“Kau gila, Kiran!” bentak Areksa untuk pertama kalinya dalam hubungan pernikahan mereka.
“Bagaimana bisa kau menyuruh suamimu sendiri untuk tidur dengan wanita lain hanya karena seorang anak, Hah?” lanjutnya masih dengan penuh nada penekanan dan nada tingginya.
“Tapi Mas, _....”
“Aku sungguh tidak menyangka kau akan sampai sejauh ini, Kiran! Apakah selama ini aku selalu menuntut seorang anak darimu? Tidak pernah, bukan?” potong Areksa yang tak ingin mendengarkan apapun lagi dari istrinya.
“Mas, ….” Air mata Kiran sudah jatuh semenjak Areksa membentaknya dengan keras.
“Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat kecewa padamu, Kiran!” ujar Areksa yang kemudian pergi meninggalkan rumah begitu saja dan Kiran hanya bisa menangis menyesali semuanya.
Areksa meninggalkan rumahnya dalam keadaan yang marah dan begitu kalut. Jujur saja, dia sangat menyesal telah membentak Kiran hingga membuat istri tercintanya menangis sesenggukan.
Namun, Areksa juga tidak habis pikir dengan apa yang Kiran katakan. Bagaimana bisa Kiran memintanya untuk menyentuh wanita lain hanya karena ingin memiliki seorang anak.
Dengan kecepatan yang cukup tinggi Areksa mengemudikan mobilnya dan entah kemana tujuannya malam itu. Sepanjang perjalanan Areksa terus melampiaskan rasa penyesalannya karena telah membuat Kiran menangis dengan memukul stir kemudinya.
“Aaakh, … Sialan! Semarah apapun aku, seharusnya tidak membentaknya sampai membuatnya menangis seperti itu!”
Areksa berteriak frustasi, dia bahkan tidak focus dengan jalanan yang ada di depannya.
“Kiran, bagaimana bisa kau memiliki pikiran seperti itu! Selama ini kita masih baik-baik saja tanpa adanya anak dan kita sudah sepakat untuk tidak membahas soal anak lagi. Tapi kenapa, _....” Areksa tak mampu melanjutkan perkataannya.
“Kenapa kau memintaku untuk menyentuh wanita lain! Bagaimana aku bisa menyentuh wanita lain, jika hati dan hidupku adalah milikmu, Kiran!”
“Aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kau membuatku kecewa sampai seperti ini!”
Tanpa sadar buliran cairan bening perlahan membasahi wajah tampan Areksa. Dia bahkan tidak sadar bahwa tepat di depannya lampu lalu lintas sudah menyala hijau, tapi Areksa tetap melajukan mobilnya.
Disaat itu juga, sebuah mobil dari arah kiri melesat ke arah mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Areksa sangat terkejut dengan kehadiran mobil tersebut, tapi ketika dia ingin menghindar semuanya sudah terlambat.
Brakk, ….
Tabrakan tidak bisa di hindarkan lagi, mobil yang muncul dari sisi kiri menabrak tepat mobil yang di kemudikan Areksa hingga membuat mobil Areksa terbalik beberapa kali.
Melihat adanya kecelakaan beberapa orang langsung keluar dari mobilnya untuk memeriksa keadaan pengemudi yang mobilnya masih dalam keadaan terbalik itu. Lalu salah satu orang tersebut mengambil inisiatif untuk memanggil ambulance dan polisi.
Tak lama kemudian, sebuah mobil ambulance dan mobil polisi tiba di lokasi tersebut. Mereka segera melakukan penyelematan pada Areksa yang saat itu sudah tidak sadarkan diri dan langsung di bawa menuju ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebin intensive.
“Apa yang terjadi?” tanya Dokter pada petugas ambulance.
“Kecelakaan lalu lintas, Dok! Mobilnya terbalik dan begitu kami tiba pasien sudah tidak sadarkan diri,” terang salah satu petugas ambulance.
“Segera hubungi keluarganya!” perintah Dokter yang menangani keadaan Areksa.
“Baik, Dok!” sahut salah satu perawat di sana.
Setibanya di rumah sakit, Areksa langsung di larikan ke ruangan IGD. Dokter dan perawat segera melakukan diagnosis dan penanganan gangguan pernapasan dan sirkulasi pada Areksa.
Pada saat itu, tiba-tiba jantung Areksa sempat terhenti, hingga membuat Dokter langsung mengoperasikan alat kejut jantung serta rekam jantung (EKG).
