pembukaan :
"Kamu masih mau bunuh saya, Luk?"
"Tri." Luka mendekat, hendak meraihnya namun Bintang lebih dulu ambruk. "Aku enggak tau soal itu," bisik Luka lemah. "Kalo aku tau Lio mau ngelakuin sesuatu, aku pasti—"
"Udah enggak ada gunanya." Bintang tertawa gila. "Udah enggak ada gunanya semua."
"Tri, please."
"Mending sekarang kamu jauh-jauh dari saya, Luka. Ngeliat kamu bikin saya sakit jiwa."
Luka justru memeluknya kuat-kuat. "Aku janji Lio enggak ngapa-ngapain kamu lagi."
Tapi perkataannya justru menyulut amarah Bintang. Buat apa janji itu sekarang kalau Ayah sudah mati?!
"Hidupin Ayah lagi!" Bintang mencengkram pakaian Luka dan berteriak murka. "Hidupin Ayah lagi baru minta maaf, Luka! Enggak ada gunanya yang lain! Enggak ada gunanya!"
Bintang sudah sangat rusak. Mentalnya sudah sangat kacau sejak lama.
Ia melakukan segalanya demi balas dendam. Sejak ia masih kecil. Sejak awal ia dipukuli oleh Ayah sampai bertahun-tahun ia hidup di keluarga ini, bahkan menikahi Luka dan mengikuti segala pelatihan omong kosong itu cuma agar bisa balas dendam!
"Nah, please, Luka." Bintang merintih pilu. "Please. Biarin aku teriak sekali aja ke mukanya. Please. Cuma sekali."
Sekali saja beri Bintang kesempatan berteriak pada Ayah. Tolong sekali saja. Bintang mau menepis suara-suara menakutkannya dari kepala Bintang. Ia mau menepis perkataan Ayah di kepalanya.
"Kamu enggak waras, Bin."
"Ayah enggak pernah liat anak kayak kamu. Anak setan."
"Kamu rusak."
"Ayah udah nyerah sama kamu."
"Kamu yang salah, Bin."
Bintang kembali berteriak histeris. Suara-suara itu justru semakin kuat menghantuinya.
Melihat Bintang menggigil ketakutan, Luka spontan memeluknya. "Jangan takut. Aku di sini."
*****
Luka adalah pria pembenci dan pemberontak. Lahir dalam keluarga yang menurutnya adalah neraka membuat Luka benci pada ikatan keluarga. Luka benci ayah ataupun ibunya yang dulu memandang Luka hanya sebatas alat dan investasi. Luka benci ketika mereka terus mendorongnya menjadi sesempurna Lio, sang kakak.
Tapi Luka tak pernah berharap Lio membunuh ayah dan ibu mereka. Luka tak pernah berharap Lio meruntuhkan keluarga Yasa, mengubahnya menjadi Narendra dengan alasan keluarga itu tidak akan memperlakukan Luka sebagai manusia.
Keluarganya mati demi Luka. Demi kebebasan Luka yang diputuskan oleh Lio.
Sejak saat itu Luka kehilangan seluruh emosinya. Ia hanya mengikuti keputusan Lio, tak peduli apa, tentang hidupnya.
"Kamu udah nikah tujuh tahun sama Tri, Luk." Begitu kata Lio hari ini. "Umur Tri tahun ini dua puluh. Umur yang telat buat Narendra nikah. Udah waktunya kamu ngeliat dia, kan?"
Luka diam saja.
"Luk, ayolah. Kamu butuh Tri buat kamu sendiri. Aku yakin kamu bakal suka sama dia."
Luka menatap Lio, memerhatikan senyum cerah di wajah kakaknya. Hari Lio membunuh orang tua mereka, dia juga tersenyum cerah sambil berkata, "Tunggu bentar, Luk, aku bakal ciptain dunia buat kamu."
