NovelToon NovelToon

CEO Posesif Untuk Putri Agresif

I Like You

Gadis cantik dengan piyama biru terbangun saat mendengar pintu kamarnya diketuk berulang kali.

"Maureen! Buka pintunya! Dasar kebo...!" suara teriakan dari luar kamar Maureen sungguh menggangu tidur cantiknya.

Maureen menyingkap selimut dan beranjak membukakan pintu.

"Apa, si? Pagi-pagi buta sudah ganggu orang!" sungut Maureen. Rambutnya acak-acakan menutupi wajah cantiknya.

Key membelalakkan matanya. "Pagi? Ini sudah jam setengah sebelas Maureen," geram Key, matanya langsung memandang gorden biru muda yang tertutup. "Pantas saja! Gordennya tidak kamu buka. Apa bibi Ita tidak membukakan gorden itu?"

"Pintunya aku kunci," jawab Maureen, kemudian beranjak merebahkan diri lagi di atas kasur empuknya.

"Maureen, jangan kebo banget jadi orang! Dengar, aku punya kabar baik." Key duduk di sebelah Maureen yang tengah berbaring tengkurap.

"Aku sudah tau nama laki laki pujaan hatimu!" seru Key.

Maureen yang mendengar itu segera membuka matanya lebar-lebar. Dia juga langsung mengubah posisinya menjadi duduk. "Siapa? Kasi tau, cepet," pintanya.

Key tersenyum. "Dia anak ke dua komisaris perusahaan Exela!" Dia sangat bersemangat menyebut nama perusahaan itu, berharap Maureen mempertimbangkan kembali rasa sukanya kepada anak komisaris saingan perusahaan ayah Maureen sendiri.

"Namanya Devan Erlano."

"Wah, keren sekali namanya!" Maureen berteriak girang. Ekspresi yang tidak diharapkan oleh Key.

...----------------...

Pesta ini sangat membosankan bagi Maureen. Jika saja Key tidak membujuknya untuk hadir, dia pasti masih berdiam diri di rumah ditemani masker wajah sambil menonton drama kesukaannya.

"Liat, Maureen. Devan beneran datang!" Key menunjuk pintu masuk pesta kolega bisnis. Dugaannya tidak salah jika pria yang disukai Maureen akan hadir di pesta antar kolega ini.

Nampak dua orang pria memakai jas hitam masuk ke dalam ruangan VVIP hotel. Wajah Devan terlihat berseri ketika menyapa seseorang yang dia kenal. Dia ramah dan murah senyum.Tipe pria Maureen sekali!

Pesta berlangsung dengan lancar. Sangat lancar, karena sejak tadi Maureen senyum-senyum sendiri saat mencuri pandang ke arah Devan.

"Hai!" Maureen memberanikan diri menyapa Devan saat pesta telah usai. "Perkenalkan aku Maureen." Dia mengulurkan tangannya dan langsung disambut ramah oleh Devan.

"Devan Erlano," jawabnya seraya tersenyum tipis. "Apakah kau anak pemilik hotel ini? Sepertinya aku melihatmu bersama keluarga tuan Zack" tanyanya.

Maureen mengangguk anggun dengan senyuman manisnya. Namun, reaksi Devan malah membuat Maureen keheranan. Devan seperti tidak suka mendengarnya dan langsung membalikkan badan, pergi menjauhi Maureen.

"Devan, tunggu! Aku ... mau minta nomor kamu," ucapnya. Kali ini urat malu Maureen pasti sudah putus.

Pria yang dipanggil Devan itu menghentikan langkahnya. Dia memutarkan badannya menghadap Maureen .

"Sebelumnya terima kasih sudah mengajakku berkenalan nona Maureen, tapi kita cukup saling mengetahui nama saja."

Maureen terdiam. Dia segera mencekal pergelangan tangan Devan. "Aku suka kamu!" ungkapnya tanpa melihat situasi di sekitar mereka berdua.

