NovelToon NovelToon

Dilema Cinta Satu Malam

Bab 1

Airin terkejut ketika mendapati hasil tespeknya positif hamil. Padahal kelulusan sekolah tinggal 8 bulan lagi, baru saja masuk kelas 3 SMA. kurang 1 langkah lagi impiannya lulus dengan nilai terbaik lalu masuk ke Universitas Negeri impiannya akan terlaksana, namun hanya karena kesalahannya yang melakukan hubungan terlarang cinta satu malam bersama ketua kelasnya, kini Airin berada di titik 2 masalah terbesar dalam hidupnya.

Titik pertama, entah apa yang akan di lakukan orang tuanya jika mengetahui kabar mengejutkan ini datang dari putri yang selalu di banggakannya. Pikiran Airin langsung menjerumus tentang hal paling buruk yang akan dia alami, dirinya pasti akan di usir dari rumah dan di asingkan dari keluarga karena menjadi aib di keluarga mereka yang terkenal sebagai keluarga terhormat di lingkungannya sebab Ayahnya adalah kepala desa yang menjadi panutan untuk masyarakat di sekitarnya.

Titik kedua, Ayah dari bayi yang ia kandung adalah pacar sahabatnya yang bernama Angga. Sedang sahabat Airin yang menjadi pacar Angga adalah Mona, Mona gadis paling aktraktif dalam bidang olahraga. Gadis paling populer di sekolah yang sudah menjabat sebagai sahabatnya selama 11 tahun sejak duduk di bangku SD.

Hanya karena kebodohannya yang terperangkap dalam tatapan mata Angga selesai pesta ulangtahun Mona selesai dan pulang di antar oleh Angga, lalu di perjalanan motor yang mereka tumpangi mogok. Hujan deras juga tiba-tiba datang sampai keduanya berteduh di sebuah gubuk tua sementara dengan niatan menunggu hujan reda, malah membawanya pada akhirnya ke sebuah kisah cinta terlarang antara dirinya dan Angga.

'Astaga ...,' gerutu Airin, pada dirinya sendiri yang saat ini harus melewati kedua masalah itu sendirian.

Airin keluar dari toilet, dan satu orang teman masuk bergiliran menggunakan toilet. Airin dengan pandangan yang samar akibat seharian mual dan pusing saat ini menatap dirinya di depan cermin, sambil mencuci tangannya di wastafel. Menatap wajahnya yang kusam dan terlihat berantakan, tidak mencerminkan benar tentang dirinya yang terbiasa rapi dan manis.

Airin keluar dari kamar mandi dan bermaksud kembali ke kelas. Berjalan terhuyung-huyung melewati lapangan sekolahnya. Beberapa teman lainnya masih sibuk bermain Voli di lapangan karena saat ini masih jam olahraga. Namun, Airin meminta ijin kepada gurunya untuk beristirahat dengan alasan sedang tidak enak badan.

Tanda-tanda kekhawatiran ini sudah mulai ia rasakan dari satu setengah bulan yang lalu. Airin yang biasanya sangat bersemangat saat berangkat sekolah, akhir-akhir ini di landa rasa malas dan lelah yang berkepanjangan. Apalagi di tambah ketika mengetahui jika bulan ini belum datang bulan atau haid.

Airin menatap Angga dari kejauhan, hingga dengan insting yang sama-sama kuat tatapan mereka keduanya bertemu. Airin sejenak masih menatap sepasang mata coklat indah yang pernah membuatnya terbuai, Angga yang menyadari ada sesuatu hal yang terjadi dengan Airin akhirnya keluar dari lapangan dan berlari ke arah Airin.

"Ada apa?" tanya Angga, sambil menyentuh kening Airin. Airin bergegas menangkisnya dengan perasaan kesal.

"Kau sakit?" tanya Angga lagi.

Airin kali ini memilih menghindar saja dengan diam. Memikirkan langkah selanjutnya sendirian, agar tidak ketahuan dengan Mona. Ada rasa bersalah yang dalam karena telah membuat tinta merah di persahabatan yang sudah terjalin cukup lama antara dirinya dan Mona.

