NovelToon NovelToon

Pernikahan Karena Sebuah Amanah

Awal mula pernikahan

Dia tidak pernah mencintaiku dan pernikahan ini terjadi karena sebuah amanah yang harus aku emban, meski banyak duri dan air mata yang menetes," kata Dhiya Kharya di dalam hati dengan sedih menatap nanar sebuah foto pengantin yang tergantung di dinding kamar, tepat di atas head board.

Berdiri seorang diri dengan pakaian yang menutupi sekujur tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mengingat sang suami yang sudah mulai menyakiti.

"Kalau saja aku dulu bisa menolak permintaan itu. Aku mungkin tidak akan seperti ini," sesalnya di dalam hati, masih saja menatap foto pengantin yang terpajang.

Suami yang selama satu tahun menjadi pendampingnya hingga saat ini belum juga bersikap baik. Jangankan untuk mencintainya, menaruh perhatian saja sangat sulit baginya.

"Wanita itu memang sudah sepantasnya menjadi temanmu, Mas," ungkapnya lagi ketika menatap ke arah suaminya yang berada di dalam foto. "Aku sadar, kalau selama ini, aku telah menjadi perempuan yang jahat. Memisah 'kan mu dari wanita yang sudah lima tahun kau pertahankan," sesalnya, berjalan mendekati jendela kamar yang terbuka.

Mengingat masa lalu atas kecerobohannya yang telah memilih pria yang sudah menjadi suaminya saat ini.

Sesulit apa pun yang dialaminya. Dia tetap bertahan demi menepati janjinya pada sang ibu mertua yang belum sempat melihat pernikahan mereka, yang tidak tahu akan berlabuh ketepian ataukah tenggelam.

Dhiya Kharya terus berdiri di depan jendela, menatap dahan pohon yang bergerak terbawa arah angin. Dia berdiri sambil membenahi kerudung yang terbang terbawa angin.

Melihat ke bawah, ke arah mobil sang suami yang melaju kencang. Air mata tanpa dia sadari sudah menetes membasahi kedua pipi.

***

Nyonya Afsheen yang pernah menjadi majikannya dulu sempat berpesan untuk menemani putra kesayangannya ketika kelak ia sudah tiada.

Pada saat itu, nyonya Afsheen sangat yakin, kalau Dhyia Kharya bisa merubah anaknya menjadi lebih baik. Namun, keinginan tidaklah semudah yang dia bayangkan. Banyak lika-liku yang harus ia lewati.

Mengingat satu tahun yang lalu.

"Dhyia Tante berharap kau bisa merubah Ilker menjadi pria yang lebih baik. Karena Tante melihat kau adalah Anak yang baik dan penyabar."

Saat Dhyia membawa nyonya Afsheen berjemur di pagi hari menggunakan kursi roda.

Kala itu nyonya Afsheen sedang sakit. Tampaknya, sakitnya sudah semakin parah. Dia tidak lagi terlihat, seperti biasa sehingga membuat Dhyia tidak bisa menolak permintaan itu. Di tambah lagi nyonya Afsheen sangat baik dan menyayangi dirinya.

"Andai saja suamiku bisa memahami 'ku. Mungkin aku akan lebih tenang sedikit," gumamnya, sambil melihat mobil suaminya yang sudah menghilang.

Seusai mobil itu menghilang. Dhyia memutar badannya ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Dia kemudian merapikannya hingga selesai. Lalu, setelah itu ia melanjutkannya lagi, merapikan ruangan kerja suaminya yang di pasang oleh pintu pemisah.

Ruangan kerja yang besar dan luas yang terdapat meja , kursi dan lemari tempat penyimpanan buku dan juga beberapa koleksi barang antik, ia bersihkan.

Tiba-tiba ia terkejut ketika melihat banyak remukan kertas di atas meja dan lantai. "Aku heran, tidak biasanya dia membuang sampah sembarangan," gumamnya berjalan mengambil pengki. Menyapu lantai dan mengelap meja.

Kursi yang sering diduduki oleh suaminya ketika mengerjakan tugas kantor pun ia rapikan, seperti semula. Tempat sampah yang terletak di atas meja kini ia taruh di sudut dinding, tidak jauh dari meja.

