Deru mobil memenuhi telinga Rini yang sedang asyik membersihkan dapur kesayangannya. Terdengar suara salam dari sang imam, suara yang beberapa hari ini tak di dengarnya. Angga Bagaskara, suami Rini beberapa hari yang lalu pamit pergi keluar kota karena ada sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Wa'alaikumsalam...."
Terdengar suara kedua bocah menjawab salam secara berbarengan dengan riang. Riuh riang anak anak terdengar, mereka sangat bahagia melihat kedatangan sang ayah yang sudah beberapa hari tak bertemu. Secara bergantian mereka memeluk sang ayah yang masih berada di ambang pintu, rasa rindu membuat mereka tak tahan menunggu ayahnya sampai di dalam rumah.
Rini gegas mengelap tangannya yang belepotan minyak dengan waslap, mencucinya di bawah guyuran air kran. Ia segera berjalan menuju ruang depan untuk menyambut kedatangan suaminya.
"Gimana kerjaannya di sana mas, sudah beres?"
Sambil mengambil koper dari tangan Angga, Rini menanyakan tentang pekerjaan suaminya.
"Belum, sepertinya urusannya akan panjang"
Sambil mendudukkan bokongnya di sofa, Angga menjawab pertanyaan Rini.
"Berarti mas akan kembali kesana lagi dong?"
Rini bertanya dengan wajah sendu.
"Doakan saja, semoga semua bisa selesai dengan cepat"
Setelah mendengar jawaban Angga, Rini segera berlalu menuju kamar untuk menyimpan koper.
*****
Malam sudah larut ketika Rini terbangun. Hasratnya ingin buang air kecil membuatnya segera berjalan menuju kamar mandi. Sempat dilihatnya sekilas samping dirinya tidur tadi. Tak ada suaminya disana. Dahinya mengernyit begitu mendapati kamar mandi yang kosong. Tadi ia sempat mengira suaminya berada di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi Rini berjalan menuju dapur, niat hati ingin menyeduh secangkir teh. Karena kantuk nya yang sudah menghilang, Rini berniat menyelesaikan pekerjaan nya. Sebagai owner toko baju anak dia tidak hanya mengandalkan tenaga karyawan saja untuk melakukan pekerjaan. Diapun sering mengupload sendiri foto foto barang dagangannya. Bahkan tidak jarang dia melakukan pemotretan sendiri. Bagi Rini bekerja adalah olahraga yang menghasilkan, olahraga tubuh dan otak. Olahraga otak yang sangat bermanfaat menjauhkan manusia dari kepikunan.
Tangan Rini berhenti mengaduk teh yang sudah dikasih gula begitu mendengar seperti suara orang berbincang. Ia mengendap ke arah pintu belakang dapur. Dengan berjalan jinjit dan melepas sendal ia mengendap ngendap. Hatinya berdebar kencang, tangannya memegang erat sendok yang telah ia gunakan untuk mengaduk teh tadi. Perlahan ia mendekati pintu belakang yang terlihat sedikit terbuka. Kakinya gemetar menahan takut, ia berfikir ada segerombolan maling atau perampok masuk ke dalam rumahnya. Begitu sampai pada pintu ia melongokan kepalanya keluar untuk melihat orang yang terdengar sedang berbisik itu. Nafasnya terhembus lega karena ternyata Angga lah yang berada di sana. Angga terlihat duduk di kursi teras belakang sedang melakukan panggilan video dengan seseorang. Rini mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum mendekati suaminya, jantungnya yang seperti habis lari maraton ia tenangkan terlebih dahulu.
"Mas..."
Panggil Rini masih dengan jantung berdegup, ia berjalan pelan mendekati suaminya.
Angga menoleh kaget dan dengan cepat mematikan panggilannya.
"Kok nggak tidur dek?"
Tanya Angga dengan gugup.
"Harusnya aku yang bertanya kayak gitu mas, kenapa kamu nggak tidur? Sedang telpon siapa tengah malam begini?"
"I it itu telpon Aris, i iya telpon Aris"
Karena gugup perkataan Angga jadi terbata bata.
"Telpon Aris kok video call, emang masalah kantor masih genting ya mas? Sampai malem malem gini telpon Aris"
"I iya, urusan kantor masih belum beres dek, ini lagi di bahas sama Aris"
Angga mengangkat tangannya menunjukkan handphone yang sedang di genggamnya.
"Udah dek, kamu tidur aja. Nggak usah ikut mikir masalah kantor. Ntar malah kamu kesiangan bangunnya, nggak bisa nyiapin sarapan buat aku dan anak anak"
Angga berjalan menghampiri Rini berniat mengajaknya kembali ke kamar.
