"Menikahlah dengan Mas Bumi. Aku ingin melihatmu bahagia bersama dia," ucap Deandra di ruang ICU setelah satu jam yang lalu tersadar pasca kemoterapi.
Dengan keras Senja menggeleng. Dia memang mencintai Bumi. Sayangnya, Bumi hanya mencintai Deandra. Ketiganya memang bersahabat sejak di bangku SMA. Persahabatan itu tidak sepenuhnya murni karena Bumi dan Deandra memutuskan menjalin hubungan yang lebih serius.
Sedangkan Senja, dia hanya bisa pasrah dengan rasa cinta terpendam di hati pada Bumi. Ya. Senja dan Deandra mencintai pria yang sama dan laki-laki itu merupakan sahabat keduanya.
"Lekaslah pulih. Hal itu tidak akan terjadi, De. Ada Arta yang menantimu untuk sembuh dan segera pulang," jawab Senja menolak dengan lembut.
Deandra terkekeh miris. "Waktuku tidak lama lagi, Nja. Jika seandainya aku tiada, menikahlah dengan Mas Bumi. Aku berharap, kalian bisa menjaga Arta bersama-sama."
"Kamu bicara apa sih! Kamu pasti akan sehat!" kesal Senja tidak suka melihat Deandra yang putus asa. Dimana gairah hidupnya yang dulu menggebu-gebu? Apalagi jika berbicara tentang Bumi, Deandra akan begitu bersemangat. Kini, mata yang dulu berbinar cerah itu telah meredup sayu.
"Aku serius. Tolong, jangan sampai Mas Bumi menikah lagi pada selain kamu. Aku tidak yakin mereka akan memperlakukan Arta sebaik kamu," mohon Deandra yang tak Senja hiraukan lagi.
Helaan napas kasar pun terdengar. "Aku pulang dulu, De. Kamu butuh banyak istirahat agar bicaramu tidak ke mana-mana. Besok pagi aku akan datang lagi," pamit Senja tak sanggup bila selalu didesak.
"Besok jangan tangisi aku terlalu lama! Segeralah makamkan aku jika besok tubuhku tak lagi bernyawa!" Pekikan Dea itu masih bisa Senja dengar. Namun, dia menolak percaya akan ucapan sang Sahabat.
Ketika menoleh, raut wajah Deandra tampak kecewa. Namun, Senja tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak keberatan jika diminta untuk menjaga Arta. Hanya saja untuk menikah dengan Bumi, rasanya tidak mungkin. Malam itu, Senja benar-benar meninggalkan Deandra, membiarkan Bumi merawat Dea sepenuhnya.
Senja dan Deandra memang berkawan erat. Keduanya memiliki riwayat keluarga berantakan dengan Senja yang sejak dulu hidup di panti asuhan, sedangkan Deandra memiliki orang tua yang sudah bercerai.
Di tengah hubungan itu, Bumi hadir dan ikut menjadi bagian dari persahabatan Senja dan Dea. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Sampai di usia yang sekarang, ketiganya masih dekat. Hanya Bumi yang memiliki julukan keluarga cemara. Hidupnya kaya raya dan penuh kehangatan.
Keesokan harinya, Senja dikagetkan oleh dering panjang yang berasal dari ponsel miliknya. Dia yang masih tertidur, membuka matanya malas untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.
"Halo?" ucap Senja sesaat setelah telepon terhubung.
"Apa!" pekiknya seketika bangun dengan mata yang telah terbuka lebar.
Dari suaranya, Senja tahu jika beliau adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Deandra. Dengan kondisi jantung yang berdetak tak beraturan, Senja berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka dan bergosok gigi. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk mandi.
Bibi Tijah mengabarkan jika kondisi Deandra kembali memburuk. Beliau juga mengungkap tentang Deandra yang selalu menggumamkan namanya. "Kamu pasti bisa bertahan, De. Kamu ibu yang kuat," gumam Senja seakan sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Dengan mengendarai sepeda motor, lima belas menit berlalu dan Senja tiba di rumah sakit dimana Deandra dirawat. Dia berjalan tergesa-gesa menuju ruangan yang kemarin dikunjungi.
Ketika telah tiba di lorong rumah sakit, langkah kaki Senja memelan dengan detak jantung yang berdentum. Dia melihat seluruh keluarga dari Bumi dan Dea telah berkumpul tak terkecuali Arta, putra Bumi dan Deandra.
