"Aku tidak mau!" terdengar penolakan tegas dari mulut seorang wanita, yang kecantikannya tersembunyi di balik penampilannya yang sederhana.
Dia adalah Aozora Jelitha, gadis cantik yang memiliki rambut lurus, hitam legam dan panjang. Memiliki bentuk tubuh yang bisa dikatakan sangat diidam-idamkan oleh kebanyakan kaum wanita. Ia juga memiliki kulit yang putih, hidung mancung dan mata besar yang indah.
Wanita cantik itu sekarang dipaksa untuk menikah dengan Arsenio Reymond, seorang pria yang merupakan pewaris dari sebuah perusahaan besar. Namun, pria itu kini sedang koma diakibatkan kecelakaan yang dia alami dan kalaupun nantinya bangun dari koma, disinyalir pria itu akan mengalami kelumpuhan.
"Kamu tidak bisa menolak. Bagaimanapun kamu harus membayar utang-utang papamu yang nilainya tidaklah sedikit. Kalau kamu tetap menolak, perusahaan akan bangkrut." tegas Dona. Seorang wanita paruh baya ,yang di usianya sudah hampir mencapai setengah abad, tapi tetap tidak bisa menutupi kecantikannya. Wanita itu tidak lain ibu tiri Aozora.
"Hei, kenapa harus aku,Tante? kenapa bukan Tsania saja? Dia juga kan anaknya Papa."
Ya, sudah 10 tahun papanya Aozora menikah dengan ibu tirinya itu, tapi sekalipun Aozora tidak pernah memanggil wanita itu dengan panggilan mama karena baginya wanita yang pantas dia panggil mama hanyalah almarhumah wanita yang sudah melahirkannya dan yang bakal akan jadi mertuanya nanti.
"Kalian beda. Tsania itu memang anak papamu, tapi dia lahir dari rahimku. Sedangkan kamu ... kamu itu lahir dari wanita yang sudah dimakan cacing itu," sahut Dona, dengan nada dan raut wajah sinis.
"Jaga ucapanmu, Tante! Jangan pernah bawa-bawa mamaku dalam hal apapun! karena mulutmu yang kotor itu sama sekali tidak pantas!" seperti biasa, wajah Aozora akan berubah merah karena marah. Wanita berparas cantik itu tidak pernah suka kalau wanita paruh baya yang merupakan istri papanya itu, membawa-bawa almarhum mamanya.
"Kamu yang harus jaga ucapanmu, Zora!" seorang pria paruh baya yang dari tadi diam saja buka suara membentak Auzora. Dialah Aditya, pria yang merupakan papa dari wanita yang sering dipanggil Zora itu
"Kenapa? Papa mau membela wanita ini? Bukannya yang aku katakan tadi benar? Dia sama sekali tidak pantas__"
"Aozora!" suara Aditya meninggi, memotong ucapan putri sulungnya.
"Yang sopan kalau bicara pada orang tua. Bagaimanapun dia itu istri papa, dan berarti mamamu juga. Kamu seperti tidak pernah diajari sopan santun saja!" lanjut Aditya lagi, masih dengan intonasi suara yang sama.
Azora berdecih. Kedua sudut bibirnya melengkung, membentuk senyum sinis.
"Pertama ... wanita ini bukanlah mamaku. Dia itu hanya seorang perebut yang sekarang sudah menjadi istri papa. Dari awal aku juga sudah dengan tegas mengatakan kalau sampai kapanpun aku tidak akan memanggil dia mama. Kedua ... tentu saja aku diajari oleh mamaku sopan santun. Hanya saja, aku tahu siapa yang layak mendapatkan sikap sopanku. Dan menurut papa, apa wanita ini pantas? wanita ini sama sekali tidak layak, Pa." tutur Aozora dengan mata yang melirik sinis ke arah Dona.
"Dan kamu ... kamu yang katanya papaku, apa emang pernah mengajarkan sesuatu padaku? tidak kan? Jadi stop bicara tentang kesopanan di depanku!" Sambungnya lagi.
Aditya terdiam seribu bahasa. Pria itu benar-benar terkesiap kaget, melihat putri yang selama ini diam dan patuh bisa melontarkan kata-kata pedas seperti itu.