"Maaf? Kita baru saja bertemu. Bagaimana mungkin kau menyukaiku," sanggah Devan.

"Em ... baru saja, ya? Tapi Ini yang ketiga kalinya kita bertemu. Mungkin kamu sudah lupa, tapi aku masih mengingatnya."

"Nona Maureen, saya adalah anak kandung komisaris perusahaan Exela. Saingan perusahaan ayah Anda. Saya datang ke sini dengan rasa hormat untuk memenuhi undangan dari ayah Anda," ucap Devan yang tiba tiba mengubah bahasanya menjadi sangat formal.

"Perusahaan tidak ada hubungannya dengan rasa suka aku padamu!" Maureen sedikit menaikkan intonasi suaranya, jadi lentiknya mengeratkan cekalan pada lengan Devan.

"Nona, ini sudah sangat keterlaluan! Anda adalah putri saingan kami, saya mohon jaga etika Anda!" Devan melepas paksa cekalan tangan Maureen kemudian pergi menjauh. "Perempuan gila," gumam Devan seraya merapikan jasnya.

Maureen memilih duduk di sebuah bangku Hotel, dia memangku wajah menggunakan kedua telapak tangan.

"Kayaknya aku memang gila! Kenapa aku terlalu sat-set?" Maureen mengacak rambutnya frustasi.

"Ku akui urat malumu telah diputus sejak lahir." Seseorang berdiri di hadapannya. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dia menatap Maureen dengan tatapan Aneh.

Maureen yang mendengar itu hanya diam tidak menanggapi, tapi dia seperti mengenal wajah tidak asing pria itu. Entah di mana.

Sadar wanita di depannya tidak memberikan respon, pria itu melenggang pergi. Padahal jika Maureen tahu, pria itu telah berdiri di belakangnya sejak Maureen mengajak Devan berkenalan.

"Argh... bukannya tadi itu kakak Devan?! CEO perusahaan Exela yang datang bersama Devan?" Otak kecilnya baru saja mengirimkan sebuah sinyal jika dia memang mengenal pria itu.

Maureen segera berlari mengejar pria tadi. Niat ingin meminta nomor Devan pada kakak pria itu gagal, dia tidak menemukan barang hidung pria itu.

Maureen linglung ingin pergi ke arah mana. Dia mana hafal denah hotel ini, yang ada di pikirannya tadi hanyalah pria itu.

"Maureen!" Key datang dari arah belakang. Napasnya tersengal-sengal. "Kamu dari tadi aku cariin." Wanita itu menenteng sepasang high heels. Dia melepasnya, karena sejak tadi berlarian mengejar Maureen yang sudah seperti orang gila kabur. Bagaimana mungkin putri pemilik hotel ini berlarian dengan rambut acak-acakan seperti itu?

"Lihat! Kakiku memerah karena mengejar kamu. Untung di sini sepi, jika tidak media akan memotret dan menyorot kejadian ini," omel Key.

Maureen yang mendengar celotehan Key hanya diam sembari merapikan rambutnya yang acak-acakan.

"Kita pulang, Key."

"Pulang? Tapi setelah pesta ada jamuan makan malam antar kolega bisnis, kamu harus ikut! Ayolah, Maureen. Aku sebagai sepupu sekaligus asisten kerjamu sangat lelah, sungguh." Key mengeluh dan menyandarkan tubuhnya pada tembok.

"Ck, iya!" Maureen yang sudah merapikan rambutnya menghentakkan kaki kesal menuju ruangan VVIP untuk jamuan makan malam.

"Punya sepupu dan bos gitu amat. Susah sekali diatur," gumam Key seraya menyusul Maureen menuju ruang VVIP.

Devan dan Sean

Sepasang mata yang tadinya sayu itu tiba-tiba berbinar-binar mana kala manik coklatnya tanpa sengaja melihat pria tampan yang sedang duduk sendirian di kursi bagian pojok cafe.