Melihat kondisi Areksa yang cukup parah, Dokter pun segera memerintahkan perawat untuk memindahkan Areksa ke ruangan ICU agar mendapatkan penanganan yang lebih khusus.
Satu jam kemudian setelah kepergian Areksa, Kiran hanya bisa terus menangis menyesali apa yang dia katakan pada Areksa, hingga suaminya itu pergi dalam keadaan marah tanpa sepatah kata pun atau hanya sekadar kemana dia akan pergi untuk menenangkan diri.
Kiran terus menyesali kebodohannya, hingga ponselnya berdering beberapa kali menampilkan sebuah nomor yang tidak di kenal.
Drrrt, … Drrtt, ….
Kiran mendapatkan sebuah telepon dari nomor yang tidak di kenal. Dengan wajah terkejut dan tubuh gemetar hebat Kiran berkata, “A-apa? Mas Areksa kecelakaan?”
“Ti-tidak mungkin, … Hiks, … M-mas Areksa tridak mungkin, _....”
“Nyonya, bisakah anda ke rumah sakit sekarang! Karena Tuan Areksa membutuhkan persetujuan darin pihak keluarganya agar kami bisa menangani kondisinya lebih lanjutnya mengingat keadaannya yang terluka cukup parah.”
Penjelasan dari salah satu petugas rumah sakit itu membuat Kiran tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“A-aku akan ke sana sekarang!”
Setelah memutuskan sambungan teleponnya, Kiran yang mendapat telepon dari rumah sakit bahwa suami mengalami kecelakaan. Dia langsung saja pergi menuju ke rumah sakit dengan menaiki sebuah taksi dalam keadaan yang semakin terisak.
Sepanjang perjalanan, air mata Kiran tidak bisa berhenti untuk membasahi wajahnya. Perasaan takut dan khawatir bercampur menjadi satu, hingga membuat sang supir taksi turut sedih melihatnya.
Namun, mendengar tujuan penumpangnya itu adalah rumah sakit sang supir seperti bisa menebak bahwa salatu keluarga penumpangnya mungkin dalam kondisi tidak baik-baik saja.
“Mas, … Maafkan aku! Kau boleh marah padaku, kau boleh kecewa ataupun itu asalkan jangan seperti ini. Hiks, … Jangan melukai dirimu sendiri ataupun meninggalkan aku seperti ini. Hiks, …”
“Mas Areksa, … Aku mohon bertahanlah, Hiks!” gumam Kiran sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.
Entahlah saat mendengar suaminya mengalami kecelakaan parah, seketika pikiran Kiran tidak bekerja dengan semestinya. Hanya perasaan takut, cemas dan khawatir serta kesedihan yang dia rasakan saat itu.
Kiran bahkan hampir lupa untuk menghubungi anggota keluarganya yang lain tentang kecelakaan yang di alami oleh Areksa. Hingga sebuah pesan masuk dari Mamahnya menyadarkannya. Kiran yang tida memiliki tenaga lagi untuk membalas pesan tersebut langsung saja menelpon Mamahnya.
“Mah, … Hiks, … Hiks, …”
Begitu sambungan telepon itu tersambung, langsung terdengar suara isak tangis Kiran yang mencoba wanita itu tahan.
“Kiran, ada apa? Kenapa kau menangis, Nak? Apakah Areksa melakukan sesuatu padamu?”
Mendengar tangisan menantu kesayangannya, Mamah Syifa atau mamah kandung Areksa langsung merasa khawatir dan mencecar Kiran dengan berbagai pertanyaan sekaligus.
“Mah, … Hiks, …! Mas Areksa mengalami kecelakaan, Hiks, …”
Suara tangis Kiran semakin terdengar pedih. Mamah Syifa yang mendengar kabar kecelakaan putra sulungnya pun seketika terdiam, hingga membuat suaminya yang tengah focus menyetir menatap bingung ke arahnya.
“Ba-bagaimana bisa?” Terdengar suara Mamah Syifa yang tercekat dan terasa begitu berat.
“Kiran juga tidak tahu, Mah! Hiks, … Sekarang Kiran masih di perjalanan menuju ke rumah sakit, Hiks, …” terang Kiran di sela isak tangisnya yang tidak bisa dia hentikan.
Bersambung, ....