"Tapi mas, aku bikin teh tadi. Tadi aku berencana akan mengupload barang dagangan"
"Sudah, nggak usah. Besok saja. Nanti kamu capek"
Akhirnya Rini pasrah saja digiring oleh Angga kembali ke kamar.
*****
Pagi hari yang cerah, celoteh anak anak Rini mewarnai suasana pagi di meja makan rumah Rini. Satu keluarga harmonis itu sedang sarapan bersama. Rini yang dengan sabar melayani suami dan anak anaknya memutari meja makan untuk mengisi piring mereka satu per satu dengan nasi. Memang keluarga itu terbiasa sarapan dengan nasi, tidak terbiasa sarapan hanya dengan roti.
Setelah sarapan usai mereka melakukan kegiatan masing masing. Anak anak berangkat ke sekolah, Angga berangkat ke kantor. Dan Rini, dia juga akan berangkat ke ruko tempatnya mengais rejeki setelah asisten rumah tangganya datang. Sedangkan anak anak akan di antar Angga untuk menuju ke sekolah, karena jalannya searah dengan kantor Angga. Rini memang mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Datang pagi dan akan pulang di sore hari setelah Rini sampai di rumah. Sudah menjadi jadwal keseharian Rini, dia akan pulang dari ruko jam tiga sore. Rini pergi ke sekolah untuk menjemput anak anaknya sebelum pulang ke rumah. Tepat pukul empat sore biasanya Rini sampai di rumah. Jarak antara rumah, sekolah dan ruko Rini memang tidak jauh. Jadi tidak memerlukan waktu yang lama untuk perjalanan.
Rini memacu motor matic nya di jalanan yang cukup ramai. Jalan menuju ruko tempatnya menjual barang dagangan baik secara online maupun offline.
Terlihat sudah ada beberapa pengunjung begitu ia sampai di depan ruko. Dua karyawan Rini Anisa dan Miya yang selalu datang pagi membuka ruko. Mereka sudah cukup trampil untuk melakukan pekerjaan tanpa adanya Rini karena mereka juga sudah cukup lama bekerja dengan Rini.
Rini mengambil handphone dari dalam tas setelah memasuki ruangannya. Sewaktu melewati pintu ruko tadi ia mendengar ada notif masuk di handphone nya. Ada laporan dari bank yang masuk ke emailnya, sebuah laporan bahwa nomor rekening Angga telah mentransfer sejumlah uang ke rekening lain. Rini membaca dengan pelan nama penerima uang. Terlihat dahinya mengernyit, ia mencoba mengingat nama yang tertera.
"Rania Putri" bibir Rini mengeja dengan pelan nama si penerima uang dari rekening Angga.
"Siapa ya, dari tadi mengingat ingat tetap nggak kenal nama itu. Apa aku yang lupa. Ntar aku tanya sama mas Angga aja" Rini bergumam sendiri.
Rini mencoba menghubungi Angga untuk menanyakan perihal uang yang telah di transfer suaminya itu ke rekening yang tidak ia kenal, tapi tidak ada tanggapan dari Angga. Akhirnya Rini meletakkan handphone nya diatas meja lalu memulai pekerjaannya. Memeriksa dokumen satu persatu. Mengecek angka penjualan dan laporan laporan lain tentang toko yang ia kelola. Rini merintis dari nol usahanya, dari reseller hingga sekarang bisa menjadi toko pakaian anak yang bisa dibilang cukup lumayan.
Angga berjalan tergesa menuju kantin kantor tempatnya bekerja. Rapat dengan atasan sedari pagi membahas
proyek yang sedang tersendat prosesnya membuat tenaganya terkuras. Langkahnya dipercepat agar bisa segera duduk dan menikmati hidangan makan siang. Angga segera memesan makanan dan minuman begitu sampai di kantin, dengan sumringah ia membawa nampan hidangan menuju meja yang masih kosong.
Selesai makan Angga mengambil handphone yang berada di saku kemejanya. Sambil bersantai di kantin Angga mengecek handphone yang setengah hari ini tidak ia sentuh. Tiga kali panggilan masuk dari Rini menarik perhatiannya. Tidak biasa biasanya Rini menelpon disaat jam kerja. Segera Angga menelpon Rini balik.
"Halo, tadi kamu telpon? Tadi aku rapat dengan atasan" tanya Angga to the point begitu tersambung dengan istrinya.
"Iya, aku tadi telpon mas. Mas, Rania Putri siapa? Kok ini ada laporan dari bank, mas habis transfer ke rekening Rania Putri"
"It it itu. Istri teman mas"
"Kenapa mas transfer ke dia?"