Lembaran foto wanita yang masih menjalin hubungan dengan sang suami. Terpampang jelas di atas meja, meski sedikit ditutupi oleh buku-buku tebal yang berhubungan dengan bisnis.

"Wanita ini lagi," gumamnya lirih, saat menarik ujung lembaran kertas. Sekujur tubuhnya langsung lemas dan ingin terjatuh ke lantai dengan kedua bola mata berkaca-kaca.

Menatap lekat foto yang setiap saat di pandangi oleh lelaki itu ketika ingin memulai pekerjaannya. Wanita itu seakan menjadi penyemangat bagi pria berparas tampan itu.

"Mas, inikah caramu. Agar aku tidak mempertahankanmu lagi," rintihnya di dalam hati. "Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk sabar. Tapi, kau malah melakukan ini." Deraian air mata pun menetes. "Kalau kau keberatan menikahi 'ku. Lalu, kenapa dulu kau mau mengiyakan kata-kata ibumu?" Erangnya di dalam hati.

Betapa hancur hatinya untuk yang ke sekian kali. "Atau inikah caramu? Agar aku tidak mempertahankanmu lagi?" jeritnya membatin sambil menahan isak tangis yang ingin keluar. "Aku sudah berusaha, tapi kau malah melakukan ini." Tatapnya sambil memegang foto yang seksi itu dengan gemetar.

Hal ini sungguh tidak bisa dibayangkan oleh Dhyia Kharya. Hidup berumah tangga tanpa cinta dan kasih sayang, bukanlah impian bagi seorang wanita yang dinikahi secara sah, lalu di duakan dibelakang. Namun, inilah yang terjadi. Dia harus merelakan hidupnya menjadi seorang istri yang malang dan tak pernah disentuh sekali pun.

Dia terus berjalan menopang tubuhnya yang mulai kurus dan lemas menaruh sapu dan pengki di tempatnya sambil mengingat foto yang ditemukannya tadi yang membuatnya shock.

Perlahan ia menyeret kedua kaki dengan gontai, mendekati kursi setelah menyimpan foto itu di tempat semula, mengambil dasi yang terletak di atas sandaran kursi. "Aku engga akan sanggup... ." Dia terus berjalan merintih dan tidak bisa lagi berkata-kata, diikuti tangan memegang knof pintu, keluar dan menutup pintu itu kembali.

Perlahan demi perlahan ia pun menuruni anak tangga dengan muka yang ditekuk sambil membawa dasi. Menapakkan kedua kaki di atas tangga yang panjang.

"Biiii!" teriaknya.

"Iya, Nyonya," sahut bi Benar dari dapur, melihat nyonyanya yang sudah mendekat.

"Sebelum pergi tadi? Tuan ada bilang sesuatu?" tanya Dhyia.

"Tidak ada, Nyonya. Tuan, cuma berpesan, "Dia akan pulang malam," jawab bi Benar.

"Hanya itu saja ?" Dhyia kembali bertanya.

"Iya, Nyonya," jawab Benar pelan. Berdiri sambil memegang kain lap melirik nyonyanya yang masih saja berdiri di tangga.

***

Ilker Can Carya adalah seorang pemuda yang lemah lembut dan bertubuh kekar serta berwajah tampan sehingga membuat wanita banyak yang tergila-gila padanya. Selain itu, ia adalah anak laki-laki, satu-satunya dari seorang pengusaha sukses dan ternama. Meski status yang disandangnya sangat baik. Ini tidak membuatnya sombong.

Dia tetap menjaga nama baik keluarganya. Meski ia sering berteman dengan anak-anak yang memiliki pergaulan bebas. Hal itu justru tidak membuatnya berubah, apalagi berbuat kasar kepada seorang wanita, seperti kebanyakan laki- laki pada umumnya.

Didikan yang di terapkan oleh kedua orang tuanya sangat diembannya dengan baik.

Hal inilah yang memicu masa lalunya tetap mempertahankannya, meski ia mengetahui kalau lelaki itu sudah menikah.

.

.

.

Bersambung...