Senyum Lio tidak pernah berarti baik namun sekali lagi, Luka tidak membantahnya.
"Siapa namanya?" tanya Luka seakan-akan itu hanya hal biasa. Tapi ia memang tak pernah peduli dengan tikus mati di gedung belakang itu.
"Bintang," jawab Lio semangat. "Namanya Bintang. Tapi karena nama Bintang enggak cocok buat dia, nama resminya Trika. Trika Narendra, istri kesayangan kamu."
"Lo enggak masalah mainan lo gue rusakin kan?"
Lio menopang dagu, tersenyum lembut. "Kamu tau aku bakal ngancurin dunia buat kamu kan, Luk?"
Perkataan itu Luka balas pengabaian, beranjak begitu saja. Meski diberi sikap dingin oleh adiknya, Lio melambaikan tangan dan tertawa-tawa kecil.
"Good luck, Luk. Tapi kalo bisa jangan apa-apain, oke? Tri itu favorit aku."
Luka tak berbalik untuk merespons Lio, pergi ke bangunannya untuk berganti pakaian. Di sana ada Alex dan Tirta, dua anak buah terpercaya Luka sekaligus teman masa kecilnya.
Dua orang tidak berguna itu sedang bersantai di ruang santai Luka.
"Tirta," panggil Luka. "Ambilin baju resmi gue."
Mereka berdua menengok penasaran. "Lo mau ke mana, Bos?"
"Ketemu tikus."
Keduanya berpandangan sebelum mereka sama-sama terlonjak, sadar siapa tikus yang Luka maksudkan.
"Akhirnya, Bos!" Alex datang memegang lengan Luka, mecengkramnya penuh rasa bangga. "Akhirnya lo lepas perjaka juga! Ya Tuhan, hampir-hampir gue pengen beribadah saking senengnya, Luk!"
Luka menatap dia datar. Memang tidak ada yang beres di hidupnya.
"Bos, gue kasih pengaman." Tirta membuka dompetnya dan menyerahkan dua bungkus ****** pada Luka. "Siapa tau lo belom pengen punya anak, Bos, jangan lupa pake."
Luka melempar ****** itu masing-masing pada mereka yang malah tergelak puas.
Walau sambil mengolok-olok Luka karena tahu betapa ia tak mau dengan pernikahannya, mereka berdua membantu Luka berpakaian. Hanya mereka berdua yang membantu Luka sebab Luka mengeluarkan peraturan untuk tidak ada satupun pelayan boleh mendekati bangunannya.
"Oke, Luk, gue serius." Alex memasang kancing emas luaran Luka sambil mengoceh. "Bang Lio nyogok apa sampe lo nau ketemu tikus piaraan lo?"
"Enggak ada gunanya nolak terus." Luka menatap pantulan dirinya di cermin sambil mereka berdua terus menyempurnakan pakaiannya. "Ujung-ujungnya gue emang mesti ketemu Cewek Tikus itu."
Tirta pura-pura terkejut. "Luk, lo enggak akting terima terus mau bunuh istri lo, kan? Because if that's what you're planning, I'm down."
"Oh, gue juga mau!" Alex menimpali semangat. "Istri lo kan latian sama Yogi terus. Tujuh taun latian sama Yogi dia masih waras? Can you believe in that?"
Luka berlalu tak peduli pada ocehan mereka.
"Luk, mau dianterin? Siapa tau lo nerves!"
Luka penasaran kenapa sampai sekarang dua bawahan tidak berguna itu masih ada di hidupnya. Tapi Luka tak punya waktu memikirkan mereka sebab ia kini sibuk memikirkan istrinya.
Bintang. Nama dia Bintang namun diganti menjadi Trika oleh Lio. Walau tak peduli padanya, Luka dengar bahwa gadis itu mengalami sesuatu yang sangat buruk sampai-sampai dia dibawa oleh Lio ke kediaman ini saat usianya masih dua belas tahun. Dia telah menjadi istri Luka sejak saat itu, namum Luka mengeluarkan peraturan akan membunuhnya jika dia sampai terlihat di mata Luka.
