Suatu hari Imam menemui Dadang adiknya dengan membawa
setumpuk selebaran ditangannya. Mengenai selebaran itu keabsahannya sudah
dilegalisir, oleh yang bernama Burhan diatas materai. Jadi kalau ada apa-apa,
siapun bisa langsung datang kepada pak Burhan.
“Sepertinya pak Burhan tahu banget bahwa kecelakaan yang
menyebabkan mas sekarang kayak gini ini akibat kemanjaan putrinya…Malam-malam
ngajak mas berlatih menyetir…Sudah gitu nyetirnya belum bisa, menjalankan
mobilnya dengan kecepatan tinggi…Jadi pas ada truk didepan kecepatan tinggi
pula, tidak bisa mengendalikan mobilnya…Begitu kan cerita mas sebelum
angkhirnya mas tidak sadarkan diri?”
“Sudahlah Dang, sekarang kamu jangan usik lagi soal
kecelakaan maut itu…Dan kalau kamu sudah melihat dan membaca isi perjanjian di
selebaran ini, kamu pasti akan merasa iba kepada pak Burhan”
Setelah oleh kakaknya diceramahi, selain langsung diam
ternyata Dadang kemudian mengambil satu lembar dari selebaran yang dibawa
kakaknya itu. Setelah sebentar menyimaknya “Benar saja mas, pak Burhan yang ingin
mengobati rasa bersalahnya itu, ternyata beliau sampai jor-joran gini
mengeluarkan dananya…? “
“Makanya mas tidak enak kalau menolak…Kamu mau bantu
menyebarkannya nggak ?”
“Minta saja sepuluh
lembar untuk teman-temanku dikampus yang akrab”
Imam tidak lama di rumah peninggalan orangtuanya yang kini
ditinggali oleh adiknya itu. Setelah Dadang mengambil selebaran itu seperti
yang dimintanya, imam pun segera pergi menaiki mobil mewahnya lagi fasilitas dari mantan calon mertua. Maksudnya
mau terus ke teman-temannya waktu kuliah dengan tujuan yang sama.
Beberapa bulan kemudian Amel menyambangi rumah kekasihnya.
“Dang…? Selebaran yang waktu itu kamu diperlihatkan ke aku itu masih ada nggak…?” Amel kerumah Dadang, ternyata mau menanyakan
selebaran itu.
“Nggak ada sudah habis kubagikan…Untuk apa…?” Dadang berbohong. Padahal setelah selebaran
itu diterima dari kakakknya, Dadang tidak memberikannya kepada siapapun,
kecuali memperlihatkannya kepada Amel. Setelah itu selebaran tersebut disimpan,
karena menurut Dadang kalau itu disebar malah akan tambah menurunkan derajat
kakaknya.
“Selama ini kamu tahu kan Dang, kalau ibuku sakitnya nggak
sembuh-sembuh meskipun sudah berobat ke beberapa dokter…Tapi lima hari lalu
ibuku itu diperiksa ke spesialis dalam…Dari hasil cek lengkapnya ternyata
ditubuh ibuku itu ada sel kangker yang harus segera dibuang…Kalau kita tidak
secepatnya mengambil tindakan, pasti nyawa ibuku tidak akan tertolong…Dan jika
itu terjadi tanpa ada ihtiar, pasti aku akan menyesal seumur hidup…” Selama bertutur, air mata Amel bergenang.
Dadang jadi tidak tega melihatnya.
“Selebaran itu sebenarnya masih ada Mel…Karena selama ini
aku tidak pernah memberikannya kepada siapun…Kali ini kamu tiba-tiba
menanyakannya, apakah itu karena kamu bersedia menikahi kakakku yang cacat demi
kesembuhan ibumu…?”
