari dalam tanah. Tetumbuhan di bawah kaki mereka pun menjadi layu dan mati. Udara di sekitar terasa menyesakkan. Sang putri sampai terbatuk-batuk dan matanya terasa perih. Lalu ketika sang putri membuka kembali matanya yang sempat terpejam, ia begitu terkejut lantaran tubuh pangeran yang masih ada di hadapannya ternyata telah berubah menjadi batu hitam legam.

...***...

Aku tersentak bangun. Bahuku naik-turun, di dalam dadaku ada sesuatu yang mengganjal dan sesak yang tersisa. Tanpa sadar ketika aku menyentuhkan jemari pada wajahku, aku mendapati air mataku yang entah bagaimana sudah ada di sana.

Apa yang baru saja terjadi? Aku bermimpi menjadi seorang putri yang sedang mencari pangerannya, tapi ketika mereka bertemu justru berakhir tragis?

Kenapa aku bermimpi seperti tadi?

Apa karena sebuah surat yang kutemukan di dalam lemari pakaianku tadi malam?

Selamat datang kembali, Tuan Putri. Aku tahu kau pasti akan kembali.

Begitu isi suratnya.

Kertas surat itu sudah menguning dan tulisannya juga sudah tidak tajam karena dimakan oleh waktu. Maka seharusnya surat itu sudah lama kan? Kenapa berada di kamarku?

Aku mencoba merenunginya. Namun, yang terbayang justru kejadian dalam mimpi yang baru saja kualami.

Sungguh.

Meskipun hanya mimpi, tetapi mimpi tadi terasa begitu nyata. Sisa perasaan sang putri yang sempat aku rasakan dalam mimpi tadi bahkan masih tertinggal di benakku hingga saat ini.

Aku merasa cerita ini begitu familier. Apa aku pernah mendengar cerita ini sebelumnya?

Uh. Kepalaku tiba-tiba pening. Bagaimanapun aku berusaha, aku sama sekali tidak bisa mengingat.

Lalu tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku mengecek, terdapat notifikasi panggilan video dari temanku semasa kecil yang bernama Zoe.

Langsung saja aku mengangkat panggilan video itu tanpa memperdulikan penampilanku yang berantakan dengan masih mengenakan piyama.

"Halo, Zoe."

Sambil kembali bergelung di atas kasur dan menarik selimut, aku menatap ke arah layar ponsel. Speaker ponselku lantas memperdengarkan gelak tawa nyaring khas Zoe yang biasanya akan menular.

"Astaga Tuan Putri Kim kita satu ini belum bangun dari tempat tidur rupanya. Selamat pagi, Tuan Putri."

"Hentikan itu, Zoe. Ini baru pukul 9 pagi. Lagipula aku masih jet lag."

"Jet lag? Kau hanya habis menempuh sekitar 200 kilometer perjalanan, itu pun menggunakan kereta. Bukannya pindah negara."

"Oh. Ayolah. Menghabiskan waktu nyaris 10 jam duduk di kereta itu sungguh menyebalkan. Apalagi hanya seorang diri."

"Bukankah itu kemauanmu sendiri? Mengapa tidak menggunakan pesawat saja? Seperti keluargamu sebelumnya?"

"Halo? Pesawat? Itu pun harus turun di Brownston dan harus menggunakan bus selama lima jam untuk sampai di Fairille ini. Terlalu merepotkan."

Fairille. Kota yang pernah menjadi tempat masa kecilku tumbuh kini kembali menjadi tempat tinggalku di umurku yang ke enambelas. Entah apa yang Mom dan Dad pikirkan, mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka yang bagus di kota metropolitan bernama McReych demi kembali ke kota ini.

Kota Fairille sendiri sebenarnya tidak terlalu kecil, juga tidak sepi seperti yang dipikirkan oleh teman-temanku di McReych. Aku sama sekali tidak ingat kenangan di kota ini, tetapi dengar-dengar kota ini sudah berkembang dengan fasilitas yang cukup lengkap, bahkan mempunyai sekolah cukup bagus yang akan menjadi sekolah baruku nanti.