Dengan langkah cepat Maureen menghampirinya. Pakaian kasual yang menempel di tubuh atletis pria itu membuatnya semakin tampan dengan aura kedewasaan yang makin memancar. Tidak ada sedikitpun yang tidak memesona dari pria itu.

"Devan," sapa Maureen.

Pria yang tadinya menatap kosong ke arah jendela kafe langsung menoleh ke arah suara lembut yang menyapanya.

"Nona Maureen?" Devan terkejut saat melihat Maureen yang tiba tiba berada di hadapannya. Wanita ini lagi! Sejak kapan wanita gila ini memasuki kafe? Tiba tiba saja muncul seperti jelangkung yang datang tanpa diundang -batinnya.

Maureen menarik sebuah kursi, kemudian mendudukkan pantatnya menghadap Devan. "Jodoh memang tidak kemana, ya. Baru saja kemarin kita bertemu," gumam Maureen, tangannya memangku dagu menatap Devan berseri-seri.

"Ini hanya kebetulan," ketus Devan. "Saya akan mencari meja lain jika Nona ingin duduk di sini," lanjutnya seraya bangkit berdiri, karena risih dengan kehadiran Maureen.

Raut wajah Maureen langsung berubah menjadi cemberut. "Kamu kenapa? Aku tau kamu adalah pria baik hati, ramah, dan ... tampan, tapi kenapa kamu menghindar saat bertemu dengan ku?"

Mulut itu terkatup rapat saat seorang waiters kafe tiba-tiba datang membawakan segelas americano pesanannya, kemudian menjawab perkataan Maureen setelah waiters itu pergi.

"Nona, Anda adalah putri tuan Zack. Sebuah kehormatan bisa mengenalmu secara langsung, tapi saya harus menjaga jarak dengan Anda," ujar Devan.

"Jaga jarak bagaimana? Aku bukan pasien covid yang dapat menularkan penyakit!" Maureen berseru sebal.

"Bukan. Bukan seperti itu maksud saya. Keluarga, perusahaan, dan pasar bisnis. Semuanya mempunyai bad relation, Nona. Ayah Anda tidak akan suka bila anaknya mempunyai hubungan dengan anak musuh bisnisnya."

Maureen mengangkat dagunya. "Lalu? Apakah kamu mau menerima jika aku menjadi seorang gelandangan? Apakah aku harus pindah KK agar tidak ada penghalang dalam hubungan kita?"

Devan terperangah tidak percaya dengan respon Maureen yang seperti menganggap dia bermain-main. Tidak tahan lagi dengan perempuan yang berada di depannya, Devan langsung mengambil kunci mobil di atas meja, lalu pergi begitu saja. Sia-sia dia membeli segelas americano yang dibiarkan masih penuh tanpa luang setetes.

Maureen mengejar pria bertubuh tinggi itu. Dia setengah berlari menghampiri Devan, kemudian tanpa aba-aba Devan berhenti membuat Maureen menubruk punggung kerasnya.

"Aduh, jika mau berhenti bilang dulu. Punggungmu keras seperti batu." Maureen mengadu kesakitan.

"Eh, kalo seperti batu berarti berotot, dong?" gumamnya sambil mengelus dahinya yang masih sakit.

Devan memejamkan mata. Perempuan ini memang menguji kesabarannya yang setipis tisu, sungguh seperti tidak ada darah bangsawan atau konglomerat pada diri perempuan ini.

"Apa alasan Nona tiba tiba menyukai saya?" tanya Devan tiba-tiba.

Maureen mengerutkan dahinya. Mana mungkin dia memberitahu Devan jika alasan utamanya adalah wajah tampan pria itu.

Maureen berdeham. "Ekhm, alasan? Tidak ada alasan untuk sebuah cinta dan aku telah menyukaimu saat pandangan pertama," ungkap Maureen. Oke, sedikit berbohong tidak apa-apa lah, ya. "Kita teman sekam-" ucapan Maureen terpotong saat Devan tiba-tiba berseru.

"Bullshit! Cinta pandangan pertama? Saya benci mendengar perkataan itu."