Angga masih mengikuti langkah Airin dari belakang. Mencoba mencari tahu permasalahan yang sedang di rasakan Airin, karena dirinya juga merasa tidak tenang setelah melakukan kesalahan pada malam itu, malam di mana keperjakaannya hilang pertama kalinya dengan gadis yang tidak di duganya sama sekali. Gadis yang saat ini membuatnya berdebar ketika bertemu.

Airin mempercepat langkah kakinya, berlari melarikan diri dari bayangan pria yang mengacau di dalam hidupnya. Untuk saat ini dirinya hanya butuh waktu untuk menenangkan diri.

Duduk di bangku kelas, menyangga kepalanya dengan kedua tangannya. Ada beberapa pemikiran negatif yang merasuki benaknya, salah satunya adalah melupakan hal yang sudah terjadi dan melakukan dosa kedua, yaitu melenyapkan nyawa di dalam perutnya.

"Tidak ..., jangan!" gumam Airin menggelengkan kepala dengan tegas, untuk membuang pemikiran jahat itu jauh di pikirannya.

"Bagaimana ini?" Gumam Airin lagi, kali ini menutup kedua matanya dengan tangan. menyeka air mata yang perlahan jatuh karena kebingungan harus berbuat apa.

Yang di hadapinya bukan hanya rasa malu, tapi rasa bersalah dan takut ketika nantinya bertemu dengan kedua orang tuanya untuk berkata jujur dengan kabar kehamilannya.

Tettt ...,

Bel sekolah pelajaran terakhir telah usai. Suara langkah kaki yang gemuruh datang masuk ke kelas maupun keluar dari kelas sedang beradu. Airin masih bergeming duduk di bangku sambil menarik nafas hingga membuat diafragma nya terangkat kuat, mengembang sempurna dan mengempis dengan rasa lega.

"Pulang, yuk!" ucap Mona yang berdiri di depan pintu kelas.

Airin menggigit bibirnya, bertemu Mona dan mendengar suara Mona saat ini juga seperti dentuman suara petir yang menakutkan. Rasa bersalah tepatnya, kesalahan yang cukup besar yang melukai sahabat yang telah menemaninya belasan tahun.

"Iya," jawab Airin, menarik tasnya hingga bersandar di bahu kirinya. Berjalan keluar kelas mendekati Mona sedang berjingkrak-jingkrak dengan senyum mengembang.

"Tahu nggak, hari ini gua seneng banget ..., mau tahu nggak kenapa?" ujar Mona.

"Kenapa?" tanya Airin penasaran.

"Orang tua Angga ngajak orang tua aku buat makan malam bersama besok, gila ..., mimpi apa gua kemarin?" balas Mona dengan senyum yang lebih mengembang, menari-nari memperagakan gerakan balet.

Airin tersenyum tipis membalas kabar itu, lalu jalan perlahan menuju gerbang sekolah.

Dan ketika sudah berada di depan pagar, antara dirinya dan Mona berpisah karena berbeda tujuan. Airin menoleh ke belakang, melihat Mona yang berlari ke arah Angga, menggandeng tangan Angga dan membahas sesuatu obrolan sampai terlihat Mona tersenyum lagi.

Sepasang mata yang mengintip itu ketahuan, ketika Angga juga menatap Airin dari jauh. Keduanya hanya bertatap mata tanpa kata, lalu berpisah di jalan masing-masing.

Ceklek ...,

"Assalamualaikum," ucap Airin memasuki rumah.

"Wallaikumsalam, Anak gadis Ibuk sudah pulang," sahut Ibunya.

Airin berjalan mencari sumber suara Ibunya yang tidak di temukan di ruang tamu.

"Buk, " ucap Airin, masih mencari.

"Ibuk di dapur, Rin." balas Ibunya.

Airin langsung menuju dapur. Ibunya tengah sibuk memasak makanan yang cukup banyak untuk acara arisan nanti malam di rumah. Airin berlari memeluk pinggang Ibunya dari belakang.

"Ada apa, dek?" tanya Ibunya. Ibunya yang selalu menganggap Airin anak kecil meski di usianya yang beranjak dewasa, membuat Airin terkadang malu. Namun, terkadang juga merindu jika ungkapan itu tidak terdengar di telinga sehari saja.

"Ibuk, Airin hamil," ungkap Airin langsung jujur, dan langsung tertunduk.

