Baca aja dulu, kalau suka baru vote😉
Happy Reading All🌾
“Dara, sini, Sayang. Ada yang mau Papa sama Mama omongin ke kamu,” panggil Shira. Dia melambaikan tangan ke arah Dara yang sedang berjalan menaiki anak tangga.
Perempuan cantik itu berhenti. Dia berbalik, menghampiri Shira lalu duduk di samping sang mama.
“Papa sama Mama mau ngomong apa?” tanya Dara. Tersebab, sudah beberapa menit dia duduk di sini bersama kedua orang tuanya, tetapi mereka tak kunjung memulai pembicaraan.
Shira tersenyum tipis sambil menggenggam tangan anak bungsunya, lalu mengelusnya dengan ibu jari.
“Jadi begini, Papa sama Mama sudah sepakat mau jodohin kamu sama anak teman Papa.”
Deg!
Dara terkesiap, dia menatap tak percaya ke arah kedua orang tuanya. “Enggak, Dara nggak mau. Dara sudah punya pacar. Dara bukan anak kecil lagi, Ma, Pa, yang harus terus diatur-atur. Dara bisa nyari pasangan hidup sendiri tanpa ada perjodohan kayak gini.” Gadis manis berambut sepinggang itu menggeleng, menolak permintaan kedua orang tuanya.
“Tapi, Sayang. Mama sama Papa hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Nak.” Shira berusaha menyakinkan Dara, tak lupa tangannya yang terus mengusap punggung anaknya itu.
“Tapi Dara nggak mau, Ma. Dara sudah dewasa, Dara bisa nentuin pilihan Dara sendiri.” Dara menggeleng, tetap menolak keinginan orang tuanya. Dia tidak ingin dijodohkan.
“Papa tidak mau tahu, pokoknya kamu harus terima perjodohan ini, Papa nggak terima penolakan!” tegas Arya, lalu kembali fokus membaca koran yang berada di pangkuannya.
“Turuti apa mau Papa, Dar. Kamu tidak mau menjadi anak durhaka, kan?”
Dara hanya menggeleng lemah mendengar penuturan dari bundanya. Dia memilih bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju kamar, meninggalkan mama dan papanya di ruang keluarga.
“Gimana kalo Dara marah sama kita, Pa?” tanya Shira sambil menatap punggung Dara yang semakin menjauh.
“Mama tenang aja, kalo nanti udah bertemu, pasti Dara juga yang bahagia. Papa cuma memberikan surprise untuk Dara,” sahut Arya mengusap kepala istrinya lembut.
“Tapi ngasih surprise nggak begini caranya, Pa!”
“Sut, tenang aja, Dara nggak akan marah sama kita. Mama percaya aja dengan Papa,” ucap Arya menempelkan jari telunjuknya di bibir Shira.
Mau tak mau, Shira hanya mampu menggeleng lemah. Ia sebagai istri hanya bisa menuruti kemauan sang suami, selagi itu untuk kebaikan mereka dan anak-anaknya, walau Shira juga tak dapat membohongi hati bahwa ia tak rela melakukan ini pada si bungsu itu.
🌾🌾🌾
Perempuan yang tengah mengenakan piyama satu ini tengah duduk merenung sambil memandangi layar ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dengan kekasihnya, siapa lagi jika bukan Dara. Dia bingung, tindakan apa yang harus dia ambil sekarang. Air matanya tak hentinya mengalir dari pelupuk matanya, mengingat beberapa menit yang lalu.
Ceklek!
Suara pintu yang dibuka oleh seseorang mengalihkan perhatian Dara. Dia menoleh ke arah pintu kamar, dan mendapati sang kakak, Dira, sedang berjalan menghampirinya.
Setelah Dira duduk di ranjangnya, Dara segera memeluk kakaknya erat.
“Dara harus apa, Kak?” tanya Dara, dia terisak di pelukan kakaknya.
“Dara, lepas dulu pelukannya, perut Kakak tertekan nih,” ucap Dira, menarik kedua bahu Dara sedikit ke belakang.
“Maaf, ya, Dek. Aunty Dara tidak sengaja.” Dara menghapus air matanya, lalu mengusap pelan perut kakaknya yang sedikit membesar, sebab kakaknya sedang mengandung yang usianya sudah lima bulan.