Devan pergi meninggalkan Maureen sendirian yang masih diam kebingungan. Apakah dia salah ucap?

...----------------...

"Devan akan segera direkrut menjadi manajer umum di hotel kita." Haris tersenyum bangga kepada Devan. Sima yang mendengar itu tersenyum simpul seraya menatap putra kandungnya, Devan.

Manik mata yang tadinya menatap piring kosong itu kini beralih menatap Haris. Hatinya teriris ketika melihat senyum mengembang di bibir ayahnya itu.

Jika diingat-ingat Haris tidak pernah tersenyum seperti itu saat menyangkut dirinya.

"Apakah itu hal yang istimewa?" Sean bertanya dengan nada ketus. Mulutnya entah kenapa hilang kendali.

Dilihat lagi raut wajah Haris. Senyum yang tadinya mengembang kini sirna digantikan wajah datar dan sinis dari Haris.

"Memang apa yang bisa dibanggakan dari kamu? Menjadi seorang CEO bukan dari hasilmu sendiri. Melainkan dari hasil belas kasihan kakekmu. Apa yang bisa saya banggakan dari kamu?" Haris meletakkan sendok yang dipegangnya. "Kamu adalah anak pembawa sial. Sampai kapanpun juga akan tetap begitu. Di mana kamu berada, di situ kesialan datang."

Buku-buku tangan Sean memutih, tangannya mengepal menahan emosi yang membuncah. Dia hanya bisa diam seperti patung. Tidak, dia tidak akan membantah ataupun melawan. Dia tetap akan mendengarkan ucapan menyakitkan itu.

Iya, memang kakeknya yang membuat dia diangkat menjadi seorang CEO muda. Kakeknya yang selalu mendukung dia dalam situasi apapun sebelum semuanya menjadi rumit.

Kakeknya meninggal karena serangan jantung sebelum melihat cucunya sendiri menjadi CEO muda.

"Kamu harus menjadi CEO di usia muda, Sean. Tekuni dunia bisnis jangan sampai menyentuh dunia liar seperti para remaja lainnya. Kakek sudah memberitahu om Yuda untuk membantumu menyiapkan apa saja yang harus dimiliki seorang CEO sejak dini. Ini wasiat Kakek."

Perkataan kakeknya saat dia berumur tiga belas tahun itu terngiang di kepalanya.

"Kek, kak Vano ... d-dia tertabrak."

Sean memejamkan matanya. Iya, semua ini salahnya. Dia yang bersalah atas kematian kakaknya dan kakeknya.

"Dari dulu memang kamu tidak bisa dibanggakan. Seandainya kamu mau menuruti perkataan saya waktu itu, pasti Vano masih hidup! Posisi itu layak untuk dia, bukan untukmu."

Vano lagi. Mengapa Haris sering membuka luka itu? Bahkan pria yang dipanggil Sean sebagai seorang ayah itu tidak segan-segan menaburkan garam di atas lukanya yang menganga lebar.

Sean selalu berusaha menulikan pendengarannya ketika Haris mengeluarkan kata-kata menusuk seperti itu. Jika saja tidak ada ibu tirinya di depan mata, mungkin Haris akan melukainya lagi.

"Enyah kamu dari pandangan saya! Sima, siapkan makanannya dan bawa ke kamar dia. Saya tidak mau makan malam ini melihat dia duduk di sini." Haris seakan jijik melihat putra kandungnya.

Sakit? Tentu iya. Dia sudah sering diperlakukan seperti ini sejak kecil. Di mana dia selalu dibanding-bandingkan dengan Vano dan Devan.

Sean bisa saja keluar dari rumah ini. Dia tidak perlu satu atap dengan ayahnya dan tak perlu lagi merasakan rasa sakit baik batin maupun fisiknya. Tapi ada janji yang harus dia tepati. Janjinya untuk selalu bersama Haris apapun keadaannya pada sang kakak.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Aku akan makan malam di luar saja," ucap Sean dengan datar dan dingin

Luka Lama

Vanowa Austin Erlano.