"Sayang, kenapa kamu jadi diam? Harusnya kamu bertindak memarahi anak tidak tahu diri ini. Dia itu sudah menghinaku, Mas!" Dona memekik, seperti biasa meminta suaminya itu untuk memarahi Aozora.
"Tahu nih, Pa, yang tegas dong sama Kak Zora! Masa diam saja mama dihina," kali ini Tsania yang merupakan adik dari Aozora, buka suara.
"Cih, drama terus, drama terus! Gak cape ya, akting terus?" sindir Aozora, dengan raut wajah sinis yang sama sekali tidak tanggal dari wajahnya.
"Diam!" bentak Dona.
"Kamu emang anak yang tidak tahu diri. Dengar ... aku tidak peduli kamu mau panggil mama ataupun tidak, karena aku sama sekali tidak berharap. Aku juga tidak sudi kamu panggil mama. Sekarang yang jelas kamu tidak boleh membantah lagi. Mau tidak mau, kamu harus tetap mau menikah dengan Arsenio!" tegas Dona, tak terbantahkan.
"Aku tetap tidak mau!" Aozora tidak kalah tegas.
"Kamu harus tetap mau, Nak. Kalau tidak perusahaan mama kamu akan hancur. Apa kamu mau itu terjadi?" Aditya kembali buka suara. Dia berharap dengan membawa-bawa nama almarhum istrinya, putrinya mau berubah pikiran dan bersedia memenuhi permintaan mereka.
"Kenapa harus aku? Kalian yang berhutang banyak kan? Kalau demi kemajuan perusahaan mama, aku bisa maklum. Lah ini, semuanya hanya untuk foya-foya istri dan anak harammu ini!" Aozora mengangkat jari telunjuknya menunjuk ke arah Tsania.
"Aozora, stop mengatakan Tsania anak haram!" bentak Aditya dengan suara menggelegar.
"Kalau bukan anak haram mau disebut apa? Anak hasil Zinah, bukannya itu sama saja ya!"
Plak
Tangan Aditya terayun dan mendarat keras di pipi mulus Aozora. Tentu saja yang terjadi barusan membuat Dona dan Tsania tersenyum puas.
"Papa! Papa memukulku?" mata Aozora membesar. Wanita berparas cantik itu, terkesiap kaget, karena baru kali ini, pria yang dia panggil papa itu melayangkan pukulan padanya.
"Maaf, papa refleks!" seketika Aditya tersadar akan apa yang baru saja dia lakukan.
"Untuk apa Papa minta maaf? Dia memang pantas mendapatkan tamparan itu," cetus Tsania sembari menatap sinis ke arah Aozora.
"Apanya yang pantas? aku sama sekali tidak bicara sembarangan kan? Apa yang aku katakan tadi semuanya benar. Kamu itu lahir atas perzinahan yang dilakukan papaku dan mamamu di belakang mamaku!" ucap Aozora dengan napas memburu.
"Aozora, berhenti papa bilang berhenti! Jangan buat papa melakukan hal yang lebih dari tamparan. Kamu, selama ini papa diamkan semakin melunjak ya! Sekarang intinya kamu harus tetap mau menikah dengan Arsenio!" bentak Aditya, dengan tatapan yang sangat tajam bak sebilah belati yang siap menghujam jantung.
"Aku tetap tidak mau! kalau ini demi mempertahankan perusahaan mama, kenapa harus aku yang berkorban? Tsania ada, dan dia juga anak Papa!" lagi-lagi Aozora menolak, tegas.
"Hei, itu perusahaan mamamu, kenapa jadi anakku yang berkorban?" Dona kembali buka suara.
"Tante lupa, kalau perusahaan itu hampir bangkrut karena ulah kalian? Kalian berdua selalu menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Jadi setidaknya, kalian harus bertanggung jawab!" kali ini Aozora benar-benar tidak mau diintimidasi lagi, seperti yang dulu-dulu.
"Peduli apa dengan tanggung jawab? Yang jelas, aku tidak mau anakku menikah dengan pria yang kita tidak tahu kapan bisa bangun itu? Apalagi kalaupun dia bangun katanya akan lumpuh. Enak saja, anakku yang berkorban demi mempertahankan perusahaan mamamu!" tegas Dona.