Dira mengangguk lalu mengusap rambut Dara lembut. “Dara jangan nangis. Kakak tau, Papa dan Mama nggak mungkin jodohin Dara sama pria sembarangan. Papa dan Mama pasti menjodohkan Dara dengan pria yang baik-baik. Dara turuti kata Papa sama Mama, ya? In syaa Allah, Dara bakalan bahagia sama pria yang nanti bakalan jadi suami Dara.”
“Tapi, Kak. Dara nggak mau putus dengan Stevan, Dara sayang dengan Stevan, Kak,” ucap Dara, menahan isakannya.
“Kalo seandainya Dara sama Stevan berjodoh, kalian pasti akan bersatu, bagaimanapun keadaannya. Dara nggak mau buat Papa dan Mama kecewa karena Dara menolak perjodohan ini, ‘kan?”
Dara hanya menunduk sambil menggeleng, dia mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Saat ini, dia dihadapkan oleh dua pilihan yang sama-sama sulit untuk dipilih salah satunya.
Dara sangat menyayangi Stevan, yang notabenenya adalah kekasihnya, dia tidak ingin putus dari Stevan. Namun, di sisi lain, dia juga tidak ingin membuat orang tuanya kecewa kepadanya. Bagaimanapun, orang tuanya adalah kedua orang yang sangat dia sayangi, lebih dari apa pun di dunia ini.
“Terus Dara harus gimnaa, Kak?” tanya Dara frustasi, matanya menatap pada kakaknya yang juga tengah menatapnya.
“Turuti apa mau Papa, ya. Bukannya Kakak nggak dukung kamu sama Stevan. Kakak dukung, bahkan banget, karena Kakak tau kalo kamu bahagia sama Stevan. Kakak tau kalian sama-sama saling mencintai, tapi bagaimanapun, kamu sebagai anak harus menuruti apa yang dikatakan oleh orang tua kita. Mereka cuma mau yang terbaik buat kamu, dan Kakak juga ingin yang terbaik buat kamu, Sayang.
“Kakak pengin lihat kamu bahagia, Kakak sayang sama kamu. Sekarang hal yang paling berharga di hidup Kakak hanya Papa, Mama, kamu, juga anak yang ada dikandungan Kakak, setelah Mas Angga pergi,” tutur Dira dengan air mata yang menetes dari pelupuk matanya.
Air mata Dara ikut mengalir, dia ikut sedih atas kesedihan kakaknya. Dia ingat bagaimana susahnya Dira berjuang agar tidak terus larut dalam kesedihan.
Angga Mahardika, sosok yang sangat dikagumi oleh kakaknya, begitu pun sebaliknya. Mereka menikah satu setengah tahun yang lalu. Angga sangat menyayangi Dira. Keluarga kecil mereka terlihat sangat harmonis, dikarenakan saling menyayangi satu sama lain. Namun, nahasnya mereka tidak ditakdirkan untuk menghabiskan sisa umur mereka bersama. Angga mengalami kecelakaan parah, yang menyebabkan nyawanya tidak tertolong. Saat itu Dira sedang mengandung anak mereka yang baru berumur dua bulan.
Dara mengusap pelan punggung Dira. “Kakak jangan sedih, Dara akan selalu ada untuk Kakak, dan jagoan ini juga pasti akan mendukung mamanya.” Dira tersenyum sambil mengusap perut Dira.
“Tante yakin kamu akan jadi sosok yang kuat seperti mama kamu, Nak,” gumam Dara masih mengusap perut Dira lembut. “Eh, dia ngerespons, Kak!” lanjut Dara dengan tersenyum semringah saat merasakan tendangan dari perut kakaknya.
Senyuman Dara menular ke Dira. Dia ikut tersenyum, akhirnya adiknya itu tidak sedih lagi. Dia ingin selalu bisa melihat senyum adiknya, baginya bahagia adiknya adalah bahagianya.
“Sekarang kamu tidur, ya. Pikirin ini semua baik-baik. Kakak keluar dulu. Nice dream, Sister,” ucap Dira sambil mencolek hidung Dara.
Dara hanya tersenyum menatap ke arah kakaknya yang berjalan keluar kamarnya. Dia mulai merebahkan tubuhnya lalu memejamkan mata, memasuki mimpi indahnya. Dara berharap semua ini hanyalah mimpi. Ya, mimpi yang semoga saja tak menjadi kenyataan. Namun, sekali lagi, harapan hanyalah tinggal harapan. Sebab kenyataan sudah menanti di hari mendatang.
🌾🌾
To be continued ....