“Kiran, kau tenanglah! Percaya pada Areksa bahwa dia pasti akan baik-baik saja. Mamah dan Papah akan segera menyusul ke sana!” ujar Mamah Syifa yang mencoba sedikit menghibur dan menenangkan menantu kesayangannya itu.
Meski di dalam hati dan pikirannya sendiri juga tidak bisa tenang ketika mendengar putranya mengalami kecelakaan.
“Iya, Mah!” lirih Kiran.
Tak lama setelah percakapan melalui telepon itu berakhir, akhirnya taksi yang di naiki Kiran tiba juga di rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, Kiran langsung menanyakan keberadaan suaminya kepada salah satu perawat yang berjaga di meja administrasi.
“Di-dimana, … Dimana pasien atas nama Areksa Serano Damarwangsa sekarang?” tanya Kiran dengan suara gemetar dan air matanya yang tiada hentinya terus mengalir membasahi wajah cantiknya.
“Aah, … Pasien yang datang karena kecelakaan ‘yah! Saat ini masih mendapat penangan khusus di ruang ICU,” terang salah satu perawat di sana.
Tanpa buang waktu dan dengan kepanikannya, Kiran segera mencari letak ruangan ICU yang di maksud. Ketika Kiran masuk ke dalam ruangan itu, tubuhnya seketika lemas melihat tubuh suaminya yang di penuhi dengan peralatan medis rumah sakit.
“Maaf, anda siapa ‘yah?” tanya salah satu perawat yang menyadari keberadaan Kiran di sana.
“Sa-saya istri dari pasien yang bernama Areksa, … Hiks!” jawab Kiran begitu lirih.
“Jadi, anda keluarga pasien ini!” Dokter yang mendengarnya pun segera menghampiri Kiran.
“I-ya, Dok! Apa yang terjadi dengan suami saya, Dok? Hiks, …”
Kiran berusaha untuk tidak menangis saat itu, tapi melihat tubuh suami yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat dadanya terasa begitu sesak.
Sang Dokter bisa memahami apa yang keluarga pasiennya rasakan, sehingga dia bisa mengerti jika Kiran menangis saat itu.
“Bisa bicara di ruanganku? Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan yang cukup panjang untuk menjelaskan kondisi Tuan Areksa saat ini,” ujar Dokter tersebut dengan ramah.
“Ba-baik, Dok! Ta-tapi bolehkah saya melihat keadaan suami saya dulu, Dok!” pinta Kiran yang ingin sekali melihat keadaan suami tercintanya.
“Tentu, silahkan saja!” Dokter itu tidak keberatan sama sekali.
“Sus, tolong nanti antar keluarga pasien ini ke ruanganku!” pesan Dokter itu pada Perawat yang berjaga di sana.
“Baik, Dok!” sahut Perawat tersebut.
Kiran kini sudah mengabaikan perkataan Dokter itu, tatapan matanya hanya tertuju pada sang suami yang tengah terbaring lemah. Namun, ketika Kiran sudah berjarak begitu dekat dengan suaminya dia langsung berbalik.
“Dokter, … Mari kita bicara dulu tentang keadaan suamiku!” ujar Kiran yang berubah pikiran.
Dokter itu cukup terkejut, tapi hanya sesaat. Setelah itu, dia menjawab, “Tentu, mari ke ruangan saya!”
Begitu keluar dari ruang ICU, Kiran malah berpapasan dengan keluarga suaminya. Mendengar Kiran yang ingin mendengar penjelasan Dokter terkait kondisi Areksa, keluarganya pun memutuskan untuk ikut mendengarkannya.
“Bagaimana keadaan putra kami, Dok?” tanya Ibu Areksa yang tidak sabar ingin mendengar kondisi putranya.
“Begini, sepertinya Tuan Areksa mengalami benturan yang cukup parah saat terjadi kecelakaan itu! Tangan kanannya mengalami keretakan, begitu juga dengan kaki kirinya. Sehingga untuk beberapa minggu sepertinya Tuan Areksa harus menggunakan kursi roda,” jelas sang Dokter.
“Namun yang saya takutkan adalah benturan di bagian kepalanya! Kami sudah melakukan Magnetic Resonance Imaging atau MRI dan hasilnya kemungkinan besar Tuan Areksa akan mengalami Amnesia,” sambungnya yang membuat semua orang tidak mau mempercayainya, terutama Kiran.
“Tidak mungkin, …” gumam Kiran yang tak mau mempercayainya.