Di meja makan termenung seorang diri

Dhyia Kharya hanya diam saja sambil berjalan dan memasukkan dasi ke dalam mesin cuci. Dia tidak pernah mendapati atau pun mendengar suaminya berpesan pada bi Benar untuk menjaganya.

Akan tetapi, Dhyia tetap tersenyum menahan sedih di dalam hati. "Terima kasih, Bi. Sekarang kembalilah bekerja!" perintahnya memutar badannya dengan rileks, seolah ia baru pertama kali mendengar itu. Berdiri di sebelah meja makan sambil menarik kursi. "Bi, jangan lupa! Dasinya di cuci pakai tangan, ya!" pintanya dengan lemah lembut.

"Baik, Nyonya," jawab Benar, meninggalkan Dhyia. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya.

Bi Benar kembali bekerja membersihkan dapur yang masih berantakan dan tidak lupa sesekali ia melirik nyonya mudanya dari ekor mata yang tampak murung. Diikuti tangan mengelap meja.

Meja makan yang sering digunakan oleh majikannya untuk bertengkar dielapnya sampai mengkilat. "Ini meja harus sekilat mungkin. Supaya, Tuan memujiku," katanya di dalam hati. Teringat belakangan ini sikap tuannya telah berubah.

Rumah yang besar dan halaman yang luas terlihat sunyi, seperti tak berpenghuni. Dhyia Kharya melihat halaman yang dulu sering dilaluinya saat bersama nyonya Afsheen kala itu.

Segaris senyuman berat pun, terukir di wajahnya yang cantik ketika terbayang tawa sang nyonya. Memegang gelas yang ada di atas meja.

"Bi, halaman itu terlihat kotor," singgungnya, memutar duduk miring sambil menuang air ke dalam gelas, melihat halaman yang hijau.

"Pak Altan belum datang, Nyonya," jawab Benar langsung sambil menyimpan kain lap.

"Kenapa Pak Altan belum datang? Apa dia sakit?" tanya Dhyia, meneguk air minum.

"Saya kurang tau, Nya. Tapi, semalam Pak Altan bilang, "Kalau dia agak terlambat datang." Benar menoleh ke arah Dhyia yang sedang memegang gelas. "Mungkin, pak Altan lagi ada masalah?" lanjutnya, merapikan wastafel serta menaruh tempat sabun cuci piring ke tempatnya.

"Ada masalah?" tanya Dhyia terheran. "Kalau Pak Altan ada masalah. Kenapa kamu gak pernah cerita sama saya?" tanyanya kembali sambil meneguk minum hingga habis.

"Maaf, Nyonya! Saya tidak berani mengganggu, Nyonya," kata Benar lagi. Meninggalkan wastafel dan menyusun piring yang bertumpuk ke dalam rak piring yang terkunci.

Dhyia Kharya tertunduk diam. "Bi, maaf 'kan saya, ya! Karena belakangan ini. Saya tidak mempedulikan kalian lagi," sesalnya.

"Tidak apa-apa, Nyonya! Kami tidak pernah berpikiran, seperti itu. Kami tidak pernah merasa diabaikan. Asalkan Nyonya baik-baik saja, kami sudah senang," balas Benar dengan sopan. Menutup rak piring dan mengelapnya sampai kilat.

"Saya tau kalau kalian akan mengatakan hal itu," balas Dhyia. "Memang belakangan ini saya lebih memfokuskan ke diri saya sendiri. Jadi, secara tidak langsung saya sudah mengabaikan kalian," ungkapnya dengan sendu. Diikuti kedua bola mata menatap nanar sebuah pohon yang di tumbuhi rumput.

Benar kembali menatap nyonya mudanya dengan penuh rasa kasihan sambil menaruh kain lap ke dalam keranjang.

Selama gejolak yang terjadi di dalam pernikahannya ia tidak pernah lagi mengawasi asisten rumah tangganya. Apakah ada yang sakit atau kesulitan ekonomi? Semua hilang dari ingatannya begitu saja demi menjalankan amanah yang diemban.

Memutar badan menenangkan diri di meja makan sambil menaruh gelas yang sudah kosong di sampingnya, kembali ia melirik pohon yang selama ini ia rindukan.