Karena itu dia tidak pernah terlihat seujung kuku pun. Luka tak tahu wajahnya atau apa pun selain namanya.
Tapi yang jelas Luka tahu bahwa ia benci padanya. Perempuan yang keberadaannya membuat Luka terbelenggu dalam keluarga ini. Dan ya, Luka misogini jadi ia benci perempuan secara keseluruhan.
Sementara itu di bangunan belakang tempat Bintang berada, dia tak sedikitpun tahu bahwa Luka sedang menuju ke arahnya. Bintang sedang sibuk membaca modul penelitian Lio dan sedikitpun tidak mendengar suara bising di sekitarnya.
Pelayan di sekitar bangunan Bintang-lah yang justru panik akan kedatangan sang tuan muda. Mereka berbondong-bondong pergi, ingat akan peraturan tidak boleh ada pelayan muncul di hadapan Luka, tanpa terkecuali.
Namun pelayan pribadi Bintang sadar bahwa dia harus memperingati sang Nyonya Muda. Melawan risiko yang ada, Syarla membuka pintu terburu-buru.
"Nyonya, Tuan Muda sedang menuju kemari."
Bintang jelas tercengang. "Luka?"
"Ya, Nyonya. Kami harus undur diri sebab peraturan mengatakan Tuan Muda benci melihat pelayan."
"Kenapa tiba-tiba—"
"Ada banyak tikus di lubang tikus."
Bintang dan Syarla dikejutkan okeh suara dingin itu. Spontan Bintang berdiri, menatap sang tuan muda manja—setidaknya menurutnya—yang berdiri dengan belati berdarah di tangannya.
Setidaknya itu pasti bahwa Luka melukai seorang pelayan yang dia lihat. Spontan, Bintang mengisyaratkan Syarla bersembunyi di belakangnya.
Ini adalah pertemuan pertama Bintang dan Luka. Ini pertama kali bagi satu sama lain dari mereka melihat. Bintang bisa menilai bahwa wajah Luka dan Lio benar-benar mirip namun juga berbeda.
Lio terlihat seperti matahari yang cerah sedangkan Luka seperti bongkahan es beku.
"Kamu enggak nyapa saya, Tri?" kata pria itu santai.
Bintang menatap belati di tangan Luka sebelum kembali pada wajahnya. "Kamu dateng tanpa pemberitahuan terus main nusuk orang sembarangan. Seenggaknya ini bangunan saya, Luk."
Pria itu melempar belatinya ke arah Bintang. Belati itu melesat hanya beberapa senti dari wajahnya, mengenai tembok di belakang dan hampir mengenai Syarla.
"Keluar," perintah Luka tanpa melihat Syarla tapi fokus pada Bintang.
Bintang mengisyaratkan Syarla pergi. Meninggalkanya hanya berdua bersama Luka.
*
Bintang menatap intens pria itu saat dia mendekat. Langkahnya terlihat pasti, parasnya yang tampan namun tak ramah itu sudah menjelaskan dia tak datang demi niat baik. Bintang hanya terus diam sampai Luka berhenti tepat di hadapannya, mengulurkan tangan ke wajah Bintang.
"Saya benci kamu," gumam Luka, menbelai wajah Bintang. "Dari pertama kamu datang, saya benci kamu, Tri. Tapi Lio selalu cerewet nyuruh saya ketemu kamu."
"Kamu dateng ke sini cuma buat bilang itu?"
Bintang menepis tangan Luka, kembali duduk di tempatnya tadi. Seolah tak ada yang terjadi, Bintang membuka kembali modulnya.
"Saya udah tau dari kamu bikin peraturan saya enggak boleh keluar dari sini. Kalau udah selesai, kamu boleh pergi."