“Untuk jenis Amnesia-nya kami tidak bisa memastikannya sekarang! Kita harus menunggu sampai pasien sadar lebih dulu,” ujar sang Dokter.
Setelah mendengar penjelasan sang Dokter, Kiran dan keluarganya sepakat untuk memindahkan Areksa ke ruangan rawat VVIP. Karena mereka ingin Areksa mendapatkan perawatan terbaik dan fasilitas yang nyaman.
...****************...
Semalaman mereka menunggu Areksa sadar, tapi sampai pagi menjelang Areksa tidak kunjung sadar.
Bahkan sampai pagi tiba, Areksa belum juga menunjukan tanda-tanda akan sadar. Kiran bahkan semalaman tidak tidur dan selalu berada di samping suaminya sembari menggenggam tangannya.
Sedangkan Ibu Areksa tertidur di kasur tambahan yang di minta, sang ayah tertidur di sofa yang juga sudah tersedia di sana.
“Kapan kau akan membuka matamu lagi, Mas?” gumam Kiran dengan suara lirih dan matanya yang bengkak karena terus saja menangis.
“Maafkan aku, Mas! Seharusnya aku tidak memintamu untuk melakukan itu, sehingga kita tidak bertengkar dan kau menjadi seperti ini, … Hiks!”
Tangisan Kiran kembali pecah mengingat pertengkaran semalam yang membuat suaminya menjadi seperti sekarang. Disela isak tangisnya, Kiran merasakan kalau tangan Areksa perlahan mulai bergerak. Dengan cepat Kiran pun segera menghapus sisa air mata di wajahnya dan menatap suaminya semakin lekat.
“Mas, akhirnya kau membuka matamu lagi!”
Sebuah senyuman indah terukir di wajah cantik Kiran ketika Areksa benar-benar membuka matanya. Kedua orang tua Areksa pun terbangun, ketika mendengar suara Kiran yang mengatakan bahwa putra mereka sudah sadar.
“Ran, Areksa sudah bangun?” tanya Mamah Syifa, ibu kandung dari Areksa dan ibu mertua Kiran.
“Iya, Mah! Mas Areksa sudah membuka matanya lagi,” jawab Kiran dengan senyuman yang terus merekah di wajahnya.
“Pah, cepat panggil Dokter sekarang!” ujar Mamah Syifa pada suaminya.
“Iya, Mah! Papah akan memanggil Dokternya sekarang,” sahut Papah Ibnu, ayah kandung Areksa dan ayah mertua Kiran tentunya. Papah Ibnu segera keluar untuk memanggil Dokter yang menangani Areksa sebelumnya.
Terlihat Areksa yang masih diam sembari memperhatikan sekitarnya. Areksa kemudian menatap sosok Kiran dengan raut wajah yang sulit di artikan oleh Kiran. Seketika Kiran tersadar bahwa cara menatap Areksa padanya kini berbeda dengan sebelumnya.
“Kenapa cara Mas Areksa menatapku berubah? Tidak, … Aku tidak boleh berpikiran negative di saat seperti ini!” batin Kiran yang menepis firasat buruknya.
“Mas, apa ada yang terasa sakit?” tanya Kiran memastikan, dia mengabaikan firasat buruknya yang terus berusaha mendominasi hati dan pikirannya.
“Lepaskan! Memang siapa kau sampai terus memegangi tanganku seperti ini!”
Areksa menarik tangannya secara kasar dan menatap Kiran dengan tatapan tidak bersahabat. Baik Kiran maupun Mamah Syifa pun terkejut dengan perkataan Areksa yang terkesan tidak mengenali istri yang sangat dicintainya sama sekali.
“Reksa, jangan bercanda, Nak! Jangan berpura-pura tidak mengenali istrimu sendiri.”
Mamah Syifa angkat bicara, sebab dia mengira bahwa Areksa hanya tengah mempermainkan mereka saja seperti biasanya. Sedangkan Kiran masih terdiam di tempatnya, kali ini firasat buruknya benar-benar sudah mendominasi.
Hanya buliran air matanya yang perlahan turun, sebagai bentuk kesedihan dan kepedihan hatinya yang tidak bisa dia ucapkan dengan kata-kata melihat suaminya yang tidak mengenali dirinya lagi sebagai istrinya.
Bersambung, ......
