"Gamma!"
Suara yang terdengar familiar di sepasang telinga nya mampu membuat cowok dengan kaos putih oblong terbalut jaket kulit hitam itu berhenti ditempat. Cowok itu menyugar rambut nya ke belakang tanpa berniat menoleh, membiarkan sosok pria bertubuh proporsional berdiri tegap di hadapan nya dengan wajah yang menahan amarah.
Gamma tidak peduli, toh dia sudah biasa mendapatkan perlakuan kasar dari Papa nya hanya karena mendapatkan nilai yang lebih rendah dari Galaksi–kembaran nya.
"Benar kamu jadi ketua geng abal-abal itu?"
Gamma mengangguk. "Kalau iya kenapa?"
"Brengsek, dasar anak tidak tau diri. Setelah kemarin mabuk-mabukan dan terlibat aksi tawuran kamu masih berani bergabung dengan geng motor sialan itu?!"
"Papa gak tau apa-apa," kata Gamma. "Papa cuma mau tau nilai Gamma harus sempurna kayak Galaksi, harus nurut kayak Galaksi, pokok nya harus seperti Galaksi. Tapi apa pernah Papa tau kalau Gamma nggak bakalan bisa kayak Galaksi?!"
"Tutup mulut kamu, Gamma!" seruan itu terdengar marah. Gamma hanya berdecih, ia sudah tau apa yang akan dikatakan Papa nya setelah ini. "Galaksi bisa seperti itu karena selalu berusaha."
Emosi Gamma tersulut, rahang tegas cowok itu menegang, urat-urat pada leher nya mulai terlihat menonjol dengan kedua tangan yang terkepal dari balik saku jaket kulit yang dia kenakan.
"Terserah, Papa nggak bakalan paham kalau nggak berada di posisi Gamma."
Cowok itu pergi meninggalkan rumah besar yang terasa sangat sepi tanpa menghiraukan teriakan sang Papa yang menyerukan nama nya. Pikiran nya berkecamuk, seharusnya ia menolak permintaan Galaksi yang menyuruh nya untuk pulang.
Gamma sendiri sebelumnya bukan murid yang menyukai minuman alkohol, tawuran bahkan ugal-ugalan di jalanan. Ia lebih suka berlatih basket dan berniat bergabung di sebuah club tingkat nasional setelah menginjak umur delapan belas tahun yang menjadi mimpi nya sejak kecil.
Namun sayang di usia nya yang baru menginjak angka sebelas, Mama nya meninggal dunia dan sikap Papa nya berubah seratus delapan puluh derajat. Sosok yang selalu dianggap pahlawan itu berubah menjadi monster yang membuat Gamma terpaksa mengesampingkan impian nya.
Belajar mati-matian, ikut bimbel sana-sini dan dipaksa untuk terus menghafal materi hingga berujung depresi karena gagal mendapat nilai sempurna. Saat itu lah Akberios datang mengulurkan tangan, sebuah geng motor yang berisi kumpulan para murid nakal yang mengajarkan Gamma arti dari sebuah keluarga.
Sesuatu bergetar dari saku jaket membuat Gamma menepikan motor besar nya. Cowok itu tersenyum tipis membaca pesan singkat dengan nama absurd pada layar ponselnya.
...Deltasu...
|•send a picture
|lo dmn cok, kburu pulg si jlg
...Deltasu...
^^^dluan gw lg nyri mma muda|^^^
^^^Jgn lp pke pngmn y haha|^^^
Kembali menyimpan ponsel nya di saku, Gamma terdiam dengan pandangan lurus ke depan dimana jembatan kosong terlihat dihuni oleh seseorang berjubah putih.
Alih-alih merasa takut, cowok itu malah melirik jam pada pergelangan tangan yang menunjukan angka 01.17, kepala nya mendongak menantikan kegiatan lanjutan dari sesuatu di depan nya.
Rahang Gamma mengeras, kedua tangan nya terkepal kuat. Detik kemudian ia berlari cepat kilat sebelum dihantui rasa bersalah.