Sosok cucu sulung keluarga Erlano. Semua orang mengenalnya sebagai anak yang memiliki seribu kelebihan. Kesayangan Haris dan kebanggaan keluarga Erlano.

Vano dan Sean adalah saudara kembar yang memiliki kepribadian berbeda layaknya langit dan bumi, dan berlawanan layaknya utara dan selatan. Jika Vano anaknya teliti dan telaten maka Sean adalah kebalikannya. Ceroboh dan susah di atur adalah kepribadian Sean.

"Katanya mau bikin mobil sendiri, jadi kamu harus rajin belajar. Nanti Ayah malah makin marah sama kamu." Vano yang baru saja duduk di bangku kelas lima SD itu seringkali menegur Sean untuk belajar dan belajar, tapi laki-laki yang susah diatur itu tetap keras kepala .

"Ayah selalu marah ke aku. Enggak apa-apa kakak aja yang jadi kebanggaan Ayah. Sean juga seneng kalo kakak seneng."

Sean selalu dituntut untuk seperti kakaknya baik dalam sikap maupun kepribadian. Haris terus menyuruh anak itu belajar segala hal dalam diri Vano, meski Sean sejujurnya tak mampu. Karena kedua anak itu berbeda. Mau dipaksa bagaimana pun anak itu tetap tak sama. Vano, ya Vano dan Sean, ya Sean.

"Dapat 80 lagi?! Kamu kapan pintarnya jika seperti ini terus!" Haris melemparkan selembar kertas hasil ulangan anak keduanya itu. "Berhenti bermain-main lagi! Kamu lihat kakakmu itu! Dia ulangan tidak pernah mendapatkan nilai di bawah 90."

Haris tidak pernah menghargai hasil usaha yang telah Sean lakukan.

"Aku ... terlalu bodoh, ya Kak?" Sean beringsut memeluk Vano yang mendekapnya erat.

"Kata siapa? Kamu itu pintar. Nanti belajar lagi ya biar pintarnya gak hilang," ucap Vano seraya mengelus punggung Sean. Anak itu selalu menjadi penenang hati Sean saat kacau seperti saat itu..

"Sean pernah ngebuat Devan jatuh terluka. Dagunya sampai robek dan berdarah gara-gara Sean."

Ingatkan lagi jika Sean itu anaknya memang ceroboh, tapi dia sangat peduli kepada adik tirinya.

"Itu bukan murni salahmu. Jangan dijadikan beban pikiran, Sean."

Vano selalu ada untuknya. Vano sosok kakak yang sangat berharga kepadanya, walaupun mereka kembar, entah mengapa Vano memiliki sifat yang lebih dewasa dari Sean.

"Ayah mendapatkan surat lagi gara-gara kamu! Satu hari saja tidak membuat Ayahmu ini malu, bisa?!"

Saat itu Haris marah besar. Untuk seumuran anak SD hal tersebut menjadi asupan sehari-hari bagi Sean.

"Maaf, Ayah. Teman Sean yang pertama mengambil uang temen Sean, jadi-

"Kamu mau melemparkan kesalahanmu kepada orang lain?!" Haris membentaknya. Hebat, ayahnya selalu memperlakukan Sean seperti binatang jika tidak ada Sima dan Devan. Sedangkan Vano hanya bisa mendengar rintihan kesakitan Sean dari dalam kamarnya.

Haris selalu membedakan Sean dengan Vano dan Devan. Baik dalam sikap maupun kasih sayangnya.

"Saya tidak bisa lagi mengampunimu! Hei, saya bekerja keras mati-matian untuk menafkahi kalian semua! Kurang uang yang saya kasih untuk kamu, sampai-sampai mencuri uang temanmu?!"

"Ayah, Sean tidak mencuri uang Reno, itu-"

Tanpa mendengarkan penjelasan Sean lebih lanjut, Haris menarik lengan anak itu dengan kasar. Wajahnya pias rasanya ingin membunuh Sean saat itu juga.