Ditengah lamunan mengenang masa lalunya yang sudah jauh berputar seratus delapan puluh derajat, membuatnya gugup akan dirinya ke depan. Menatap kulkas dengan yang tertutup malu. "Kulkas itu, semenjak kepergianmu tidak lagi terbuka," katanya, menatap kulkas yang dulu sering dibukanya dengan sendu.

"Nyonya," teriak Benar tiba-tiba berlari meninggalkan pekerjaannya sambil membawa sebelah sepatu tuan mudanya.

Membuyarkan lamunan Dhyia seketika. "Ada apa, Bi?" tanyanya terkejut sambil menoleh ke arah Benar yang berlari, seperti orang yang ketakutan.

"Tuan. Nyonya.... ," kata Benar pucat menutup mulut rapat.

"Tuan? Emang Tuan, kenapa?'' tanya Dhyia lagi penasaran. "Ada apa dengan Tuan?" Dhyia bertanya balik dengan gurat wajah panik, memutar duduk ke arah Benar yang ngos-ngosan.

"Tuan sudah pulang," jawabnya langsung dengan bercampur aduk, membayangkan nyonya dan tuannya akan bertengkar lagi.

"Bi! Kalau Tuan muda sudah pulang, engga harus kayak gitu!" tutur Dhyia dengan lemah lembut. " 'Kan saya jadi, panik," lanjutnya tersenyum sambil menarik napas pelan.

"Maaf, Nya! Saya gak sengaja," ucap Benar menunduk malu dengan rasa bersalah sambil memegang sebelah sepatu tuan mudanya.

"Ya, sudah! Sekarang Bibi pergilah lanjutkan lagi pekerjaannya! Biar saya yang akan mengurus, Tuan," kata Dhyia bangun dari duduknya.

Hari yang sudah hampir mau siang. Dhyia Kharya pun berjalan ke depan pintu utama. Menyeret kedua kaki dengan hati yang bercampur aduk. Untuk saat ini, dia harus bisa semaksimal mungkin menyambut sang suami dengan senyuman yang ramah, meski ia tau ia akan mendapatkan perlakuan yang tidak baik.

"Wa'alaikumussalam, Mas," sapanya langsung membuka pintu sebelum pria itu mengucapkan salam. Berdiri sambil mengulurkan tangan untuk menyalam suaminya.

Namun, sayang Ilker tidak menoleh sama sekali. Dia malah melangkah masuk dan cuek, berjalan terus sambil membawa tas dan tidak menyambut uluran tangan itu.

 Sungguh perih rasanya bagi Dhyia, berdenyut nyeri di dalam hati. Namun, ia tetap tersenyum, meski sebenarnya senyum itu sangat sulit untuk ia tunjukkan walau hanya pada dinding yang bisu.

"Mas, kenapa kamu pulangnya cepat?" tanyanya, berjalan mengikuti sang suami menaiki tangga. "Mas, apa ada masalah?" tanyanya lagi, mengejar lelaki yang berjalan kencang itu.

Jeglek !

Pintu pun terhempas dengan kasar. Spontan Ilker memutar badan dengan muka yang kesal. "Masalahnya itu kamu!" katanya langsung menunjuk Dhyia. "Gara-gara kamu! Aku semakin sulit untuk bertemu, Yilzid!" pekiknya, melemparkan tas di atas tempat tidur. "Kalau saja kau dulu tidak menyetujui perjanjian itu. Aku pasti sudah menikah dengannya?!" ungkapnya lagi membuat sang istri terpojok di depan pintu. "Sewaktu Ibuku masih hidup? Apa yang kau katakan padanya, ha? Sampai-sampai dia menyuruhku untuk menikahimu!" serangnya lagi dengan nada suara yang tinggi. "Kau tau? Sampai saat ini? Aku gak pernah menerima pernikahan ini! Apalagi melihat mukamu itu, cih!" sindirnya dengan ejekan yang pahit, membuang mukanya seketika dari sang istri.