“Dengan tidak mengurangi rasa cintaku kekamu…Iya Dang”
“Mel, tolong pertimbangkan lagi…Yang mau kamu nikahi itu
kakak kandung aku sendiri…Untuk kesembuhan ibumu, cobalah cari jalan lain “
“Beberapa hari ayahku
sudah kesama kemari mencari pinjaman…Tapi hasilnya nihil…Sedangkan kalau tidak
buru-buru ditindak, sakit ibuku pasti akan tambah parah…Tapi itupun terserah
kamu mau ngasih atau tidak…Setidaknya aku sudah ada perngorbanan untuk ibuku “
Setelah Amel ber ulang-ulang mengulas tentang ibunya, Dadang
akhirnya segera masuk ke kamarnya. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa
satu lembar selebaran itu.
“Mengenai keputusan kamu, aku hanya bisa pasrah…Tapi sebelum
kita berpisah ada satu permintaan kekamu...Kakakku jangan mengetahui kalau kita
pernah menjalin hubungan…Dan kamu harus tahu, kebahagiaan kakakku adalah
kebahagiaanku juga…Jadi kalau kalian sudah menikah, kamu jangan sekali-kali
menyakitinya…Apalagi mengkhianati cintanya dengan perselingkuhan. Mungkin kamu
tidak puas dengannya karena dia ada kekurangan?”
“Permintaan kamu pasti kupenuhi Dang…” Kata Amel cukup singkat.
Setelah itu ia pergi dengan harapan yang besar.
Setibanya dirumah setelah dari rumah Dadang, Amel langsung
menghampiri ibunya.
“ Ibu, ibu akan segera sembuh…” kata Amel sambil memeluk
ibunya yang sedang terbaring. Ia begitu yakin, bahwa setelah selebaran itu ada
ditangannya, tahap kedua tidak akan menemukan kesulitan.
“Mau apa kamu kesini…?” Imam bertanya kepada Amel yang datang, dengan ketus. Amel langsung
menghela nafas, ia tidak menyangka ternyata tujuannya tidak seperti yang
dibayangkan.
“Saya kesini mau bertemu pak Imam”
“Ya, itu aku sendiri…Mana fasportnya…?” Yang dimaksud fasfort
itu selebaran. Dan Amel lalu mengeluarkan dari dalam tasnya, kemudian diberikan
kepada orang yang sedang duduk di teras.
“Kamu pasti tidak tahu bahwa yang datang kesini dengan tujuan
seperti kamu itu sudah lebih dari seratus orang…Dan sayang sekali, orang yang
seperti kriteria aku inginkan sudah ditemukan”
Mendengar pernyataan itu Amel langsung merunduk. Air matanya
berlomba-lomba ingin menertawakan. Tapi sebelum air matanya keluar, Amel
langsung balik badan mau pulang.
“Tunggu…!” ketika kaki Amel hampir melangkah, orang itu
memanggi. Amelpun balik badan lagi, namun air matanya sudah terlanjur keluar.
“Kenapa kamu menangis?”
Amel mengeleng.
“Teman kamu yang lagi makan jambu baju pink, cantik ya
Dang…?” ketika Amel tidak mau menjawab
pertanyaannya, orang itu melambung. Ketika itu Dadang adiknya ikut ngintip
keluar melalui gorden kaca jendela.
“Dia namanya Amel mas…Di kampus, memang dia primadona…Mas
suka sama dia…?” Ketika itu kata Dadang. Kali ini Imam ingat lagi.
“Kamu temannya Dadang adik aku kan…” kata orang itu yang tak lain Imam, setelah
tersadar dari lamunannya.
Osi yang selama merunduk sedih, tengadah lalu menatap orang
yang dulu manggut ketika kepergok sedang ngintip dari balik gorden.
“Ya, waktu itu saya dan teman-teman diajak adik bapak ketika
buah jambunya sudah banyak yang matang”
“Silahkan masuk…Kita ngobrolnya sambil duduk supaya nyaman…Dan
jangan panggil bapak kepada saya”
Setelah dipesilahkan Amelpun akirnya naik keteras. Terus
ngobrol disana dengan Imam panjang lebar sampai akhirnya didapatkan suatu
kesimpulan.
“Aku memang sedang mencari jodoh…Tapi orangnya itu harus
yang benar-benar menerima kekurangan aku…Kenapa kamu mau menikah dengan aku?” Setelah ngobrol panjang lebar, Imam bertanya ke
soal yang inti.