Baca aja dulu, kalau suka baru vote😉
Happy Reading All🌾
Kring-kring-kring!
Dara meraih jam beker yang berada di atas lemari kecil dekat ranjangnya dengan mata yang masih terpejam, lalu mematikannya. Wanita itu mengerjapkan matanya, lantas dia melirik jam beker yang berada di tangan kirinya, yang ternyata sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Dara meletakkan kembali jam bekernya ke tempat asal, lalu turun dari ranjang. Kaki jenjangnya membawanya melangkah menuju balkon. Dara menyibak gorden, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya lewat celah-celah jendela yang tidak tertutup.
Dara menghirup napasnya dalam-dalam, seolah tiada hari esok. Dia ingin menetralkan pikirannya barang sejenak. Dara terlalu pusing memikirkan apakah dia harus memutuskan hubungannya dengan Stevan dan perjodohan ini agar membuat kedua orang tuanya bahagia dan tidak membuat mereka kecewa?
Ah, memikirkan itu membuat mood Dara menjadi buruk. Dia sedang dilanda kebimbangan, apa yang harus dilakukannya sekarang? Seseorang, tolong beri saran terbaik untuknya!
Tak mau larut dalam keputusan yang masih abu-abu, Dara berbalik, kembali melangkah. Dia menyambar handuk yang berada di gantungan dekat lemari, kemudian melanjutkan langkahnya memasuki kamar mandi.
Setengah jam kemudian, akhirnya Dara telah rapi dengan celana jeans berwarna biru yang dipadukan dengan sweter abu-abu. Oh, ya, jangan lupakan sneaker yang juga berwarna abu-abu. Dara mengambil tas juga beberapa buku materi hari ini.
Dara mulai menuruni anak tangga. Dia berjalan menghampiri keluarganya yang sudah siap di meja makan.
“Pagi, Ma, Pa, Kak Dira!” sapa Dara sambil meletakkan buku yang dia bawa di atas kursi yang kosong.
“Pagi, Sayang!” sahut Shira, dia meletakkan segelas susu cokelat di depan Dara, dan segelas susu hamil rasa stroberi di depan Dira.
“Minggu depan kita akan melaksanakan makan bersama dengan calon suamimu di restoran, Dar,” ucap Arya melirik sekilas ke arah anak bungsunya lalu menyesap kopinya.
Senyum di bibir Dara luntur. Baru saja Dara ingin melupakan tentang perjodohan itu, papanya sudah terlebih dahulu membahas.
“Iya, Pa,” sahut Dara tak bersemangat.
Ingin rasanya Dara menolak perjodohan ini. Bahkan, rasanya ingin kabur jika papanya masih bertekad menjodohkannya dengan anak teman papa yang bahkan tidak dia ketahui namanya. Namun, sejauh apa pun Dara kabur, Arya pasti akan menemukannya.
“Jangan coba-coba kamu kabur, Nak. Ke mana pun kamu akan pergi, tempat kembalimu adalah di sini,” ujar Arya lagi.
Dara hanya mengangguk sekilas lalu mulai memakan nasi goreng ayam yang telah disiapkan mamanya.
“Papa dan Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Papa dan Mama nggak akan menjodohkan kamu dengan pria sembarangan, Sayang,” ucap Shira yang duduk di sebelah Dara sambil mengusap rambut yang berwarna cokelat kepirangan milik Dara, persis seperti warna rambut suaminya.
“Dara ngerti, Ma.”
“Sudah-sudah, ini masih pagi, lebih baik kita sarapan dulu, adeknya sudah lapar,” ucap Dira yang sedari tadi hanya menyimak obrolan mereka.
Setelahnya tak ada lagi obrolan yang mereka lontarkan. Mereka tampak asik dengan pikiran masing-masing.
“Pa, Ma, Kak Dira, Dara berangkat duluan, ya, soalnya Dara ada jadwal pagi ini jam delapan nanti,” ucap Dara mengambil bukunya lalu bangkit dari duduknya menyalami kedua orang tuanya dan Dira.
“Hati-hati di jalan, Nak!” ucap Arya sembari mengecup kening putri bungsunya.
“Iya, Pa. Dara berangkat dulu, assalamualaikum!” pamit Dara lalu melangkah keluar rumah.
...🌾🌾🌾...
Dara memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Dia segera keluar dari mobil lalu berjalan menyusul kedua temannya, Eva dan Alden, yang sudah berada di kantin.