Bab 2

Ibunya yang terkejut dengan kalimat yang baru saja anaknya utarakan, langsung menjatuhkan sendok ketika sedang mencicipi masakan.

Ibunya menoleh, lalu mendorong pundak Airin.

"Jangan bercanda, dek!" ujar Ibunya.

Airin terdiam dan tertunduk, menarik kursi meminta Ibunya untuk duduk.

"Ibuk, Airin bingung," keluh Airin, lalu berlutut di depan Ibunya yang duduk di kursi. Ririn meraih tangan Ibunya, berharap pengampunan. Namun, Ibunya masih menganggap hal itu hanya candaan belaka.

"Udah jangan aneh-aneh! Ganti seragam dan makan!" gertak Ibunya, mencoba bangkit dari kursi. Airin berusia menahan dan tetap membuat Ibunya terduduk. Dengan derai air mata, Airin mencium tangan Ibunya di dalam pangkuan.

Kali ini Ibunya menangkis sentuhan Airin, ketika menatap putri bungsunya yang terlihat bersungguh-sungguh mengatakan hal yang hina ini.

Air mata yang keluar dari kepedihan seorang Ibu yang menyadari ketidak mampuannya untuk menjaga putri bungsunya. Perlahan turun tanpa jeda, menyekanya berulang kali namun masih gagal untuk menahannya.

"Matikan kompornya!" ucap Ibunya memerintah ketika mendengar suara letupan sayur yang matang dari panci. Airin bangkit dan melakukan perintah Ibunya.

Ceklek ....,

Setelah api itu padam, Ibunya bangkit dari kursi. Pergi menghindari Ririn dan memilih berdiam diri di dalam kamar. Menenangkan batinnya yang tengah risau, antara sedih, bingung, marah dan juga tidak tega terhadap kemalangan yang di sengaja di perbuat oleh putrinya.

"Buk," ucap Ririn, mengetuk pintu kamar Ibunya.

Airin berdiri di depan pintu dengan wajah memerah, mata sembab dan juga bertahan dengan air mata yang tak bisa di kendalikan untuk berhenti sejenak.

Bruakkk ..., Ibunya membuka pintu.

Airin masuk ke dalam dan langsung mengikuti langkah Ibunya. Ibunya bergegas segera mengunci pintu, menarik tangan Airin untuk membahas tentang hal serius ini. .

"Siapa Ayahnya, dek?" tanya Ibunya lirih.

Ririn menyeka air matanya untuk mendapatkan pandangan yang jelas di lihat.

"Teman ... kelas Airin, Buk." jawab Airin.

"Astaghfirullah, dek. Setan apa yang merasuki mu sampai berbuat sejauh itu. Bagaimana jika Ayahmu tahu? bukan hanya kamu yang akan di telan hidup-hidup oleh Ayahmu. Tapi Ibuk juga pasti akan di salahkan karena salah mendidik mu. Lalu, mas mu pasti juga akan marah besar. Tega sekali kami dek, buat Ibu risau seperti ini," Ungkap Ibunya sambil mondar-mandir di depan Airin yang sedang duduk.

Airin hanya dapat tertunduk dan tak berani menyanggah kemarahan Ibunya.

"Siapa temanmu itu! katakan pada Ibuk!" gertak Ibunya dengan nada lirih, takut jika Anak tertua atau Suaminya tiba-tiba pulang dan mendengar.

"Pacarnya Mona, buk." jawab Airin.

"Astaghfirullah, Pacarnya Mona. Astaghfirullah, bisa-bisanya kamu melakukan itu pada Mona temanmu dan juga sudah Ibu anggap sebagai keluarga kita. Ibu rasanya ingin menelanmu!" gertak Ibunya, sambil mencubiti pundak dan punggung Airin. Airin hanya bisa pasrah mendapatkan kesakitan itu.

Sesaat Ibunya terdiam, menarik nafas mencari ketenangan dan mencari solusi untuk masalah yang sedang di hadapi Airin.

"Pria itu tahu jika kau hamil?" tanya Ibunya. Ririn menggelengkan kepalanya dengan tenang, sambil matanya menatap Ibunya.

"Kenapa kamu tidak katakan?" tanya Ibunya dengan nada gertakan.

"Airin bingung harus berkata kepada Mona juga bagaimana, buk. Airin hanya masih mengatakan hal ini kepada Ibuk, karena Airin bingung dan panik." jawab Airin.