“Jujur, ibuku sakit dan perlu uang yang banyak untuk
pengobatannya…Tapi kalau kita sudah menikah, aku yakin cinta akan tumbuh dan
akhirnya kita akan hidup bahagia selamanya”
“Kalau aku tidak perlu ditanya lagi karena sudah suka
terhadap kamu sejak pandangan pertama Mel…Tapi waktu itu aku juga sudah punya
Vera. Dan waktu itu aku juga belum cacat…” gumam didalam hati Imam selama sedang menatap Amel.
Amel juga sama ketika sedang menatap Imam. “Meskipun kamu
cacat, tapi wajahmu tetap tampan mas…Aku tidak habis pikir, mungkin
kesempurnaanmu itu kalau kita sudah menikah nanti, salah satu yang kubanggakan
dari suamiku”
SETELAH proses kurang lebih satu bulan, inilah saat yang
ditunggu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Osi Amalia bin Anas dengan
mas kawin uang sebesar seratus juta dibayar tuunai” Imam ber ikrar.
“Syah…? Syah…? Syah…?” Bapak penghulu bertanya kepada para saksi.
Ternyata ketiga saksi utama dan yang lainnya memberikan
pernyataan yang sama. “ Syaaaah…” jawabnya serempak.
Sesepuh masjid setempat yang sebelumnya sudah diberi mandat
oleh perwakilan pak Anas langsung membaca do’a untuk pengantin. Diamini oleh
semua yang hadir termasuk kedua mempelai sendiri sama-sama mengangkat kedua
tangannya. Setelah ustaz selesai membacakan do’a, Amel langsung menyalami sang
suami sambil deku tersimpuh. Imam lalu memegang kepala sang istri sambil
membaca sebuah do’a khusus ketika baru menikah yang sudah dipelajarinya dari
seorang ustaz. Menyaksikkan orang yang selama ini dicintainya mendapat
kebahagiaan di samping kakaknya, Dadang menghela nafas panjang. Setelah itu
Dadang buru-buru merunduk supaya kesedihahannya tidak diketahui orang. Giliran
mau menyalami pak Burhan, kedua bahu Amel ditahan oleh pak Burhan.
“Amel…? Karena pernikahannya yang sederhana ini atas
permintaan kamu, jadi setelah selesai acara disini kalian langsung saja pindah
kerumah kalian…Dan mulai hari ini, nikmatilah semua fasilitas dari papa
itu…Dalam waktu dekat, suami kamu juga akan papa tempatkan dikantor, supaya
nanti kalian punya pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari…Terus ada lagi yang
tidak kalah penting…” Pak Burhan menunda
dulu kalimat yang berikutnya. Bukan hanya Amel, yang lain pun perhatiannya jadi
kepada pak Burhan. Termasuk dua kakak beradik Imam dan Dadang.
“Apa itu pah…?” Amel
menatap pak Burhan yang gr kerena diperhatikan semua orang.
“Papa sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu Mel…” Gerrr semua yang ada tempat sacral itu pada tertawa, kecuali Dadang.
Pemuda ini malah wajahnya jadi memerah.
“Ehem…Ehem…” pak Burhan mau menggoda Imam dan Amel yang
tersenyum malu-malu. “Tapi pengantin pria dan pengantin wanitanya, diperhatikan
dari tadi nggak ada greget-gregetnya” canda pak Burhan.
Ternyata dari hadirin ada yang nimbrung.“Itu hanya yang
terlihat dari luar pak...Kalau isi hatinya, pasti keduanya ingit cepat datang
malam…”
Gerr ! Di rumah pak Anas jadi riuh lagi. Terus-terusan
mendapat yang membuatnya tidak nyaman, Dadang ingin sekali buru-buru pergi dari
rumah itu. Tapi sisi baiknya meredam.”Sabar Dang…Setiap orang itu diujinya
beda-beda…Dan kali ini kamu di ujinya itu dengan kekasihmu sendiri menikah dengan
saudara kandungmu”
“Jadi kamu jangan menunda kehamilan ya Mel…?” Pak Burhan melanjutkan perkataannya yang
tertunda.”Meskipun menyita waktu yang lumayan lama karena yang hadir disini
ikut gembira, sebenarnya hanya itu yang diminta papa “
“Kalau begitu saya mau lanjut sungkeman ke ibu dan ayah”
“Ya, silahkan…Sekarang kamu minta restu kedua orangtua…Sekalian
pamit mau langsung pindah kerumah kalian hari ini…” Pak Burhan melepaskan bahu
Amel yang selama ini dipeganginya.