Hap!
Dalam satu tarikan Gamma berhasil menarik tubuh seorang gadis yang hampir menjatuhkan diri ke sungai yang memiliki arus kuat. Nafas nya terdengar memburu, tubuh nya ikut merasa gemetar membayangkan tubuh kecil itu jatuh atau mungkin menyangkut pada besi sisa proyek yang masih belum di bereskan.
"Lo gila?!" bentak Gamma.
Gadis itu mendongak, kedua mata sembab nya menatap Gamma marah sambil terus berontak minta dilepaskan. "Lo yang gila, lepasin gue sialan!"
Pandangan Gamma menggelap, cowok itu memilih untuk membawa nya menjauh dari area jembatan, mengantisipasi jika gadis dalam rengkuhan nya itu akan kembali menjatuhkan diri jika ia lepaskan.
"Lepas brengsek!"
"Bisa berhenti?" ujar Gamma malas, pukulan yang dilayangkan berkali-kali ke dada nya itu terasa sia-sia karena Gamma tak merasakan sakit sedikit pun. "Lo cuma buang-buang tenaga. Umur masih muda bukan nya tobat malah mau bunuh diri, menurut lo dengan cara itu bisa masuk surga jalur VIP?"
Gadis itu terdiam sejenak, ada beberapa hal yang mengganggu pikiran nya hingga membuat nya menunduk. Gamma yang menyadari perubahan itu lantas melepaskan rengkuhan nya dan mengajak duduk di atas motor besar nya.
"Nggak semua hal bisa lo selesaikan dengan cara bunuh diri. Lo nggak cuma lari dari masalah, tapi lo juga ikut nambah masalah buat orang lain."
"Lo nggak bakal tau–"
"Gue tau, semua orang punya masalah masing-masing. Lo belum tentu bisa ngadepin masalah gue, sebaliknya gue juga belum tentu bisa ngadepin masalah lo. Dari sini paham?"
"Lo ngomong gitu karena belum tau masalah yang gue hadepin, gue kotor, gue udah nggak pantes buat hidup."
Kedua alis Gamma menyatu. "M-maksud lo?"
"Gue hamil, gue cewek murahan, gue nggak pantes hidup, gue kotor, harusnya gue udah mati bareng anak gue tapi lo halangin, brengsek!!"
"Lo bohong kan?" beo Gamma bodoh, dia masih belum bisa menerima fakta jika gadis seimut ini ternyata telah menjadi seorang wanita.
"Lo pikir siapa yang berani bercanda sama nyawa. Cuma gue, cewek bodoh yang mau-mau nya percaya sama mulut manis kaum kalian!"
"Coba lo ulangi!" Gamma menangkap pergelangan wanita yang hendak kembali berlari menuju jembatan, tatapan nya berubah tajam. Dengan sekali hentakan tubuh mungil itu telah berada di dalam dekapan nya. "Nggak semua cowok kek gitu."
"T-tapi yang kayak gitu udah pasti cowok!"
"Kayak gitu gimana?" Gamma mengikis jarak hingga dapat melihat dengan jelas wajah cantik yang terlihat pucat di depan nya.
Wanita itu menutup kedua mata merasakan hembusan nafas Gamma menerpa kulit wajah nya. Ia terlihat sangat cantik dengan hidung mancung, bulu mata lentik serta bibir tebal berisi yang membuat Gamma salah fokus.
Cowok itu akhirnya memilih menunduk hingga dapat melihat dengan jelas sebuah kalung kecil dengan bandul nama 'Altheya' yang terlihat sangat pas pada wanita itu.
"Kenapa tutup mata?" Gamma tersenyum jahil, tangan nya meremas kecil pinggang ramping itu membuat sang empunya mendesis pelan. "Lo berharap gue cium?"
"Gila lo!"
"Terus kenapa?"
"Gue–"
"Hei, kalian berdua sedang apa di sana!"