Sesampainya di kantin, Dara meletakkan tasnya di bangku kosong lalu menyeruput jus alpukat yang telah dipesankan oleh Eva.
“Lo kenapa, Ra?” tanya Eva melirik Dara yang duduk di sampingnya.
“Iya, nggak biasanya muka lo kusut gitu, lo lagi ada masalah?” Alden ikut bertanya.
Dara hanya menggeleng pelan sambil menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan di atas meja.
“Ra, kalo lo ada masalah cerita sama kita. Kita pasti bakalan jadi pendengar yang baik buat lo,” ucap Alden tersenyum tulus sambil menepuk pundak Dara.
“Iya, Ra. Lo kayak sama siapa aja. Kita ini udah sahabat dari SMA. Masa lo nggak percaya sama sahabat lo sendiri. Jangan nyimpen masalah lo sendiri, kita selalu ada buat lo, Ra,” tutur Eva bijak.
Dara mendongak, menatap satu per satu wajah sahabatnya, kemudian tersenyum.
“Makasih, ya, kalian selalu ada buat gue. Gue beruntung banget punya kalian.”
“Itulah gunanya sahabat, sekarang lo cerita sama kita, lo lagi ada masalah apa?” tanya Alden kembali.
“Gue bingung, gue harus gimana?”
“Kita nggak bakalan bisa ngasih solusi, kalau kita aja nggak tahu apa masalah yang sedang lo hadapi,” sahut Eva sewot.
“Hehe, iya juga, ya.” Dara menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Jadi?”
“Bokap gue mau jodohin gue sama temannya,” ucap Dara, mengembuskan napas lelah.
“What? Teman bokap lo, udah tua dong?” tanya Eva spontan.
“Eh ralat, maksud gue anaknya teman bokap gue.”
“Terus lo terima dijodohin?” tanya Alden
Dara menggeleng. “Gue belum tau, minggu depan keluarga gue bakalan makan malam sama keluarga dia, yang bahkan gue aja nggak tau siapa dia.”
“Lo ikutin aja keinginan bokap lo dulu. Nanti waktu makan malam, lo lihat, yang mau dijodohin sama lo itu ganteng apa nggak. Kalau misalnya ganteng, lo terima aja, kalau jelek, lebih baik lo tolak ... aduh.” Tiba-tiba Eva mengaduh, sebab seseorang menjitak jidatnya.
“Sembarangan kalo ngomong. Kasih saran teman itu yang benar. Jangan dengerin omongan Eva, Dar!” tegur Alden yang membuat Eva mencibir pelan.
Dara hanya tertawa melihat kelakuan dua sahabatnya yang jarang sekali akrab itu.
“Terus keputusan lo gimana?” tanya Alden.
“Gue bingung, di satu sisi gue nggak pengin buat orang tua gue kecewa karena gue nolak perjodohan ini, di sisi lain gue juga nggak mau mutusin Stevan karena gue sayang banget sama dia,” sahut Dara mengaduk jusnya asal.
“Saran gue sih, lebih baik lo turutin apa mau bokap lo, Dar. Bagaimanapun juga, mereka pasti pengin yang terbaik buat lo. Untuk urusan Stevan, kalo memang kalian berjodoh, pasti bakalan ada cara untuk kalian bersatu,” tutur Eva memberikan petuah.
“Nah, untuk kali ini gue setuju sama Eva,” sambar Alden menyeruput jus jeruk miliknya yang tersisa setengah.
Dara bingung, kenapa semua orang mendukungnya untuk menerima perjodohan ini, dengan begitu secara tidak langsung sama saja mereka meminta Dara untuk putus dengan Stevan. Oh God, ujian apa yang sedang kau berikan pada Dara?
“Udah, nggak usah terlalu dipikirin. Mending kita sekarang ke ruangan, bentar lagi ada kelas,” ucap Alden menepuk pelan pundak Dara dan beranjak dari duduknya.
Benar kata Alden, Dara tidak usah terlalu pusing memikirkan masalah perjodohan ini. Yang harus dia pusingkan adalah masalah skripsinya yang sudah sampai bab akhir, hanya tinggal menunggu accede dari dosen pembimbingnya saja. Ya, sekarang Dara sudah semester akhir.