"Jangan lupa ,Tante, kalian memang sepatutnya bertanggung jawab. Selain karena kalian menghabiskan uang perusahaan, kamu dan papa juga harus mempertanggung jawabkan kematian mamaku. Karena perselingkuhan kalian yang bahkan sampai mempunyai anak, mamaku jadi depresi dan sakit-sakitan. Ini semua salah kalian. Jadi, setidaknya Tante meminta Tsania untuk menikah dengan pria itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban!" tatapan Aozora sangat tajam, menatap Dona, wanita yang sangat dibencinya dari dulu.
"Aku bilang tidak ya tidak! Kalau kamu tidak mau, terserah. Tapi, kamu harus siap menerima akibatnya. Perusahaan peninggalan mamamu itu akan hancur. Sedangkan aku ... aku tidak akan peduli mau perusahaan itu itu hancur atau tidak!" sudut bibir Dona naik sedikit ke atas membentuk senyuman sinis.
"Nak, tolong mau ya! Kamu harus tolong papamu ini, demi perusahaan mamamu." kali ini, Aditya berucap dengan intonasi suara yang rendah.
"Aku tidak mau, Pa!" Azora tetap bertahan pada pendiriannya. "Lagian, Papa tahu sendiri, pernikahanku dan Dimas tinggal menunggu hari. Jadi, tidak bisa dibatalkan begitu saja. Itu sama saja akan mempermalukan keluarga Dimas, Pa!" Ya, selain karena merasa bukan dirinya yang harusnya bertanggung jawab, Aozora juga sudah punya kekasih dan dalam seminggu ini memang akan melangsungkan pernikahan.
"Tenang saja, aku akan menggantikan kamu, menikah dengan Dimas," celetuk Tsania, tersenyum menyeringai.
"Punya hak apa kamu berkata seperti itu? Apa kamu kira, Dimas akan mau menikah denganmu?" kemarahan Aozora mulai terpancing lagi.
"Siapa bilang, dia tidak mau? Aku dan dia itu sudah saling mencintai. Tanpa kamu ketahui, kami sudah menjalin hubungan di belakangmu,"
Mata Aozora membesar sempurna, terkesiap kaget. Namun, itu hanya sebentar, karena detik berikutnya ia berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak percaya.
"Kamu kira aku akan percaya? Itu sama sekali tidak mungkin, karena Dimas tidak mungkin bisa menyukai wanita murahan seperti kamu. Apalagi hubungan kami sudah sangat lama dan bahkan sudah akan menikah," ucap Aozora.
Tsania sontak tertawa, meremehkan.
"Kamu tidak percaya? Aku bisa buktikan, kakakku tersayang. Kalian memang sudah lama menjalin hubungan, tapi Dimas, bilang kalau kamu itu membosankan. Dia lebih nyaman denganku, yang bisa memberikan apa yang dia mau," senyum sinis sama sekali tidak pernah tanggal dari bibir Tsania.
"Jangan mengada-ngada! Aku tidak akan percaya!"
"Baiklah, aku akan buktikan!" Tsania meraih ponselnya, lalu menunjukkan layar ponselnya ke arah Aozora.
"Kamu lihat dengan jelas, ini nomor Dimas kan?" Aozora membaca nama 'Semestaku' yang tertera di layar ponsel dan ia melihat nomor itu memang benar nomor milik Dimas, calon suaminya.
"Aku akan hubungi dia, dan kamu dengar sendiri ya!" Tsania menekan tombol memanggil dan dengan sengaja dia juga menekan tombol speaker.
"Iya, Sayang?" terdengar suara pria yang memang sangat familiar di telinga Aozora.
tbc
"Iya, Sayang!" terdengar suara pria yang memang sangat familiar di telinga Aozora.
"Sayang, aku kangen," ucap Tsania dengan nada manja, sembari melirik ke arah Aozora seraya tersenyum mengejek.
"Aku juga kangen, Sayang. Apalagi dengan __"
"Uhuk, uhuk!" Tsania sengaja berbatuk karena dia tahu apa yang akan diucapkan pria di ujung sana.