Yang membuat Senja seperti kehilangan keseimbangan adalah, ketika melihat seluruh keluarga menangis, meraung, hingga terisak. 'Ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?' batin Senja ketakutan.
Ketika langkahnya sudah dekat, Senja bisa melihat ke dalam ruangan dimana Bumi tengah bersimpuh di samping brankar yang di depannya ada Deandra yang memejamkan mata dengan wajah pucat. Tangis Bumi terlihat pilu dan mengiris kalbu.
"Bu Dea sudah berpulang pada Tuhan, Bu," beritahu Bi Tijah yang paling sadar dan masih bisa mengontrol diri. Apalagi ketika ada Arta dalam gendongan beliau, membuat Senja membekap mulut seiring dengan air matanya yang jatuh.
Senja tak tega melihat wajah polos bocah berumur tiga tahun itu menatap bingung ke sekeliling. "Tolong jaga Arta dulu ya, Bi," pinta Senja kemudian berlari ke dalam ruangan. Dia berniat membangunkan Deandra yang telah tega meninggalkan putra dan suaminya.
"Dea! Bangun, De! Kamu harus bangun!" teriak Senja sambil mengguncang bahu Deandra pelan. Tangisnya sudah sesenggukan melihat bagaimana sahabatnya terbujur kaku dan sudah tak bernyawa.
"Apa-apaan ini. Aku datang pagi ini demi kamu. Namun, kamu justru pergi meninggalkan aku," racau Senja seperti tak ingin mempercayai kepergian Deandra.
Ingatan Senja berputar pada kejadian semalam dimana Dea memintanya untuk menikah dengan Bumi. Dea juga sempat mengatakan jika waktunya sudah tidak lama lagi. Sungguh. Senja menyesal karena tidak menemani Dea di waktu-waktu terakhirnya.
Tangis pilu dari Bumi berhasil mengalihkan perhatian Senja. Dia ikut terluka menyaksikan bagaimana Bumi memeluk sakitnya sendiri karena ditinggal oleh istri tercinta. Melihat itu, ingin sekali Senja merengkuh tubuh kekar milik Bumi. Namun, sekali lagi Senja selalu disadarkan oleh posisi.
"Bumi? Deandra harus segera dikebumikan. Arta biar aku yang urus," lirih Dea dengan berat hati. Dia mengingat akan pesan Dea untuk segera memakamkan jasadnya jika Senja menemukan tubuh Dea sudah tak bernyawa. Ternyata, Dea sudah bersiap untuk pergi dari dunia.
Bumi seketika menghentikan tangis dan menoleh demi bisa bertemu tatap dengan Senja. Tatapan yang datar hingga membuat Senja merasa janggal.
"Bumi?"
"Kenapa? Kamu pasti senang dengan kepergian Dea kan? Oleh karena itu kamu memintaku untuk mengubur Dea cepat-cepat? Kamu itu sejak dulu memang egois," ucap Bumi datar dan dingin.
Seperti ada batu besar yang menghantam dada Senja saat ini. Egois? Apa yang membuat Bumi sampai mengatakan hal tersebut?
"Maksud kamu? Egois bagaimana?" tanya Senja meminta penjelasan. Demi Tuhan tidak sedikitpun Senja bahagia atas kepergian Dea. Dia juga kehilangan salah satu orang yang paling peduli padanya.
"Sudah. Jangan berdebat lebih dulu. Apa yang dikatakan Senja memang benar. Kasihan bila jenazah Dea diabaikan terlalu lama," ucap suara berniat menengahi perdebatan. Beliau adalah ayah dari Bumi, Pak Adhi.
"Suster! Tolong urus jenazah menantu saya," pinta Pak Adhi lagi. Kesedihan tampak sekali menghiasi wajah paruh baya nya. Belum lagi bola mata yang memerah, seperti habis menangis. Wajar. Dea memang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Pak Adhi.
Senja pun menyingkir untuk memberikan kesempatan seluruh keluarga berpisah dengan Dea, termasuk Arta. Setelah berada di luar, Senja mulai bertanya-tanya akan ucapan Bumi yang mengatakan dirinya egois. "Apa benar jika aku egois? Lalu, karena apa?"
"Mas? Apakah aku boleh meminta sesuatu padamu? Mungkin ini untuk yang terakhir kali," ucap Deandra yang masih terngiang-ngiang di kepala Bumi.
"Kamu boleh meminta apapun dan tidak ada kata terakhir untuk memenuhi semua keinginan kamu. Apapun akan aku lakukan asalkan kamu bahagia," jawab Bumi sambil mengelus pipi pucat milik Deandra.