Gamma menoleh ke belakang, dua orang pria berseragam satpol berlari mendekat membuat cowok itu semakin tersenyum merekah, tangan nya bergerak mengeratkan rengkuhan nya pada Altheya yang sudah melotot panik.
"Gak sia-sia gue berdoa ke Tuhan biar digrebek satpol bareng lo."
"SINTING!"
Berbagai tatapan terlihat dilayangkan pada kedua remaja yang kini telah berada di rumah Pak RT setempat. Dua pria berseragam satpol nampak berdecak sebelum tangan nya bergerak menonyor kepala Gamma yang terlihat santai sambil tersenyum senang.
"Minimal modal, mesum kok di jembatan!" sentak pria yang memiliki postur tubuh tinggi, tangan nya mengarahkan tonfa tepat ke wajah Gamma dengan kesal lantaran masih menemukan masyarakat mesum di daerah jaga nya. "Nyengir lagi kamu!"
"Bapak salah paham, saya bahkan tidak kenal dengan dia," ujar Altheya mencoba membela diri.
"Halah, jaman sekarang mana ada maling ngaku. Kalau tidak kenal kenapa kalian bisa berpelukan seperti itu?"
Altheya bungkam, tak mungkin ia jujur mengatakan kepada mereka jika sebelumnya memiliki niat bunuh diri karena hamil diluar nikah, itu akan semakin memperkeruh keadaan. Kedua mata nya melirik ke arah cowok yang sibuk menghitung cicak di belakang Pak RT.
"Lo!"
Gamma menoleh santai. "Apa sayang?"
"Jelasin sama mereka kalau kita nggak ada hubungan apa-apa!"
"Apa yang perlu gue jelasin? bukan nya tadi emang lo juga sama-sama mau? santai aja kali kek mau dihukum bunuh diri aja."
Altheya mengusap wajah nya gusar saat tatapan dari Pak RT dan satpol yang seakan menguliti nya hidup-hidup. Dalam satu tarikan nafas, cairan berwarna bening itu turun membasahi kedua pipi nya yang sedikit gembul. Niat hati ingin mengakhiri hidup bersama sang buah hati malah terlibat kasus baru dengan cowok berperawakan urakan yang kini menatap nya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Wanita itu tak tau apa maksud nya, yang jelas cowok berjaket kulit warna hitam itu benar-benar gila.
"Sesuai adat yang telah terjadi secara turun-menurun pada daerah ini, kalian terpaksa harus kami nikah kan malam ini juga."
"YESS!!"
Altheya tak menghiraukan sorakan senang dari cowok di sebelah nya, wanita itu mengerjap beberapa kali sambil mencubit kulit tangan nya berharap jika ini hanya lah sebuah mimpi buruk. Namun sayang, ia meringis kecil merasakan sakit pada area kulit yang menandakan jika ini bukan lah mimpi.
"N-nikah?" beo Altheya. "Tapi umur kita baru delapan belas tahun!"
"Udah tau baru delapan belas tahun kenapa berani berbuat zina, kalau sudah seperti ini panik ko!" sindir satpol yang memiliki tubuh gempal, tatapan nya menusuk sinis membuat Altheya merasa tersindir.
Semua kalimat tajam itu memang benar dan Altheya baru menyadari nya malam ini. Dia masih berumur delapan belas tahun, harusnya pada masa-masa ini masih bisa ia nikmati dengan hang out bersama teman-teman nya, belajar dengan giat dan meraih mimpi yang ia idamkan sewaktu masih kecil.
Namun semua itu tak lagi ada artinya ketika nasi telah menjadi bubur. Altheya menyesal, mengapa malam itu dengan mudah nya ia menyerahkan mahkota yang seharusnya untuk suami nya kelak pada pria brengsek yang tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.
"Terima aja kali, gue jadi suami nggak malu-maluin amat. Ganteng? udah pasti, kaya? lumayan lah kalau buat nyukupi lo sama sebelas anak kita, jago di ranjang? gak usah nanya, gue bahkan bisa buat lo nggak bisa jalan."