Luka justru menarik tangan Bintang kasar, memaksanya untuk kembali berdiri. Sebagai seorang misogini, tidak ada yang paling Luka benci selain dari sikap angkuh seorang wanita padahal dia tidak memiliki apa-apa.
"Kamu harusnya tau lagi ngomong sama siapa, Tri." Luka mencengkram sangat kuat lengan Bintang yang jika itu lengan perempuan biasa, setidaknya dia akan menangis kencang.
Tapi Bintang hanya menatap Luka tanpa ekspresi.
"Saya dateng cuma buat nyapa sekaligus ngeliat secantik apa istri saya," kata Luka melepaskannya. "Sekarang saya berubah pikiran. Tiga puluh menit lagi turun ke tempat latihan."
Luka pergi begitu saja, meninggalkan Bintang berdecak kesal.
Tempat latihan adalah arena bertarung bawah tanah untuk Narendra. Tempat di mana Bintang dulu sering muntah darah dan patah tulang saat latihan bersama Yogi, dalam pelatihan khusus sebagai istri Narendra.
Jika Luka membawanya ke sana, sudah jelas dia mau menghajar Bintang habis-habisan.
Tapi Bintang tak punya pilihan. Perintah Luka itu mutlak tak peduli apa.
"Syarla." Bintang memanggil kembali pelayannya yang untungnya masih dibiarkan hidup oleh Luka. "Siapin perlengkapan saya. Luka mau sparring."
"Mengerti, Nyonya."
Sesuai kata Luka, tiga puluh menit kemudian Bintang berdiri di arena latihan, memegang pedang tumpul khusus latihan. Luka muncul lima menit setelahnya, datang bersama pengawalnya yang membawa dua pedang.
"Kamu kira saya mau main-main sama kamu, Tri?"
Pria itu meraih pedang kecil di tangan Tirta, melemparnya pada Bintang yang spontan menangkap.
Pedang asli. Ukurannya kecil tapi sangat sesuai dengan Bintang. Ini persis pedang yang biasa ia pakai berlatih kemarin-kemarin.
Luka juga mengambil pedangnya sementara Alex dan Tirta bersiul saat sepasang suami istri baru bertemu itu kini masing-masing memegang pedang.
Memang hidup Luka tidak pernah normal. Dan hidup Bintang pun tidak pernah normal.
"Kamu tau, Tri?" Luka tampak santai menyesuaikan genggamannya seolah Bintang bahkan tidak layak dipertimbangkan sebagai lawan. "Lio bilang beberapa bulan lagi kita resepsi. Khusus buat mamerin kamu ke semua orang, sebagai Trika, bukan Bintang."
Dia ternyata lebih cerewet dari dugaan.
"Saya tau," balas Bintang tak peduli. "Lio enggak berenti ngoceh ke saya, bilang kalau saya ketemu kamu, berarti enggak lama lagi pesta pertama Narendra dimulai."
Luka menatapnya tajam saat dia melempar jam tangan berliannya pada Alex di sana.
"Kalau gitu kamu tau?" tanya Luka. "Kalau saya bisa bunuh kamu sekarang karena ngerasa kamu enggak pantes?"
Genggaman Bintang pada pedangnya menguat. Nampaknya si Tuan Muda Manja ini benar-benar mau saling membunuh di pertemuan pertama.
Ya, persetan kata Lio. Lagipula sejak awal dia tahu Luka tidak mau menikah namun dia terus memaksanya karena ingin Luka menjadi pewarisnya.
"Saya juga mau kamu tau," gumam Bintang, "saya enggak suka sama kamu."
Detik setelah itu suara alarm berbunyi, tanda duel berlangsung. Bintang melesat cepat ke arah Luka, mengayunkan pedangnya kuat-kuat hingga pria itu terdorong. Sesaat terlihat Luka kaget, namun dia dengan cepat membiasakan diri.