"Apapun itu?" tanya Deandra memastikan sekali lagi yang segera mendapat anggukan dari Bumi.
"Katakanlah, Sayang." Bumi pun berulangkali mengecup punggung tangan Deandra gemas. Seakan, rasa cintanya tak pernah habis walau sudah mengetahui jika Deandra sakit keras dan mungkin sudah tak secantik dulu lagi, akibat pengobatan yang dilakukan.
"Aku tidak yakin apakah umurku akan panjang dan bisa melihat Arta tumbuh dewasa. Jadi, menikahlah dengan Senja, Mas."
Mendengar permintaan tak masuk akal dari Dea, wajah Bumi mendadak muram. "Kamu kenapa sih? Berapa kali pun kamu memintaku untuk menikah lagi, aku tidak mau," tolaknya mentah-mentah.
"Tolong pikirkan Arta juga, Mas. Dia butuh sosok ibu dalam hidupnya dan Senja adalah orang yang tepat. Akku tidak mungkin menitipkan Arta pada Naura walau dia adikku. Kamu tahu sendiri bagaimana sikap dia pada Arta," jelas Dea yang semakin membuat Bumi kesal.
"Kamu bicara apa sih? Kamu akan sembuh dan sehat seperti sediakala. Tolong, berjuanglah demi aku dan Arta. Bagaimana nasib kami jika kamu pergi?" Raut wajah Bumi tampak nelangsa, membuat Deandra seketika tak tega.
Helaan napas kasar pun terdengar. "Apapun yang terjadi nanti, aku harap kamu mau melakukan keinginanku untuk yang terakhir kali, Mas."
"Senja begitu mencintai kamu. Aku yakin dia bisa mengurus kamu dan Arta dengan baik. Tolong. Jaga Senja ya, Mas. Dia sudah tidak memiliki keluarga lagi jika aku pergi. Kamu sahabat Senja juga. Apa salahnya mencoba menjalin hubungan."
Bumi terpaku mendengar penjelasan Deandra bila Senja mencintai dirinya. "Kenapa kamu selalu memikirkan Senja? Dia sudah dewasa dan tahu apa yang harus dilakukan. Sesekali coba pikirkan dirimu sendiri," kesal Bumi lalu mengusap wajahnya kasar.
Deandra hanya tersenyum lembut. Sangat lembut sampai Bumi tak mampu lagi untuk marah. "Aku tidur dulu ya, Mas. Badanku rasanya lelah. Kamu jangan lupa bahagia ya." Setelah mengucapkan kalimat itu, mata Deandra benar-benar terpejam untuk selamanya.
"Sudah sore, Bum. Kita pulang dulu. Arta butuh kamu," ucap Pak Adhi yang masih setia menemani sang Putra menangisi kepergian istri tercintanya.
Lamunan Bumi tersentak. Dia menghela napas sesak dan menghapus air mata yang seakan tidak ada habisnya. "Aku pulang dulu, De. Besok aku akan datang lagi," ucap Bumi pada foto Deandra yang terpajang rapi di atas gundukan tanah yang masih basah.
Pak Adhi yang menyaksikan bagaimana putranya berduka, hanya bisa menepuk-nepuk pelan bahu Bumi penuh sayang. Seakan, beliau ingin mengatakan jika beliau selalu ada.
Bumi pun beranjak dari pemakaman bersama dengan sang Surya yang mulai condong ke barat, bersiap pulang menuju peraduan.
Sedangkan di tempat lain, Senja berusaha mengembalikan fokus pada Arta yang kini sedang memintanya menemani bermain. Sejak tadi, kepalanya berputar-putar tak tentu arah hingga rasanya ingin meledak.
Hari ini merupakan titik terendah dalam hidup Senja. Dia benar-benar merasa hidup sendiri di dunia ini. Dia harus mengulas senyum di hadapan Arta walau dalam hati dia sedang berduka.
"Ante kenapa?" tanya Arta yang menyentak lamunan Senja.
Dia menundukkan kepala untuk bisa menatap mata bulat bocah laki-laki yang mirip sekali dengan Dea. "Tidak apa-apa," jawabnya mengulas senyum.
"Mama macih di lumah cakit ya, Ante?" tanya Arta lagi begitu polos dengan bahasa cadel nya. Mendengar pertanyaan itu, Senja mendongakkan kepala untuk menghalau air mata yang akan turun.