Pak RT menggelengkan kepala nya tak habis pikir dengan dua sejoli yang ada di depan nya. Beliau sudah menghadapi beberapa kasus remaja namun baru kali ini melihat pelaku malah tertawa bahagia karena kepergok sedang berduaan.
"Bocah edan," cibir nya. "Saya sudah memanggil Pak Rion agar segera kemari–"
Bughh!!
Bogeman mentah itu berhasil membuat Pak Rt maupun dua orang satpol yang hendak undur diri terkejut bersamaan. Tubuh Altheya mematung melihat lelaki yang baru saja melayangkan candaan itu telah terkapar di dekat meja.
Pelaku nya adalah Rion, pria itu mengepalkan tangan sambil menatap nyalang ke arah Gamma yang kini sedang menahan amarah.
"Memalukan," komentar Rion berusaha tenang, tatapan nya beralih pada Pak Rt yang masih tercengang dengan mulut terbuka. "Apa tidak bisa dibicarakan secara kekeluargaan, Pak? saya rela membayar berapa pun agar gadis yang belum tau asal-usul nya ini tidak menikah dengan anak saya."
Pak RT mengerutkan dahi. "Mohon maaf, Pak Rion. Hukum tetap lah hukum, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang."
"Ah, sayang sekali saya harus mendapatkan menantu seperti ini." Rion tersenyum miring menatap Altheya yang semakin menunduk.
Melihat itu, Gamma berdiri dengan marah. Kedua tangan nya terlihat terkepal dengan kuat hingga menonjolkan urat-urat tipis pada sekitar lengan nya. "Papa keterlaluan!"
Rion tertawa remeh. "Eh, begitu kah Gamma? apa kamu pikir Papa tidak tau jika gadis itu sudah menjadi seorang wanita?"
Tubuh Gamma menegang mendengar bisikan dari Papa nya, cowok itu mati-matian menahan amarah nya melihat pria yang ia sebut Papa telah kembali menegakkan badan sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
"Setuju atau tidak, Gamma tidak peduli dan tetap akan bertanggungjawab dengan menikahi Altheya malam ini juga!"
••••
Pernikahan siri itu benar-benar terjadi, tepat pada pukul tiga diri hari mereka telah menjadi pasangan suami istri yang sah di mata agama. Pikiran Altheya kembali melayang dimana beberapa menit yang lalu penghulu yang datang dengan mata mengantuk langsung melotot begitu mendengar mahar yang dibawa Gamma secara dadakan.
Seratus juta beserta dua unit apartemen yang membuat jantung Pak RT dan penghulu terasa merosot di lambung.
Semua terjadi begitu saja. Kini wanita itu bukan lagi mencari cara agar bisa melakukan aksi bunuh diri, melainkan mencari cara agar dapat terbebas dari Gamma. Suami nya itu meskipun baik, dia cukup gila.
"Bumil nggak boleh sering-sering ngelamun, nanti dede bayi nya kesurupan."
Altheya tidak menanggapi ocehan tengil itu, diri nya masih cukup syok karena Gamma dengan tingkat kepedean yang tinggi menukar motor besar dengan mobil aset desa demi membawa nya menuju apartemen tanpa merasa kedinginan.
"Kenapa lo mau nolongin gue?"
Gamma tersenyum simpul mendengar pertanyaan yang sedari tadi ia tunggu, cowok itu tetap fokus pada jalanan. "Karena gue malaikat yang dikirim tuhan buat jemput bidadari cantik kek lo."
Altheya tersenyum kecut. "Mana ada bidadari hamil di luar nikah?"
"Gue nggak peduli sama masa lalu lo, biar pun lo cacat, buntung, bunting atau pun bego kalau udah jodoh sama gue, lo bisa apa?"
Altheya menaikan kedua alisnya melihat Gamma yang mengatakan hal seserius itu dengan wajah datar melalui kaca mobil. Sibuk berdebat sepanjang perjalanan membuat mereka tak sadar jika telah memasuki area basement apartemen.