Amel pun kali ini menggeser kedekat orangtuanya. Tapi
didepan ibunya sudah ada Imam yang sedang sungkem. Amel menahan dulu ipetannya.
“Bu…? Terimakasih ya, sudah memberi terstu kepada aku dan
Amel untuk menikah?”
”Justru ibu yang berterimakasih kepada kamu nak, karena
bantuan kamu sekarang ibu tinggal pemulihan”
“Kalau begitu semoga ibu lekas sembuh”
“Kamu juga tolong jaga Amel…Kamu jangan sungkan-sungkan untuk
memperingatkannya kalau Amel berbuat salah”
“Insyaalloh Amel tidak akan seperti yang dikhawatirkan ibu…”
“Mudah-mudahan…Tapi mempersiapkan kemungkinan, perlu nak.
Karena hati seseorang tidak bisa dibaca oleh siapapun, sekalipun dia orang
terdekat…” Kenapa ibu mertua ngomong
kayak gitu? Seperti mengetahui sesuatu?” pikir Imam. Terus setelah sungkeman
dari ibu mertua, Imam menggeser ke bapak mertua yang duduk di sebelah
sampingnya.
Kepada bapak mertua Imam memegang kedua tangannya seprti ibu
mertua nya tadi. Tapi kali ini merasa lebih bebas karena sama laki-laki.
“Pak mohon izin saya mau membawa Amel pindah ke rumah kami
hari ini”
“Bapak ridlo nak , Amel mau dibawa kemanapun karena oleh
suaminya sendiri…Mulai hari ini bapak serahkan putri bapak dari unung rambutnya
sampai ujung kakinya kepada kamu…Adik-adik Amel masih ada tiga…Setelah kepada
Amel sudah ada yang bertanggung jawab, jadi nanti bapak tinggal mengurus dan
membiayai sekolah adiknya”
“Mudah-mudahan nanti kami bisa bantu”
“Terimakasih sebelumnya…Tapi bagi bapak, yang penting kalian
rukun…Rumah tangganya repeh rapih tidak kurang suatu apapun…Dan semoga cepat
diberi keturunan yang soleh dan solehah”
“Amin…Sekarang saya mau lanjut kepada yang lain ya pak ?”
Dari mertua laki-laki, Imam langsung kepada Dadang yang
duduk bersebelahan dengan ayah mertua. Yang merangkul duluan Dadang. Imam memeluk
adiknya. Keduanya sama-sama meneteskan air mata.
“Semoga pernikahannya langgeng dan selalu bahagia ya mas…?“
“Terima kasih Dang…Kalau mulai sekarang mas jarang menemui kamu,
harap dimaklum ya?”
“Nggak apa-apa mas, yang penting kita sama-sama sehat”
“Amiiin…” Dua kakak
adik itu kali ini mulai melepaskan pelukannya.
“Setelah mas mendapat jodoh, kamu harus menyusul merit ya…?”
canda Imam sambil menepuk-nepuk pundak adiknya.
“Kalau sudah selesai kuliah dan mendapat pekerjaan,
insyaalloh mas…” Dadang tersenyum
hambar.
“Oya mas..? Sepertinya aku tidak bisa terus disini sampai
acara tuntas, soalnya nanti siang ada kuliah…Kalau istri mas, sudah bisa
dipastikan hari ini tidak akan masuk…” Dadang mulai melepas tangan kakaknya yang sedang menggenggam. Ternyata
Imam langsung melepaskannya.