"Iya. Mama masih berobat biar tidak sakit lagi," bohong Senja lalu membekap mulut karena tak kuasa menahan isakan tangis.
"Alta macih nunggu Mama. Cemoga Mama tidak cakit lagi," ucap Arta begitu tulus mendoakan sang Mama.
'Mama kamu sudah tidak sakit lagi. Mama kamu sudah sembuh di atas sana bersama Tuhan,' batin Senja menjawab ucapan Arta.
Senja masih berpaling dan sibuk menghalau air matanya. Dia ingin pulang agar bisa menangis sepuasnya. Namun, belum ada seorang pun yang peduli pada Arta karena mereka sedang dalam kondisi berduka. Siapa lagi yang akan menemani Arta di saat seperti ini. Sedangkan Senja sudah berjanji pada Dea untuk menjaga Arta.
"Papa!" pekik Arta berlari ke arah pintu masuk, membuat Senja sedikit bisa bernapas lega. Akhirnya, Bumi pulang. Namun, ketika melihat kondisi Bumi saat ini, Senja merasa tidak tega bila harus meninggalkan Arta. Bumi sedang berkabung dan mungkin butuh waktu untuk menerima kenyataan jika Deandra yang dicinta telah tiada.
Setelah beberapa saat Arta dalam gendongan Bumi, Pak Adhi mengambil alih cucunya. "Sama Opa dulu, Sayang. Papa mau bicara dengan Tante Senja," jelas beliau lembut sehingga mudah dipahami oleh Arta.
Bocah itu mengangguk patuh dan beralih ke gendongan Pak Adhi. Beliau juga menepuk pelan bahu Bumi sambil memberi kode anggukan.
Kini, tersisa Senja dan Bumi yang berada di ruang bermain Arta. Di depan masih ada beberapa pelayat yang ber bela sungkawa atas kepergian Deandra. Suasana di ruangan itu mendadak canggung setelah kejadian di rumah sakit saat Bumi mengatakan jika Senja egois.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Bumi terdengar dingin dan datar.
Senja tahu itu. Setelah apa yang terjadi di antara dia dan Bumi, keduanya memang harus bicara. "Kita memang harus bicara," jawab Senja merasa seperti ada tembok pembatas yang menghalangi. Tidak seperti beberapa hari yang lalu ketika sikap Bumi masih begitu hangat padanya.
Tari yang sedang duduk bersila, tidak berniat bangkit dari sana. Dia bisa melihat Bumi melangkah dan duduk di kursi belajar milik Arta. "Dea sudah mengatakan jujur padaku jika kamu mencintaiku."
Jantung Senja bagai ingin keluar dari tempatnya. Bagaimana bisa Dea tahu jika selama ini dia memiliki rasa pada Bumi?
"Kamu pasti bertanya bagaimana Dea bisa tahu? Namun, itulah Dea. Wajar jika sampai hari ini cintaku padanya masih begitu besar. Deandra memang begitu luar biasa."
"Entah apa yang ada dipikiran Dea sampai setiap harinya dia tidak berhenti memikirkan kamu. Padahal, kamu hanya sahabatnya, bukan keluarga," ucap Bumi begitu sinis dan sarkas.
Senja hanya mampu menundukkan kepala. Apa yang dikatakan Bumi memang benar adanya. Dia bukan siapa-siapanya Dea.
"Hingga di akhir napasnya pun, dia masih memikirkan kamu. Dia memintaku untuk menikah denganmu agar kamu tidak perlu merasa sendiri lagi. Kamu tahu? Hal itulah yang membuatku mulai tidak suka padamu sejak dulu. Kamu selalu meminta bantuan Dea padahal istriku itu memiliki kesibukan. Kamu egois. Kamu tidak pernah memikirkan kondisi Dea saat itu. Aku anggap, penyakit yang menyerang Dea adalah hasil dari memikirkan nasib hidup kamu. Dea itu sudah bertindak berlebihan padahal dia bukan ibumu."
Bumi berucap panjang lebar yang berhasil menampar Senja berulangkali. Bolehkah jika Senja merasa terluka akan ucapan Bumi padanya? Secara tidak langsung, Bumi menganggap Senja adalah pengganggu.
"Aku akan menikahi kamu sesuai permintaan Deandra. Aku sudah berjanji untuk melakukan apapun demi Dea. Jangan pernah kamu berpikir jika suatu hari nanti cintamu akan terbalas. Hal itu tidak akan terjadi karena cintaku sudah habis untuk Dea. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan."