Mengingat perkiraan beberapa bulan lagi dia akan wisuda dan mendapatkan gelar sarjana, ingat hanya perkiraan, dan semoga saja dia bisa lulus cepat. Dara sangat ingin mendapatkan IPK dengan nilai tinggi, dia ingin menjadi seperti kakaknya yang selalu mendapat nilai A hampir di setiap materi kuliahnya dulu.
To be continued ....
Baca aja dulu, kalau suka baru vote😉
Happy Reading All🌾
Setelah tiga jam lamanya mengikuti materi yang disampaikan oleh dosen, akhirnya kelas telah selesai. Dara segera membereskan semua peralatan tulis dan memasukannya ke dalam tas.
“Woi, gue keluar duluan, ya!” pamit Dara kepada kedua sahabatnya.
“Mau ke mana lo?” Alden bertanya sambil memasukkan buku tebal ke dalam tas.
“Gue mau ketemu Stevan. Dah ah, bye, gue duluan.” Tanpa menunggu jawaban dari kedua sahabatnya, Dara segera keluar kelas menuju kantin karena Stevan sudah berada di sana menunggunya.
Sesampainya di kantin, Dara celingukan mencari keberadaan kekasih hatinya itu. Lantas, netra cokelatnya menangkap sosok yang dicarinya sedang duduk di pojok kantin. Dengan langkah santai dan juga senyum yang terpatri di wajahnya, Dara menghampiri Stevan.
“Hai, udah lama?” tanya Dara, membuka pembicaraan sambil mengambil duduk di kursi depan Stevan. Perempuan itu lebih dulu meletakkan tasnya di atas kursi yang kosong, kemudian memfokuskan perhatiannya pada pria tampan di hadapannya itu.
Stevan menggeleng. “Kalau nungguin kamu nggak bakalan lama, Sayang.”
“Kamu mah gombal mulu,” cibir Dara. Perempuan itu melipat tangannya di atas meja usai meletakkan tasnya di atas kursi yang kosong.
“Nanti masih ada kelas?”
Dara mengangguk. “Iya, masih ada satu materi lagi, perkiraan nanti keluar kelas jam satu siang. Padahal udah semester akhir, tetap aja dikasih materi mulu sama para dosen.”
“Hei, jangan ngeluh dong, katanya mau cepat lulus, terus kita nikah. Dosen ngasih materi, kan buat kamu juga, Sayang. Buat persiapan menjalankan sidang yang bakalan kita hadapi setelah selesai skripsi,” tutur Stevan mengusap pelan rambut Dara.
Dara hanya terdiam, menikah dengan Stevan? Benarkah? Atau dirinya yang akan menikah dengan pria pilihan orang tuanya? Atau sebaliknya?
Dara menatap lekat manik mata Stevan. Mata yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Mata teduh yang selalu membuat Dara merasa nyaman berada di dekatnya. Dara tersenyum, lebih tepatnya tersenyum hambar. Kenapa papanya tak menyuruhnya menikah dengan Stevan saja? Stevan juga pria yang baik, bahkan sangat.
Jika disuruh menikah dengan Stevan, tanpa pikir dua kali pun Dara pasti akan menyetujuinya. Namun, nyatanya sang papa lebih memilih menjodohkan Dara dengan anak temannya. Huh, ini menyebalkan, tetapi Dara bisa apa? Menolak keinginan papanya? It's impossible.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Stevan dengan nada khawatir sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Dara.
Dara mengerjapkan matanya kaget.
“Hah, kenapa? Kamu tadi tanya apa?”
“Kamu lagi mikirin apa, sampai-sampai aku panggil dari tadi kamunya nggak dengar?” tanya Stevan memandang wajah ayu nan manis milik kekasihnya.
“Hah? Oh, aku cuma lapar,” jawab Dara sekenanya.
“Ya udah kamu mau makan apa, nasi goreng atau mi ayam?”
“Mi ayam aja, soalnya aku udah makan nasi goreng tadi pagi.”
“Ya udah, kamu tunggu sini, biar aku yang pesanin.” Dara mengangguk, Stevan mulai bangkit dari duduknya untuk memesankan makanan untuk Dara.
Dara menunduk, menyembunyikan wajahnya pada rambut yang sengaja dia gerai.
Oh God, begitu susahnya aku untuk melepaskan Stevan dari genggamanku. Dia pria baik dan dia adalah pria yangku sayangi setelah Papa. Semoga kita berjodoh, Van, batin Dara.
Tak lama kemudian, Stevan kembali dengan membawa satu mangkok mi ayam juga es jeruk untuk Dara lalu meletakkan di atas meja.