“Nggak apa-apa Dang, nggak ada undangan dari jauh ini…Dan
seperti yang kamu lihat dan saksikan, pernikahannnya malah sederhana banget…Dan
ini atas permintaan Amel”
“Jelas saja Amel tidak mau pesta yang meriah…Karena seandainya
itu dilaksanakan, sama saja dengan dia menusuk mata aku bulat-bulat. Dan aku
pasti tidak akan memaafkannya “ Gumam dalam hati Dadang selama termenung.
“Ya sudah…Kalau sudah ada izin, sekarang aku pergi ya mas…?
Sekali lagi, semoga mas selalu bahagia” Setelah termenung sejenak untuk yang
kurang bisa diterimanya oleh hati sanubari, Dadang akhirnya berpamitan ulang.
Ternyata kali ini Amel pun menghampiri.
“Dang…? Kalau hari ini kamu mau kuliah, tolong sampaikan
maafku kepada teman-teman ya ?. Tyias, Ratna, Devi, Lala…Pokoknya teman-teman
aku yang selama ini akrab…Bilangin kepada mereka, kalau hari ini aku merit,
tapi mohon maaf tidak bisa mengundang mereka…Jangan lupa ya Dang?“
SIANG sudah berganti malam. Di kamar yang ada di lantai atas
tempat menyimpan barang-barang bekas, Dadang mengambil pena dan sehelai kertas
polio untuk ia menulis. Malam ini Amel dan Imam pun sudah masuk ke kamar mereka
sebagai pengantin baru. Dadang disini mau menghabiskan waktu dengan hobinya
membuat puisi. Ruangan yang diberi lampu 25 watt, terang berderang. Bulan
purnama diluar nyaris tidak berarti. Karena disini Dadang mau menghabiskan
malam bukan dengan begadang diluar. Tapi dengan mencurahkan seluruh isi hatinya
yang ada.
“Di hari pertama mungkin dia akan ketakutan karena untuk
pertamakalinya melihat borok luka yang memjijikan dari suaminya yang cacat…Wajahnya
mungkin langsung ditengkup rapat oleh kedua tangannya…Aku tidak tahu pastinya.
Karena itu hanya kemungkinan berdasarkan yang aku ketahui selama ini..”
Disana Dadang menggoreskan penanya. Disini barusan Amel
menjerit histris. Imam yang nyaris menggeledagkan kepalanya ke atas bantal, akhirnya
bangkit lagi dan menarik lagi selimbut yang barusan dilepasnya.
“Kenapa..?”
“Nggak, nggak, nggak…” Ames menepis tangan Imam yang mencoba menyentuhnya.
“Aku belum siap jadi istri aku yang seutuhnya ya?”
“Nggak, nggak, nggak…Jangan menyudutkanku” Amel tetap menelungkup wajahnya.
“Setiap orang itu ada kelebihan dan kekurangannya…”
Disana Dadang menggoreskan lagi penanya. “Aku harap dia mau
melihat sisi kelebihannya yang ada. Karena kalau tidak saling mengerti, aku
juga akan ikut merasa sedih”
Setelah Amel tetap menutup wajahnya, disini Imampun mulai
bercerita tentang kecelakaan maut itu. Sebelum bercerita, Imam juga sudah
memastikan selimbut yang sudah ditariknya kembali itu tidak dilepasnya lagi.
Dan tetap menutupi salah satu kekurangan yang ada pada dirinya selama ini.
“Akibat tambrakan mobil yang kita tumpangi dengan truk itu,
tunanganku langsung meninggal di tempat saking kerasnya…Ketika polisi
mengepakuasi, pahaku bawah ************ ini terjepet setir mobil yang
ringsek…Aku yang keadaan pingsan saat itu, dibawa petugas ke rumah
sakit…Nyawaku memang tetolong., tapi luka fisik dan bathin tidak bisa
hilang…Sejak saat itu akupun memutuskan menutup hati untuk semua wanita, karena
kupikir dengan kehadirinnya disiku, mungkin wanita-wanita itu hanya akan
menambah luka bathinku…Malam ini terbukti…Sekarang aku mau bertanya kepada
kamu, apakan kamu menyesal karena sudah menikah denganku…?”