Bumi kembali memperjelas kuasanya. Membuat Senja terluka berkali-kali akibat pedang ucapan Bumi yang menghunus jantungnya.
"Kamu harus setuju agar kamu bisa menderita hidup bersamaku," sambung Bumi lagi dan Senja hanya bisa memejamkan mata menahan luka.
Setelah dua minggu berlalu, Senja pada akhirnya bersedia menikah dengan Bumi. Seperti yang telah Deandra inginkan, yaitu menikahi suaminya dan merawat Arta. Seluruh keluarga tidak bisa berbuat apa-apa dan mendukung permintaan Dea. Apalagi ketika Dea ternyata meninggalkan sepucuk surat wasiat, seperti telah dipersiapkan untuk menjelaskan pada seluruh keluarga.
"Saya terima nikah dan kawinnya Senja Kalaluna binti Bapak Andrian dengan mas kawin tersebut, tunai!"
Suara Bumi menggema di mushola panti asuhan tempat Senja dibesarkan. Pada akhirnya, Pak Andrian, selaku pemilik panti dan ayah dari seluruh anak-anak di panti, bersedia menjadi wali nikah Senja.
Hal itu sah saja karena kondisi Senja yang tinggal di panti asuhan dan tidak mengetahui siapa ayah dan ibu kandung nya.
Hati Senja bergetar kala kata 'sah' menggaung di telinga. Statusnya hari ini sudah berubah menjadi istri dari Bumi. Pernikahan itu memang digelar tertutup dan hanya dihadiri keluarga inti sebagai saksi.
"Kalian sudah sah menjadi suami istri di mata negara dan agama. Selamat, semoga hidup kalian dipenuhi bahagia," ucap Pak Penghulu setelah urusannya selesai dan berniat pamit.
"Terimakasih, Pak," jawab Senja berusaha mengulas senyum. Sedangkan Bumi, pria itu masih setia dengan wajah datarnya. Sama sekali tidak berniat untuk basa-basi. Senja hanya bisa menghela napas pasrah mendapati sikap Bumi yang dingin.
"Selamat ya, Senja. Selamat bergabung di keluarga kami," ucap Bu Sonia, ibu dari Bumi. Mata beliau tampak berkaca-kaca, bahagia sekaligus sedih secara bersamaan. Beliau memeluk Senja penuh sayang dan perhatian.
"Terima kasih, Tante," jawab Senja dan Bu Sonia langsung melepas pelukan. Kepala beliau menggeleng. "Jangan panggil Tante. Panggil Mama. Kamu sudah menjadi anak Mama hari ini."
Mendengar itu, air mata Senja sudah tak terbendung lagi. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Senja bisa memanggil seseorang dengan sebutan Mama. "Terima kasih, Mama," ulang Senja lalu Bu Sonia terkekeh gemas.
"Selamat ya, Senja. Mulai hari ini, kamu juga harus panggil Om dengan sebutan Papa." Kini giliran Pak Adhi yang memperjelas. Senja mengangguk, menerima takdir baik itu. Hari ini mungkin akan menjadi awal dari segala dukanya. Namun, hari ini juga Senja mendapatkan apa yang selama ini orang-orang sebut dengan keluarga.
Keadaan mendadak hening ketika Naura, adik tiri dari Deandra mendekat bersama ibu tiri Dea. Dua wanita itu mengulas senyum meremehkan, membuat Bu Sonia merasa tak suka.
"Selamat ya," ucap Naura setengah hati lalu memeluk Senja.
"Harusnya aku yang berhak menggantikan Mbak Dea karena aku adiknya. Namun, gara-gara surat wasiat itu, semua orang percaya padamu. Kamu sama sekali tidak pantas bersanding dengan Mas Bumi," bisik Naura yang membuat Senja tak terkejut lagi.
Sikap Naura memang seperti itu. Selalu ingin merebut apapun yang Deandra miliki. Ayah dari Dea juga selalu tak tegas dengan sikap Naura yang buruk. Wajar jika tingkahnya semakin menjadi-jadi.
"Senja? Ayo. Kita harus segera pulang karena Arta sudah menunggu," ajak Bu Sonia, sengaja tidak ingin membuat Naura berbicara lebih banyak lagi.
"Bumi! Ajak istri kamu pulang untuk beristirahat," pinta Bu Sonia yang kini beralih pada putranya yang sedang melamun. Akhir-akhir ini Bumi memang sering melamun. Senja memaklumi hal itu karena laki-laki itu baru saja kehilangan belahan jiwanya.