Dari kejauhan, bawahan Luka yang melihatnya ikut tercengang.
Itu tidak berarti Bintang lebih unggul dari Luka, namun terlihat jelas dari ayunan brutal itu dia jauh lebih unggul dari dugaan.
Setiap serangannya tak ragu, seolah dia lupa di depannya itu tuan yang berhak memutuskan kapan dia mati dan bagaimana dia boleh mati.
Sementara itu di sisi Bintang, rasa marahnya memuncak seiring duel berlangsung. Luka yang menghadapinya terkejut saat merasakan ayunan Bintang semakin berat seiring waktu.
Bintang memusatkan serangannya ke kepala seolah-olah dia mencari celah menerbangkan kepala Luka.
Ancaman serius yang ia dapatkan membuat Luka ikut serius. Mengabaikan risiko kepalanya terluka, Luka mengarahkan serangan ke jantung Bintang, berniat menusuknya.
Tapi tepat sebelum itu terjadi, belati kecil melayang kuat, menabrak dua pedang mereka. Ayunan kecil Bintang menggores kening Luka sebelum perempuan itu diterbangkan oleh tendangan Alex.
"Wah, wah, ada yang ngerasa boleh besar kepala." Alex melotot marah. "Nyonya Trika Narendra lupa buat siapa dia boleh hidup."
"Bos." Tirta bergegas menutup luka gores di kening Luka. "Are you okay? Lo enggak pusing, kan?"
Di tempat ini, yang boleh mati hanya Bintang. Tentu saja bahkan Lio akan setuju mengenai itu.
Tapi Luka menepis tangan Alex dan Tirta darinya, pergi mendekati Bintang yang terbatuk-batuk memuntahkan darah.
Rusuknya terluka gara-gara tendangan Alex barusan.
"Luk, jangan ke sana."
"Berisik." Luka tahu mereka khawatir tapi ia tahu apa yang ia lakukan.
Pria itu berjongkok di hadapan Bintang, menyambar rahangnya yang terdapat bercak darah.
"Kamu enggak ngelawan saya, kan?" tanya Luka tepat di wajahnya.
Tadi ia menyadari, Bintang mau membunuhnya tapi dia seperti tidak melihat Luka melainkan orang lain. Dia mau menebas Luka tapi itu seperti dia ingin menebas orang lain yang ada di pikirannya.
"Kamu harusnya tau itu bikin saya tersinggung, Tri." Luka melepaskan rahang Bintang, beranjak pergi darinya.
"Obatin dia," perintah Luka pda tim medis khusus sementara ia pergi diikuti oleh Alex ddan Tirta.
*
Dukung karya ini dengan like 👍 kalian dan mampir ke karya author lainnya 👇
"Luk, lo marah digangguin?"
Alex bertanya seperti anjing ketakutan karena pemiliknya marah.
"Luk, ayolah. Gue tau lo enggak mungkin kalah, tapi sebagai pengawal yang baik, ya gue mesti protektif dong sama lo. Jadi kalo lo kenapa-napa ya spontan gue satset."
Alex itu seperti saudara beda orang tua Luka. Lio memungut Alex dari tempat dia dibuang saat tubuhnya masih merah dan meletakkan Alex di kamar yang sama dengan Luka, hingga mereka tumbuh bersama. Itulah alasan terbesar kenapa Alex yang kurang ajar tetap berada di sekitar Luka.
Tapi Luka tidak sedang peduli pada ocehan Alex. Pria itu berjalan lurus sambil memikirkan istrinya.
Sekarang Luka bertanya-tanya siapa yang perempuan itu pikirkan saat mau membunuh Luka. Gerakannya yang brutal itu terlihat menarik. Seolah-olah dia mau berdansa sambil membunuh.
"Oya oya, kayaknya aku ngelewatin sesuatu," ucap suara menyebalkan.