"Ehmmm anu.... itu, teman mas pinjam uang. Nah uangnya di transfer ke rekening istrinya"
"Kok gitu mas?"
"Iya dek. Karena teman mas pinjam uang untuk perawatan ibu mertuanya di kampung. Ibu mertuanya sedang sakit membutuhkan banyak uang untuk pengobatan. Nah istri temen mas itu lagi ada di kampung merawat ibunya yang sakit. Karena temen mas pinjam uang untuk biaya pengobatan ibunya makanya mas diminta transfer ke rekening istrinya. Begitu ceritanya"
"Owh gitu. Emang sakit apa sih mas ibunya?"
"Kurang tau sih dek. Yang jelas, ibunya itu membutuhkan pengobatan yang rutin dan jangka panjang"
"Ya udah mas kalau gitu sih nggak apa apa. Aku takutnya bukan mas yang melakukan transaksi. Takut rekening mas di bobol orang atau gimana. Jaman sekarang kan banyak mas kasus kayak gitu, tau tau uang di rekening ilang. Ada laporan transaksi padahal kita tidak melakukan transaksi"
"Iya dek, betul. Kita memang harus hati hati. Trimakasih ya sayang sudah memperhatikan, kamu memang istri yang cerdas"
"Nggak usah gombal deh"
****
Angga mengelus dadanya begitu sambungan telepon berakhir. Jantungnya yang sempat berlompatan sedikit demi sedikit mereda. Seperti seorang pencuri yang hampir ketahuan, begitulah yang di rasakan Angga saat ini. Angga meneguk habis sisa minumannya setelah mengatur nafas yang tadi tersengal seperti habis lari maraton. Mukanya merah padam menahan rasa panik dan takut yang menjadi satu. Angga terlonjat kaget begitu bahunya di tepuk oleh temannya. Teman satu divisi, teman seperjuangan dari sekolah menengah atas. Teman sekampus dan satu jurusan kuliah. Aris, dialah teman yang selalu ada dalam hidupnya. Teman yang terkadang bisa berubah menjadi musuh seketika di kala perbedaan pendapat melanda.
"Busseettt, gitu aja kaget loe. Muka parno gitu, ada apa sih?"
Tanya Aris sambil mendudukan pantatnya dikursi sebelah Angga.
"Nggak ada apa apa. Kaget aja gue"
Jawab Angga berusaha santai.
"Yakin?!"
Kata Aris dengan muka meledek.
"Yakinlah. Lagian ngapain sih loe, dateng dateng ngagetin"
"Idiih, kaget?! Muka tegang gitu dari tadi bilang nggak ada apa apa"
"Eh Ris, loe tau cara menonaktifkan SMS banking nggak?"
Aris mengangkat kedua bahunya tanda bahwa dia tidak tau tentang yang di tanyakan Angga.
"Kenapa emang?"
"Enggak. Risih aja gue, tiap habis transaksi ada SMS masuk. Kluntang klunting menuhin memory handphone. Makanya gue pengen stop"
"Coba aja datang ke kantor banknya. Atau kalau enggak, loe bisa tuh googling cara stop SMS banking. Siapa tau bisa di berhentikan pakai handphone. Atau telpon ke call center bank"
Jawab Aris sambil mematik rokok yang terselip di mulutnya.
"Iya ya, kok gue nggak kepikiran. Hari ini loe cukup cerdas Ris, makasih sob"
Angga tersenyum lebar mengambil handphone yang ia letakkan di meja setelah melakukan panggilan dengan istrinya tadi.
"Bukan hari ini doang kali, emang otak gue selalu bisa jadi andalan"
Angga mengutak-atik handphone nya, mulutnya terkunci diam dengan wajah amat serius. Sudah tak di perdulikan lagi omongan Aris yang masih mengoceh kesana kemari. Angga serius mencari artikel cara menonaktifkan SMS banking. Terlihat mulutnya komat kamit berusaha menghafal cara caranya. Tak berselang lama, terlihat Angga tersenyum lega. Ia masukan handphone yang ia pegang ke dalam saku kemejanya.
"Sudah?"
Tanya Aris penuh dengan rasa penasaran.
Angga mengangguk anggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Aris.
Angga bangkit dari kursi kantin, ia berjalan kembali ke tempat kerjanya.
"Hei... Mau kemana loe?"
Triak Aris sambil berdiri dari duduknya.