"Kamu kenapa, Sayang?" pria di ujung sana yang tidak lain adalah Dimas, terdengar sangat panik. Jangan lupakan, Aozora yang terlihat marah dengan wajah yang memerah.
"Tidak apa-apa, Sayang! Hanya tersedak sedikit. Kamu sekhawatir itu ya padaku?" Tsania masih menatap Aozora dengan tatapan meledek.
"Tentu saja, aku panik. Tapi benarkan kamu baik-baik saja?" sahut pria di ujung sana, membuat hati Aozora semakin sakit, karena pria di ujung sana sudah lama tidak begitu padanya.
"Kalau Kak Zora yang sakit, apa kamu juga akan bersikap seperti itu?" Tsania dengan sengaja membuat suaranya semakin manja.
"Tentu saja tidak! Aku benar-benar sudah malas dengan kakakmu yang sok suci itu. Bukan seperti kamu, yang bisa memberikan apa yang aku mau," ucap Dimas.
"Oh, jadi seperti itu? Jadi kenapa kamu melamarku kalau kamu sudah malas?" Aozora yang sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi, akhirnya bersuara.
"Sayang, ke-kenapa ada suara Zora?" pria di ujung sana sepertinya kaget mendengar suara wanita yang sedang mereka bicarakan.
"Ya, karena memang dia ada sini, Sayang. Aku kesal karena dia merasa wanita yang paling kamu cintai. Aku juga kesal, dia mengejekku, karena akan menikah denganmu,"sahut Tsania dengan bibir yang mengerucut. Wanita itu sengaja melebihkan-lebihkan, agar pria di ujung sana percaya padanya.
"Jelaskan Dimas, apa maksud kamu? Bukannya kita akan menikah mingu depan? Tapi kenapa kamu berselingkuh dengan Tsania? Apa kamu sudah tidak waras?" ponsel Tsania kini sudah berada di tangan Aozora.
"Baiklah, sepertinya aku sudah tidak bisa menutupinya lagi. Toh kamu juga sudah tahu. Aku memang menjalin hubungan dengan adikmu, karena dia lebih mengerti apa yang aku mau. Sedangkan kamu ... Sudah 4 tahun kita pacaran, tapi kamu masih sok suci. Aku muak, melihatmu!" ucap Dimas, yang begitu menyakitkan hati Aozora.
"Kamu benar-benar tega! Kalau kamu sudah muak, seharusnya kamu jujur. Jangan malah memintaku untuk menikah denganmu!" suara Aozora mulai meninggi.
"Siapa yang mau menikah denganmu? Kan kamu yang memintaku untuk segera menikahimu. Rencanaku kalau sudah menikahimu dan mendapatkan apa yang aku mau, aku akan meninggalkanmu, dan memilih Tsania," tutur Dimas yang membuat hati Aozora semakin sakit.
"Brengsek kamu! Dasar bajingan! Sekarang aku tidak mau menikah denganmu lagi! Aku tidak sudi menikah dengan pria brengsek seperti kamu!" dada Aozora terlihat naik turun saat mengucapkan ucapannya.
"Silakan! Aku tidak akan rugi, karena dengan begitu aku bisa menikah dengan Tsania. Mamaku juga sepertinya lebih setuju aku dengan Tsania dibandingkan kamu!"
"Oh, baiklah. Sekarang aku paham,pria brengsek memang cocok dengan wanita murahan seperti Tsania. Karena jodoh itu cerminan dari diri," ucap Aozora dengan sarkas, berusaha untuk terlihat tegar.
"Jaga mulutmu, Zora!" bentak Dimas.
"Tenang, aku tetap jaga mulutku. Mulutku tetap ada di tempatnya dan dia tidak akan kemana-mana. Lagian kenapa kamu membentakku? Bukannya yang aku katakan tadi benar? Disebut apalagi seorang wanita yang sudah rela tela*njang si depan pria kalau bukan wanita murahan? Wanita baik-baik begitu?" Sudut bibir Aozora menyeringai sinis.
"Jaga mulutmu! Aku tidak murahan!" bentak Tsania.
"Jadi,kalau bukan murahan, mau disebut apalagi? Kamu memikat, Dimas sampai telan*Jang di depannya, disebut apa kalau bukan murahan?" senyuman sinis Aozora sama sekali tidak tanggal dari bibir tipisnya.