Di depan pintu bangunan Luka, Lio bersedekap menunggunya. Dia melihat kening Luka yang mengeluarkan darah sekalipun suda diseka, lalu tersenyum.
"Kamu sama Trika kayaknya beneran cocok, yah. Sama-sama ganas," komentar dia santai.
"Lo mungut dia di mana?" tanya Luka dingin.
"Di tempat yang bikin dia lebih milih masuk neraka daripada tetep di sana." Lio berjalan mendekat. "Kamu udah liat mata yang keliatan mau bunuh semua orang biar dia puas? Itu bukan aku yang bikin. Itu murni dari dia. Dia pembenci, pendendam, pemarah."
Luka mengerutkan kening saat Lio mengulurkan tangan ke bagian sayatan Bintang.
"Kamu bunuh Tri?" tanya Lio tenang. Dia menyayangi Binatang, tapi sebagai mainan Luka. Kalau Luka merusak mainannya, ya itu terserah Luka. "Kayaknya enggak. Bau darah kamu enggak banyak. Tapi kamu bales ini kan?"
"Gue yang balesin, Bang." Alex menyahut bangga. "Jangan marah yah kalo mainan lo ketusuk tulang rusuknya sendiri."
"Bagus." Lio melepaskan Luka dan tersenyum bangga. "Terus, sekarang kamu mau apa? Kamu suka mainan barunya?"
Luka tak menjawab, hanya berlalu meninggalkan Lio. Saat tahu Alex dan Tirta mau mengikutinya, Luka bergumam, "Enggak usah."
Mereka berdua kurang ajar, tapi tahu kapan harus patuh. Dibiarkan Luka pergi memasuki bangunannya yang sepi.
Pria itu melintasi lorong tanpa kehidupan. Naik ke lantai satu, dua, tiga, dan akhirnya sampai di lantai empat, lantainya sendiri.
Luka masuk ke kamarnya yang megah, berdiri di depan cermin dan menyeka darah di keningnya.
Luka tidak marah soal Bintang melukainya. Ia yang mengajak duel jadi itu memang jelas akan ada luka. Tapi Luka tersinggung sebab perempuan itu malah memikirkan orang lain.
Beraninya dia melampiaskan kebencian pada Luka padahal Luka tidak peduli padanya.
Dia memanfaatkan Luka saat seharusnya Luka yang mempermainkan dia. Itu bahkan tidak layak disebut lelucon.
"Padahal saya enggak bakal nyiksa kamu kalau kamu tau diri, Tri." Luka membuang kain bekas memgelap darahnya ke tempat sampah. "Tapi sekarang kamu yang minta."
Menghantam pedangnya pada Luka sambil memikirkan orang lain itu pernyataan perang. Akan ia ladeni sampai dia porak-poranda.
Luka masuk ke kamar mandi, membasuh dirinya sendiri. Lantas berpindah ke kamar pakaiannya, mengambil setelan baru sebelum turun ke bawah.
Luka menuruni tangga menuju lantai bawah, melewati ruangan Alex dan Tirta sering bermain game.
"Tirta," panggil Luka tanpa menoleh.
"Ya, Bos?" Tirta loncat, mengikuti Luka terburu-buru. "Lo mau ke mane, Bos?"
"Suruh Tri dandan. Gue tunggu di gazebo."
Tirta yang mendengar perintah itu seketika tercengang. Mungkin Luka mau menyiksa Bintang karena dia kesal. Itu jelas mustahil bagi orang yang baru saja terluka untuk pergi makan bersama di gazebo, tapi kenapa Luka harus melakukannya?
Kayaknya omongan Lio sekali lagi benar. Kenyatan Luka mengundang Bintang makan malam itu berarti sedikit saja dia tertarik, sekalipun untuk menyiksa.
Bintang nampaknya memang selera bosnya yang sadis ini.
*
Dukung karya ini dengan like 👍 kalian dan mampir ke karya author lainnya 👇
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!