Dhyia bagaikan tersambar petir. Dia tidak menyangka kalau lelaki yang selama ini hanya diam saja dan cuma bersikap dingin terhadapnya sekarang malah terang-terangan membentak.

"Mas... ," panggilnya dengan nada suara lirih, menutup kedua bibir dengan rapat. Diikuti tangan kanan menyeka air mata. Menatap punggung lelaki yang kekar itu.

"Aku tidak ngomong apa-apa. Pada saat itu aku hanya diam saja. Aku ingin menunggu keputusan dari, Mas. Tapi apa? Mas langsung mengangguk dan tanpa memikirkannya dulu!" kata Dhyia.

.

.

.

Bersambung...

Prasangka buruk terhadap Dhiya Kharya

Dhiya Kharya wanita yang tegar yang berusia 25 tahun itu terus mengatakan yang sebenarnya, antara ia dan mendiang nyonya Afsheen.

"Mas! Aku sendiri tidak tahu, kalau Ibu berencana menjodohkan kita," rintihnya. "Kalau Mas tidak mau. Lalu, kenapa Mas yang datang melamarku? Dhyia menatap lelaki yang masih membelakanginya. "Tapi, sekarang..., setelah semuanya terjadi, di malah Mas yang menuduhku," lanjutnya dengan deraian air mata. "Kenapa Mas setega itu terhadapku?" tanyanya dengan nada suara serak dan air mata. "Mas yang mendahulukannya. Tapi, Mas yang menyalahkanku. Kenapa Mas? Kenapa!?" teriaknya terus bertanya. "Seharusnya, Mas menolaknya dan mengatakan yang sebenarnya pada 'ku. Huhuhu!" Dhyia terus menangis tersedu-sedu. "Mungkin aku akan mengerti," katanya lagi sambil menangis, menatap punggung lelaki yang enggan untuk menoleh ke arahnya dengan kedua bola mata berkaca-kaca.

"Alah! Jangan banyak bicara kamu!" bentaknya dari depan, bingung karena terjebak dengan pertanyaan sang istri. "Aku tau? Kau senangkan?" lanjutnya bertanya balik. Menarik dasi yang melingkar di kerah bajunya dengan kasar. "Itu cuma alasanmu saja. Karena aku tau. Kau ingin tinggal di rumah yang besar ini, 'kan?" Dia kembali melayangkan pertanyaan miring, memutar badan menatap ke arah sang istri dengan pias.

Suara isak tangis bercampur sesenggukan masih terdengar membelenggu jiwa, meski pelan.

"Astaghfirullah, Mas. Aku engga pernah sedikit pun, menginginkan hartamu," jawabnya dengan nada suara yang serak dan tenggorokan perih. "Aku tau aku bukan siapa-siapa. Dan aku tidak sepadan dengan kalian. Tapi, aku tulus menikah denganmu. Bukan karena hal yang lain. Apalagi seperti yang kamu tuduhkan!" lanjutnya dengan tegas. Menatap suaminya yang bermuka masam dengan kedua bola mata memerah.

Dari bawah suara pertengkaran mereka kembali terdengar oleh Benar. Benar yang sedang menyusun dan merapikan vas bunga, menaikkan kepala, menatap ke lantai atas tepat ke arah kamar nyonya dan tuan mudanya.

membelenggu jiwa. "Tapi, kenapa Mas yang datang memberiku penawaran pernikahan? Kalau Mas tidak setuju..., kenapa Mas mendahulukannya?" tanyanya dengan nada suara bercampur serak dan air mata. "Kenapa Mas?" tanyanya kembali berdiri menatap punggung pria yang enggan untuk membalik ke belakang untuk menoleh ke arahnya walau hanya sebentar. "Seharusnya Mas menolaknya dan mengatakan yang sebenarnya pada 'ku, huhuhu!" Dhyia terus menangis tersedu-sedu.

"Betul, Mas. Nyonya yang membujukku agar mau menikah denganmu. Dia memohon supaya aku mau menjadi istrimu." Dhyia mengungkapkan semuanya dengan pilu.