"Kembali kerja! Emang loe mau istirahat terus? Tinggal bilang ama atasan, biar dirumahkan sekalian"
Mendengar jawaban Angga, Aris segera mempercepat langkahnya menyusul Angga sambil mulutnya komat kamit menyumpahi Angga. Aris kesal karena ia merasa di sumpahi oleh Angga agar dipecat dari pekerjaannya.
"Sialan loe" jawab Aris dengan kesal.
Angga tertawa melihat Aris yang terlihat jengkel, mulutnya mengerucut sambil ngedumel. Terlihat sekali jika Aris sedang merasa kesal.
"Harus mas ya yang pergi kesana? emang nggak ada karyawan lain yang bisa di tugaskan kesana selain mas?"
Rini terlihat sangat sedih begitu Angga memberitahunya bahwa malam ini dia akan berangkat keluar kota lagi. pasalnya baru dua hari Angga berada di rumah kini sudah harus keluar kota lagi.
"Ya harus aku Rin, kan aku yang nanganin proyek itu. Ya kamu harus tau posisi aku lah Rin, sebagai istri harusnya kamu berdoa agar urusan suamimu ini di permudah. Bukannya malah ngedumel gitu"
Angga berkata panjang lebar agar Rini tidak protes atas keberangkatannya kembali keluar kota.
"Aku bukannya ngedumel mas, tapi aku dan anak anak kan juga butuh kamu. Kamu baru dua hari di rumah, sekarang sudah harus pergi lagi. Dua hari dirumah aja kamu pulang malem terus, lembur terus. Kapan kamu punya waktu buat aku dan anak anak mas"
Rini berdiri di depan pintu kamar, tangannya bersedekap dengan muka di tekuk. Pandangannya lurus menatap Angga yang sedang menata sejumlah dokumen yang akan di bawa keluar kota.
"Ya kamu sabar dong Rin, nanti kalau urusannya sudah beres kan aku juga nggak akan sesibuk seperti sekarang ini lagi. Ini semua aku lakukan juga demi kamu dan anak anak. Demi masa depan anak anak, agar kebutuhan keluarga kita tercukupi. Siapa tau setelah ini, aku dipromosikan naik jabatan sama si bos"
Angga masih berusaha memberi pengertian pada Rini. Akhir akhir ini Rini memang agak banyak protes, Rini selalu protes bila ditinggal keluar kota oleh Angga. Padahal dulu, Rini hanya diam kalau Angga berpamitan akan keluar kota untuk urusan pekerjaan. Rini akan sabar walaupun Angga tidak pernah punya waktu untuknya.
"Aku tau mas, aku percaya kalau kamu melakukan itu semua untuk keluarga kita. Tapi mas, aku dan anak anak juga butuh perhatianmu, butuh waktu kamu untuk kami. Sekalipun kamu tidak naik jabatan, hidup kita tidak akan kekurangan mas. Bahkan penghasilan ku dari toko cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sekeluarga. Aku dan anak anak bukan cuma butuh uang dari kamu mas, aku dan anak anak juga butuh perhatian dan waktu luangmu"
Rini mulai sedikit menggeram, menahan emosinya yang pelan tapi pasti menuju puncak.
"Itu kan penghasilan kamu Rin. Aku sebagai kepala keluarga, sebagai tulang punggung harus memenuhi nafkah kalian. Aku tidak mungkin menggunakan uang dari penghasilanmu, aku harus memenuhi nafkah kalian dari keringatku sendiri. Uang dari penghasilan tokomu yaitu uangmu sendiri"
"Nggak mau menggunakan uangku untuk kebutuhan keluarga katamu mas"
Bibir Rini terlihat meletot ke arah samping, dia mencibir suaminya yang perkataannya amat lebay menurutnya.
"Iya. Emang aku nggak mau pakai uang dari penghasilanmu untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita, karena aku sanggup mencukupi kalian. Kan sudah pernah aku bilang sama kamu agar kamu tidak perlu bekerja, cukup di rumah ngurus anak dan suami"
Rini maju selangkah mendekati suaminya, tangannya yang tadinya bersedekap di dada kini berpindah ke pinggang. Sambil berkacak pinggang Rini berjalan maju mendekati suaminya.