"Tutup mulutmu, Zora! Adikmu tidak mungkin seperti itu!" bentak Aditya, dengan tatapan yang sangat tajam. Mendengar adanya suara Aditya, panggilan langsung diputuskan oleh Dimas begitu saja. Mungkin karena dia tidak menyangka kalau ternyata ada Aditya papanya Aozora dan Tsania di tempat itu.
"Bela saja terus, Pa! menurut papa, apa yang dimaksud Dimas, dengan mendapatkan apa yang dia mau dari Tsania tapi tidak didapatkan dariku? Itu, Tsania sudah memberikan tubuhnya karena itulah yang tidak didapatkannya dariku,"
Aditya sontak menoleh ke arah Tsania, menuntut penjelasan.
"Sial, kenapa aku jadi seperti terdakwa sekarang?" batin Tsania, ketika melihat tatapan papanya.
"Jelaskan, Tsania apa itu benar?" tanya Aditya dengan tegas.
"Sayang, jangan tatap anakku seperti itu! Kamu sudah menakutinya!" bentak Dona yang tidak terima melihat putrinya diintimidasi.
"Sudahlah, Pa. Tidak perlu dijelaskan lagi karena kenyataannya memang seperti itu," Aozora kembali bersuara.
"Tapi, tidak heran sih, dia bisa seperti itu, karena mamanya juga seperti itu. Sama-sama murahan!" sindir Aozora, dengan seringai sinis di sudut bibirnya.
"Hei, diam kamu anak tidak tahu diri! Tahu apa kamu hah!" bentak Dona.
"Hei, kenapa semarah itu? Yang aku katakan benar kan?" kamu menjerat papaku dengan memberikan tubuhmu secara gratis. Anak sama mama benar-benar sama. Sama-sama sampah!" ucapan Aozora semakin pedas.
Tangan Dona terayun hendak menampar pipi Aozora. Beruntungnya, Aozora sudah siap dan langsung menangkap tangan wanita paruh baya itu hingga tangan itu tergantung di udara. Kemudian, Aozora menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar.
"Beraninya kamu!" Dona tidak terima dan kembali mengayunkan tangannya. Tapi, tangannya belum berhasil menyentuh pipi, Aozora, tangan Aozora sudah lebih dulu mendarat di pipi wanita paruh baya itu.
"AOZORA JELITHA!" bentak Aditya dengan suara menggelegar. "Kamu benar-benar sudah kelewatan. Kamu tidak punya sopan santun!" ucap pria itu lagi.
"Aku hanya melindungi diriku sendiri. Papa lihat sendiri, kan. Pelakor Papa ini yang mau memukulku. Masa aku diam saja. Aku bukan Zora yang dulu, yang bisa hanya menangis dan menerima nasib. Karena aku tahu, papa yang aku harapkan bisa melindungiku, tenyata tidak bisa. Jadi, aku yang akan melindungi diriku sendiri," ucap Aozora dengan lugas, tegas dan berapi-api.
Aditya sontak kembali bergeming, merasa apa yang diucapkan putrinya itu benar adanya.
"Sekarang, kalian mau aku menikah dengan Arsenio kan? Baiklah, aku akan bersedia. Tapi, aku anggap kalau Papa sudah menjualku, sebagai pelunas utang. Jadi, itu berarti kita tidak punya hubungan lagi. Karena barang yang sudah dijual dan dibeli oleh orang, tidak punya kaitan lagi," lanjut Aozora lagi dengan tegas.
"Tidak seperti itu, Nak! Kamu sama sekali tidak papa jual. Kamu hanya papa minta menikah," Aditya mulai panik.
"Sama saja. Karena aku papa minta menikah, untuk membayar utang. Orang tua mana yang tega mengorbankan putrinya sendiri demi membayar utang? Bukannya itu termasuk papa menjualku? Pokoknya, aku tegaskan kalau aku sudah menikah dengan pria itu, berarti kita sudah tidak punya hubungan apapun!" tegas Aozora.
"Terserah kamu, mau bilang apa, aku tidak peduli! Mau kamu bilang kalau kamu itu dijual dan tidak punya hubungan apapun dengan kami, aku tidak peduli. Karena aku juga tidak ingin punya hubungan apapun denganmu," ucap Dona dengan sinis.