Sebenarnya pada saat itu ia ingin menghilangkan rasa cintanya terhadap lelaki itu.

dari dari dalam lubuk hatinya yang pada saat itu. Sebenarnya ia ingin menghilangkan rasa cintanya terhadap Ilker Can Carya. "Ibu, memohon, Mas. Supaya aku mau menikah dengan mu." Dhiya Kharya menatap sang suami yang memutar badan berdiri membelakanginya kembali sambil menaruh tangan di kedua saku celananya.

"Itu hanya alasanmu saja! Supaya aku bersimpati padamu, iya 'kan?" balas Ilker, membelakangi sang istri kembali sambil menaruh kedua tangan di saku celana. "Kalau kau mau tinggal di sini, bilang saja! Aku akan mengizinkanmu untuk tinggal di sini. Tidak perlu kau harus menikah dengan 'ku!" tandasnya enteng. Menjatuhkan pandangannya ke bawah, melirik sedikit ke arah wanita yang masih berdiri di belakangnya.

Dari atas suara keributan masih terus menggema memenuhi langit-langit ruangan. "Kasihan, Nyonya. Dia selalu di salahkan terus ," gumam Benar, menatap ke lantai atas. Berjalan meninggalkan vas bunga yang sudah tertata rapi.

Pertengkaran yang terjadi di antara mereka berdua setiap hari membuat telinga Benar dan pak Altan semakin sakit, bahkan suara itu semakin hari semakin memekik terdengar hingga ke dapur yang membuat jantung pak Altan terkadang ingin copot. Terutama suara Ilker.

"Seperti biasa mereka selalu ribut?!" kata pak Altan yang berjalan keluar membawa gelas sambil melihat ke arah sumber suara.

"Mas, kenapa sih? Kamu itu gak pernah percaya samaku?" tanya Dhiya lagi. Tangisan yang belum juga usai. "Asal Mas tau? Aku juga gak pernah mau hal ini terjadi!" lanjutnya, menunduk dengan butiran kristal yang berjatuhan membasahi lantai. "Kalau saja aku kayak gini akhirnya. Sekuat apa pun, Tante dulu memaksaku. Aku gak akan pernah mau!" katanya lagi dengan linangan air mata.

Ilker Can Carya pemuda yang berusia 37 tahun itu terus berdiri tegak lurus, menutup rasa belas kasihannya terhadap wanita itu.

"Kau sangat pandai mencari simpati," ucapnya ketus. "Wanita, seperti mu itu, hanya topeng. Berpura-pura baik di depan orang yang baik denganmu," sindirnya dengan pedas dan langsung mematahkan kembali hati Dhyia. "Kalau kau mau. Aku bisa mencarikan untukmu laki-laki yang lebih kaya," ucapnya, memutar badan menatap istrinya yang sudah bermandikan air mata.

"Tapi laki-laki itu bukan aku!" tegasnya.

Hatinya berdenyut nyeri ketika pria yang menjadi suaminya mengatakan itu.

"Mas, kalau saja kau tau? Aku sebenarnya sangat mencintaimu," katanya di dalam hati sambil mengelap air mata dengan tangannya. Memutar badan melangkah mendekati tempat tidur. Menatap nanar keluar jendela sambil mengulang mengingat semua.

Meski sebenarnya hati kecilnya perih mendengar keluh kesah wanita yang sudah ia nikahi. Akan tetapi, ia enggan mengakuinya. Dikarenakan cinta butanya terhadap wanita masa lalunya yang membuatnya lupa dan menjadikannya pria yang kasar. Tetapi ia masih menaruh rasa iba walau itu cuma sedikit.

"Setiap aku datang ke rumah ini! Kau selalu menangis. Lama-lama aku bisa gila!" katanya, mendengus kesal. "Kau itu semakin menambah masalahku menjadi besar!" sentilnya, sambil memijat-mijat kening dengan kuat. "Hari ini alasanmu itu! Besok, apalagi alasanmu." Melemparkan dasinya dengan kasar ke lantai. "Aku muak melihatmu!" sentaknya, meninggalkan sang istri dan masuk ke dalam kamar mandi.

Braugh!

Deg!