Ibunya berdecak kesal, dan memukul punggung Airin dengan kepalan tangan berulang kali, hingga Airin mencoba menghindar pada akhirnya.

"Ibuk bisa gila mikirin ini, belum kelar mikirin pernikahan kakakmu yang sebulan lagi akan datang, sekarang juga mikirin kamu yang hamil," gerutu Ibunya.

Bruakkk ...,

Ayahnya yang diam-diam menguping pembicaraan istri dan anak gadisnya dari balik pintu langsung terkejut dan mendobrak pintu. Ririn dan Ibunya juga sama kagetnya dengan kedatangan Ayahnya tiba-tiba.

"Hamil!" teriak Ayahnya, lalu melempar peci ke muka Airin secara reflek.

Ibunya mundur dan keluar dari kamar, kali ini membiarkan sang kepala rumah tangga menyelesaikan masalah putrinya.

"Kamu sudah tidak waras, Astagfirullah ..., Airin. Innalilahi wa innailaihi rojiun," ungkap Ayahnya, berkacak pinggang di depan muka Airin. Airin mendongak sebentar lalu kembali tertunduk.

"Airin kamu bikin malu saja! Siapa Ayah anak yang kau kandung?" teriak Ayahnya.

"Angga, yah. Teman Airin," sahut Airin lirih.

Plakk ...,

Satu tamparan melayang di pipi kanan Airin, hingga membuat Airin jatuh terkapar karena tak mampu menopang dirinya ketika mendapatkan tamparan keras dari Ayahnya.

Airin masih tertunduk dengan linangan air mata yang membasahi baju seragamnya. Airin mencoba bangkit dan duduk kembali, sambil memegang pipi kanannya yang kesakitan.

"Dasar bodoh, anak tidak tahu diri, anak bikin aib saja keluarga. Sudah tahu Ayahnya adalah kepala desa ... Apa kata orang jika mereka tahu kamu hamil? Bikin malu saja!" gertak Ayahnya tanpa jeda sambil matanya menatap Airin dengan tajam.

"Siapa pria itu! bawa kesini, sekarang!" teriak Ayahnya sampai memekik di telinga.

"Airin ... tak ... kut yah," sahut Airin dengan terbata-bata.

"Pergi! bawa pria itu kemari! jika tidak, jangan pernah kembali lagi kerumah ini!" gertak Ayahnya, lalu menarik tangan Airin keluar dari pintu kamar hingga membuat Airin tersungkur.

Airin masih bergeming duduk di lantai, dengan pikiran yang carut-marut. Tidak ada keberanian untuk datang di depan keluarga Angga sendirian untuk membahas hal ini.

Airin menoleh ke belakang, melihat Ibunya yang menatapnya dari kejauhan lalu berpaling muka seakan juga tak mau ikut campur jika sudah Ayahnya marah. Airin sudah berada di satu titik mengungkapkan kejujuran kepada orang tuanya, namun sekarang harus berpikir ke dua hal lainnya. Yaitu jujur dengan Mona sahabatnya dan mengatakan kehamilan ini pada Angga secara terang-terangan.

Airin bangkit, berjalan dengan terhuyung-huyung ke kamarnya. Pikiran dan batinnya carut-marut. Raganya terombang-ambing dalam kehinaan, jujur dengan orang tuanya tidak mengurangi kerisauannya malah menambah rasa kalut.

Mengurung diri di dalam kamar adalah hal yang bisa di lakukan untuk gadis hina yang sudah merusak kepercayaan dan martabat orang tuanya, itu saat ini Airin lakukan.

Matanya menatap sekeliling sudut kamar, melihat satu persatu buku pelajaran tersusun rapi di meja. Alat tulis barunya juga masih bergeletakan di meja belum sempat Airin tata.

"Apa aku bunuh diri saja biar semua masalahku hilang?" Tanya Airin berperang dengan batinnya, lalu di akhiri dengan Isak tangis.

'Jika Angga tahu, Apa dia akan menikahiku?' tanya Airin kembali pada batinnya, mencari jawabannya sendiri karena takut untuk menerima kenyataan dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Satu, harus menanggung malu jika harus bertemu dengan orang tua Angga dan berterus terang jika dirinya butuh pengakuan jika anak yang di kandungnya adalah anak Angga.