"Sayang! Dia itu anakku!" bentak Aditya.
"Apaan sih? Kan dia sendiri yang bilang akan memutuskan hubungan denganmu, kalau dia menikah dengan Arsenio? jadi untuk apa kamu marah? Lagian, kamu mau dia tidak menikah dengan Arsenio, yang ujung-ujungnya perusahaan akan bangkrut? Tidak kan? Jadi, mending kamu iyakan deh,"
Aditya lagi-lagi terdiam, membenarkan ucapan istrinya.
"Tidak, aku tidak mau perusahaan itu hancur," gumam Aditya.
"Nah kalau begitu, iya kan saja pada yang dia katakan. Repot amat. Perusahaan lebih penting dari dia," ucap Dona lagi.
Aozora berdecih, kemudian tersenyum smirk berusaha menutupi rasa sakit hatinya melihat papanya yang ternyata lebih mementingkan perusahaan dibandingkan dirinya.
"Tante, apa Tante lupa kalau itu perusahaan peninggalan mamaku? Jadi kalau utang sudah lunas, berarti perusahaan itu akan kembali padaku sebagai ahli waris. Rumah ini juga diwariskan padaku, jadi setelah aku menikah, sebaiknya kalian pergi karena kita sudah tidak punya hubungan lagi!" ujar Aozora, sinis.
Tawa Dona seketika pecah mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Aozora.
"Kamu kira perusahaan dan rumah masih atas namamu? Semuanya sudah aku alihkan atas nama Tsania,"
Mata Aozora membesar, terkesiap kaget mendengar ucapan wanita paruh baya itu.
"Tante jangan bohong, karena aku sama sekali tidak pernah menandatangani, perpindahan nama," Aozora sama sekali tidak percaya.
"Sangat mudah untuk memalsukan tanda tanganmu, Aozora," ucap Dona tersenyum sinis.
"Kalian benar-benar brengsek! Dan papa benar-benar sudah dibohongi wanita culas ini!" umpat Aozora.
Ingin sekali Aozora mengatakan kalau dia juga tidak perlu lagi, untuk menikah dengan Arsenio, karena bagaimanapun perusahaan itu bukan miliknya lagi. Tapi, dia menggantung ucapannya di udara, karena dia seperti itu, berarti perusahaan peninggalan mamanya benar-benar akan bangkrut dan dia tidak punya kesempatan untuk merebut kembali perusahaan mamanya.
"Baiklah, berarti aku memang harus menikah dengan pria itu, sembari memikirkan cara untuk merebut kembali semua harta peninggalan almarhum mama," bisik Aozora pada dirinya sendiri.
"Baiklah, sekarang kalian semua bisa menang. Tapi, aku tidak akan pernah tinggal diam. Cepat atau lambat, aku akan mengambil alih apa yang harusnya menjadi milikku!" pungkas Aozora dengan tegas.
Tanpa mereka sadari, pembicaraan mereka semua didengar oleh seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Arsenio, pria yang akan menjadi suami Aozora. Wanita itu tadinya berniat akan menjemput calon menantunya sendiri.
"Aku akan kembali ke mobil. Sekarang kalian sendiri yang masuk, dan bawa calon nona muda kalian ke rumah!" titahnya, sembari melangkahan kakinya menuju mobil.
Tbc
Aozora akhirnya dijemput oleh pengawal yang diperintahkan oleh Amber, wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Arsenio.
Sementara itu, Amber sudah lebih dulu tiba di rumah, menunggu kedatangan calon menantunya yang dia tahu namanya Aozora.
"Nyonya, nona Aozora sudah ada di sini!" seorang pria berbalut tuxedo bewarna hitam, berdiri tepat di depan Amber, untuk memberikan laporan.
"Kamu bawa dia ke sini!" titah wanita paru baya, yang terlihat sangat anggun dan berwibawa itu.
Pria itu menganggukkan kepalanya, kalau pergi setelah lebih dulu membungkukkan tubuhnya lebih dulu.
Setelah beberapa saat, pria yang merupakan pengawal itu datang kembali dengan Aozora yang mengekor dari belakang.