Kedua sudut bibir Altheya berkedut menahan tawa melihat wajah kusut Gamma yang memarkirkan mobil aset desa di jajaran para mobil mewah. Namun beberapa detik kemudian kedua mata nya melotot garang ke arah Gamma yang kini menatap nya dengan mesum.
"Jangan bilang kalau kita satu kamar?!"
Sinar matahari baru menampakkan sedikit dari bagian cahaya nya namun Gamma harus terbangun saat mendengar suara muntahan dari kamar mandi. Cowok bad boy yang telah menyandang status suami itu lantas berlari setelah memastikan sang pelaku yang mengganggu waktu istirahat nya adalah Altheya.
Pintu kamar mandi terbuka, Gamma terpaku melihat istri nya telah bersandar di depan closet dengan lemas.
"Lo ngapain disitu bego?" umpat nya kasar.
Altheya tak mampu menjawab, ia hanya bisa diam sembari menampilkan tatapan sayu yang terlihat tajam. Wanita itu tentu masih memiliki dendam kepada Gamma yang memaksa nya untuk tetap tidur satu kamar di ranjang yang sama.
Sebelah tangan Gamma menyusup pada lipatan leher Altheya, sebelah nya lagi menyusup pada lipatan lutut. Dengan sekali hentakan, tubuh mungil yang dibalut baju tidur itu telah berada dalam rengkuhan nya seperti posisi anak koala.
Huekk!!
"Anjing!" Gamma mendesis kecil, ia menghela nafas pelan merasakan bahu nya basah terkena cairan muntahan Altheya. Tak dapat marah, cowok itu memilih menurunkan tubuh Altheya di wastafel untuk membersihkan sisa cairan yang ada di sekitar bibir Altheya membuat wanita itu reflek memundurkan kepala.
"Lo gak jijik?"
Alih-alih menjawab, Gamma justru kembali mengangkat tubuh ringan Altheya kembali ke kamar dan meletakkan nya dengan hati-hati di atas ranjang. "Cewek kalau hamil gini semua, ya? lo butuh apa? ngidam, obat, peluk, cium atau–"
"Gamm," potong Altheya kesal, suara nya terdengar lemah membuat Gamma terkekeh.
"Tadi pagi aja masih ngereog masalah kamar sekarang udah tepar."
"Lo gak sekolah?"
Cowok itu menggelengkan kepala. "Minggu," jawab nya singkat membuat Altheya merutuk dalam hati. Ia selalu terlihat bodoh saat Gamma menatap nya lama, ia selalu lemah saat hembusan nafas hangat itu terasa menerpa lembut kulit wajah nya.
Pada akhirnya, Altheya tak lagi bisa menahan. "Kenapa lo baik sama gue? padahal kalau lo mau bisa biarin gue mati malam itu juga tanpa ada orang yang tau," ungkap nya lemah, setetes bulir hangat ikut terjun yang buru-buru di hapus oleh Gamma.
"Karena itu lo," jawab nya tidak nyambung. "Gue mau ke bawah dulu buatin lo sarapan, mau makan apa?"
"Lo ngelakuin ini cuma mau ngelindungin gue malem itu kan?"
Gamma mengacuhkan pertanyaan Altheya, pria itu malah bangkit dari tempat nya duduk. "Oke, bubur aja. Bumil gak boleh makan aneh-aneh."
"Gamma stop it, dengerin gue–" suara Altheya terhenti di tenggorokan mendengar ponsel Gamma berdering. Cowok itu mendekat kemudian terdiam melihat pemilik nama yang muncul di layar ponsel. Dalam hitungan detik, raut wajah nya berubah datar.
"Gue kesana sekarang," putus nya di akhir sambungan, dengan tergesa ia mengambil jaket kulit hitam di belakang pintu tak lupa memakai head band merah bertuliskan Leader yang cukup membuat Altheya paham jika Gamma bukan orang sembarangan.