Dua, Bagaimana jika Angga tidak mengakui hubungan satu malam itu yang membuahkan anak di perut Airin. Karena mereka tidak pernah terjalin hubungan serius sebelumnya.

Tiga, Memikirkan cara untuk bisa mengatakan kabar ini kepada Mona. Mona Sahabat Airin dan juga masih menjadi pacar Angga, akankah Mona akan memaafkan Airin dengan kehinaan ini?

Tiga hal yang saat ini berterbangan bagaikan kunang-kunang di kepala Airin. Nafasnya berat, langkahnya juga berat.

Airin mengepalkan tangan dan memukul perutnya berulang kali, menangis sepanjang malam karena tidak menemukan titik di mana harus memulai mengurus masalah pelik ini.

Semua impian yang terlukis di pikiran selama bertahun-tahun untuk bisa masuk ke Universitas Negeri hingga sarjana tingkat 1, lalu melanjutkan S2 di Oxford harus kandas hanya karena tatapan mata dari Angga yang meluluhkan hatinya hingga mau merelakan kesuciannya untu Pria yang seharusnya cukup dia sukai diam-diam.

Sudah 3 tahun memendam rasa suka pada pria milik sahabatnya. Padahal sudah berhasil berjalan sejauh ini hanya untuk merasakan cinta sendiri, dan harapannya setelah lulus tidak akan bertemu lagi dengan Angga, lalu dengan berjalannya waktu Airin berpikir juga akan melupakan Angga.

Takdir berkata lain, saat ini benih cinta sembunyi itu berada di dalam tubuhnya. Darah yang sama dari Angga mengalir ke tubuh bayi yang kemungkinan berusia 8 Minggu, setelah Airin mencoba mengira dari hari terakhir haidnya.

Airin meringkuk di dalam kamar semalaman, tidak ada rasa lapar dan dahaga di rasakan, hanya ada kerisauan yang menyelimuti malam yang dingin. Perlahan memejamkan mata, berusaha agar otaknya beristirahat sebentar.

Suara musik kajian dan beberapa suara warga sekitar yang datang ke rumahnya mulai terdengar, acara arisan atau kumpul-kumpul para warga sekitar yang saat ini bertepatan di rumahnya seperti sudah terlaksana. Musiknya perlahan membuat Airin terbawa dalam suasana untuk terlelap tidur. Ayahnya tak akan mengusik pertanyaan lagi kepadanya karena tengah sibuk dengan acaranya.

Cit ... Cit ... Cit ...,

Suara kicauan burung yang mampir di jendela membangunkan mimpi buruk.

Airin bangun dan tersadar jika ini semua bukan hanya mimpi ketika menatap dirinya yang masih memakai seragam olahraga dari sore kemarin saat pulang sekolah sampai di bawanya tidur.

Bruakkk ...,

Pintu kamarnya di buka dengan lebar oleh kakak laki-lakinya yang bernama Ikmal. Airin menatap raut kekesalan kakaknya terhadap dirinya.

"Bangun! setelah itu temui Ayah, Ibu dan kakak di ruang tamu!" ucap Kakaknya dengan nada ketus.

Bab 3

Airin mengucek matanya berulang kali untuk membangunkan kesadarannya.

Bangkit dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menemui keluarganya di ruang tamu.

Membasuh tubuhnya, yang saat ini bagi Airin terkesan menjijikkan karena sudah tidak suci lagi. Lagi dan lagi Airin memukul perutnya berulang kali hingga kesakitan sendiri.

Setelah 1 jam an di kamar mandi, Airin keluar memakai baju lengan panjang dan rok panjang se tumit, lalu memakai jilbabnya dan menatap dirinya sekilas di cermin sebelum bertarung dengan batin yang akan lebih membuatnya tersiksa lagi.

Airin masih menatap dalam dirinya, mencari tahu sebenarnya apa yang membuat dirinya waktu itu benar-benar terbuai oleh tatapan dan sentuhan Angga.

'Apa karena aku sebenarnya benar-benar ingin memilikinya?' tanya Airin pada dirinya.

'Apa karena merasa akulah yang pantas sebenarnya bersama Angga daripada Mona, atau karena aku ingin membuktikan Angga bisa terjerat juga dengan tatapanku?' gumam Airin lagi.