"Mas, apa perlu aku buatkan list kebutuhan rumah tangga kita agar kamu tau berapa jumlah kebutuhan kita dalam sebulan. Agar kamu tau kira kira uang yang kamu berikan padaku itu sudah bisa mencukupi atau belum. Selama ini aku hanya diam mas, karena aku tidak mau terlalu membebanimu. Untuk itulah aku bekerja agar bisa membantu kamu untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita mas. Selama ini aku diam walaupun uang yang kamu berikan padaku itu masih belum cukup. Aku tidak mau kamu memikul beban keluarga ini sendirian, aku kasian padamu mas. Untuk itulah aku bekerja"
"Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau uang yang aku berikan belum cukup Rin? salahmu sendiri tidak jujur padaku, malah memilih bekerja untuk membantu kebutuhan keluarga. Seandainya kamu bilang padaku bahwa uang yang aku berikan padamu tiap bulannya masih kurang, pasti aku akan menambahkan lagi jumlahnya"
"Mas, bagaimana aku bisa jujur padamu tentang kebutuhan keluarga kita. Sedangkan aku tidak tau persis berapa jumlah gajimu. Kalau aku meminta tambah uang bulanan ternyata gajimu tidak mencukupi bagaimana? itu yang aku pikirkan mas, aku kasian padamu jika memikul beban keluarga ini sendirian. Maka dari itu aku diam, tidak meminta tambahan uang walaupun uang yang kamu berikan masih kurang dan memilih bekerja untuk menutup kekurangan. Kamu yang tidak terbuka padaku mas. Kamu tidak pernah jujur mengatakan seberapa besar gajimu"
"Lalu kenapa kamu tidak menanyakannya?"
Emosi Angga mulai ikut memuncak, pagi hari yang harusnya diawali dengan suasana yang menyenangkan untuk mengawali aktivitas malah diawali dengan perdebatan antar sepasang suami istri.
"Oke! sekarang aku tanya, berapa besar gajimu?"
Angga lalu terdiam seketika setelah Rini menanyakan berapa besar gajinya. Wajahnya terlihat pucat dan salah tingkah.
"Bukannya ada laporan masuk ke handphone mu lewat SMS setiap ada transaksi di rekening aku"
"Itukan nomor rekening pribadimu mas, yang nomor rekening dari kantor kan aku tidak tau menahu"
Rini memutar bola matanya malas, ia berjalan ke tempat tidur dan duduk disana. Rini berusaha meredam amarahnya agar tidak meledak kembali. Dia takut anak anaknya akan melihat atau mendengar pertengkarannya dengan Angga.
"Sudahlah dek, nggak usah emosi. Aku pergi untuk bekerja, doakan saja agar semuanya lancar biar cepet selesai"
Angga kembali berusaha memberi pengertian pada Rini, ia tekan intonasinya selembut mungkin agar istrinya tidak kembali marah marah.
"Trus, jadi jawab pertanyaanku nggak? berapa gajimu?"
Melihat Angga yang hanya diam, Rini memalingkan wajahnya ke arah lain sambil kedua tangannya meremat sprei kasur yang ia duduki. Dadanya terasa sesak melihat ketidak terbukaan suaminya.
Entah mengapa akhir akhir ini feeling Rini sebagai seorang istri merasa tidak nyaman. Dia merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suaminya, entah apa. Tapi perasaannya mengatakan jika cinta suaminya sudah berkurang, bukan hanya padanya tapi juga untuk anak anaknya.
******
Tiga hari sudah Angga berada diluar kota. Selama tiga hari itu Angga hanya sekali menghubungi Rini, memberi kabar bahwa dia sudah sampai di kota tujuan. Pada malam kedua Rini menghubungi suaminya melalui video call tapi tidak ada jawaban. Selang beberapa menit ada pesan masuk di handphone Rini dari suaminya, Angga meminta Rini agar tidak menghubunginya karena dia sedang sibuk siang dan malam. Rini hanya bisa menghela nafas panjang, dia hanya bisa tersenyum di kala anak anaknya menanyakan perihal ayahnya.
"Sabar ya sayang, ayah sedang sibuk bekerja. Nanti kalau ayah sudah tidak sibuk pasti ayah akan telpon kita"
Kalimat itu yang selalu Rini sampaikan pada anak anaknya ketika mereka menanyakan sang ayah yang berada diluar kota.
Dua hari sudah terlewat dari janji Angga untuk pulang. Angga bilang dia keluar kota selama tiga hari saat berpamitan, tapi sampai hari ini sudah genap lima hari Angga belum pulang. Pun tidak ada kabar telpon atau pesan yang dikirim untuk istrinya. Angga selalu menolak panggilan Rini saat Rini menelponnya.
Hari ini Rini bangun sangat pagi, ia menyiapkan sarapan untuk anak anaknya lebih awal di banding biasanya. Hari ini ia bertekad akan ke kantor Angga untuk menanyakan perihal suaminya yang berangkat keluar kota. Anak anak sudah selesai sarapan, Rini berniat mengantar anaknya sekolah lalu ke kantor Angga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!