"Kali ini tidak ada kata maaf untuk anak nakal seperti kamu!" Cambukan lagi. Haris mencambuk putra keduanya itu. Punggung hingga betis Sean memerah dan memar. Haris tidak pernah sadar, jika luka dari cambukan-cambukan itu akan menjadi bekas luka yang tidak akan pernah sembuh lagi. Baik dalam ingatan, batin, maupun fisik Sean.

Haris memaksa kepada putra keduanya itu untuk berubah. Namun pada dasarnya apa yang harus dirubah dari kepribadian Sean? Anak itu hanya butuh kasih sayang dari ayahnya. Semula baik-baik saja, namun yang membuat kasih sayang Haris perlahan memudar adalah saat insiden jatuhnya Devan.

Devan adik tirinya, si anak bungsu sekaligus kesayangan Haris, sama seperti halnya Vano anak pertama yang menjadi kebanggaan keluarga Erlano. Hanya Irsan, kakek Sean satu-satunya yang menyayangi anak kedua dari Haris.

Hingga tiba saatnya di mana Sean mulai kehilangan keduanya. Orang yang paling dia sayangi pergi meninggalkan dia dengan segala kepahitan hidup.

"Kak biarkan Sean aja yang nganter obat Kakek. Kak Vano masih baru belajar nyetir."

Mereka berdua baru duduk di bangku SMP. Saat itu Sean sudah lihai membawa sepeda motor, namun Vano yang baru belajar tiga hari ngotot ingin mengantarkan obat kakeknya yang tertinggal di rumah.

"Biar Kakak aja. Kamu banyak PR yang masih belum dikerjakan. Nanti Ayah marah lagi ke kamu."

"PR bisa Sean kerjakan nanti. Aku mau nganter obat ini ke Kakek dulu," ujar Sean memaksa. Sopir pribadi mereka sedang tidak ada, hanya ada mobil dan motor yang terparkir di garasi.

Vano memegang kedua pundak Sean. " Udah, percaya sama Kakak. Kamu liat, tuh PR kerajinanmu masih belum diselesaikan."

Sean melirik stik dan lem yang berserakan di lantai kamarnya. Benar yang dikatakan Vano. Dia masih tidak mengerjakan apapun, sedangkan tenggat waktu untuk pengumpulan tugasnya adalah besok.

Langit di luar sana gelap. Gelap malam tanpa bulan dan bintang. Awan hitam mulai membungkusi kota mereka, siap untuk melepaskan jutaan tetes air.

Vano merasa semua baik-baik saja sebelum hujan deras melandanya di tengah perjalanan menuju kantor Exela. Kakeknya lembur dadakan karena ada sedikit masalah, pria itu membantu Haris yang masih sibuk di ruangan meeting kantor.

"K-kenapa hujannya deras sekali?" Vano bergumam ketakutan saat sudah melanjutkan perjalanan, karena dia berhenti sebentar untuk memasang mantel hujan.

Jalanan terlihat kabur, tetesan jutaan air dari langit membuat jalanan tidak terlihat sangking derasnya. Hingga tibalah Vano di tengah perempatan jalan.

Dia tidak melihat dari arah samping sebuah truk besar sedang melintas menuju arahnya. Tubuh anak berusia tiga belas tahun itu membeku ketika mendapati truk besar dari arah sampingnya.

Brakk

Tubuh Vano terpental beberapa meter dari posisi. Kepala anak itu menghantam aspal yang keras. Sedangkan kakinya tertindih sepeda motor.

Matanya sayu menatap jalanan yang sepi, hanya hujan yang menemani dia. Telinganya berdengung hebat, rasa sakit kemudian menjalar di seluruh tubuhnya.

"Sean ...." lirih Vano sebelum matanya terpejam untuk selama-lamanya.

...****************...

Sean menatap nanar ponselnya. Tubuhnya langsung membeku. Kepalanya menggeleng tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Saudara Vano dilarikan ke rumah sakit dan saya mohon maaf ... dia meninggal saat sudah di turunkan dari ambulan."