Menjadi anak pindahan di pertengahan ajaran baru. Entah apa yang akan terjadi. Setidaknya ada satu orang yang benar-benar aku kenal di sekolah itu. Itu adalah Zoe Borsche. Teman satu-satunya yang kukenal di kota ini dan juga satu-satunya yang aku ingat. Aku tidak begitu mengerti kenapa aku hanya mengingat Zoe. Mungkin karena hanya Zoe seorang yang pernah mengunjungiku beberapa kali di kota tempat tinggalku sebelumnya.

"Iya, Tuan Putri. Aku paham sekali."

Di antara percakapanku dan Zoe, tiba-tiba seseorang menyela.

"Tidak biasanya kau bersemangat seperti ini, Zoe. Memangnya dengan siapa kau menelepon? Pacar barumu ya?"

Seketika kedua alisku menekuk. Zoe tidak lagi menatap ponsel dan kelihatan sibuk mempertahankan ponselnya dari gangguan.

"Hei, jangan ganggu kami, Max. Kami tidak hanya bertelepon, kami sedang melakukan video–"

Melihat sosok yang bukan lagi Zoe di layar ponselku, aku tak bisa menahan jeritan. Kedua tanganku seketika menutup mulut. Tanpa sadar aku ternyata sudah melempar ponsel lantaran terkejut karena di layar ponselku ada sosok cowok yang tidak memakai baju atasan sehingga menampakkan tubuh berotot yang berkeringat…dan seksi.

Gawat! Apa yang sedang aku pikirkan?!

"Max! Lihat apa yang kau lakukan! Kau membuat Kim terkejut!"

Terdengar percakapan mereka dari ponselku yang masih enggan aku ambil.

"Kim? Maksudmu Kimberly Schulz?"

Dahiku kini mengernyit keheranan.

Bagaimana cowok itu tahu namaku? Apa aku mengenalnya?

Penasaran, aku mengambil ponselku dan menyipitkan mata. Sepertinya ponsel Zoe masih dipegang oleh cowok itu. Oleh karenanya, satu tanganku yang lain berusaha menutupi potret badan cowok itu. Tentu saja aku melakukannya supaya jantungku tidak semakin keras debarannya.

"Apa aku mengenalmu?" Aku mencoba mengajak cowok itu berbicara. Wajahnya memang mirip dengan Zoe, tetapi Zoe tidak pernah bercerita jika dia memiliki saudara laki-laki. "Omong-omong kenapa kau tidak pakai baju…, Max?"

"Kau ingat aku, Kim?" tanya cowok itu antusias. Aku keheranan melihatnya.

"Aku hanya mengulang nama yang disebutkan oleh Zoe tadi."

"Oh.” Nada Max yang tadinya ceria kini terdengar kecewa. “Aku hanya sedang berolahraga, Kim. Kalau begitu, aku akan melanjutkan kegiatanku. Omong-omong, selamat datang kembali di Fairille."

Aku terdiam. Kata-kata terakhir yang diucapkan Max hampir sama dengan tulisan dalam surat yang aku temukan di lemari pakaianku.

Apa itu surat dari Max?

Tangkapan layar kemudian menampilkan kembali sosok Zoe yang menjulurkan lidah ke arah lain.

"Shoo, shoo. Sana pergi kau, Max!” Zoe kemudian kembali mengarahkan tatapan padaku. “Aku benar-benar minta maaf, Kim. Karena Max sudah lancang, dan pasti telah merusak matamu dengan pemandangan otot bodohnya itu!"

Lalu terdengar protesan Max. Aku mendengar jelas bahwa cowok itu berkata jika banyak cewek yang menyukai bentuk badannya. Mendengar perdebatan Zoe dan Max setelahnya, aku menahan tawaku. Zoe lalu memutar bola mata dan menggelengkan kepalanya sebelum kembali berbicara kepadaku.

“Baiklah. Sampai di mana tadi, Tuan Putri.”

"Zoe? Kurasa aku perlu mendengar penjelasanmu.”

Mengenai Zoe yang rupanya memiliki saudara, sedangkan sebelumnya Zoe tidak pernah bercerita.

"Akan kujelaskan nanti, ok? Kau harus mengurus dokumen pindahanmu ke sekolah kan? Akan kujemput sekitar satu jam lagi. Apa itu cukup, Tuan Putri?"

"Kupikir sekolah sedang libur. Uhm. Baiklah, tapi bagaimana jika…dua jam lagi?"