Mendengar perkataan suaminya yang memelas dan penuh haru,
perlahan-lahan Amel menurunkan kedua tangannya. Ketika kedua matanya sudah
tidak tertutup, Amel melihat wajak suaminya yang tampan. Iya juga berpikir,
bahwa ibunya yang sedang sekarat, orang tampan inilah yang membantu
menyelamatknnya.
“Tidak...Aku samasekali tidak menyesal karena sudah menikah
denganmu mas…Aku bahkan bersyukur bisa
menikah dengan orang yang sudah menyelamatkan ibu aku”
“Malam ini begitu indah…”
Disana Dadang menggoreskan lagi penana. “Diluar cahaya bulan
purnapa memancarkan cahayana keseluruh langit yang gelap…Disekitarnya bintang
berkelap-kelip bak air mata yang keluar dari mata sang bidadari…Sebentar lagi
lewat tengah malam…Tgl sepuluh bulan Desember…Aku Dadang Baskoro telah resmi
melepas orang yang kucintai…’
“Terimakasih ya sayang…Aku pikir aku tidak akan bisa merasakan
indahnya malam pertama didalam hidup aku…Tapi ternyata ada seorang perempuan,
selain cantik, hatinya bersih bagaikan salju…Sekarang bidadari itu sedang
bersemayam dipelukanku..Dan selalu tersenyum seperti malaikat kecil dalam
dongeng anak-anak…Sekali lagi terimakasih ya sayang…?” Imam yang sudah terbius oleh cintanya Amel,
melambung ke awang-awang.
Kring..
Pukul setengah enam pagi Imam menelpon Dadang. Dadang yang
dihubunginya disana masih pulas dengan kepala nindih kertas di atas meja yang
tadi malam sudah ditulisi curahan hatinya.
“Kok, tidak diangkat-angkat…? Jangan-jangan Dadang belum
bangun?”
Kring…
Imam menelpon ulang. Ketika HP nya berbunyi, kali ini Dadang
menggelisik. HP nya yang terus bunyi diangkat.
“Mas Imam…?” Sebelum nge,klik, Dadang melhat dulu yang
menghubunginya.
“Asalamualaikum mas, ada apa…?” Dadang menjawab telpon kakaknya sambil
menguak.
“Dang kamu bangun kesiangan?”
“Iya mas, tadi malam begadang…”
“Eehh…anak muda jangan malas…Lihat tuh jam disana…Jam disini
sudah pukul setengah enam”
Mendengar kakaknya mengatakan sudah pukul setengah enam,
Dadang buru-buru bangkit. Ia belum solat subuh. Dan benar weker yang ada di
atas bupet, sudah menunjukkan pukul setengah enam.
“Mas…? HP nya aku tutup dulu ya ? Aku belum solat subuh…”
“Tuh kan benar kamu belum solat…? Untung mas nelpon kamu…”
“Iya mas, terimakasih…Asalamualaikum…”
“Wa’alaikumussalam…”
Sebelum turun kebawah, Dadang menyimpan dulu kertas dan
pulpen yang tadi malam sudah di isi curahan hatinya itu kedalam lemari tua.
Setelah pintu lemari itu ditutupkannya kembali sampai rapat, baru Dadang turun
dari lantai atas. Tapi selama menuruni anak tangga, ditelinganya mengiyang
terus suara kakaknya seperti yang sedang berbahagia.
“Suara mas Imam tadi sepertinya dia sedang bahagia
sekali…Aku tidak mengerti mengapa setelah mas Imam menikakah dengan Amel segala
sisinya terus kuperhatikan…? Apa ini artinya bahwa sebenarnya aku belum bisa
ikhlas melepas orang yang selama ini kucintai sekalipun itu kepada saudara
kandungku sendiri…? Seiring waktu semoga aku bisa melupakan tentang mereka
berdua…Meskipun sampai saat ini belum terfikirkan yang lain, kecuali malam
pertama mereka yang ku lukis dalam imajinasiku sendiri…”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!