"Nyonya, ini Nona Aozora!"
Amber yang tadinya sedang berdiri memunggungi, langsung berbalik dan menatap Aozora dengan tatapan yang sukar untuk dibaca.
Sementara itu, jantung Aozora seakan hendak melompat keluar, begitu melihat tatapan tajam wanita paruh baya di depannya itu. Bahkan kakinya sedikit bergetar, apalagi ketika wanita itu melihat tubuhnya dari atas sampai ke bawah.
"Kenapa masih berdiri? Ayo duduk!" pertama kalinya Aozora mendengar suara wanita paruh baya itu.
"Terima kasih, Tante!" sahut Aozora dengan sopan dan tentu saja dengan suara bergetar.
"Hmm," sahut Amber, singkat.
"Kamu keluar dari sini, karena aku mau bicara dengan calon menantu saya," Kini tatapan Amber mengarah ke arah pengawal yang baru saja membawa Aozora masuk.
Pengawal itu membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu beranjak pergi.
"Jadi, kamu Aozora?" tanya wanita itu pura-pura memastikan.
"Iya, Tante!" sahut Aozora seraya menggigit bibirnya, saking gugupnya.
"Hmm, cantik juga!" ucap Amber.
"Terima kasih, Tante!"
"Sekarang, aku mau tanya, apa alasanmu menerima menikah dengan anakku?" tanya Amber menyelidik.
"Kenapa, Tante menanyakan hal itu? Bukannya Tante sendiri yang meminta ke papaku, agar aku mau menikah dengan anakmu? Tante juga pasti tahu jelas kan, kalau aku mau menikah untuk membayar utang-utang papaku?" Aozora terlihat mulai berani.
Amber tersenyum samar, sampai hampir tidak terlihat. "Hmm, menarik," batin wanita paruh baya itu.
"Aku bertanya seperti itu, hanya ingin tahu saja. Karena kamu tahu jelas kalau sampai sekarang putraku belum sadar dari komanya. Aku yakin, kamu juga pasti sudah dengar kalau putraku itu, sekalipun bangun dari koma, dia akan lumpuh. Aku hanya ingin tahu, apakah karena anakku memiliki harta kekayaan yang berlimpah, makanya kamu mau menikah, walaupun dia lumpuh?" pancing Amber.
"Tante, kalau boleh jujur aku sama sekali tidak ingin menikah dengan cara seperti ini.Tapi, ini semua demi perusahaan peninggalan almarhum Mamaku. Kalau untuk masalah uang dan harta, aku masih punya kemampuan untuk cari sendiri," sahut Aozora dengan bijak.
Amber lagi-lagi tersenyum samar, merasa tidak salah memilih menantu.
"Sekarang, aku mau bertanya ke Tante, dan aku harap Tante mau menjawabnya. Boleh kan?" tanya Aozora meminta izin.
"Silakan!"sahut Amber, singkat.
"Seperti yang Tante tanyakan tadi, sekarang aku mau menanyakan, apa alasan Tante memintaku untuk menikah dengan anak Tante? Padahal Tante tahu sendiri kalau anak Tante itu koma dan disinyalir akan lumpuh. Bukannya seperti itu, Tante sudah termasuk menjebak seorang wanita menggunakan kuasa kekayaan Tante?" Entah dari mana datangnya keberanian Aozora, bisa bertanya seperti itu.
"Hmm, sepertinya dia bukan wanita tipe yang hanya bisa pasrah. Dia sepertinya wanita yang sangat kritis. Benar-benar semakin menarik. Sepertinya tidak masalah kalau aku memberitahukan dia, apa alasanku sebenarnya," bisik Amber pada dirinya sendiri.
"Untuk pertanyaan itu, aku pasti akan jawab. Kamu mau tahu alasannya?" tanya Amber, dan Aozora mengangguk, mengiyakan.
"Alasannya, karena aku ingin mempertahankan perusahaan almarhum suamiku, dan satu-satunya cara adalah memberikan Arsenio keturunan," ucap Amber ambigu.
"Heh? Memberikan keturunan? Maksudnya?" gumam Aozora yang masih bisa didengar jelas oleh Amber.