Cengiranku yang mulanya terbentuk kemudian berubah menjadi tawa saat melihat bagaimana Zoe kelihatan menyerah karena memiliki teman sepertiku.

...****************...

02. Fairille

Tak sampai menghabiskan dua jam, aku telah bersiap. Bahkan, hanya dalam satu jam aku sudah selesai berdandan dan mengenakan seragam sekolah lama yang mungkin hanya akan aku kenakan sampai hari ini. Seusai sarapan, aku menunggu Zoe di teras depan sambil bermain ponsel. Tak ada pembicaraan yang kulakukan karena memang sedari pagi rumah sepi, hanya ada aku seorang lantaran penghuni rumah lainnya sudah pergi.

Mom-Dad dengan pekerjaannya dan adik laki-lakiku dengan sekolahnya.

Jariku berulang kali menyentuh layar ponsel. Berharap, di sana terdapat notifikasi chat berjumlah puluhan yang akan kuterima seperti biasanya pada hari-hari normalku di McReych. Marsha, Felly, dan Sophi–tiga gadis yang sudah kuanggap sebagai sahabat–tidak lagi muncul di grup chat kami. Terakhir kali topik yang kami bahas mengenai alasan kenapa mau-maunya aku ikut keluargaku tinggal di kota yang jauh dari gaya hidup metropolitan.

Padahal jika saja mereka tahu, Fairille memiliki fasilitas yang sudah cukup lengkap, minus gedung-gedung pencakar langit. Bahkan, kota ini memiliki laut dan hutan yang katanya indah.

Mereka hanya belum tahu, begitu pun sebenarnya dengan diriku.

Sebagaimana saran dari ketiga temanku itu, aku sudah mencoba untuk meminta izin pada Mom dan Dad untuk tinggal sendirian di McReych. Seperti dugaanku, aku tidak mendapatkan izin. Tentu aku merasa kecewa, teman-temanku pun sampai mengabaikan pesan-pesan dariku setelahnya. Meskipun awalnya sangat berat bagiku meninggalkan kota tempat tinggalku sebelumnya, pada akhirnya aku memaksakan diri untuk menerima.

Berbeda dariku. Ezra, adik laki-lakiku, justru merasa senang pindah ke tempat baru ini. Kata Ezra, di tempat ini dia banyak mendapat teman baru, berbeda dengan dirinya di tempat sebelumnya.

"Hai, Kim!"

Baru juga terpikirkan, adikku yang berumur 11 tahun muncul di hadapanku. Ia baru saja pulang dari sekolah diantarkan oleh bus sekolah, tidak seperti sekolah baruku yang mengharuskan anak didiknya tinggal di asrama. Kalau ada yang bertanya kenapa aku masih di rumah, tentu saja jawabannya karena aku baru sampai di kota ini tengah malam tadi, dan masih harus menyiapkan dokumen-dokumen pindahan untuk diserahkan pada sekolah baruku.

"Ez. Kau tampak…berbeda."

Ezra yang sebelumnya banyak murung sekarang kulihat jadi kelihatan lebih hidup. Lihatlah bagaimana Ezra tersenyum. Mata serupa zamrud yang diterpa sinar matahari pun kelihatan berbinar.

"Oh, benarkah?" Ezra berputar dan melihat penampilannya sendiri, terlihat tidak yakin dengan perkataanku. "Memang apa yang membuatku tampak berbeda?"

Aku terdiam sejenak, lalu kembali berkomentar. "Seragam sekolah baru dan kau kelihatan ceria, tidak seperti sebelumnya."

"Apakah itu terlihat buruk?" tanya Ezra sedikit cemberut.

"Tidak, tidak." Aku lekas menggeleng. Lalu senyumku melengkung tulus. "Tentu saja itu sangat bagus. Aku senang melihatnya."

Ezra lalu tertawa dan memelukku yang masih duduk di kursi gantung. Aku membalas pelukannya.

"Kau terbaik, Kim!"

Aku tertawa dan mengusap puncak kepala Ezra dengan gemas.

"Jika ada yang mengganggumu di sekolah, katakan padaku, ok?"