Sean tidak bisa menahan tangisnya. "Ini semua salahku! Salahku!"

Anak itu mengambil ponselnya yang sempat terjatuh kemudian menelpon kakeknya yang berada di kantor. Dia- tidak berani menelpon Haris dan mengatakannya secara langsung.

"Kek, Kak Vano ... dia t-tertabrak."

Hening sesaat sebelum kakeknya mengucapkan sesuatu. "Kamu jangan bercanda, Sean." kekeh Irsan, dia tidak menyangka cucunya akan menelpon dia dan membuat lelucon seperti itu.

"Tidak, Kek. Kak Vano- dia ... pergi meninggalkan kita." Sean tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya.

Sambungan diputus sepihak. "Halo? Kek?!" Sean menatap layar ponselnya. Perasaannya merasa tidak enak. Dia takut kakeknya kenapa -napa, karena Irsan masih tidak meminum obatnya.

Sial. Kenapa Sean melupakan itu.

Anak itu berlari keluar rumah. Dia tidak mendapati Devan maupun Sima di rumah. Tubuh kecilnya menerobos air hujan yang sedang menghunjami bumi dengan jutaan tetesannya.

Anak kecil itu berlarian di tengah jalan, berharap ada taksi atau tumpangan yang dapat dia temukan.

...----------------...

Ditampar oleh kenyataan dan ditampar oleh orang yang disayang. Tubuh Sean yang masih basah itu sudah bersimpuh di lantai rumah sakit. Pipinya terasa panas ketika sang ayah menamparnya berulang kali hingga anak itu tak kuat lagi menahan tubuhnya.

"Pembunuh!!" teriak Haris. "Saya ternyata selama ini membesarkan seorang pembunuh!" Pria itu menarik baju Sean dan memukulnya sekali lagi.

"MAS!" Dari arah belakang Sima berlarian dengan menuntun Devan yang masih berumur delapan tahun. "Dia itu anak kamu!" Wanita yang berstatus sebagai ibu tiri itu berusaha menarik Sean ke dalam pelukannya. Berusaha melindungi tubuh ringkih anak malang Itu.

"Jangan bela dia, Sima! Anak itu harusnya dipenjara! Gara-hara dia anak saya ... dan Ayah saya harus-" Haris tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.

"Kakek kenapa?" Sean yang tadinya berlindung ketakutan di lengan Sima kini menampakkan wajahnya menghadap Haris.

"Kamu tidak lihat ruangan di depan sana! Kakekmu sedang berjuang antara hidup dan mati. Dan ini semua kamu penyebabnya!"

Haris geram. Dia tidak bisa menahan lagi. Tangan kekarnya menarik lengan Sean secara paksa.

"Sakit, Ayah."

"Sakit? Harusnya kamu yang mati! Bukan Vano, dengan begitu kamu tidak akan pernah merasakan rasa sakit ini lagi."

Sean berduka tak tertahan, lalu pukulan dari ayahnya membuat anak itu terjungkal. Haris berhasil menyempurnakan rasa sakitnya tanpa cela. Mencabik seluruh perasaanya hingga membuat lukanya kian menganga.

Ruangan di depan mereka terbuka menampilkan sosok dokter dengan stetoskop yang mengalung di lehernya.

Raut wajah dokter itu menunjukkan rasa berduka cita. Tanpa mengatakan apapun Haris mengerti. Irsan, ayahnya telah menghembuskan napas terakhir karena gagal jantung.

Setelah dokter berlalu dan menyampaikan rasa duka yang mendalam Haris tidak bisa lagi menahan air matanya. Kehilangan ayah dan anaknya membuat rasa tidak suka menjadi kebencian yang mendalam kepada anak keduanya, Sean.

Dari awal, Sean memang tidak bisa diandalkan. Anak itu selalu membawa musibah bagi orang-orang di sekitarnya. Sean Austin Erlano itu ... pembawa sial bagi ayahnya.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!