Awal pertemuan mereka terbilang tiba-tiba, sejauh ini yang dapat disimpulkan Altheya tentang Gamma adalah cowok yang jauh dari kata good boy. Hanya dengan melihat head band beserta jaket nya bisa membuat orang-orang menyimpulkan jika Gamma salah satu penghuni geng motor besar.
"Gamma–" Altheya menggelengkan kepala nya pelan, kedua tangan nya terkepal kuat berusaha mengurungkan niat untuk tidak memanggil Gamma yang kini telah menutup pintu apartemen dengan keras. Sudah cukup ia merepotkan lelaki itu, Altheya ingin mengakhiri hidup selagi Gamma tidak berada di apartemen.
Pandangan kosong Altheya mengarah pada perut rata nya, namun beberapa detik kemudian wanita itu tertawa sambil mengangkat kedua sudut bibir nya membentuk sebuah seringaian. "Maafin Mama karena nggak bisa buat kamu lihat dunia, kita bakal mati sama-sama hari ini."
••••
Langkah Gamma berhenti pada basement apartment saat melihat mobil pribadi serta motor besar yang digunakan untuk menukar mobil desa telah terparkir di sana. Mengingat mobil desa membuat Gamma mengusap wajah nya dengan gusar sebelum kembali berlari ke arah lift, ia lupa belum berpamitan dengan Altheya. Karena bagaimana pun juga, wanita itu telah menjadi tanggungjawab nya.
Pintu lift terbuka, dengan tergesa Gamma berlari sambil mengeluarkan benda pipih pada saku jaket nya dan menempelkan benda itu ke arah sensor. Lantas, Gamma mendorong besi kokoh itu setelah sensor nya berbunyi.
"Altheya–" Kedua mata Gamma membulat, nafas cowok itu tercekat melihat cairan kental berwarna merah itu terus menetes dari lengan wanita yang telah menjadi istri nya beberapa jam yang lalu.
"Lo ngapain bego?!" sentak nya kuat membuang jauh-jauh cutter kecil yang biasa ia simpan di laci nakas paling bawah, tangan nya yang besar bergerak menarik Altheya yang memandang nya kosong ke dalam dekapan nya.
Gamma benar-benar takut, ia tak bisa membayangkan jika tadi tidak kembali ke apartemen dan membiarkan Altheya berhasil memotong nadi nya tanpa diketahui oleh seseorang.
"Gue udah bilang sama lo kalau mati cuma bisa memperkeruh keadaan, lo paham gak sih?!" bentak Gamma kalut, tubuh cowok itu seketika merasa lemas melihat banyak darah yang tak henti mengalir dari pergelangan tangan Altheya.
Wanita itu memberontak, kedua mata nya yang berair melirik sekitar mencoba mencari benda tajam lain yang bisa ia gunakan untuk memotong nadi. "L-lepas, gue kotor!"
"Gak, lo gak kotor!" bantah Gamma.
"G-gue murahan."
Gamma kembali menggeleng. "Gak, lo nggak murahan!"
"Gue nyusahin."
"Lo nggak nyusahin!"
"G-gue gak pantes hidup!"
Gamma memberikan tatapan tajam nya mendengar kalimat terakhir dari Altheya. Ia menarik dagu mungil itu dengan kasar, memaksa sang pemilik agar menatap kedua mata nya dengan sempurna.
"Ulangi sekali lagi," ujar nya tertahan.
Altheya menelan saliva nya gugup. "G-gue gak pantes hid–cup!"
Gamma menegakkan kembali badan nya setelah mendaratkan kecupan singkat pada bibir Altheya, wanita itu terlihat shock berat dengan kedua mata yang mengerjap lucu. Kedua pipi nya terlihat memerah membuat nya reflek menyembunyikan wajah nya pada dada bidang Gamma.
"Sekali lagi lo bilang gitu, gue bakal hukum lo sampai gak bisa jalan!" ancam Gamma tenang yang membuat Altheya sesak nafas kemudian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!