"Tidak ada yang menggangguku, Kim. Di sini teman-teman baruku sangat baik! Berbeda dengan di McReych," ucap Ezra dengan nada ceria, yang benar-benar membuatku heran, sekaligus terkejut. Sebelumnya aku tidak pernah dengar keluhan Ezra soal kehidupan di sekolahnya.

Tanpa dapat menyuarakan pikiranku, Ezra ternyata sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkanku yang masih menatap ambang pintu yang kemudian tertutup. Pandanganku yang nanar berlabuh ke arah kejauhan, di mana letak perbatasan kota dan pepohonan hutan yang baru kuketahui detik ini. Semalam hanya ada kegelapan yang bisa kulihat di tempat itu, dengan sesekali muncul gemerlap kecil yang mungkin saja asalnya dari puncak tower.

Panggilan dari seseorang yang terdengar meleburkan lamunanku. Asalnya dari seseorang yang baru saja keluar dari bangku belakang milik mobil hitam sedan mewah yang sedang berhenti di depan rumah. Aku berdiri dan lekas menghampiri saat mengetahui seseorang itu ternyata Zoe. Namun, yang membuatku menghentikan langkah adalah penampilan Zoe yang sangat berbeda dari saat terakhir kali aku bertemu dengannya.

Saat itu Zoe yang mengunjungiku di McReych memakai hotpants dan tanktop, berbanding terbalik dengan sekarang: menggunakan gaun terusan selutut ditimpa blazer crop dengan sebuah lambang–FrHS.

Oh, jangan lupa pita lucu pengganti dasi di dada.

"Frhs?" tanyaku spontan.

"Sekolah kita, Fairille High School. Kenapa kau kelihatan begitu terkejut?"

"Tentu saja. Pakaian yang kau kenakan sungguh berbeda, Zoe." Aku sedikit menunduk, melihat penampilanku sendiri. Pakaian yang aku kenakan adalah seragam sekolahku sebelumnya: dasi dan rok merah bermotif di atas lutut, kemeja krem, juga cardigan yang terikat di pinggang. Seragamku memang tergolong tren dan modern di McReych, tapi sungguh itu merupakan hal biasa di sana, berbeda dengan pakaian Zoe yang kelihatan elegan dan berkelas. "Aku tidak yakin akan ke sekolah menggunakan pakaian ini."

Zoe tergelak.

"Ini hanya seragam, Kim. Itu juga seragammu kan? Itu sangat keren dan…," Zoe mengedipkan satu matanya, "seksi. Kau mungkin akan langsung terkenal di sekolah."

"Zoe!"

"Aku hanya bercanda, Kim. Kau lucu sekali. Aku benar-benar merindukanmu." Zoe tak bisa menahan tawanya. Ia lalu memelukku sebelum menarik tanganku supaya mengikutinya menuju mobil. "Ayolah. Fairille High School sedang menunggumu."

Sekarang aku jadi benar-benar tidak yakin dengan penampilanku. Meskipun Zoe hanya bercanda, tapi tetap saja aku merasa ragu. Namun begitu, setelah aku membalas pelukan hangat dan kata-katanya yang manis, aku menuruti ajakan Zoe untuk masuk ke dalam mobil.

...***...

Jalanan yang tak terlalu ramai terus dilalui oleh mobil yang sedang mereka tumpangi.

Dari bangku penumpang, aku termangu memandang pemandangan kota yang masih terlampau asing bagiku. Dalam hatiku yang paling dalam, masih terdapat rasa sesal atas kepindahanku ke tempat ini. Padahal sebenarnya hidupku di McReych tidak dapat juga dikatakan menyenangkan, bahkan jika dipikirkan lagi tergolong datar karena terus melakukan hal yang sama: pergi ke sekolah, mengerjakan PR, menonton film di Mcflix, bermain ponsel, lalu hang out dengan teman-teman. Itu rutinitas yang kulakukan selama ini.

Ya, segalanya berjalan teratur dan berulang, terlalu teratur malah sampai-sampai terkadang aku merasa bosan.

Atau karena hanya aku yang belum tertarik dengan cowok satu pun?

Tidak seperti Marsha, Felly, dan Sophi yang tergila-gila dengan para cowok tampan dan populer di sekolah. Di mana pun saat bersama mereka, juga saat ke mall atau makan di kafe, teman-temanku itu selalu membicarakan cowok-cowok yang mereka taksir. Mereka selalu berencana untuk mendekati cowok-cowok itu. Sedangkan aku biasanya hanya akan membantu dan, yah, berakhir 'makan popcorn' di pojokan.