Dhiya Kharya pun terkejut ketika mendengar pintu yang terhempas dengan kuat . Sontak jantungnya ingin copot seketika. Memutar kepala melihat ke arah pintu. Pria yang ia kenal dulu tidak pernah melakukan hal sekasar itu sebelum pernikahan, pikirnya. Menelan saliva dengan kasar.

"Dhiya!" teriak Ilker dari dalam kamar mandi.

Dhiya yang ingin mengambil tas sontak menghentikan tangannya setengah mengayun di udara, memutar kepala menoleh ke arah sumber suara. "Iya, Mas," sahutnya, mengambil tas segera dan meletakkannya di dalam lemari kaca, khusus tempat penyimpanan barang-barang milik sang suami. "Ada apa, Mas?" tanyanya dengan nada suara lembut bercampur serak. Menghampiri pintu kamar mandi.

"Apa lampunya mati?" teriak Ilker bertanya dari dalam. Menutup kedua matanya dengan rapat demi menahan perih air shampo yang menetes.

"Tidak, Mas," jawab Dhyia pelan.

"Lalu kenapa shower nya mati?" tanyanya lagi dengan kesal. Mengerjitkan kedua mata sambil menggoyang-goyang tangkai shower.

"Aku tidak tau, Mas. 'Kan, Mas yang mandi di dalam," jawab Dhiya enteng dari balik pintu.

"Aaagh, cih! Sial!" Erang Ilker, memukul handuk yang tergantung di dinding. " Hari ini gak ada yang menyenangkan, cih!" katanya lagi dengan kesal, mencuci mukanya dengan air shower yang mulai menetes.

Dhiya yang masih berdiri di depan pintu mendadak panik sebab ia tidak mendengar lagi suara lelaki itu. "Mas! Apa airnya sudah hidup?" tanyanya balik dengan nada suara khawatir.

"Sudah, pergi sana! Jangan sebut-sebut namaku!" sentaknya dari dalam.

Sekali lagi Dhyia diam menutup mulutnya dengan rapat. Pernikahan semakin hari semakin membuatnya tersiksa seakan ia tidak sanggup lagi untuk hidup. "Apa pernikahan ini harus aku akhiri saja?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri. "Rasanya, aku sudah tidak kuat lagi hidup dengan orang yang selalu menyalahkan dan menuduhku yang bukan-bukan setiap hari." Menyeret kedua kaki mengambil dasi yang teronggok di lantai.

Jeglek!

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka yang membuat Dhyia kembali terkejut. Ilker yang tadi menjerit, seperti orang yang kebakaran jenggot, berjalan dan membuka lemari.

"Mas, kamu mau ke mana?" tanya Dhiya, menaikkan tubuhnya sambil memegang dasi.

Ilker langsung melayangkan tatapan tajam dengan raut muka masam penuh kebencian . "Kau tidak perlu tau! Dan kau tidak perlu repot-repot mengurusku!" jawabnya.

"Mas! Aku, 'kan istrimu. Jadi, sudah sewajarnya aku bertanya. Aku juga harus tau. Kalau Mas, mau pergi ke mana?" tanya Dhiya lagi, mengikuti langkah pria itu dengan kedua bola mata sembab.

"Urus saja dirimu sendiri," balasnya dengan ketus, membuka lemari. "Dari dulu sampai sekarang kita sudah sepakat untuk tidak saling mengurusi satu sama lain," ucapnya, mengambil baju kesukaannya, pemberian dari sang pujaan hati sebagai hadiah ulang tahun. Berjalan ke ruangan ganti dengan handuk yang menutupi setengah tubuhnya.

Dhyia langsung diam seribu bahasa. Berdiri tegak lurus, seperti patung. Mendengarkan omongan itu dengan ikhlas.

Ilker kemudian menghentikan langkahnya lagi, memutar badan ke belakang. "Kau tidak perlu mengurusku," ucapnya sekali lagi mengulangi, menutup pintu dengan kasar.

Di dalam kamar ganti ia masih saja terbayang-bayang wajah istrinya yang menangis tadi. Entah kenapa tanpa sengaja wajah itu hadir di hadapannya? Rasa sedih dan tidak tega tiba-tiba menganak di dalam hatinya.

.

.

.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!