“Istri? Sejak kapan Areksa sudah menikah, Mah? Dan lagi pula kekasihku itu Anya, jika pun aku menikah maka istriku adalah Anya. Bukan wanita yang tidak aku kenal sama sekali seperti dia,” ujar Areksa yang terlihat serius saat mengatakannya.
“Areksa kau, …”
Mamah Syifa dan Kiran pun seketika mengingat tentang perkataan Dokter semalam. Namun, belum selesai rasa terkejut mereka Papah Ibnu sudah kembali bersama dengan Dokter yang merawat Areksa semalam.
“Dok, apa yang terjadi dengan putra saya! Kenapa dia melupakan tentang istrinya?” cecar Mamah Syifa begitu Dokter bernama Aiden itu datang.
Sedangkan Kiran masih mematung di tempatnya, pandangan matanya yang sudah berjatuhan dengan cairan bening itu tidak pernah lepas sedikitpun dari suaminya.
Sesekali Areksa meliriknya, tapi dia sama sekali tidak memperdulikan tangisan wanita yang di anggapnya sebagai orang asing.
“Tuan Areksa! Apakah anda ingat nama panjang anda?” Dr. Aiden mulai melakukan pemeriksaan dengan menanyakan beberapa hal.
“Yaa, … Tentu saja aku mengingat namaku sendiri yaitu Areksa Reano Damarwangsa. Anak pertama dari Papah Mahesa Ibnu Damarwangsa dan Mamah Cut Arsyifa Damarwangsa. Aku bahkan ingat memiliki seorang adik laki-laki yang menyebalkan bernama Arseno Glenn Damarwangsa,” terang Areksa dengan penuh percaya diri.
“Lalu apakah kau mengenal wanita ini?” Dr. Aiden menunjuk pada Kiran yang masih diam menatap suaminya dengan penuh kepedihan.
“Tidak sama sekali!”
Jawaban yang begitu mantar Areksa ucapkan yang membuat Kiran semakin merasa hancur pada hatinya.
“Hiks, … Hanya aku yang di lupakan!” batin Kiran yang hanya bisa menangis pedih dengan keadaan itu.
“Baiklah, kalau boleh tahu berapa usia anda saat ini?” Dr. Aiden kembali melanjutkan pertanyaannya.
“26 tahun!”
Areksa kembali menjawabnya dengan yakin, tapi kali ini jawabannya salah. Sebab usia Areksa sekarang akan menginjak 33 tahun pada bulan depan. Namun, jawaban itu sudah cukup bagi Dr. Aiden untuk mengetahui jenis Amnesia apa yang di alami oleh Areksa.
“Kenapa aku merasa sedang di interogasi?” celetuk Areksa yang mulai merasa tidak nyaman.
“Tidak, suda cukup untuk pertanyaan! Saya akan lanjutkan untuk memeriksa anda lebih lanjut ‘yah, Tuan!”
Dr. Aiden kemudian memeriksa semua luka fisik yang di alami Areksa saat kecelakaan. Selain retak pada tangan dan kakinya serta sedikit lecet di beberapa bagian tubuhnya, Areksa tidak memiliki luka serius lainnya. Kemudian, Dr. Aiden kembali meminta keluarga Areksa untuk bicara di ruangannya lagi.
Dr. Aiden menjelaskan bahwa Areksa mengalami Amnesia disosiatif yang memiliki ciri hilangnya memori episodik yang dapat berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun.
Amnesia jenis ini banyak disebabkan oleh alasan psikologis seperti trauma kecelakaan akibat benturan atau depresi. Dalam kasus ini, kemampuan untuk mengingat akan kembali normal. Namun, ingatan tentang peristiwa yang mengejutkan psikologisnya mungkin tidak akan pernah kembali sepenuhnya.
Setelah mendengarkan penjelasan Dokter, Kiran tampak begitu terpukul. Karena hanya dirinya yang di lupakan oleh suaminya. Semua anggota keluarganya selalu memberikan semangat dan bahkan membantu Kiran untuk membuat Areksa mengingatnya kembali.
Namun, Kiran masih tetap membutuhkan waktu untuk menata hatinya yang sudah hancur atas hilang ingatan yang di alami oleh suaminya.
Kiran duduk termenung dengan hatinya terus bertanya-tanya, “Kenapa? Kenapa hanya aku yang kau lupakan, Mas?"