Aku melirik ke arah Zoe di sampingku, lalu tersenyum tipis, merasa lega masih ada teman yang mau menemaniku hingga saat ini.

"Kimberly dear."

"U-uh, ya?"

Aku terbata, terkejut karena tiba-tiba Zoe memanggil namaku. Rasanya seperti sedang terpergok sedang mencuri pandang ke arahnya.

"Aku harap kau betah tinggal di Fairille. Sungguh berbeda dengan McReych, bukan?"

Mataku melebar sejenak. Perkataan itu membuatku terdiam. Temanku satu ini seperti tahu apa isi pikiranku.

Aku lalu kembali memandang ke luar jendela.

"Aku pun berharap demikian."

Mungkin aku harus mulai melupakan kemegahan kota McReych beserta kesibukan dan ingat-bingarnya. Apa yang tersisa kini adalah suara alam berupa desau angin dan burung-burung yang berkicau. Pemandangan yang kulihat kini telah berganti. Bangunan-bangunan yang tadinya berdiri di kanan-kiri jalan telah berubah sepenuhnya dengan pohon-pohon besar yang berjajar. Saking besar dan kokohnya, tampak akar-akarnya yang mencuat dari dalam tanah seolah akan membelah jalanan.

"Wow. Pohon-pohon ini sebentar lagi sepertinya akan menghancurkan jalanan kota."

"Tahan kekagumanmu sampai kau melihat pemandangan setelah belokan di depan."

Tepat setelah Zoe berkata seperti itu, sang sopir yang mengemudi membelokkan setir mengikuti jalan yang kemudian melengkung. Kuperhatikan pohon-pohon di luar jendelaku mulai jarang, lalu tampak kilauan biru terang yang sepertinya aku tahu apa itu.

"Laut!"

Aku membuka kaca jendela, dan memang apa yang kuucapkan benar. Itu benar-benar laut! Laut terpampang jelas di samping jendelaku ketika pohon sudah tak lagi ada menyembunyikan keindahannya. Pemandangan alam yang selama ini tidak pernah kutemukan di McReych!

"Cantik sekali!" jeritku senang karena dibuat terpukau. Rambutku yang terurai pun ikut diterpa angin dan jadi berantakan ketika kepalaku menyembul keluar jendela. Melihat pemandangan seperti ini, aku merasa sangat senang. Resah yang sempat aku rasakan seketika lenyap. "Lihat, Zoe! Laut!"

Zoe tertawa melihatku yang mendadak seperti anak kecil.

"Oh, itu laut? Kupikir itu gunung," ujar Zoe berkelakar.

...****************...

03. Patung Peri

Jalanan yang dilalui oleh mobil tumpangan kami kini menyempit dengan juntaian-juntaian bunga milik pohon-pohon yang berada di tiap sisi jalan, membuat permukaan aspal yang tak seluruhnya didominasi warna gelap dihiasi oleh kelopak-kelopak yang berjatuhan. Salah satu kelopaknya terbawa angin yang berembus kencang, yang telah melalui kaca jendela sebelum aku berhasil menutupnya secara sempurna. Lalu kelopak bunga berwarna ungu itu mendarat di atas pangkuanku. Aku pun menyentuhkan jemariku pada kelopak itu, hingga tanpa sadar senyumku terukir lembut.

Kemudian aku memikirkan mengenai kehidupan baruku di Fairille.

Apa yang akan menungguku di sekolah baruku, bagaimana keseharianku yang akan kujalani di Fairille–aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, bahkan sedari awal aku sudah berpikir seperti itu meskipun ada rasa kecewa pada orang tuaku yang tak mengizinkanku untuk tinggal sendiri di McReych. Apa yang perlu kulakukan hanya menjalaninya saja bukan? Sama halnya hari-hari yang telah kulalui di McReych. Rutinitas yang monoton pasti akan kembali terjadi–minus hang out bersama ketiga sahabatku di McReych, tempatnya saja yang berbeda.

Ya, benar. Isi otakku memberitahukanku demikian. Akan tetapi, beda halnya dengan bisikan hatiku.