Ketika telah tiba di rumah milik Bumi dan Deandra, Senja langsung disambut hangat oleh Arta. "Ante!" pekik Arta antusias. Bocah laki-laki itu memang sangat dekat dengan Senja karena terkadang dititipkan pada Senja ketika Dea akan mengecek kesehatan.
Bumi yang melihat kedekatan putranya, hanya melirik sekilas lalu berjalan lebih dulu melewati sang Putra. Hal itu membuat Arta bertanya akan sikap sang Ayah yang terkesan dingin. "Papa napa, Ante? Malah?" tanya Arta polos, menganggap jika ayahnya sedang marah.
Senja tersenyum dan berjalan menuju sofa dengan Arta yang berada dalam gendongan. Setelah tiba, Senja mendudukkan Arta dalam pangkuan menghadap dirinya. Sehingga, posisi keduanya kini saling berhadapan. "Papa sedang banyak pikiran. Oh iya, mulai hari ini Tante akan tinggal bersama Arta loh. Bagaimana, Arta senang?" tanya Senja memberitahu bocah yang sudah Senja anggap seperti anaknya sendiri.
Mata bulat Arta terbuka lebar dengan bibir yang menganga. "Yeay! Berarti kita bisa main sama-sama terus!" pekik Arta begitu bahagia. Senja pun ikut tersenyum bahagia melihat bagaimana mata Arta berbinar cerah. Jika Bumi tidak menginginkan kehadirannya, setidaknya masih ada Arta yang begitu bahagia karena ada Senja.
"Arta? Mainlah dulu dengan Sus. Papa mau berbicara dengan Tante Senja dulu," ucap suara berat yang membuat jantung Senja seketika berdegup kencang.
Setelah Arta diambil alih dan diajak ke kamar, Bumi kembali bersuara. "Ikut aku!" titahnya yang tidak bisa Senja tolak. Dia hanya bisa pasrah akan keputusan Bumi setelah ini.
Ternyata, Bumi membawanya ke kamar yang Senja ketahui merupakan kamar tamu. "Ini kamarmu. Aku tidak mau sekamar denganmu. Lebih baik kita tidur terpisah karena aku tidak sudi melihat wajahmu di pagi hari," jelas Bumi yang membuat tubuh Senja terasa lemas bagai jeli.
Sebenci itukah Bumi pada Senja?
"Baca ini!" titah Bumi lagi sambil menyodorkan sebuah map berwarna coklat.
"Perjanjian pernikahan?" Senja bergumam heran. Namun, tak urung dia tetap membaca poin-poin yang tertera. Yaitu,
Perjanjian pernikahan.
Senja tidak boleh masuk ke kamar Bumi
Tidak ada hubungan suami istri
Senja hanya istri di atas kertas dan Bumi tidak akan membawa Senja ke acara manapun
Status Senja akan tetap disembunyikan karena Bumi malu memiliki istri seperti Senja.
Dan masih ada beberapa poin lagi yang tidak sanggup Senja baca. Dadanya sesak diperlakukan buruk oleh Bumi. "Aku terima semua perjanjian," ucap Senja terluka. Hampir seluruh perjanjian itu isinya merugikan dirinya.
Namun, bukankah itu memang tujuan Bumi? Yaitu membuat Senja menderita ketika hidup bersamanya.
"Bagus," jawab Bumi lalu menyodorkan pena untuk digunakan mendatangani perjanjian.
"Tanda tangan di atas materai. Aku tidak ingin suatu hari dituntut," pintanya datar.
Senja menerima bolpoin tersebut dan membubuhkan tanda tangan di atas materai. Dia pasrah pada nasib hidupnya ke depan. Yang harus Senja percayai adalah keyakinannya pada Tuhan.
"Sudah," ucap Senja kembali menyerahkan kertas dan pulpen di tangannya.
"Satu hal yang harus kamu tahu, aku menikahi kamu hanya karena permintaan Deandra. Kalau bukan karena permintaan Dea, aku mana mau. Lebih baik aku membesarkan Arta sendirian." Bumi seakan ingin kembali menegaskan arti Senja dalam rumah tersebut.
"Aku tahu tanpa harus kamu perjelas. Semua karena Dea. Wajar jika kamu mencintai Dea sedalam itu. Dea memang orang baik," jawab Senja merendah. Dia tidak harus meninggi hanya untuk mencuri perhatian laki-laki yang kini sudah berstatus suaminya.
"Bagus jika kamu sadar diri."
Senja hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Bumi yang kelewat pedas itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!