"Seolah aku tidak pernah ada di dalam hidupmu selama ini. Dan mengapa kau tidak mau menerimaku sebagai istrimu? Kenapa kau bersikeras bahwa hanya Anya yang menempati hatimu?”
...****************...
Setiap hari Kiran dan semua orang selalu mencoba menyakinkan Areksa bahwa dirinya memang sudah menikah dengan Kiran selama 5 tahun lamanya.
Bahkan Arseno membawakan semua bukti bahwa Areksa dan Kiran sudah menikah, mulai dari foto pernikahan mereka, surat nikah dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua itu tidak bisa membuat Areksa kembali mengingat Kiran sebagai istrinya.
“Kak, lihatlah apa yang aku bawa kali ini?” ujar Arseno dengan wajah cerianya.
“Apapun itu aku tidak peduli,” sahut Areksa dengan nad ketusnya.
“Hay, kau harus melihatnya lebih dulu! Bukti ini sangat kuat untuk membuktikan bahwa Kakak Ipar memang istri sahmu dan kalian berdua sudah menikah selama lima tahun,” jelas Arseno sembari menunjukan sebuah buku nikah dan foto pernikahan Areksa dengan Kiran.
“Sudah aku katakan berulang kali! Aku tidak peduli, karena di hatinya selamanya hanya ada Anya!”
Areksa sama sekali tidak mempercayainya dan bersikeras bahwa hanya Anya wanita yang di cintainya. Anya Priscilia Hadiwijaya, seorang model terkenal yang merupakan mantan kekasih Areksa sebelum bertemu dengan Kiran.
“Anya! Anya! Dan Anya! Kenapa di otak Kakak hanya ada wanita ular matre itu, Hah?” seru Arseno yang tidak tahan dengan sikap Kakaknya yang terlalu keras kepala.
“Karena aku memang hanya mencintai Anya, Seno! Jadi, biarkan aku bertemu dengannya agar aku bisa membuktikan bahwa hubungan kami baik-baik saja selama ini!” bentak Areksa yang tidak terima adiknya meninggikan suara hanya untuk membela Kiran.
Tanpa keduanya sadari Kiran dari balik pintu mendengar jelas perdebatan kakak beradik itu. Selama seminggu lebih Areksa menolak keberadaan Kiran di dekatnya dan bahkan terus mencari keberadaan mantan kekasihnya.
Kiran yang tidak tahan akan sikap Areksa, dia pun memberikan sebuah solusi untuk jalan keluar dari permasalahan yang sedang mereka hadapi.
“Kenapa kalian selalu mengatakan bahwa dia istriku, sedangkan aku tidak bisa mengingatnya sama sekali! Kekasihku hanya Anya, tolong bawa dia untuk menemuiku,” ujar Areksa bersikeras.
“Aku tidak tahan lagi! Bagaimana kalau kita buat sebuah perjanjian?” ujar Kiran memberanikan diri untuk bicara dengan Areksa yang sejak seminggu terus menolak dan mengabaikannya.
“Perjanjian? Perjanjian seperti apa yang kau maksud?”
Areksa mengerutkan alisnya, dia sungguh tidak mengerti apa yang tengah wanita yang mengaku sebagai istrinya katakan. Terlihat jelas Kiran menggenggam erat ujung bajunya sebelum dia mengutarakan solusi terbaik yang dia pikirkan selama ini secara matang-matang.
“Maaf, bisakah Papah, Mamah dan Seno memberikan ruang untuk kami bicara sebentar?”
Kiran meminta pada Papah Ibnu, Mamah Syifa dan Arseno yang sejak tadi hanya bisa diam menyimak pembicaraan pasangan yang tengah di uji kehidupan rumah tangganya. Mereka memiliki batasan sendiri untuk ikut campur dalam masalah rumah tangga Areksa dan Kiran.
“Sebaiknya kita memang harus keluar dan membiarkan mereka bicara satu sama lain,” ujar Papah Ibnu pada istri dan anak bungsunya, lalu mengajak keduanya keluar sesuai pemintaan Kiran.
“Terima kasih, Pah! Atas pengertiannya,” ucap Kiran.
Areksa hanya diam memperhatikan kepergian keluarganya. Selepas kepergian orang tua mereka dan Arseno, baik Kiran maupun Areksa kembali saling melempar pandangan satu sama lain.
Areksa yang merasa tidak nyaman akan tatapan mata Kiran dia pun segera mengalihkan tatapannya ke tempat lain.
Bersambung, ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!