Aku tidak tahu apa, tapi semenjak bercakap-cakap dengan Zoe secara langsung, dan telah melihat bagaimana ombak bergelung di laut Fairille, perasaanku terasa tenteram dan ada percikan antusias di sana.

Juga debaran yang entah dari mana asalnya.

Tanpa kusadari, rupanya gerbang sekolah yang bertuliskan Fairille High School sudah ada di depan mata. Bangunan sekolah dengan warna pualam serta ornamen-ornamen indah di beberapa bagian, halaman yang dihiasi taman bunga beraneka ragam, menara jam serta lambang sekolah di puncaknya, merupakan sekian dari pemandangan yang membuatku terkesima. Andai saja Zoe tidak memegang pundakku, aku mungkin tak sadar jika mobil kami sudah berhenti di halaman sekolah.

“Selamat datang di Fairille High School, Kim.”

Aku menatap Zoe yang tersenyum kepadaku. Bukan hanya Zoe yang berkata seperti itu, melainkan sopir yang ternyata telah turun dan membukakan pintu mobil untukku. Melihatnya, aku kebingungan. Aku agak merasa malu atas perlakuan yang mereka berikan kepadaku. Namun, aku tetap melangkahkan kaki keluar dan mengucapkan terima kasih pada sopir itu sebelum berjalan bersama Zoe menuju gedung sekolah yang kelihatan megah ketika kami berjalan semakin mendekat.

Tidak hanya pemandangan asri yang memanjakan mata, melainkan juga wewangian bunga ketika angin lembut nan sejuk membawanya hingga mencapai indra penciumanku. Aku mencoba untuk fokus mengikuti Zoe, tetapi aku tak mampu menahan pandangan mataku untuk tidak mengedar ke sekitar. Bahkan kakiku turut membeku di dekat sebuah kolam air mancur kala mataku terpaku pada sebuah patung yang menarik atensiku.

Adalah sebuah patung wanita bermahkota dengan sepasang sayap yang menuntun diriku untuk semakin mendekat. Aku dibuat tak berkedip pada patung yang mengingatkan pada mimpiku.

“Peri?”

Seketika, aku bertanya pada udara kosong.

“Ya, peri.”

Sungguh. Aku tak berharap patung itu berbicara padaku, atau seseorang menjawab tanyaku.

Suara itu jelas bukan milik Zoe, bukan juga milik patung peri di depannya, melainkan suara milik seorang laki-laki. Ketika aku menoleh, figur cowok berseragam sekolah dengan membawa setumpuk dokumen baru saja berhenti di sampingku. Senyum cowok itu tertarik lebar, begitu juga dengan tatapannya yang ramah. Aku terkejut melihat cowok dengan balutan seragam sekolah Fairille High School itu begitu tampan. Bahkan aku hampir mengira cowok itu adalah jelmaan peri seperti yang pernah kutemui di dalam mimpi. Meskipun tidak terdapat cahaya maupun sayap pada cowok itu, tetapi kehadiran cowok itu berhasil membuatku dapat mendengar debaran jantungku.

Cowok itu memiliki rambut keriting berwarna kecokelatan dengan mata biru cerah serupa laut yang kujumpai tadi. Terus-menerus memandang matanya, aku seakan terperosok dan semakin tenggelam menuju lautan yang dalam.

“Apa kau tertarik dengan peri?”

Cowok itu berbicara lagi. Aku segera mengedipkan kelopak mataku beberapa kali supaya terlepas dari pikatan. Mau bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap tenang, aku tidak bisa seperti biasanya yang tak akan peduli dengan eksistensi cowok tampan.

Akan tetapi, mengapa aku sekarang jadi seperti ini? Apakah ini yang biasa dikatakan oleh Marsha, Felly, dan Sophi ketika kami jalan bersama? Ataukah ini yang dinamakan karma karena selalu menganggap sikap teman-teman perempuanku berlebihan?

Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

Uh. Cowok itu semakin mendekat, jantungku semakin berdetak tak keruan.

“Aku hanya penasaran,” ucapku membuang muka ke arah patung peri. Berusaha menyembunyikan sikapku yang tak bisa memandang lurus pada mata cowok itu dengan tak acuh.