“Kamu nggak makan?” tanya Dara saat hanya melihat satu mangkok mi ayam tersaji didepannya.
Stevan menggeleng. “Aku tadi udah makan sebelum kelas. Kamu makan aja, aku tungguin kamu di sini.”
Dara hanya mengangguk lalu mulai mengaduk mi ayamnya hingga menimbulkan asap-asap tipis.
“Nanti selesai kelas mau jalan, nggak?” Dara mendongak, menatap Stevan tanpa membuka suara, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. “Ke danau favorit kita, udah lama kita nggak ke sana,” lanjut Stevan.
Dara mengangguk kemudian menelan makanan yang sudah dikunyahnya. “Boleh, lagian aku juga perlu refreshing. Untungnya skripsi punyaku sebentar lagi selesai, tinggal nunggu di-accede. Terus sama nunggu waktu sidang aja.”
“Selesaikan makan kamu,” ucap Stevan tersenyum kepada Dara.
Lagi-lagi Dara hanya mengangguk, dia menyeruput pelan jusnya dan melanjutkan kembali menyantap mi ayamnya.
Selama Dara makan, yang Stevan lakukan hanya memandangi wajah Dara dengan pipi yang menggelembung karena mengunyah makanan. Semakin hari, aura kecantikan makin mengguar dari wajah Dara dan itu membuatnya semakin menyayangi wanita itu.
Dara mendongak, menatap Stevan yang masih saja asik memandangi dirinya. Tiba-tiba Dara mengusapkan telapak tangannya ke wajah Stevan.
“Jangan ngelihatin mulu, aku nggak bakalan hilang.”
Stevan tertawa pelan sambil menepuk puncak kepala Dara. “Habisnya kamu cantik, sih. Jadi aku betah ngelihatinnya. Apalagi kalau nanti kita nikah, aku pasti bakalan bisa lebih sering lihatin wajah cantik kamu.”
Dara kembali terdiam, kenapa perkataan Stevan membuatnya sulit untuk mengambil keputusan? Kenapa, akhir-akhir ini Stevan selalu membahas tentang pernikahan? Waktunya tersisa enam hari, dan dalam enam hari itu, dia sudah harus memiliki jawaban.
Kebimbangan terus merajalela di hatinya sejak kemarin malam. Sangat sulit bagi Dara untuk berpisah dengan orang-orang yang selalu memberi kebahagiaan tersendiri di hidupnya.
Kenapa takdir tak pernah berpihak kepadanya? Dara hanya ingin menikah dengan orang yang dia sayang. Namun, pernahkah terlintas dipikirannya, bahwa yang hadir belum tentu takdir? Pernahkah Dara berpikir, apakah dia akan selalu merasakan bahagia jika dirinya menikah dengan Stevan?
Ya Allah, kenapa engkau memberikan cobaan yang sulit untuk kupilih? batin Dara.
“Jangan ngelamun lagi, Sayang, nggak baik,” tegur Stevan pelan.
...🌾🌾🌾...
“Baik, saya rasa cukup sekian materi yang dapat saya sampaikan hari ini. Selamat bertemu di pertemuan selanjutnya,” ucap Pak Bima, dosen yang menyampaikan materi di kelas Dara.
Setelah Pak Bima keluar kelas, Eva dan Alden menghampiri Dara yang masih anteng duduk di bangkunya.
“Dara lo ikut nggak?” tanya Eva.
“Pada mau ke mana kalian?”
“Kita mau ke toko buku. Gue mau beli novel, buat refreshing otak biar nggak pecah karena terlalu mikirin skripsi,” sahut Eva.
“Enggak deh, gue soalnya udah ada janji sama Stevan. Kalian aja,” ucap Dara.
“Ya udah, kita duluan, ya, Ra,” pamit pria yang berdiri di sebelah Eva, siapa lagi kalau bukan Alden.
Dara hanya mengangguk, kemudian kedua orang itu mulai meninggalkan kelas, menyisakan Dara dan beberapa mahasiswa lainnya yang masih anteng duduk.
Merasa sudah selesai, Dara keluar dari kelas. Berjalan menghampiri Stevan yang sudah menunggunya di depan kelas.
“Jadi, ‘kan?” tanya Stevan saat Dara sudah berada di sampingnya.
Dara mengangguk. “Jadi dong, aku juga pengin ke sana.”
To be continued ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!