"Iya, memberikan keturunan? Kamu pasti bingung kan?" ucap Amber dan Aozora menganggukkan kepala, mengiyakan.
"Baiklah, aku akan jelaskan!" Amber lebih dulu meraih gelas berisi minuman dari meja, kemudian meneguknya. Kemudian, wanita paruh baya itu menyenderkan tubuhnya, lalu menyilangkan kakinya.
"Suamiku punya adik, dan almarhum mertuaku dulu sudah membagi warisan, dengan memberikan perusahan masing-masing. Tapi, adik iparku itu tidak bisa mengelola perusahaannya dengan baik, sehingga bangkrut. Sedangkan, suamiku berhasil dan bahkan berkembang pesat sampai membangun beberapa cabang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri," Amber mulai menjelaskan. Sementara Aozora dengan sabar menunggu wanita paruh baya itu menyelesaikan penjelasannya.
"Suamiku, akhirnya membiarkan adik iparku itu untuk bekerja di perusahaan dan memberikan dia jabatan. Bahkan anaknya juga bekerja di perusahaan suamiku. Namun, beberapa tahun lalu, suamiku meninggal dan perusahaan diambil alih oleh Arsenio, putra kami. Lagi-lagi perusahaan, maju pesat di bawah kepimpinan putraku. Tapi, sebulan yang lalu, putraku tiba-tiba mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia koma. Perusahaan otomatis tidak ada yang memimpin, sehingga adik ipar dan anaknya itu mengambil alih kepemimpinan untuk sementara, sampai putraku sembuh, karena jujur saja, aku tidak ahli mengelola perusahaan," Amber berhenti berucap beberapa saat, untuk mengambil jeda, sekaligus untuk meraup oksigen, guna mengisi kembali rongga-rongga paru-parunya yang mulai kosong.
Kening, Aozora berkerut karena wanita itu masih belum bisa mengerti apa hubungan cerita wanita paruh baya itu dengan ingin punya keturunan.
"Aozora ...."
"Panggil Zora saja, Tante!" sela Aozora.
"Oh iya, Zora ... kamu sekarang pasti masih bingung kan?" lagi-lagi Aozora menganggukkan kepalanya.
"Sekarang, aku merasa perusahaan semakin tidak berjalan dengan benar. Adik iparku dan anaknya itu mulai memanfaatkan kekuasaan mereka dengan menggunakan uang perusahaan demi kepentingan pribadi. Mereka menggunakan uang perusahaan untuk membeli aset-aset berharga untuk mereka sendiri. Sekarang, aku curiga kalau mereka ingin juga mengambil alih perusahaan. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau perusahaan yang dibangun suami dan anakku hingga bisa sebesar ini, jatuh ke tangan tidak bertanggung jawab seperti mereka. Sekarang aku memang tidak punya bukti, tapi entah kenapa feelingku berkata seperti itu. Makanya agar perusahaan tidak jatuh ke tangan mereka, Arsenio butuh penerus. Jadi, agar Arsenio punya penerus, Arsenio berarti harus menikah," terang Amber panjang lebar tanpa jeda, membuat Aozora semakin bingung.
"Bagaimana bisa mendapatkan keturunan, sedangkan anaknya saja koma? Benar-benar aneh!" ucap Aozora yang tentunya hanya berani dia ucapkan dalam hati.
"Bisa kok, Zora. Untuk urusan itu gampang. Walaupun Anak saya masih koma, dia akan tetap bisa punya keturunan dari kamu. Bisa lewat bayi tabung, atau inseminasi," ucap Amber seakan bisa membaca pikiran Aozora.
"Kalau begitu, kenapa Tante tidak mencari wanita yang bisa menampung bening putra Tante? Kenapa harus menikah?" Alis Aozora bertaut tajam.
"Karena aku mau cucuku lahir dari hubungan pernikahan. Punya Ayah dan Ibu yang tercatat resmi," jelas Amber.
"Jadi, bagaimana seandainya nanti aku bisa memberikan keturunan? Apa aku akan dibuang?" tanya Aozora dengan perasaan sesak.
"Please, jangan katakan, aku akan dibuang! Aku capek diangggap seperti barang yang bisa dibuang begitu saja kalau sudah tidak dibutuhkan lagi," batin Aozora.
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!