Saat tawa renyah tiba-tiba terdengar, di situlah tumbuh niatanku untuk segera melarikan diri dari tempat ini.

“Begitu pun denganku.”

Aku bisa merasakan pergerakan cowok itu yang kini menghadap langsung padaku.

“Aku Leonal Ordt.”

Tanpa sadar, aku menoleh. Dengan memeluk beberapa dokumen di salah satu tangannya, cowok itu menggunakan tangan lainnya untuk mengajakku bersalaman. Meskipun aku tidak bisa benar-benar menatap matanya, pada akhirnya aku mau menyambut tangan cowok itu setelah sempat terdiam selama beberapa jenak.

“Kimberly Schulz.”

Berhasil mengucapkan namaku dengan tidak tergagap rasanya ingin menepuk-nepuk pundakku sendiri karena merasa bangga. Terlebih pertemuan tangan kami yang dapat dikatakan tak hanya berlangsung sebentar. Cowok itu seolah sengaja menahan tanganku supaya tetap berada di tangannya.

Namun, apa hanya perasaanku?

Cowok itu bahkan terus-terusan memandang mataku dan masih tak mau melepaskan tanganku.

“Tuan Ordt?” ucapku meminta perhatian. Sekarang cowok itu justru kelihatan seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Apa ada yang mengganggumu?”

“Ah, maaf, Nona Schulz.” Cowok itu buru-buru melepaskan tanganku. Ekspresinya juga melunak dan kelihatannya merasa tidak enak atas sikapnya terhadapku. “Aku terlalu terpesona padamu. Mungkinkah kau adalah seorang putri seperti halnya patung ini?”

Lagi-lagi aku terdiam. Pipiku mungkin saat ini sudah merona. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud cowok itu. Tidak mungkin kan mimpi yang kualami di malam itu dapat diketahui oleh orang lain sementara aku sendiri tidak pernah memberitahukannya pada siapa pun. Atau itu hanya ucapan omong kosong yang diutarakan oleh mulut manis para cowok ketika ingin memikat hati cewek?

Leonal Ordt lantas tertawa kecil. Senyum menyesalnya pun turut hadir saat akan kembali berbicara.

“Apa aku membuatmu takut? Maaf Aku hanya terlalu tertarik dengan patung peri ini, Nona Schulz. Dan kurasa, kau memang memiliki paras cantik sama halnya putri peri yang mungkin keberadaannya sungguh nyata.”

“Terima kasih.” Suaraku mungkin terdengar pelan, atau justru karena detakan jantungku yang kini terdengar sangat keras di telingaku. “Putri peri, ya.”

“Aku senang jika kau tertarik dengan patung itu juga. Omong-omong, kelihatannya kau anak baru. Apa kau mau kuajak berkeliling? Mungkin kita bisa sedikit saling bertukar pendapat mengenai patung ini. Bagaimana menurutmu, Nona Schulz?”

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sebagian besar dari diriku ingin mengiyakan karena aku penasaran dengan kisah patung peri itu, apalagi jika memiliki kesamaan dengan mimpi yang pernah kualami. Namun, sebagian kecilnya lagi aku masih memiliki kesadaran jika kedatanganku tidak hanya seorang diri... melainkan bersama seseorang.

Astaga, Zoe! Aku melupakannya!

“Tidak perlu. Aku–”

“Oi, Ketua Ordt. Rapat akan segera dimulai.”

Kepalaku sontak menoleh. Suara yang terdengar dingin dan cuek itu berasal dari jendela lantai 2, milik seseorang berkacamata yang menumpukan kedua tangannya yang terlipat di kusen jendela.

“Ah, baiklah!” Dari lantai 2, cowok itu beralih menatapku. Baik dari raut wajah dan nada suaranya, Leonal Ordt benar-benar menyesal. “Maaf, aku lupa ada rapat penting. Temui aku jika kau butuh sesuatu, Nona Schulz. Aku harus pergi.”

Cowok itu lalu buru-buru masuk ke dalam bangunan sekolah. Meninggalkanku yang tak bisa lepas menatap punggungnya yang menjauh. Aku lalu mencoba memegang dadaku, merasakan detakan jantung yang kian lama kian normal setelah kepergian cowok itu.

Eh... Aneh sekali.

Apa yang terjadi padaku?

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!