'Ya Allah, hina nya diriku saat ini di hadapan-Mu,' keluh Airin, lalu menutup matanya dengan kedua tangan, menyingkir dari cermin yang membuatnya terus menyalahkan diri sendiri.

Airin menyeka air matanya yang tumpah, menarik nafasnya dalam-dalam untuk menguatkan hati.

Airin keluar dari pintu kamarnya, dengan debaran jantung yang begitu cepat akhirnya bertatap muka lagi dengan kedua orang tuanya.

"Bagaimana dengan pria itu?" Tanya Ayahnya tegas. Ririn hanya tertunduk karena belum memutuskan sesuatu hal.

"Jawab!" gertak Ayahnya.

"Airin belum menemui Angga," sahut Airin lirih.

"Bodoh! Mau kamu bawa kemana kehamilan mu!" Gertak Ayahnya lagi, Airin perlahan menatap raut muka Ayahnya, lalu matanya berkeliling menatap Ibunya yang sedang diam sambil memegang dadanya, Kakak laki-lakinya juga hanya diam dengan tatapan kesal.

"Ayo, antar Kakak kerumahnya!" ucap Kakaknya bangkit, dan akan melangkah. Ayahnya merentangkan tangan kanannya, menahan Ikmal mendekat, Ikmal pun tertahan.

"Biar dia selesaikan urusannya! Dia sudah dewasa sudah harus tahu, Apa yang akan dia lakukan?" sahut Ayahnya.

"Pergi dari rumah ini! Jangan kembali sampai kau bawa laki-laki itu di hadapan Ayah!" Gertak Ayahnya lalu bangkit dari tempat duduk dan menghindar. Ririn berusaha menahan langkah Ayahnya dengan bersimpuh di kedua kaki Ayahnya.

"Maafkan Airin, yah ...," ucap Airin, memegang kaki kiri Ayahnya sambil mendongak mencari pandangan mata Ayahnya.

"Pergi! Jangan kembali sebelum kau bawa laki-laki itu!" gertak Ayahnya, mendorong tubuh Airin dengan kakinya lalu melangkah kembali ke kamar.

Airin tertunduk dan masih berlutut menatap langkah kaki Ayahnya yang menjauh, Ibunya mendekat namun tidak mengatakan apapun hanya mengikuti langkah Ayahnya kembali ke kamar. Airin menoleh ke belakang, melihat Kakaknya duduk di sofa dengan raut kesal.

"Seharusnya dipikir dulu sebelum berbuat!" gertak Kakaknya mendekat, namun hanya menekan kening Airin dengan keras. Airin diam tanpa membela diri.

Airin bangun dan berjalan keluar rumah dengan tangan kosong, di pikirannya saat ini hanya ingin menemui Angga dan berterus terang dengan apa yang terjadi pada dirinya. Karena ini hari Minggu, kemungkinan besar Angga ada di rumahnya. Airin segera bergegas.

Butuh waktu 30 menit untuk berjalan kaki menuju rumah Angga. Seperti orang bodoh, Airin memilih berjalan panjang daripada menggunakan jasa ojek untuk mengantarnya. Pikirannya kacau, tak terbesit apapun untuk membawa uang dari kamarnya.

"Kamu kok sampai sini?" tanya Mona yang datang mengejutkan dari belakang. Airin menoleh sambil menyeka air matanya.

"Kamu kenapa Rin? Astaga, ada apa?" ujar Mona terus bertanya sambil menarik naik turun tangan kanan Airin dengan wajah panik.

"Mon, aku harus bagaimana ..., aku bingung," jawab Airin.

"Bingung kenapa? lantas kamu mau akan kemana ini?" tanya Mona lagi, sambil menoleh kanan kiri depan belakang.

"A ... a ... ku mau kerumah Angga," jawab Airin.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan Angga sampai kamu bela-belain kesini jalan kaki?" tanya Mona lagi dengan panik, lalu menyuruh Airin duduk. Untung saja tepat di depan mereka ada bangku panjang kosong. Mona membawa motornya menepi, dan mengikuti langkah Airin dari belakang. Setelah sampai di depan bangku kosong dan Airin duduk, Mona memakirkan motornya dan mendekat duduk di samping Airin.

Airin menatap Mona beberapa saat, lalu memeluk Mona dengan erat sambil menangis. Mona mencoba menenangkan kegelisahan sahabatnya dengan menepuk punggung Airin lembut.

"Mon, aku hamil," ucap Airin lirih.

Mona yang terkejut mendengar pernyataan dari Airin lalu menarik kedua pundak Airin.

"Hah ..., kok bisa? dengan siapa?" tanya Mona dengan raut muka terkejut.

Airin tertunduk dan masih berderai air mata, tak sanggup untuk mengutarakan kalimat yang akan membuat Mona hancur.

"Katakan!" ucap Mona dengan keras.

"Maafkan aku, Mon. Aku yang bodoh. Aku takut dan malu untuk mengatakannya," jawab Airin yang masih tertunduk.

"Angga, Mon ...," imbuh Airin lalu mengangkat kepalanya dan menatap Mona. Mona yang terkejut dengan jawaban itu langsung terperanjat dan mundur hingga hampir terjatuh ketika berada di ujung sisi bangku.

Mona tak bisa berkata apa-apa, lalu berdiri dan mondar-mandir menatap Airin dengan raut kesal.

Airin terdiam dan tidak menambah kalimat lagi untuk memperjelas awal mula terjadinya perbuatan hina itu. Sedang Mona juga ikut diam, sambil terdengar berdecak kesal berulang kali.

"Kapan kalian lakukan?" tanya Mona, kali ini mendekat.

Airin mendongakkan kepalanya, dan menatap Mona.

"Malam saat Angga mengantarku pulang usai pesta ulang tahunmu kemarin," jawab Airin, lalu tertunduk lagi.

"Hah ..., kalian gila. Alih-alih memberikan hadiah yang indah malah kalian berbuat gila di belakangku. Pasti kamu kan yang memulainya?" ujar Mona dengan ketus.

Airin terkejut dengan kecurigaan Mona, lalu mendongakkan kepalanya lagi.

"Aku tidak tahu, semua terjadi begitu saja." balas Airin.

"Sialan! Dasar murahan!" gertak Mona lalu mendorong pundak kanan Airin dengan geram.

"Aku sudah menduganya, kamu menyukai pacarku diam-diam dan menjebaknya kan!" gerutu Mona, lalu menatap tajam mata Airin.

"Loh, kamu kok hanya menyalahkan aku saja," sahut Airin kesal.

"Lalu aku harus menyalahkan Angga maksudmu, Aku tahu Angga seperti apa, aku pacarnya selama 3 tahun jadi tidak mungkin dia mau melakukannya tanpa kamu goda terlebih dahulu! wanita murahan!" ujar Mona, lalu di akhiri dengan menampar pipi kiri Airin dengan keras. Airin sampai terkejut dan tidak bisa mengelak.

Mona sesaat terdiam, begitupun Airin yang tidak memberikan perlawanan atau pembelaan untuk dirinya sendiri meskipun kata-kata Mona menyakiti hatinya.

"Lalu ..., kau kesini mau ke rumah Angga dan minta pertanggung jawaban, gitu?" ujar Mona.

Airin menatap Mona dengan diam.

"Aku tidak mau berpisah dengan Angga sampai kapanpun dia milikku dan selamanya akan jadi milikku! Jangan harap kamu bisa merusak hubungan kami. Kami akan bertunangan, dan kau malah ingin memberikan kabar ini, Dimana hati nurani mu?" gertak Mona, lalu mendorong pundak Airin lagi.

"Nurani? Kau bersikap begini padaku padahal aku sahabatmu, tak bisakah kamu mengerti kesedihanku!" sanggah Airin.

"Sahabat? Sahabat apa yang kau bicarakan? Kau tega mengkhianati ku, kau tega bermain api dengan pacar sahabatmu, sekarang kau mendapatkan karma dan aku suruh mengerti!" gertak Mona lagi, lalu membanting helm di tangannya di depan Airin, hingga kaca penutup helm itu pecah.

Airin tertunduk diam, menyadari semua perkataan Mona benar. Airin berdiri dan mencoba menghindar dari amarah Mona.

"Gugurkan saja!" ucap Mona ketus.

"Kau kan yang memulainya! " Gertak Mona menarik jilbab Airin bagian belakang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!